How I Met Your Mother adalah sitcom Amerika Serikat yang
tayang mulai dari 19 September 2005 s.d. 31 Maret 2014. Serial ini begitu
populer pada masanya dan mendapat reviu positif di musim-musim awal
penayangannya, walaupun reviu untuk musim-musim selanjutnya lebih beragam.
Serial ini terutama terinspirasi dari masa muda kedua penciptanya, Carter Bays
dan Craig Thomas. How I Met Your Mother terkenal karena strukturnya yang
unik, humornya, serta penggunaan elemen-elemen dramatisnya. Kalian bisa
menonton sitcom ini di Disney+ Hotstar.
Serial ini bercerita tentang perjalanan
Ted Mosby (Josh Radnor) yang mencari belahan jiwanya bersama teman-temannya di
Manhattan, New York. Pada September 2005, Ted melihat kedua sahabatnya sejak
kuliah, Marshall Eriksen (Jason Segel) dan Lily Aldrin (Alyson Hannigan)
bertunangan. Itu membuat Ted sadar bahwa sudah saatnya berhenti main-main dan
mulai mencari pasangan untuk menikah.
Dia dan temannya yang sangat eksentrik dan
mesum, Barney Stinson (Neil Patrick Harris), lalu pergi ke bar di basement apartemen
dan bertemu dengan seorang wanita Kanada cantik, Robin Scherbatsky (Cobie
Smulders). Ted langsung jatuh cinta pada Robin, tetapi perasaan itu tidak
berbalas dan keduanya memutuskan menjadi teman. Kemudian, bersama
teman-temannya tersebut—Marshall, Lily, Barney, dan Robin—dia menjalani
masa-masa mudanya dan mencari wanita yang tepat untuk menjadi pendamping
hidupnya.
How I Met Your Mother memiliki beragam keunikan, salah satunya
adalah pendekatan ceritanya. Narasinya diceritakan dengan pendekatan cerita berbingkai,
alias cerita dalam cerita. Serial ini diceritakan oleh Ted di tahun 2030 kepada
kedua anaknya. Dia menceritakan kehidupan masa mudanya bersama teman-temannya
di Manhattan yang menuntunnya ke pertemuan dia dengan ibu dari kedua anaknya
tersebut. Jadi, masa sekarang dalam cerita ini adalah tahun 2030, dan cerita
pada latar waktu tersebut menjadi pokok cerita yang lalu menerbitkan
cerita-cerita di masa muda Ted sepanjang September 2005 s.d. Mei 2013. Teknik
bercerita ini unik karena ada banyak cerita sisipan nantinya, yang memberikan
kesan berbeda terhadap sitcom satu ini.
Sementara itu, untuk ceritanya sendiri,
secara keseluruhan bagus walau ada beberapa bagian yang kurang. Sebenarnya, aku
tidak menamatkan serial ini di tahun 2024, hanya dua musim terakhirnya saja.
Aku sudah mulai menonton ini sejak tahun 2021 (kalau tidak salah ingat). Aku
sempat berhenti di pertengahan—sepertinya di musim keenam—sebab merasa
ceritanya bertele-tele dan terasa repetitif. Feel-nya jadi membosankan; “sampai
kapan Ted akan membuang-buang waktunya dengan wanita yang salah?”, begitu
pikirku saat itu. Namun, karena penasaran dengan akhirnya, aku pun menamatkan
serial ini.
Walaupun begitu, ada banyak hal menarik
yang bisa dijadikan pembelajaran dari How I Met Your Mother—wah,
sepertinya aku akan menghabiskan banyak halaman untuk ini. Pertama-tama,
melalui karakter Lily, ada hal yang begitu menarik darinya, yaitu (spoiler
alert) ketika dia meninggalkan Marshall hanya beberapa hari sebelum
pernikahan mereka. Pada saat itu, Lily menyadari dirinya belum siap menikah,
bukan karena ragu pada Marshall, tetapi karena dia ingin mencoba hal-hal yang
belum sempat dia lakukan sebelum menikah. Aku setuju bahwa tindakannya itu
egois, tetapi aku juga bisa mengerti alasannya. Dia pasti tidak ingin ada
penyesalan setelah menikah. Dia tidak ingin ada pertanyaan “bagaimana jika”
dalam pikirannya setelah menikah. Di sisi lain, dengan memenuhi rasa
penasarannya tersebut, Lily menjadi semakin mantap bahwa tak ada masa depan
yang lebih baik bagi dirinya selain bersama Marshall.
Yang agak membuatku terkejut adalah bahwa
konflik tersebut masih disinggung kembali di musim terakhir. Pada musim
terakhir, (spoiler alert) sempat ada pertengkaran antara Marshall dan
Lily. Marshall menyinggung tentang Lily yang meninggalkannya sebelum mereka
menikah sebagai pembenaran atas keputusannya yang membuat Lily kesal. Yang
membuatku tertegun adalah perkataan Lily—dia bilang bahwa jika tiap kali mereka
berdebat Marshall masih mengungkit itu dan hanya memikirkan siapa yang menang
dan kalah, perlahan-lahan dia akan kehilangan Lily. Seharusnya perdebatan
antara pasutri bukan tentang siapa yang menang dan kalah, tetapi mencoba saling
memahami dan menemukan solusi terbaik untuk keduanya.
Oh iya, dari karakter Marshall sendiri,
aku belajar tentang menitih karir. (Spoiler alert) Marshall adalah
seorang lulusan fakultas hukum dan ingin menjadi pengacara lingkungan (environmental
lawyer). Namun, cita-cita dia yang sebenarnya adalah ingin bisa
melestarikan lingkungan melalui jalur hukum—dan pada akhirnya dia menyadari
bahwa itu tidak harus diwujudkan dengan menjadi pengacara lingkungan. Dia
berkali-kali merubah kariernya sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan yang
paling sesuai untuk membantunya mewujudkan cita-cita. Itu mengajariku bahwa tak
masalah berganti karier di tengah jalan, bahwa mengejar cita-cita itu memang
membutuhkan waktu yang lama dan konsistensi bertahun-tahun, bahwa cita-cita itu
tidak harus dikubur selamanya hanya karena saat ini tertunda.
Namun, tokoh dengan perkembangan karakter
terbaik adalah Barney dan Robin. Keduanya sama-sama tak percaya pada komitmen
dan tak memiliki visi untuk menikah dalam hidup mereka. Namun, perkembangan
karakter keduanya menunjukkan bahwa orang dapat berubah pikiran.
Barney sendiri adalah tokoh yang unik dan
khas—bukan hanya khas di serial ini, tetapi khas dari keseluruhan serial yang
pernah kutonton—bahkan, konon sepanjang sejarah pertelevisian di Amerika.
Karakternya yang mesum dan perayu wanita ditambah dengan berbagai catchphrase
serta hobi prank-nya membuat dirinya begitu iconic. Jika bertemu
dengan laki-laki seperti dia, kalian akan berpikir dia berengsek; tetapi
sebagai teman, dia sangat asyik dan bisa memberikan pengalaman-pengalaman seru.
Oleh karena itu, ketika melihat dia yang seorang playboy menjadi pria
yang mencintai wanita sepenuh hati—dengan ugal-ugalan pula—aku ikut merasa
senang.
Sementara untuk Robin, aku tertarik dengan
bagaimana dia berubah jadi percaya pada hal-hal romantis. Di musim-musim awal
dia berpacaran hanya untuk senang-senang, tanpa ada visi berkomitmen lebih
serius. Dirinya hanya mementingkan karir. Namun, seiring cerita berjalan,
terlihat dia berubah. Dia ingin menjalin hubungan lebih serius, bahkan sampai
mencoba pernikahan. Padahal, dia telah melewati banyak pengalaman patah hati
yang sedih banget. Yang paling sedih, menurutku, adalah (spoiler alert)
ketika dia harus menolak lamaran pacarnya karena dia tidak bisa memberikan anak
kepada pacarnya itu jika mereka menikah—itu sakitnya masih membekas di
memoriku.
Akan tetapi, tentu saja sorotan utamanya
adalah kisah cinta Ted Mosby. Walaupun bagiku dia terlalu konyol dengan segala gagasannya
tentang cinta sejati dan sosok yang sempurna, perjalanan cintanya tetaplah
menarik. Berbagai penolakan dan patah hati telah membentuk karakternya sehingga
dia tahu siapa yang tepat untuk dirinya. Ted juga mengajari kita bahwa orang
yang tepat itu akan sepadan dengan penantiannya, sebab penantian dan pencarian beberapa
tahun akan terbayarkan dengan kebersamaan yang akan dilalui sepanjang hidup. Menjalin
hubungan dengan orang yang tepat akan terasa mudah, sekalipun ada banyak
tantangan menghadang. Kalian pasti akan turut senang dan bangga ketika melihat
Ted pada akhirnya bertemu dengan wanita yang tepat tersebut.
