Identitas Buku
Judul |
: |
Once Upon a Broken Heart |
Penulis |
: |
Stephanie Garber |
Penerjemah |
: |
Reni Indardini |
Penerbit |
: |
Noura Books PT Mizan Publika |
Tahun terbit |
: |
2022 |
Cetakan |
: |
I |
Tebal |
: |
407 halaman |
Harga |
: |
Rp124.000 |
ISBN |
: |
9786232423503 |
Genre |
: |
High fantasy,
fantasi
romantis, misteri, petualangan, young adult |
Tentang Penulis
Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller. Setelah naskahnya beberapa kali
ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera
antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval[1](2017)
yang lalu menjadi buku best-selling serta
mendapat kritik positif. Setelah itu, Stephanie Garber menulis dua sekuel dari Caraval: Legendary[2]
(2018) dan Finale[3]
(2019). Stephanie Garber juga menulis trilogi Once Upon A Broken Heart,
yang merupakan spin-off dari trilogi Caraval. Trilogi tersebut
terdiri atas Once Upon A Broken Heart (2021), The Ballad of Never
After (2022), dan A Curse for True Love (2023). Sampai sekarang,
Stephanie Garber masih menunggu Legend mengiriminya undangan ke Caraval.
Sinopsis
Sejak kecil, kedua orang tuanya selalu bercerita kepadanya
tentang dongeng-dongeng yang berakhir bahagia. Oleh karena itu, Evangeline
selalu percaya pada harapan dan cinta sejati. Namun, ketika tahu bahwa
kekasihnya akan menikah dengan orang lain, Evangeline patah hati. Dia yakin
kekasihnya telah dikutuk. Maka, dia memohon kepada Pangeran Hati untuk
menghentikan pernikahan tersebut.
Akan tetapi, Pangeran Hati adalah seorang Takdir, dan semua
orang tahu bahwa membuat kesepakatan dengan Takdir adalah hal buruk, walaupun
mereka selalu menepati perkataan mereka. Apalagi, Pangeran Hati terkenal
memiliki ciuman fatal yang mematikan bagi siapapun yang menerimanya, kecuali
bagi cinta sejatinya, satu-satunya orang yang dapat membuat jantung sang
Pangeran Hati kembali berdetak. Konon, dalam pencarian cinta sejati itu, sang
Pangeran Hati meninggalkan jejak berupa mayat-mayat bergelimpangan.
Evangeline terlambat menyadari bahwa membuat kesepakatan
dengan Pangeran Hati adalah kesalahan. Dia berutang tiga ciuman kepada sang
Pangeran Hati—kapanpun yang pria itu inginkan dan dengan siapapun yang dia
inginkan juga. Seharusnya Evanlinge tahu bahwa sang Pangeran Hati berbahaya
karena segala urusan yang melibatkannya selalu berakhir dengan patah hati atau
jasad mati.
Kelebihan
Once Upon A Broken Heart adalah
buku pertama dari sebuah trilogi spin-off
serial Caraval. Sebelum membaca
ini, aku pun telah selesai membaca trilogi Caraval.
Oh iya, sebelum mulai mereviunya, aku beri tahu kalian: jika kalian penasaran
dengan buku ini, kalian bisa membacanya tanpa perlu membaca trilogi Caraval dulu; tetapi sensasinya akan
berbeda dengan mereka yang sudah membacanya.
Mari mulai dari sampulnya dulu. Sepertinya, ini adalah salah
satu buku yang dapat dinilai dari sampulnya. Sampulnya luar biasa cantik!
Didesain oleh @platypo dengan ilustrasi dari @garisinau. Dibandingkan dengan
sampul versi Amerika dan Inggris, aku paling suka versi Indonesia karena lebih
mengesankan bahwa buku ini adalah buku dongeng. Itu sesuai dengan vibe cerita
ini yang mengadaptasi beberapa dongeng.
Selanjutnya, Once Upon A
Broken Heart adalah sebuah kisah fantasi romantis tentang dua orang yang patah
hati. Dari ide cerita, buku ini sangat menarik karena agak jarang aku melihat
cerita fantasi romantis yang bertemakan patah hati seperti ini (sedikit
catatan: aku sebenarnya jarang memabca genre fantasi romantis, hehehe).
Apalagi, beberapa hal dalam cerita ini sangat mirip dengan dongeng-dongeng
klasik: ibu tiri dan saudari tiri jahat, pangeran menawan, serta cinta pada
pandangan pertama. Namun, karena ini adalah cerita tentang patah hati, kisah
cinta ini tidak akan berjalan mulus—bahkan, mungkin tak bisa disebut kisah
cinta. Menarik, bukan?Sampul Once Upon A broken Heart versi US (kiri) dan
UK (kanan)
(Spoiler alert) cerita dibuka dengan Evangeline yang
berusaha menghentikan perinakahan kekasihnya dan saudari tirinya dengan meminta
bantuan Jacks sang Pangeran Hati. Namun, Evangeline tidak menyangka bahwa
bantuan yang Jacks berikan adalah dengan membuat seluruh orang yang hadir di
acara itu membatu. Oleh karena merasa bersalah, Evangeline mengorbankan diri
dengan menggantikan mereka menjadi patung sehingga semua orang bisa selamat.
Dan, ingatkah kalian di buku Finale, disebutkan ada pesta pernikahan yang kacau karena ulah
Peracun yang membuat semua hadirinnya menjadi patung? Ya, pesta pernikahan
tersebut adalah pestanya kekasih dan saudiri tirinya Evangeline. Itu sebuah ide
yang kreatif sekali! Dari sebuah detail kecil di sebuah buku, dia
mengembangkannya menjadi sebuah trilogi.
Kemudian, karakter Evangeline sebagai tokoh utama perempuan
itu charming. Lain dari Scarlett yang
punya trust issue dan Tella yang tak
kenal takut, Evangeline memiliki kepribadian yang optimistis dan naif. Itu
dilengkapi dengan detail latar belakang keluarganya yang percaya pada keajaiban
dan dongeng. Maka, tidak heran melihat Evangeline sangat memercayai cinta pada
padangan pertama dan akhir bahagia selamanya. Dan cerita ini pun sepertinya
ingin memperlihatkan seberapa jauh seseorang akan berbuat demi cinta sejati.
Lain halnya dengan Evangeline yang positive vibes, tokoh utama satunya, Jacks sang Pangeran Hati,
malah semakin meresahkan. Karkaternya di buku Legendary dan Finale terkesan
berbahaya, jahat, tapi memikat. Di Once
Upon A Broken Heart, dia masih sama berbahaya dan liciknya—bahkan mungkin
lebih—tetapi dia juga lebih memikat lagi daripada itu. Ada sisi karkater Jacks
yang tak pernah ada di serial Caraval—sisi
karakternya yang lebih lembut dan mengundang rasa iba. Buku ini menunjukkan
bahwa karakter Jacks itu kompleks—dia bukan jahat, tetapi tidak bisa membedakan
baik dan buruk. Mungkin lebih tepatnya, moralitasnya sebagai seorang insan
kekal berbeda dengan manusia biasa.
Selain kedua tokoh yang menarik, latar tempat cerita ini juga
mengesankan. Kali ini, kisah Evangeline dan Jacks tak berlangsung di Imperium
Meridian, melainkan di Utara Agung. Pembaca akan diperkenalkan dengan negeri
baru dan budaya baru. Aku sangat
mengapresiasi kretivitas Stephanie Garber dalam proses worldbuilding
cerita ini. Hal paling menarik dari Utara Agung adalah kutukan ceritanya.
Kutukan cerita membuat kisah-kisah dari Utara Agung selalu berubah—ketika orang
hendak menuturkan suatu kisah, dia akan lupa detail tertentu atau akhir
ceritanya sehingga cerita kerap kali berubah dari mulut ke mulut. Oleh karena
itu, sejarah Utara Agung selalu bercampur dengan dongeng dan mitos hingga tak
dapat dibedakan dan dipercaya. Seperti yang tertulis dalam buku ini: “Semua
cerita terbuat dari kebenaran dan dusta,…. Yang penting adalah bagaimana kita
memercayainya.”
Itu sungguh worldbuilding
yang menarik karena belum pernah aku lihat sebelumnya. Alih-alih mengatakan
bahwa kisah-kisah Utara Agung melenceng karena dituturkan dari mulut ke mulut,
atau catatan-catatan sejarahnya hilang atau hancur, atau ada pihak-pihak
tertentu yang sengaja melencengkan kisahnya; dia memilih mengatakan bahwa kisah-kisah
itu dikutuk sehingga selalu berubah. Itu ide brilian yang belum pernah
kutemukan di buku-buku yang sudah kubaca.