Kemudian, ada hal menarik yang bisa
diambil pembelajaran dari pengalaman berpacarannya Ted pada salah satu episode.
Di salah satu episode, (spoiler alert) Ted dan Robin yang saat itu
sedang berpacaran berhadapan pada pertanyaan “bagaimana kamu melihat dirimu
lima tahun dari sekarang?”. Pada saat itu, Ted bilang bahwa dia melihat dirinya
sudah menikah dan punya anak, sedangkan Robin membayangkan dirinya menjadi
sukses dalam karirnya dan telah pergi ke berbagai negara. Dengan kata lain,
keduanya memiliki visi yang berbeda dan menurutku keputusan mereka untuk
berpisah adalah tepat. Robin tak melihat ada pernikahan sebagai masa depannya,
dan walaupun bisa saja dia berubah pikiran di masa depan, tetap akan lebih baik
bagi keduanya untuk berpisah. Ted bisa mencari wanita lain yang memang satu
visi dengannya daripada menghabiskan waktu pada hubungan yang tak jelas akan ke
mana. Ketika pasangan sudah tidak satu visi, lebih baik berpisah ketimbang
berakhir saling menyakiti.
Sebenarnya, selain tentang penantian
belahan jiwa, ada satu peristiwa menarik lagi bagiku yang membentuk karakter
Ted. Itu adalah (spoiler alert) ketika Ted bimbang apakah akan mengambil
tawaran kerja sebagai dosen atau tidak. Cita-cita Ted adalah menjadi arsitek
yang merancang bangunan di New York, bukan dosen, tetapi saat itu dia sedang
menganggur dan tawaran mengajar itu sangat menjanjikan. Episode tersebut
mengajarkanku bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana kita, termasuk
rencana yang telah kita susun hampir seumur hidup kita. Dalam hal karier,
kadang kita harus bekerja yang tak sesuai harapan, tetapi itu bukan berarti
menutup kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita. Anggaplah itu sebagai batu
loncatan, sambil menunggu kesempatan mewujudkan cita-cita itu muncul. Pada
akhirnya, Ted pun mendapatkan kesempatannya untuk merancang bangunan di New
York.
Oke,
sebenarnya masih ada banyak hal lain tentang serial ini yang bisa kubicarakan,
tetapi sebaiknya kalian tonton sendiri saja. Meskipun akhir serial ini agak mengecewakan,
aku tetap merasa puas dengan keseluruhan ceritanya. Berikut adalah fan-made
trailer untuk kalian yang penasaran dengan serial ini; silakan cek di sini.
***
Welcome
to Samdal-ri
(2023–2024)
Judul
|
:
|
Welcome to Samdal-ri
|
Sutradara
|
:
|
Cha Young Hoon
|
Penulis
|
:
|
Kwon Hye Joo
|
Produser eksekutif
|
:
|
Park Seol Gi
|
Produser
|
:
|
Jeon Seo Won, Lee Go Eun, Kim Su Ji, Kim Yu Ri, Jo Dong
Min, Ha Seong Min
|
Musim/Episode
|
:
|
1 Musim/16 episode
|
Pemeran
|
:
|
Shin Hye Sun, Ji Chang Wook, Shin Dong Mi, Kang Mi Na,
Kang Young Seok, Lee Jae Won, Bae Myung Jin
|
Genre
|
:
|
Komedi romantis, drama
|
Welcome to Samdal-ri adalah salah satu drakor yang ramai pada
tahun 2024. Drakor ini memiliki vibes yang serupa dengan Our Blues (baca
reviunya di sini) dan Hometown
Cha-cha-cha (baca reviunya di sini)—kata orang, genre ini
disebut healing drama. Kalian
yang suka kedua drakor tadi pasti akan suka dengan Welcome to Samdal-ri.
Drakor ini bisa kalian tonton di Netflix.
Welcome to Samdal-ri bercerita tentang perjalanan cinta dan
perkembangan diri dua sahabat masa kecil: Cho Sam Dal (Shin Hye Sun) dan Cho
Young Pil (Ji Chang Wook). Sejak anak-anak, Sam Dal ingin meninggalkan desa
kecilnya yang berada di Pulau Jeju. Oleh karena itu, ketika dewasa, dia pergi
ke Seoul untuk mengejar cita-citanya sebagai fotografer fesyen—dengan
menggunakan nama baru, Cho Eun Hye. Dia pun menjadi sukses di bidangnya dan
digadang-gadang sebagai fotografer fesyen tersukses di generasinya. Akan
tetapi, sebuah skandal menghancurkan seluruh kariernya ketika hanya tinggal
selangkah lagi dia sampai di puncak kesuksesan.
Hal itu memaksanya kembali ke kampung halaman yang telah lama tidak dia
datangi. Di sanalah dia kembali bertemu dengan Young Pil, teman masa kecilnya,
sekaligus mantan pacarnya. Perpisahan menyakitkan mereka masih membekas di
ingatan keduanya, tetapi mereka menemukan bahwa perasaan mereka masih sama. Apakah
yang akan dilakukan Sam Dal dengan perasaannya terhadap Young Pil? Dan dapatkah
dia memperbaiki kembali karier yang telah dibangunnya dengan susah payah?
Yang membuatku tertarik dengan drakor ini adalah premisnya. Sam Dal
adalah seorang fotografer sukses di usia muda yang tinggal selangkah lagi
mencapai puncak karier, sesuatu hal yang dia impi-impikan sejak kecil, tetapi
tiba-tiba itu semua runtuh. Di titik terendahnya, dia memutuskan kembali ke
titik awalnya: rumah. Di sanalah dia memulai perjalanan pencarian diri. Aku rasa
aku tidak akan bosan dengan premis seperti itu.
Meskipun genre drakor ini komedi romantis, aku terus terang tidak
terlalu tertarik dengan kisah cinta Sam Dal dan Young Pil. Kisah cinta mereka
sudah bisa ditebak akan berakhir bagaimana. Ditambah lagi pattern-nya
serupa dengan banyak drakor romantis lain. Kalau menurutku, kekuatan utama
drakor ini memang bukan di romansanya, melainkan di pendalaman karakternya.
Untuk karakter Young Pil, aku agak kurang suka dengan dia karena dia
terlalu bucin. Dia mengingatkanku pada Choi Ung dari Our Beloved Summer
(baca reviunya di sini), tetapi kesan yang
kurasakan terhadap Cho Young Pil tidak sama dengan Choi Ung. Aku merasa, dari
awal sampai akhir, cunia Young Pil hanya berputar pada Sam Dal, tak ada
yang lain.
Di sisi lain, pendalaman karakter Sam Dal disajikan dengan sangat bagus.
Seperti yang sudah kubilang, aku tertarik dengan cerita ini karena kisah Sam
Dal yang selangkah lagi di puncak kesuksesan karier tetapi malah jatuh dan
terpaksa kembali ke titik awalnya. Di Samdal-ri, desa kelahirannya, dia bertemu
kembali dengan orang-orang yang menemaninya tumbuh besar, orang-orang yang
sudah lama tidak dia hubungi: kedua orang tuanya, sahabat-sahabatnya, serta
tetangga-tetangganya. Aku suka sekali karena di titik terendahnya, Sam Dal
kembali ke akarnya dan bertemu dengan orang-orang yang tulus peduli dan sayang
padanya, orang-orang yang tak akan membalikkan badan darinya, alih-alih
memberikan peluk hangat untuknya. Perjalanan Sam Dal menemukan diri adalah
perjalanan indah yang begitu menghangatkan hati. It always feels nice
knowing that there’s a place you can call home where your loved ones who love
and support you are there for you.
Selain masalah pencarian diri Sam Dal serta hubungan asmaranya dengan
Young Pil, ada masalah lain yang membuatku penasaran dengan cerita ini. Aku
tertarik dengan alasan keduanya putus yang ternyata berhubungan dengan kematian
ibunya Young Pil. Bahkan, episode kisah dua Mi Ja, itu adalah episode yang sangat
merusak suasana hati karena sedih banget. (Spoiler alert) ketika
ibunya Sam Dal menangis di depan ayahnya Young Pil dan bilang bahwa dia juga
sangat merindukan ibunya Young Pil, sahabat karibnya, itu membuatku patah hati.
Berikutnya, aku penasaran dengan alasan Bang Eun Ju (Jo Yun Seo),
asisten studio yang bekerja untuk Sam Dal, memfitnahnya sampai membuat kariernya
hancur. Apakah benar Sam Dal menyalahgunakan wewenangnya dan berlaku kasar?
Apakah benar itu alasannya sampai ingin bunuh diri? Pertanyaan itu akan membuat
kalian penasaran sampai akhirnya dijawab di akhir cerita.
Ada satu tokoh lagi yang menarik perhatian: Boo Sang Do (Kang Young
Seok). Dia adalah second lead male yang mengejar Sam Dal. Hanya saja,
seperti di drakor lainnya, dia adalah laki-laki yang perasaannya tak berbalas,
bahkan tak mendapat kesempatan. Aku bersimpati kepadanya yang ditolak sebelum
mencoba. Namun, aku sedikit kesal karena cerita ini sebetulnya tidak perlu
mengikuti tren memancing second-lead syndrome, karena eksekusinya di
drakor ini kurang berhasil bagiku. Namun, Sang Do adalah pejuang cinta yang keren
sih.
Adegan favoritku dari drakor ini adalah adegan pameran foto-foto karya
Sam Dal yang ada di akhir. Pameran foto itu adalah puncak perkembangan
karakternya. Aku menafsirkan makna adegan tersebut seperti ini: ketika Sam Dal
pikir dia kehilangan segalanya karena kariernya hancur, dia justru menemukan
segala yang dibutuhkannya di rumah, yaitu orang-orang yang selalu mendukung dan
menyayanginya apapun keadaannya. Kalian yang cengeng pasti akan menangis waktu
adegan itu—sepertiku, hahaha.
Selain itu, adegan itu juga menunjukkan bahwa
keberhasilan Sam Dal tak terlepas dari usaha bersama warga desa Samdal-ri.
Pameran tersebut tak mungkin terwujud tanpa bantuan semua orang di sekeliling
Sam Dal. Dibutuhkan bantuan seluruh desa untuk membesarkan naga. Ada banyak
orang baik di balik kesuksesannya. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini.
***
Percy
Jackson and Olympians
Season 1
(2023–on going)

Judul
|
:
|
Percy Jackson and the Olympians
|
Pencipta
|
:
|
Rick Riordan, Jonathan E. Steinberg
|
Produser eksekutif
|
:
|
Jonathan E. Steinberg, Dan Shotz, Rick
Riordan, Rebecca Riordan, Ellen Goldsmith-Vein, Jeremy Bell, D. J. Goldberg, Bert
Salke, James Bobin, Jim Rowe, Monica Owusu-Breen, Anders Engström, Jet
Wilkinson, Craig Silverstein
|
Produser
|
:
|
John Catron
|
Musim/Episode
|
:
|
1 Musim/8 episode (on going)
|
Pemeran
|
:
|
Walker Scobell, Leah Sava Jeffries, Aryan Simhadri
|
Genre
|
:
|
Petualangan, fantasi urban,
drama komedi, action
|
Percy Jackson and the Olympians merupakan serial TV Amerika
yang diciptakan oleh Rick Riordan dan Jonathan E. Steinberg untuk Disney.
Serial ini diadaptasi dari serial novel berjudul sama karya Rick Riordan.
Khusus musim pertamanya, serial ini mengadaptasi buku pertama dari serial novel
tersebut, yang berjudul The Lightning Thief. Secara umum, serial ini
mendapatkan respons positif dari kritikus, tetapi respons dari penggemar lebih
beragam. Kalian dapat menonton serial ini di Disney+ Hotstar.
Untuk yang belum familiar dengan cerita Percy Jackson and the
Olympians, aku beri sedikit bocoran ya: ini adalah cerita
fantasi-petualangan yang menggabungkan dunia modern dengan elemen mitologi
Yunani, seperti dewa-dewi, monster, dan pahlawan. Ini adalah salah satu serial
novel favoritku dan aku sangat semangat waktu menonton adaptasinya.
Bahkan, saat penayangannya, aku sengaja membaca ulang buku The Lightning
Thief yang dulu kubaca waktu SMP, hahaha. Oleh karena itu, aku akan sedikit
membandingkan antara versi serial TV dengan versi bukunya ya.
Percy Jackson (Walker Scobell) adalah pembawa masalah di sekolah. Dia memiliki
disleksia dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Dia sulit
untuk menempatkan diri di manapun karena orang-orang menganggapnya aneh. Itu
karena dia bisa melihat hal-hal yang tak dapat orang lain lihat, seperti kuda
bersayap atau anjing raksasa. Percy juga awalnya menganggap itu semua
khayalannya saja. Sampai akhirnya, guru pra-aljabarnya berubah menjadi monster
mengerikan dan menyerangnya, serta satu-satunya sahabatnya di sekolah ternyata
separuh kambing. Semua nyata, makhluk-makhluk mitos itu nyata.
Ibunya lalu memberi tahu dirinya bahwa dewa-dewi, monster, dan pahlawan
dari mitologi Yunani sungguhan ada. Bahkan, Percy adalah putra dari salah satu
dewa Yunani. Karena keberadaan Percy sekarang telah diketahui, tinggal masalah
waktu sampai monster-monster lain mengincar Percy. Dia harus segera dibawa ke
sebuah perkemahan khusus untuk anak-anak seperti dia, Perkemahan Blasteran—satu-satunya
tempat aman bagi anak-anak seperti dirinya. Akan tetapi, Percy harus kehilangan
ibunya demi mencapai perkemahan tersebut.
Namun, masalah belum berhenti sampai di sana. Setibanya Percy di
Perkemahan Blasteran, ternyata sedang ada konflik di antara para dewa. Zeus sang
Raja Dewa-Dewi kehilangan Petir Asalinya dan dia menuduh ayah Percy sebagai
pencurinya. Demi mencegah perang antara dewa-dewi, serta membawa kembali ibunya
dari Dunia Bawah, Percy bersama dua rekannya harus menemukan Petir tersebut dan
pencuri aslinya. Akan tetapi, sebuah ramalan yang menghantui pikirannya berkata
bahwa pada akhirnya dia akan gagal dan dia akan dikhianati seorang teman.
Adaptasi live-action dari serial Percy Jackson and the
Olympians sudah kutunggu-tunggu sejak lama. Aku sangat excited dengan
serial ini. Padahal, sebenarnya serial ini dulu pernah diadaptasi menjadi
film—buku The Lightning Thief sudah pernah diangkat ke layar lebar pada
tahun 2010, tetapi harus diakui hasilnya mengecewakan sebab menyimpang sekali
dari bukunya. Para penggemar bukunya
ingin agar adaptasi ini tetap sesuai dengan materi orisinalnya, dan itulah yang
dilakukan versi serial TV.
Adaptasi Percy Jackson and the Olympians versi serial TV lebih
unggul daripada versi filmnya karena tetap setia pada materi orisinalnya. Tentu
ada perubahan dari versi buku ke versi serial TV, tetapi secara umum, semuanya
tetap sama, mulai dari alur cerita, konflik, sampai adegan-adegan pentingnya. Aku
merasa bahwa adaptasi kali ini berhasil menghadirkan semesta Perkemahan
Blasteran ke format audio visual. Kalian yang dulu pernah membaca bukunya
mungkin akan bernostalgia.
Selain setia pada materi orisinalnya, versi serial TV ini memiliki efek
visual yang enak dipandang. Well, walau khusus untuk penampilan
monsternya, memang tidak begitu seram, tetapi jika dibandingkan dengan
deskripsi di buku, itu sudah sesuai. Mungkin, itu karena tergetnya adalah
anak-anak dan remaja sehingga penggambaran monsternya tidak semengerikan itu. Jadi,
kalian yang berharap melihat monster seram dan sadis, mungkin sebaiknya
turunkan ekspektasi kalian ya.
Akan tetapi, selain daripada itu, semua ditampilkan dengan kualitas
visual yang oke. Aku suka sekali dengan latar Perkemahan Blasterannya—persis seperti
yang kubayangkan. Suasana perkemahan bisa disajikan dengan tepat, lengkap
dengan kehadiran Mr. D alias Dionysus (Jason Mantzoukas) dan Chiron (Glynn
Turman) dengan karakter mereka yang kontras. Selain itu, latar lain yang paling
kusuka adalah Dunia Bawah. Aku mengagumi cara serial ini menampilkan Dunia
Bawah, negeri orang mati. Alih-alih digambarkan gelap dan suram serta dipenuhi
jeritan, Dunia Bawah dalam serial ini ditampilkan sepi—dengan cara yang
depresif. Istana Hades (Megan Mullally) sang Dewa Orang Mati dan Kekayaan, juga
terlihat begitu mengagumkan. Aku pikir itu adalah efek visual kualitas film layar
lebar.
Selain itu, aku ingin mengomentari penampilan akting dari ketiga tokoh
utama kita: Walker Scobell sebagai Percy Jackson, Leah Sava Jeffries sebagai
Annabeth Chase, dan Aryan Simhadri sebagai Grover Underwood. Menurutku, akting
mereka bertiga bagus dan mampu menghidupkan karakter orisinal masing-masing versi
bukunya. Akan tetapi, chemistry ketiganya sebagai Percy, Annabeth, dan
Grover masih kurang menyatu, agak sedikit kaku. Atau itu disengaja ya, karena
kan ketiganya baru pertama kali satu tim?