Tidak hanya itu, Stephanie Garber tidak kehilangan sentuhan
khasnya dalam mendeskripsikan latar. Dia menggambarkan Utara Agung bagaikan
negeri dongeng dengan kastel-kastel megah, pelengkung-pelengkung ajaib, dan udara
yang pekat dengan sihir. Latar tempat dan suasana yang sungguh memikat dan
magis!
Selain itu, bagian kedua cerita ini mengingatkanku pada
cerita Bridgerton. Bagian tersebut
diisi dengan pencarian cinta, pesta dansa, dan pangeran yang menawan. Apalagi,
ditambah dengan kolom-kolom koran gosip yang mengompor-ngompori hubungan
Evangeline dan pangeran Utara Agung.
Kemudian, jalan ceritanya pun tidak terduga. Sekuensnya penuh
kejutan—sesaat aku mengira ceritanya akan begini, tapi tiba-tiba terjadi
peristiwa yang memuntir segalanya. Jalan ceritanya yang mengalir begitu saja
membuat buku ini sangat page-turning.[4]
Apalagi, ada beberapa bab pendek yang akan membuat pembaca tak mau berhenti.
Tidak hanya itu, berbeda dari serial Caraval
yang suasananya terasa seperti permainan dan kejar-kejaran, Once Upon A Broken Heart terasa seperti
dongeng indah sekaligus kelam, tetapi tetap sama-sama dipenuhi rahasia, tipu
daya, dan manipulasi.
Bagian favoritku adalah (spoiler
alert) ketika Jacks dan Evangeline berada di mausoleum. Saat itu, Jacks
sedang menahan efek bisa vampir agar dia tak berubah menjadi vampir (ceritanya
panjang, sebaiknya kalian baca sendiri). Pada saat itu pula, keduanya mengobrol
dengan jujur. Itu pertama kalinya aku melihat Jacks emotionally vulnerable—yang tak pernah ada di serial Caraval. Mereka adalah dua orang yang
patah hati yang saling bertukar kisah tentang patah hati mereka.
Kelemahan
Bagiku pribadi, buku ini hampir pas sesuai seleraku; hanya
ada beberapa detail yang mengganggu, tetapi itu tidak terlalu penting. Detail
yang kumaksud adalah terowongan rahasia yang digunakan Evangeline untuk
diam-diam bertemu dengan Jacks. Aku merasa Stephanie Garber sudah sangat sering
menggunakan terwongan rahasia di dalam ceritanya. Di Caraval, Scarlett menemukan terowongan rahasia. Di Legendary, Tella menemukan terowonga
rahasia. Lagi-lagi, Evangeline menemukan terowongan rahasia di Utara Agung. Entah
ada apa antara Stephanie Garber dan terowongan rahasia, tetapi aku mulai bosan
dengannya. Lagipula, itu terowongan rahasia, tetapi mudah sekali bagi
Evangeline yang orang asing di Utara Agung menemukannya.
Kesimpulan
Once Upon a Broken Heart adalah
sekuel spin-off yang wajib bagi
penggemar trilogi Caraval. Kisah ini
seperti kisah dongeng yang biasa kalian dengar atau baca, tetapi diceritakan
dengan cara yang memikat khas Stephanie Garber dan dengan jalan cerita yang tak
terduga. Kedua tokoh utamanya juga menarik sekali: yang satu gadis optimistis
yang percaya dongeng dan yang satu lagi insan kekal yang licik dan manipulatif.
Walau ada detail yang agak ganjil, buku ini layak kalian baca berkat latarnya
yang memesona dan ceritanya yang page-turning.
Oleh karena itu, aku memberi skor 9,3/10 untuk buku pertama dari trilogi ini. Ya,
ini bukan tipikal kisah cinta yang biasanya berakhir bahagia. Namun,
sebagaimana yang tertulis di buku ini: “Akhir yang mungkin untuk setiap cerita
sesungguhnya tidak terbatas.”
Selanjutnya (The Ballad of Never After)
[4] Page-turning berarti sebuah buku yang menarik, seru, dan menegangkan, biasanya sebuah novel (sumber: The Free Dictionary).
Komentar
Posting Komentar