Di sisi lain, aku ingin memberikan apresiasi lebih untuk chemistry antara
Walker Scobell sebagai Percy Jackson dengan Virginia Kull sebagai Sally
Jackson, ibunya Percy. Dibandingkan dengan versi bukunya, peran Sally Jackson
dalam versi serial TV lebih ditonjolkan lagi—dan itu dieksekusi dengan sangat baik.
Chemistry kedua pemerannya sempurna—keduanya berhasil memerankan putra
dan ibu yang rela melakukan apapun demi melindungi satu sama lain. Penampilan
mereka terkadang membuat mataku berkaca-kaca.
Kemudian, aku agak terkejut dengan konsep ceritanya yang dikemas menjadi
road movie. Ketiga
anak ini bertualang melintasi Amerika Serikat untuk menyelesaikan misi mereka.
Dalam perjalanan tersebut, tentu mereka menghadapi berbagai monster yang ingin
memakan mereka. Dengan konsep road movie tersebut, aku merasa seperti
diajak berjalan-jalan melihat tempat-tempat cantik di Amerika—cukup
menyenangkan.
Sementara itu, untuk adegan action-nya, aku agak kecewa karena
kurang banyak. Jika kalian membaca ulang novelnya, kalian akan tahu bahwa tidak
semua pertarungan Percy melawan para monster dilakukan dengan adegan action,
maka wajar jika adegan pertarungannya tidak banyak. Namun, yang aku kurang suka
adalah adegan pertarungan puncaknya, yakni ketika Percy melawan seorang dewa
pengkhianat (silakan tonton sendiri untuk tahu siapa dewanya), durasi
pertarungannya terlalu singkat. Adegan pertarungan puncaknya itu cepat sekali, sedangkan
pertarungan saat permainan tangkap bendera bisa lebih lama. Padahal, adegannya
sudah oke dengan koreografi, scoring, dan efek visual yang bagus. Jika
durasinya bisa diperpanjang sedikit lagi, pasti akan lebih memuaskan.
Kemudian, mungkin ini sedikit menjadi masalah ya: konsep mitologi
Yunani-nya dikemas dengan kurang baik. Ini cukup vital bagi cerita karena
mitologi Yunani adalah tema besar cerita ini. Hanya saja, dalam serial TV ini
rasanya hal itu kurang berhasil dijelaskan ke penonton. Ketika bertemu satu
sosok dari mitologi Yunani, ketika diceritakan tentang kisah mereka malah
terasa seperti info dumping. Seharusnya, mungkin pengenalan para sosok
mitos ini bisa dibuat lebih dramatis lagi, terutama bagi para dewa untuk
menimbulkan kesan yang lebih kuat.
Omong-omong, serial TV ini sudah dikonfirmasi
akan berlanjut ke musim kedua dengan mengadaptasi buku kedua dari serial
novelnya: The Sea of Monsters. Proses syutingnya sudah dimulai dan mari
kita tunggu saja kapan tanggal tayangnya. Kalian bisa menonton trailer-nya
di sini.
***
American
Nightmare
(2024)
Judul
|
:
|
American Nightmare
|
Sutradara
|
:
|
Bernadette Higgins, Felicity Morris
|
Musim/Episode
|
:
|
1 Musim/3 episode
|
Genre
|
:
|
Docuseries,
kejahatan
nyata
|
American Nightmare adalah sebuah serial dokumenter yang
disutradarai oleh Bernadette Higgins dan Felicity Morris. Serial dokumenter ini
mendapat respons positif di Rotten Tomatoes dari para kritikus. Kalian
bisa menontonnya di Netflix.
American Nightmare meliput sebuah kasus penculikan yang menimpa
korban perempuan bernama Denise Huskins yang terjadi pada Maret 2015. Pada saat
itu, Denise Huskins diculik pada waktu malam dari tempat tinggalnya dengan
pacarnya, Aaron Quinn di Vallejo, California. Akan tetapi, setelah
melaporkannya ke pihak kepolisian Vallejo, mereka dan FBI malah beranggapan
bahwa penculikan itu adalah rekayasa pasangan kekasih tersebut, mirip dengan
film terkenal Gone Girl. Bahkan Denise Huskins dilabeli sebagai “the
real Gone Girl”. Berita tentang rekayasa penculikan ini bahkan masuk berita
nasional dan pasangan tersebut mendapat cibiran dari masyarakat.
Di sisi lain, ada seorang detektif dari kantor kepolisian lain yang
sedang menyelidiki kasus yang dia duga berhubungan dengan kasus Denise Huskins
dan Aaron Quinn. Detektif tersebut lalu menemukan bukti-bukti bahwa penculikan
yang dialami Denise Huskins benar terjadi. Apakah Denise Huskins dan Aaron
Quinn dapat membuktikan kepada dunia bahwa kejahatan yang mereka alami
sungguhan terjadi? Apakah pelakunya dapat ditangkap?
Secara pribadi, aku menyukai dokumenter tentang kejahatan nyata. Aku
juga suka menonton video-video di internet yang merangkum kasus-kasus kejahatan
nyata. Terkadang, mendengar kisah kejahatan nyata sama serunya dengan cerita crime
drama yang jelas-jelas fiksi. Hanya saja, kalau dokumenter kejahatan nyata
juga menimbulkan rasa tidak tega dan sedih karena itu sungguh terjadi, ada
korban sungguhan yang berduka atas peristiwa tersebut. Salah satunya adalah
kasus penculikan Denise Huskins dan Aaron Quinn ini.
Serial dokumenter tiga episode ini berhasil merangkum kasus tersebut
dengan pas. Dokumenter ini mampu menimbulkan rasa menegangkan dan penasaran
yang tidak berhenti sampai akhir. Tidak hanya itu, mungkin—dan sangat mungkin—kalian
juga akan merasa geram dan ingin menyumpahi pihak kepolisian Vallejo ketika
sampai di akhir dokumenter ini. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa dokumenter
ini juga berisi kasus perkosaan dan pelecehan seksual sehingga bisa triggering
bagi sebagian orang.
Dalam menghadapi kasus kejahatan seksual, sebaiknya kita memihak korban
dan percaya padanya. Masalah kasusnya benar terjadi atau tidak, itu bisa nanti
dibuktikan, tetapi yang utama adalah memihak korban. Apabila kita sudah percaya
dan memberi dukungan kepada korban, lalu ternyata terbukti kasusnya tidak
terjadi, tidak ada ruginya bagi kita pribadi. Namun, jika kita tidak percaya
korban dan bahkan menghancurkan kredibilitas korban, tapi ternyata sungguhan
terjadi kejahatan seksual, dampak yang korban rasakan akan berlipat-lipat. Korban
yang sudah merasa hancur atas kejadian yang menimpanya akan makin hancur ketika
tidak ada orang yang mau percaya padanya. Selain itu, dengan tidak percaya pada
cerita korban kejahatan seksual, kita malah menciptakan lingkungan yang tak
aman bagi korban-korban lainnya karena mereka pasti akan bungkam karena takut
dihakimi, dan itu akan membuat kejahatan seksual makin mudah terjadi karena
orang-orang diam saja—yang lebih buruk, kejahatan seksual mungkin akan dianggap
normal.
Sayangnya, kerangka berpikir tersebut tidak dilakukan oleh pihak
kepolisian Vallejo pada saat menangani kasus penculikan Denise Huskins.
Alih-alih mencoba menyelidiki dengan serius, pihak kepolisian Vallejo malah
melabeli pasangan tersebut penipu. Bahkan, sengaja merusak reputasi mereka
dengan memberikan pernyataan resmi tentang itu. Jika kalian menonton
dokumenternya, kalian pasti akan sangat murka melihatnya. Pihak kepolisian bisa
saja menyelamatkan Denise Huskins lebih awal jika mereka percaya pada Aaron
Quinn, alih-alih berasumsi bahwa Aaron Quinn telah membunuh pacarnya tersebut.
Dokumenter ini memperlihatkan ketidakbecusan
pihak kepolisian dalam menangani kasus, spesifiknya kasus kejahatan seksual, yang
seharusnya membuat mereka malu dan memberikan permintaan maaf resmi. Akan
tetapi, yang lebih membuat geram adalah di akhir dokumenter diberitahukan bahwa
petugas-petugas kepolisian yang menangani kasus ini malah mendapatkan
penghargaan atau promosi. Ketika korban harus menderita atas peristiwa buruk
yang dia alami serta dihujat sebagai pembohong oleh masyarakat, pihak
kepolisian yang tidak becus kerjanya malah dapat penghargaan dan promosi—sungguh
luar biasa. Setelah menonton serial dokumenter ini, kalian akan menyadari bahwa
yang jahat dalam kisah nyata ini bukan si pelaku penculikan saja. Kalian bisa
menonton trailer-nya di sini.
***
Avatar:
the Last Airbender (Live Action)
Season 1
(2024–on going)
Judul
|
:
|
Avatar: The Last Air Bender
|
Pengembang
|
:
|
Albert Kim
|
Produser eksekutif
|
:
|
Albert Kim, Jabbar Raisani, Dan Lin, Lindsey Liberatore,
Michael Goi
|
Produser
|
:
|
Bonnie Benwick, Joshua Hale Fialkov, Ubah Mohamed
|
Musim/Episode
|
:
|
1 Musim/8 episode (on going)
|
Pemeran
|
:
|
Gordon Cormier, Kiawentiio, Ian Ousley, Dallas Liu, Paul
Sun-Hyung
|
Genre
|
:
|
High fantasy, petualangan, action, drama
|
Avatar: The Last Airbender adalah sebuah serial adaptasi live action dari
serial animasi terkenal (dan sangat bagus pula) yang berjudul sama dari
Nickelodeon karya Michael Dante DiMartino dan Bryan Konietzko. Sebenarnya,
serial animasi Avatar: The Last Airbender sudah pernah diadaptasi ke
bentuk film live action pada tahun 2010, tetapi film tersebut mendapat
respons yang negatif (dan sejujurnya aku pun belum menontonnya karena reviu
buruk tersebut). Adaptasi yang kali ini justru mendapat respons yang lebih
positif dari penggemar. Kalian bisa menyaksikannya di Netflix.
Avatar: The Last Airbender mengambil latar di dunia fiktif yang
masyarakatnya terbagi menjadi empat negara: Suku Air, Kerajaan Bumi, Negara
Api, dan Pengembara Udara. Di dunia tersebut, terdapat orang-orang yang
memiliki kemampuan pengendalian, yakni kemampuan memanipulasi salah satu dari
empat elemen klasik: air, tanah, api, dan udara. Namun, ada satu pengendali
yang disebut Avatar yang dapat menguasai keempat elemen. Sosok Avatar ini
dihormati sekali dan dianggap sebagai pembawa keseimbangan dunia serta sebagai
jembatan antara dunia material dan dunia roh.
Dahulu, keempat negara hidup dengan damai, tapi semuanya berubah saat
Negara Api menyerang. Dengan ambisi memperluas wilayahnya dan menaklukkan
negara-negara yang lain, Negara Api memulai perang yang kelak dikenal sebagai
Perang Seratus Tahun. Negara Api bahkan telah membunuh seluruh Pengembara
Udara, memusnahkan peradaban mereka dari muka bumi. Hanya Avatar yang bisa
menghentikannya, tapi saat dunia membutuhkannya, dia menghilang.
Seratus tahun berlalu, kakak beradik dari Suku Air Selatan, Katara
(Kiawentiio) dan Sokka (Ian Ousley) menemukan seorang bocah di dalam bongkahan
es. Dia adalah pengendali udara terakhir bernama Aang (Gordon Cormier)—sang
Avatar yang baru. Walaupun dia masih anak-anak, dia memiliki tanggung jawab
besar untuk menghentikan perang. Maka dari itu, bersama kedua teman barunya,
Aang memulai perjalanannya untuk belajar mengendalikan ketiga elemen lainnya
sebelum menghadapi Raja Api demi mengembalikan keseimbangan dunia.
Kalau membicarakan cerita semeseta Avatar, rasanya tidak bisa hanya
singkat karena ada banyak hal yang bisa dibahas. Namun, mungkin yang pertama
kubahas adalah perbandingan antara versi serial animasi dengan versi serial live
action-nya dulu ya. FYI, sebelum serial live action-nya
tayang, aku sengaja menonton ulang serial animasinya lagi dari episode pertama—and
it is still a masterpiece. Secara umum, ada perubahan yang agak signifikan
antara versi animasi dengan versi live action, walaupun unsur-unsur penting
dari versi animasi masih dipertahankan. Tentu itu bisa dimaklumi karena
mengubah cerita animasi 20 episode (khusus musim pertama saja) menjadi cerita live
action 8 episode membutuhkan penyesuaian di sana-sini. Untungnya,
penyesuaian tersebut tidak menghilangkan daya tarik yang dimiliki versi
animasinya.
Bagiku pribadi, ada penyesuaian yang terasa oke dan malah menarik karena
memberikan vibes yang berbeda dari versi animasinya, seperti ada
kebaruan; tetapi ada yang malah terasa kurang cocok karena gagal menyampaikan
hal-hal tersirat yang ingin disampaikan versi animasinya. Selain itu, ada
beberapa tokoh yang kalau di versi animasi muncul di musim kedua, tetapi
dimunculkan di musim pertama di versi live action ini.
Penyesuaian yang berhasil itu contohnya adalah (spoiler alert)
episode tentang Jet (Sebastion Amoruso), Sai sang Mekanik (Danny Pudi) dan Teo
(Lucian-River Chauhan), serta Omashu dan Raja Bumi (Utkarsh Ambudkar). Di versi
animasi, cerita mereka sendiri-sendiri, tetapi di versi live action
cerita mereka digabungkan dan hasilnya bagus. Sementara penyesuaian yang kurang
berhasil itu contohnya adalah (spoiler alert) ketika Aang, Katara, dan
Sokka tersesat di dunia roh. Di versi animasinya, cerita ini diawali dengan
amukan roh bernama Hei Bai—yang secara tersirat ingin memperlihatkan dampak
buruk perang terhadap lingkungan; tetapi bagian itu tak berhasil ditangkap di
versi live action. Selain itu, pada bagian tersebut di versi live
action malah dimunculkan Koh sang Pencuri Wajah (George Takei), padahal
seharusnya dia muncul ketika Aang sudah sampai di kutub Utara; dan Wan Shi Tong
(Randall Duk Kim), roh burung hantu, yang seharusnya muncul di musim kedua
sebagai penjaga perpustakaan keramat, tetapi di sini dia muncul seperti roh random
di tengah hutan—itu mereduksi perannya sebagai roh penjaga pengetahuan. Itu
sebagian contoh saja, dan mungkin kalian punya pendapat berbeda.
Bentuk penyesuaian lainnya adalah adanya adegan-adegan baru yang tidak
ada di versi animasinya. Salah satu contohnya adalah adegan pembukanya, yakni
peristiwa kelam Genosida Pengembara Udara. Dengan membuka cerita menggunakan
adegan sekelam itu, penonton bisa langsung mengerti seberapa jahatnya musuh
dalam cerita ini, seberapa buruknya perbuatan Negara Api. Inilah salah satu hal
yang membuat cerita Avatar: The Last Airbender begitu menarik: dia
berani menampilkan kejahatan seperti genosida dengan cara yang akan mudah
diterima penonton dan akan membuat penonton turut marah. (Sedikit OOT,
untuk kalian yang masih berpikir bahwa genosida adalah perang, mungkin kalian
bisa menonton serial ini dan meresapinya, bahwa genosida adalah pembantaian
suatu kaum dan penghapusan segala kebudayaan dan warisan mereka, dan itu tidak
sama dengan perang ya.) Iya, cerita Avatar: The Last Airbender memang
kelam, dan versi live action ini sepertinya kurang cocok untuk
anak-anak; mungkin targetnya memang remaja dan dewasa.
Selain ceritanya, desain produksi serial adaptasi live action ini
juga bagus. Aku suka efek visualnya yang mampu menampilkan aksi para pengendali
dengan amat keren. Koreografi para pengendali juga terlihat apik dan dinamis
sehingga adegan pertarungannya pun terasa sengit. Latar tempat serta kostum
para tokohnya pun dibuat semirip mungkin dengan versi animasinya, dan hasilnya
keren sekali. Uniknya lagi adalah latar tempat serta kebudayaannya mampu
merepresentasikan kebudayaan negara-negara Asia yang memang menjadi inspirasi
utama dalam worldbuilding semesta Avatar, seperti Kuil Udara yang mirip
bangunan-bangunan di Tibet dan kota Omashu yang arsitekturnya mirip
bangunan-bangunan Asia Selatan. Tidak hanya itu, pemilihan pemerannya juga
memperhatikan aspek keberagaman dan representasi sehingga worldbuilding-nya
terasa makin kuat. Serial ini mampu menunjukkan dirinya tidak whitewashing
dengan cara yang tidak terkesan memaksa atau sok politically correct.
Sementara itu, salah satu kelemahan adaptasi live action ini
adalah perkembangan karakter Aang. Seingatku, di sepanjang cerita ini, tidak
ditampilkan Aang belajar pengendalian air, padahal tujuan utama cerita di musim
pertama seharusnya adalah Aang belajar pengendalian air. Entah penulisnya lupa
atau memang sengaja mengubahnya, tetapi aku rasa mereka lalai terhadap poin
sepenting itu.
Selain itu, aku kurang suka juga dengan (spoiler alert)
kemunculan Avatar lain sebelum Aang. Dalam versi animasinya, Avatar terdahulu
yang paling sering muncul adalah Avatar Roku, sebab pada masanya Perang Seratus
Tahun dimulai, dan dia ingin membimbing Aang untuk menghentikan perang
tersebut. Namun, di versi live action ini, ada beberapa Avatar terdahulu
lain yang dimunculkan, dan itu terasa seperti fan service yang tidak perlu. Masalahnya, serial live
action ini menampilkan para Avatar itu dengan citra yang terkesan keliru.
Roku memang humoris, tetapi malah ditampilkan terlalu lawak; Kyoshi memang
tegas dan dingin, tetapi sepertinya bukan pemarah yang suka membentak-bentak. Ditambah
lagi, konsep Avatar yang bereinkarnasi menurut siklus rasanya disampaikan
dengan cara yang keliru, sehingga seakan-akan tiap Avatar itu “berbeda”
alih-alih satu orang yang sama yang terus terlahir kembali di kehidupan yang berbeda-beda.
Walaupun begitu, ini memang sebuah adaptasi live
action yang terbilang sukses. Serial ini bisa membuat para penggemar lama
bernostalgia dan membuat penggemar baru memulai eksplorasi mereka di semesta
Avatar yang keren sekali ini. Selain itu, serial ini sudah dikonfirmasi akan
lanjut ke musim kedua dan ketiga, yang tinggal kita tunggu kapan tayangnya.
Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.
***
Only
Murders in the Building
Season 3
(2023–on going)
Judul
|
:
|
Only Murders in the Building
|
Pencipta
|
:
|
Steve Martin, John Hoffman
|
Produser eksekutif
|
:
|
Dan Fogelman, Jess Rosenthal, Jamie Babbit,
Steve Martin, Martin Short, Selena Gomez, John Hoffman
|
Produser
|
:
|
Thembi Banks, Jane Raab, Nick
Pavonetti, Kristin Bernstein, Madeleine George, Sas Goldberg, Tess Morris
|
Musim/Episode
|
:
|
3 Musim/30 episode (on going)
|
Pemeran
|
:
|
Steve Martin, Martin Short, Selena Gomez
|
Genre
|
:
|
Misteri, drama komedi
|
Only Murders in the Building adalah
sebuah serial bergenre misteri-komedi orisinal dari Hulu. Musim pertamanya
tayang pada Agustus 2021, musim keduanya tayang pada Juni 2022, dan musim
ketiganya tayang pada Agustus 2023. Serial ini meraih banyak penghargaan sejak
debutnya sehingga terbilang sukses. Sudah dikonfirmasi bahwa musim keempatnya
akan tayang pada Agustus 2024. Kalian dapat menonton Only Murders in the Building di Hulu dan Disney+ Hotstar.
Only Murders in Building bercerita
tentang tiga orang penghuni apartemen Arconia: Charles-Haden Savage (Steve
Martin), Oliver Putnam (Martin Short) dan Mabel Mora (Selena Gomez), yang
mencoba memecahkan misteri kasus kematian di gedung apartemen mereka, dan
membagikannya melalui siaran podcast ‘siniar’
yang bertajuk Only Murders in the Building. Menyambung adegan epilog di musim
keduanya, kali ini geng Only Murders in Building akan menyelidiki kematian
seorang aktor bernama Ben Glenroy (Paul Rudd). Namun sebelum itu, kita harus
menengok ke satu tahun sebelum peristiwa nahas itu terjadi.
Setelah membersihkan nama mereka di musim kedua, geng Only Murders in
Building membuka peluang bagus dalam jalan hidup mereka. Charles kembali
berakting dan menjalin hubungan dengan penata rias kenalannya, Joy Payne
(Andrea Martin). Oliver mendapat tawaran untuk menyutradarai sebuah pementasan
teater setelah sekian lama. Sementara itu, hanya Mabel yang tampaknya diam di
tempat. Semua terasa baik bersama kedua rekan lansianya itu ketika memecahkan
misteri pembunuhan dan membuat siniar, tetapi dengan kedua temannya melanjutkan
hidup di jalan masing-masing, Mabel bingung harus melakukan apa dalam hidupnya.
Satu-satunya hal yang masih mempersatukan ketiganya adalah pementasan
yang disutradarai Oliver. Charles menjadi salah satu aktor di dalamnya dan
Mabel sesekali berkunjung sebab dirinya mengagumi pemeran utamanya, seorang
aktor papan atas: Ben Glenroy. Semua berjalan lancar di awal, tetapi makin
mendekati hari pertunjukan perdana, konflik antarpemeran pecah. Puncaknya
adalah ketika Ben tewas di panggung tepat saat dia akan tampil.
Siapapun yang terlibat dalam pementasan ini berpotensi menjadi pelakunya,
mereka semua memiliki motif. Di sisi lain, ini adalah kesempatan bagi Mabel
untuk mempersatukan rekan-rekannya kembali, because it takes two to tango,
but it takes three to solve a murder. Akankah mereka berhasil menemukan
pelaku pembunuhan Ben dan menyelamatkan pementasan Oliver?
Dari ketiga musim Only Murders in the Building, sebenarnya musim
ketiga ini ada di peringkat terbawah, walaupun bukan berarti jelek ya. Hanya
saja, jika dibandingkan dengan kedua musim sebelumnya, aku rasa musim ketiga
memiliki penyajian misteri yang kurang gereget. Aku penasaran dengan siapa
pelakunya, tetapi sempat bosan karena terlalu banyak masalah personal dari
masing-masing tokoh yang bercampur aduk di sini. Bahkan, sebenarnya kasus kali
ini tidak sesusah itu untuk dipecahkan, tidak seperti dua kasus sebelumnya, tetapi
karena masing-masing tokoh punya agenda sendiri, jadilah penyelidikan mereka
lama. Namun sekali mereka bekerja sama dengan serius, cepat saja kok
selesainya.
Meskipun begitu, ada beberapa poin unggul dari musim ketiga ini. Tentu
saja salah satunya adalah kehadiran dua pemeran istimewa: Paul Rudd sebagai Ben
Glenroy dan Meryl Streep sebagai Loretta Durkin. Agak berbeda dari penampilan
Cara Delevingne di musim lalu, kedua aktor tersebut memerankan tokoh yang
penting bagi cerita. Paul Rudd memerankan Ben Glenroy yang merupakan korban
pembunuhan kali ini, dan karkaternya memiliki beberapa lapisan yang menarik
sekali—di akhir, mungkin kalian akan merasa kasihan padanya. Sementara itu,
Meryl Streep memerankan Loretta Durkin yang merupakan salah satu aktris dalam
pementasan Oliver, juga yang menjadi love interest-nya Oliver nanti.
Kehadiran dua aktor papan atas itu membawa warna baru bagi serial ini.
Kemudian, seperti yang tadi kubilang, pada musim ini para geng Only
Murders in the Building memiliki masalah personal masing-masing, terutama
urusan cinta. Kali ini, ketiganya memiliki pasangan dan tampak bahagia. Hal ini
menarik karena ketiganya mengalami permasalahan romansa yang berbeda-beda.
Oliver jelas sedang dimabuk kepayang bersama Loretta, tapi akankah itu bertahan
saat dia tahu rahasia Loretta? Mabel yang sedang kebingungan menentukan jalan
hidup berkencan dengan pria bernama Tobert (Jesse Williams), tapi tidak ada
yang serius di antara mereka, selain penyelidikan kematian Ben Glenroy. Sedikit
OOT, aku terus terang mulai bosan dengan Mabel yang bergonta-ganti pacar di
setiap musim. Selanjutnya, yang paling malang adalah Charles, sebab semua
awalnya baik bersama Joy, hingga dia sendiri yang membuatnya berantakan. Tiga
pasangan, tiga masalah cinta—kalian mungkin akan tertarik dengan sentuhan baru
ini.
Selain itu, ada pula elemen musikalnya loh. Itu sesuatu yang
menyenangkan karena sesuai dengan tema musim ini: pementasan teater. Lagi-lagi
Oliver muncul dengan ide gilanya sehingga jadilan musim ini memiliki adegan-adegan
musikal. Secara mengejutkan, lagu-lagunya terdengar asyik kok, hahaha. Beberapa
aktor pun tampil bernyanyi dengan memukau. Ini sebuah sentuhan yang fresh.
Hal menarik lainnya dari musim ketiga ini ialah ceritanya menyoroti hubungan
ibu dan anak. Mungkin tidak secara terang-terangan disampaikan ya, tetapi musim
ketiga ini menyampaikan kepada penonton betapa besarnya kasih sayang seorang
ibu kepada anaknya. Aku tidak akan bicara banyak untuk yang ini karena akan ada
kejutannya, yang sebaiknya kalian tonton sendiri.
Walaupun ada kekurangan di sana sini, Only
Murders in the Building tetap menjadi tontonan kesukaanku. Musim keempatnya
pun akan tayang pada bulan Agustus 2024. Kalian dapat menonton trailer-nya
di sini.
***
Doctor
Slump
(2024)
Judul
|
:
|
Doctor Slump
|
Sutradara
|
:
|
Oh Hyun Jong
|
Penulis
|
:
|
Baek Seon Woo
|
Produser eksekutif
|
:
|
Kim Se Ah, Kim Da Hee, Lee Soo Bum
|
Produser
|
:
|
Han Suk Won, Hwang Gi Yong
|
Musim/Episode
|
:
|
1 Musim/16 episode
|
Pemeran
|
:
|
Park Hyung Sik, Park Shin Hye
|
Genre
|
:
|
Drama
psikologis, komedi romantis, drama
medis
|
Doctor Slump adalah drakor terbaru yang dibintangi oleh
Park Shin Hye dan Park Hyung Sik. Drakor ini bisa kalian tonton di Netflix.
Ceritanya tentang dua orang rival saat masih SMA yang lalu sama-sama menjadi
dokter, tetapi mengalami masa terpuruk dalam karir mereka. Yeo Jeong Woo (Park
Hyung Sik) dan Nam Ha Neul (Park Shin Hye) adalah dua murid peringkat teratas
di sekolah mereka. Keduanya bersaing gila-gilaan demi peringkat tersebut.
Setelah lulus, keduanya pun memilih kuliah kedokteran, tetapi keduanya tak
pernah lagi saling menghubungi.
Bertahun-tahun kemudian, keduanya sukses menitih karir di jalan
masing-masing. Jeong Woo menjadi dokter bedah plastik sekaligus dokter selebriti
dan mengelola bisnis, sementara Ha Neul menjadi dokter anestesi dan akan
menjadi profesor. Akan tetapi, keduanya mengalami keterpurukan yang memaksa
mereka berhenti dari pekerjaan. Terjadi kecelakaan medis di klinik Jeong Woo
yang membuatnya dituduh melakukan malpraktik; sementara Ha Neul diperlakukan
dengan tidak hormat oleh seniornya yang membuat dirinya burnout dan
depresi.
Di saat keduanya berada di titik terendah dalam hidup, takdir
mempertemukan mereka kembali. Saat tak ada lagi teman yang mau mengulurkan
bantuan kepada mereka, mereka hanya punya satu sama lain. Dua saingan yang pernah
sama-sama di titik teratas, kini bertemu kembali di titik terbawah. Akankah
mereka bisa melewati semua masalah dan menemukan kebahagiaan?
Bagi beberapa orang, drakor satu ini mungkin bukan pilihan favorit
mereka, tetapi bagiku, drakor ini punya tempat istimewa. Yang membuat drakor
ini bagus adalah bagaimana ia lekat dengan perasaan banyak orang, tentang
kesehatan mental, hubungan, dan cinta.
Tentu daya tarik pertama yang membuatku menonton drakor ini adalah kedua
pemeran utamanya: Park Shin Hye dan Park Hyung Sik. Kualitas akting mereka
tidak perlu lagi diragukan. Penampilan mereka mengagumkan dengan chemistry yang
begitu menghangatkan. Walaupun rasanya risih melihat mereka mengenakan seragam
SMA saat adegan-adegan kilas balik, aku masih menyukai penampilan mereka. Aku
suka dengan karakter Jeong Woo yang komikal dan kekanak-kanakan serta karakter
Ha Neul yang serius dan kaku.
Akan tetapi, poin unggul drakor ini terletak pada caranya mengangkat isu
kesehatan mental yang dialami kedua tokoh utamanya. Sedari awal, kita sudah
diperlihatkan bagaimana Ha Neul didiagnosis depresi oleh psikiater dan
bagaimana Jeong Woo mengalami post traumatic stress disorder (PTSD) setelah kecelakaan medis yang
dialaminya. Drakor ini menunjukkan bahwa tidak masalah untuk pergi ke
profesional ketika kita mengalami gangguan kesehatan mental, itu bukan hal
buruk. Daripada mendiagnosis sendiri, sebaiknya kita mencari bantuan
profesional. Meskipun mengambil langkah pertama tersebut berat, itu akan sangat
membantu untuk memulai perjalanan memulihkan diri.
Secara khusus, aku meraka relate dengan karakter Ha Neul. Dalam
drakor ini, dia bilang bahwa dia tipe orang yang suka menyisihkan makanan yang
paling dia suka untuk dimakan terakhir; dan aku adalah tipe yang seperti itu
juga. Namun masalahnya, Ha Neul jadi suka menunda kebahagiaannya. Dia pikir
bersenang-senang akan terasa lebih baik jika dia sudah sukses, maka dia terus
fokus mengejar posisi teratas dan menahan diri untuk bersenang-senang; hingga
tanpa sadar, dia melewatkan tahun-tahun masa mudanya. Secara pribadi, aku juga
pernah berpikir demikian, meskipun tidak seekstrem Ha Neul, tetapi tetap saja, aku
bisa mengerti perasaan lelahnya yang merasa semua yang dia telah usahakan
selama ini tersia-siakan.
Bagi kalian yang merasa stres karena pekerjaan atau burnout,
kalian akan sangat relate dengan Ha Neul. Hustle culture serta senioritas yang dialami Ha Neul tentu juga dialami banyak
orang. Itu sangat melelahkan dan disayangkan ketika orang-orang justru
menganggapnya normal; tak ada satupun orang yang pantas diperlakukan seperti Ha
Neul di tempat kerja. Di sisi lain, orang-orang yang pernah mengalami
kecelakaan saat bekerja, terutama para dokter yang pernah mengalami kecelakaan
medis, akan relate dengan Jeong Woo. Memang kasusnya Jeong Woo lebih
spesifik dibandingkan Ha Neul, tetapi tetap saja penonton secara umum dapat
mengerti stres yang dirasakan Jeong Woo.
Selain itu, aku pun sangat menyukai kisah cinta di drakor ini.
Perjalanan cinta Ha Neul dan Jeong Woo terasa bittersweet dan akan
membuat kalian tersenyum dan terharu. Berawal dari saingan, lalu menjadi teman,
lalu menjadi kekasih—walaupun semuanya cepat, tetapi prosesnya itu sangat
menyenangkan. Memang sih agak cringe, terutama gara-gara kelakuan lucu
Jeong Woo, tetapi justru aku senang karena mereka tampak membutuhkan hiburan
sederhana di tengah-tengah keterpurukan yang sedang mereka alami. Menurutku,
kisah cinta mereka terasa tulus dan jujur karena keduanya bertemu saat
sama-sama di titik terendah sehingga dapat saling mengerti apa yang satu sama
lain sedang hadapi, serta tak memiliki motif lain selain untuk bersama. Bagian
favoritku adalah ketika mereka pertama kali main di arcade dan pergi ke
pantai bersama—such perfect scenes to capture their little happiness that so
precious.
Kemudian, keberadaan para tokoh pendukungnya pun juga menyenangkan,
mereka turut meramaikan suasana. Ada Bin Dae Young (Yoon Park) dan Lee Hong Ran
(Gong Seong Ha), sahabat terdekatnya Jeong Woo dan Ha Neul. Mereka berdua
satu-satunya teman yang masih setia mendampingi Jeong Woo dan Ha Neul. Keduanya
juga memiliki subplot kisah cinta sendiri, dan menurutku porsinya pas. Kalian
pasti juga akan penasaran akan jadi seperti apa hubungan mereka nantinya.
Ada juga keluarganya Ha Neul yang selalu memberi dukungan moral kepada
Jeong Woo dan Ha Neul. Meskipun tidak ada elemen drama keluarga yang cukup
menonjol, tetapi peran keluarga Ha Neul dalam cerita ini tetap penting,
terutama untuk perkembangan karakter Ha Neul—juga comedy relieves,
hahaha. Kehangatan keluarga Ha Neul bahkan merupakan salah satu bagian yang
kusuka dari drakor ini—ada momen mengharukan dan membahagiakan ketika melihat
keluarga Ha Neul lengkap bersama-sama (tentu ditambah Jeong Woo, hahaha).
Mungkin, kekurangan drakor ini terletak di jumlah episodenya yang
terlalu banyak. Ada 16 episode, padahal menurutku, 12 episode saja sudah cukup.
Akibatnya, plotnya diperpanjang sampai agak membosankan di akhir-akhir.
Akan tetapi, drakor ini tetaplah sebuah
drakor yang bagus dan menyenangkan untuk ditonton. Konklusi yang didapat setiap
tokoh di akhir cerita rasanya sudah tepat, dan dapat diambil hikmahnya oleh
penonton. Aku turut merasa senang menyaksikan perjalanan Jeong Woo dan Ha Neul
untuk pulih dan menemukan cinta. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.
***
Queen of
Tears
(2024)
Judul
|
:
|
Queen of Tears
|
Sutradara
|
:
|
Jang Young Woo, Kim Hee Won
|
Penulis
|
:
|
Park Ji Eun
|
Produser eksekutif
|
:
|
Lee Hye Young, Park Joo Yeon, Kang Hee Wook
|
Produser
|
:
|
Kim Je Hyun, Yoo Sang Won, Jang Jin Wook, Jang Young Woo,
Kim Tae Hun, Heo Do Yun, Jo Su Yeong
|
Musim/Episode
|
:
|
1 Musim/16 episode + 2 episode spesial
|
Pemeran
|
:
|
Kim Soo Hyun, Kim Ji Won, Park Sung Hoon
|
Genre
|
:
|
Komedi romantis, drama
|
Queen of Tears adalah drakor yang sangat ramai dibicarakan
di semester pertama tahun 2024. Rasanya, pada tiap pekan masa penayangannya,
media sosial ramai membicarakan drakor satu ini. Kesuksesan Queen of Tears pun
terbukti dengan menjadi drama dengan rating tertinggi di saluran TVN,
menggeser posisi Crash Landing on You. Drakor ini juga mendapat
peringkat ketiga sebagai drakor dengan rating tertinggi
dalam sejarah pertelevisian kabel Korea. Drakor ini bisa kalian
tonton di Netflix.
Queen of Tears berkisah tentang pasutri yang rumah tangganya
di ujung tanduk. Baek Hyun Woo (Kim Soo Hyun) menikah dengan Hong Hae In (Kim
Ji Won) yang berasal dari keluarga konglomerat yang memiliki Queens Group. Meskipun
di awal mereka begitu saling mencintai terlepas dari perbedaan karakter
masing-masing, rumah tangga mereka yang masih seumur jagung itu sekarang hampir
berakhir. Hyun Woo tak lagi merasa bahagia bersama Hae In, dan bahkan keduanya
sudah cukup lama pisah ranjang. Ditambah lagi, keluarga Hae In memperlakukannya
bagai pekerja alih-alih menantu. Hyun Woo sudah memantapkan hatinya akan
menggugat cerai Hae In.
Akan tetapi, saat Hyun Woo ingin menyampaikan niatnya tersebut ke Hae
In, istrinya itu menyampaikan berita mengejutkan lebih dulu. Hae In memiliki
tumor otak yang langka dan sulit disembuhkan, dan diperkirakan umurnya tinggal
tiga bulan lagi. Situasi tak terduga tersebut mengubah segalanya. Ketika maut
hendak memisahkan mereka, keduanya malah kembali menghidupkan cinta yang hampir
sirna. Namun, ada banyak rintangan yang menanti mereka di depan. Dapatkah
keduanya memperbaiki hubungan mereka di sisa-sisa hari mereka bisa bersama?
Jika premisnya menurut kalian mirip dengan sinetron, ya memang mirip
sinetron. Banyak sinetron di Indonesia yang memiliki cerita serupa, tetapi
eksekusi Queen of Tears berada di level yang berbeda. Mulai dari alur
cerita, akting para pemerannya, scoring dan soundtrack, sampai tata kostumnya
disajikan dengan baik.
Cerita Queen of Tears dibuka dengan perspektif Hyun Woo yang
lelah dengan pernikahannya. Di awal, kita diperlihatkan betapa dinginnya Hae In
dan keluarganya terhadap Hyun Woo. Namun setelahnya, kita diperlihatkan sudut
pandang Hae In, bahwa dirinya juga sama menderitanya dengan Hyun Woo, tetapi
dia harus menahan semua itu agar tidak terlihat lemah. Sebagai wanita karier
yang memiliki banyak saingan, kelemahan sekecil apapun tidak boleh terlihat
agar dia dapat mempertahankan posisinya.
Menurutku, itu cara yang menarik untuk membuka cerita romantis ini, bahwa jauh
di dalam, keduanya sama-sama tersiksa dengan keadaan mereka.
Drakor ini juga tahu cara
untuk membuat akhir yang meninggalkan rasa penasaran di setiap episodenya.
Akhir episode pertama adalah ketika Hae In bilang kepada Hyun Woo bahwa
hidupnya tidak lama lagi. Siapa yang tidak terkejut dan penasaran dengan itu?
Bukan hanya akhir yang membuat penasaran, beberapa episode Queen of Tears memiliki
akhir yang membuat menangis. Salah satu favoritku adalah waktu Hyun Woo
menemukan Hae In yang tersesat di desanya, serta ketika Hyun Woo menyusul Hae
In ke Jerman. Di momen-momen tersebut, walaupun rumah tangga keduanya dipenuhi
keputusasaan dan penyesalan, ada percik-percik harapan bahwa cinta mereka masih
bisa dihidupkan kembali. Dilengkapi dengan soundtrack Love You with All My Heart oleh
Crush, suasana romantis yang disuguhkan adegan-adegan tersebut dibawa ke level
yang berbeda—perfect.
Tentu saja romansa drakor ini
juga didukung oleh kualitas akting Kim Soo Hyun dan Kim Ji Won yang luar biasa.
Mereka tampil dengan sempurna di sini, menunjukkan kualitas mereka sebagai
aktor dan aktris dengan jam terbang tinggi. Chemistry mereka begitu
menghanyutkan, penonton pasti akan invested pada karakter yang mereka
mainkan. Mereka sukses menghidupkan karakter Hyun Woo dan Hae In yang memiliki
kisah cinta yang tak lekang waktu. It is a great love story, which is
delivered by performances of great actors.
Di samping romansa, ada juga
konflik perebutan harta dan kekuasaan yang sebenarnya sudah klasik di drakor.
Karena latar belakang keluarga Hae In adalah keluarga chaebol alias konglomerat, konflik seperti ini
sudah pasti tidak luput dimasukkan. Malah, permasalahan keluarga ini menjadi
salah satu faktor yang mendorong Hyun Woo dan Hae In berbaikan, termasuk kedua
keluarga besar mereka. Yang awalnya aku tidak terlalu peduli pada keluarga
mereka berdua, aku jadi menaruh perhatian pula pada mereka semua. Tak hanya
drama Hae In dan Hyun Woo yang penting, tetapi perkembangan setiap karakter juga
penting. Drakor ini tahu cara untuk membuat kita menyukai seluruh aspeknya.
Di sisi lain, penampilan para
antogonisnya juga tak kalah menarik. Antagonis yang paling menarik perhatian
ialah Yoon Eun Sung (Park Sung Hoon) yang juga suka pada Hae In dan ingin
merebutnya dari Hyun Woo. Dia antagonis yang sinting karena cinta, tetapi
karakternya tidak sesederhana itu. Perasaan diabaikan dan kesepian membuatnya
menjadi seperti itu. Hal tersebut membuatnya menjadi antagonis yang tidak
sekadar jahat dan serakah, tetapi juga seorang yang jatuh cinta sampai menjadi
gila.
Namun, antagonis satunya, Moh
Seul Hee (Lee Mi Sook), terasa sedikit kurang, kalau menurutku ya. Dia juga
tampil dengan baik sebagai antagonis—seorang wanita kejam yang licik dan
serakah, yang pasti akan membuat kalian ingin marah. Akan tetapi, (spoiler
alert) tak ada alasan khusus baginya menyerang keluarga Hae In selain
harta. Akan lebih baik jika ternyata dia punya masalah di masa lalu dengan
keluarga Hae In, tetapi karena itu tidak ada, karakternya jadi sesederhana
wanita serakah yang akan menghalalkan segala cara demi apa yang dia mau—agak downgrade
jika dibandingkan dengan Eun Sung.
However, both are still
good enemies for this story, and for the hero and heroine. Kisah cinta Hyun Woo dan Hae In, yang
diwarnai dengan masalah penyakit mematikan, orang ketiga yang ingin merusak
rumah tangga mereka, serta huru hara keluarga konglomerat, merupakan kisah
cinta yang sayang sekali jika dilewatkan. Begitu sampai di akhir cerita, aku
sangat senang melihat bahwa setiap tokoh mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan
masing-masing setelah semua yang mereka hadapi. “The time that I’ve spent
with you is miracle,” adalah kutipan yang begitu indah dari drakor ini,
yang sangat cocok menggambarkan cinta Hyun Woo dan Hae In untuk satu sama lain.
Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.
Sebelumnya (Serial TV Terfavorit 2023
Selanjutnya
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar