Serial TV Terfavorit 2024 (part 1)

Serial TV Terfavorit 2024


Halo! Kembali lagi dengan daftar serial TV terfavoritku. Kali ini, di tahun 2024 aku berusaha untuk menonton judul yang lebih beragam dan di berbagai platform OTT supaya kalian yang mungkin hanya berlangganan di salah satu platform bisa mendapatkan rekomendasi baru di platform tersebut. Hmmm… meskipun mungkin judul yang akan kurekomendasikan sudah pasaran ya, hahaha.

Beberapa di antara judul yang kutonton adalah sekuel dari serial TV yang telah kutonton sebelumnya. Beberapa adalah judul baru atau genre baru—yang kuharap juga menarik bagi kalian. Aku juga mencoba judul serial dari negara yang belum pernah kutonton sebelumnya, seperti serial India.

Sebelum masuk ke dalam daftarnya, aku akan memberikan disclaimer. Judul-judul yang kutulis dalam daftar ini bukanlah judul yang tayang perdana di tahun 2024, melainkan yang aku tonton di tahun 2024. Jika ada judul bagus yang tidak ada di daftar ini, itu mungkin karena aku belum menontonnya atau memang bukan favoritku. In that case, my judgement is subjective, and feel free to disagree. Jadi, harap maklum apabila judul favorit kalian ternyata tidak ada di sini; mungkin kalian bisa merekomendasikannya agar aku tonton nanti. Baiklah, mari kita mulai reviunya.

***


***

Daftar isi:
***

How I Met Your Mother

(2005–2014)

Judul

:

How I Met Your Mother

Pencipta

:

Carter Bays, Craig Thomas

Sutradara

:

Pamela Fryman, Rob Greenberg, Michael Shea, Neil Patrick Harris

Produser eksekutif

:

Carter Bays, Craig Thomas, Rob Greenberg, Pamela Fryman, Eileen Heisler, DeAnn Heline, Phil Lord, Greg Malins, Christopher Miller, Chris Harris, Stephen Lloyd, Kourtney Kang, Jamie Rhonheimer, Chuck Tatham

Produser

:

Randy Cordray, Suzy Mamann Greenberg, Chris Harris, Jamie Rhonheimer, Kourtney Kang, Brenda Hsueh, Theresa Mulligan Rosenthal, Stewart Halpern-Fingerhut, Rob Greenberg, Tami Sagher

Musim/Episode

:

9 Musim/208 episode

Pemeran

:

Josh Radnor, Jason Segel, Cobie Smulders, Neil Patrick Harris, Alyson Hannigan

Genre

:

Sitcom, komedi romantis, drama komedi

How I Met Your Mother adalah sitcom Amerika Serikat yang tayang mulai dari 19 September 2005 s.d. 31 Maret 2014. Serial ini begitu populer pada masanya dan mendapat reviu positif di musim-musim awal penayangannya, walaupun reviu untuk musim-musim selanjutnya lebih beragam. Serial ini terutama terinspirasi dari masa muda kedua penciptanya, Carter Bays dan Craig Thomas. How I Met Your Mother terkenal karena strukturnya yang unik, humornya, serta penggunaan elemen-elemen dramatisnya. Kalian bisa menonton sitcom ini di Disney+ Hotstar.

Serial ini bercerita tentang perjalanan Ted Mosby (Josh Radnor) yang mencari belahan jiwanya bersama teman-temannya di Manhattan, New York. Pada September 2005, Ted melihat kedua sahabatnya sejak kuliah, Marshall Eriksen (Jason Segel) dan Lily Aldrin (Alyson Hannigan) bertunangan. Itu membuat Ted sadar bahwa sudah saatnya berhenti main-main dan mulai mencari pasangan untuk menikah.

Dia dan temannya yang sangat eksentrik dan mesum, Barney Stinson (Neil Patrick Harris), lalu pergi ke bar di basement apartemen dan bertemu dengan seorang wanita Kanada cantik, Robin Scherbatsky (Cobie Smulders). Ted langsung jatuh cinta pada Robin, tetapi perasaan itu tidak berbalas dan keduanya memutuskan menjadi teman. Kemudian, bersama teman-temannya tersebut—Marshall, Lily, Barney, dan Robin—dia menjalani masa-masa mudanya dan mencari wanita yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya.

How I Met Your Mother memiliki beragam keunikan, salah satunya adalah pendekatan ceritanya. Narasinya diceritakan dengan pendekatan cerita berbingkai, alias cerita dalam cerita. Serial ini diceritakan oleh Ted di tahun 2030 kepada kedua anaknya. Dia menceritakan kehidupan masa mudanya bersama teman-temannya di Manhattan yang menuntunnya ke pertemuan dia dengan ibu dari kedua anaknya tersebut. Jadi, masa sekarang dalam cerita ini adalah tahun 2030, dan cerita pada latar waktu tersebut menjadi pokok cerita yang lalu menerbitkan cerita-cerita di masa muda Ted sepanjang September 2005 s.d. Mei 2013. Teknik bercerita ini unik karena ada banyak cerita sisipan nantinya, yang memberikan kesan berbeda terhadap sitcom satu ini.

Sementara itu, untuk ceritanya sendiri, secara keseluruhan bagus walau ada beberapa bagian yang kurang. Sebenarnya, aku tidak menamatkan serial ini di tahun 2024, hanya dua musim terakhirnya saja. Aku sudah mulai menonton ini sejak tahun 2021 (kalau tidak salah ingat). Aku sempat berhenti di pertengahan—sepertinya di musim keenam—sebab merasa ceritanya bertele-tele dan terasa repetitif. Feel-nya jadi membosankan; “sampai kapan Ted akan membuang-buang waktunya dengan wanita yang salah?”, begitu pikirku saat itu. Namun, karena penasaran dengan akhirnya, aku pun menamatkan serial ini.

Walaupun begitu, ada banyak hal menarik yang bisa dijadikan pembelajaran dari How I Met Your Mother—wah, sepertinya aku akan menghabiskan banyak halaman untuk ini. Pertama-tama, melalui karakter Lily, ada hal yang begitu menarik darinya, yaitu (spoiler alert) ketika dia meninggalkan Marshall hanya beberapa hari sebelum pernikahan mereka. Pada saat itu, Lily menyadari dirinya belum siap menikah, bukan karena ragu pada Marshall, tetapi karena dia ingin mencoba hal-hal yang belum sempat dia lakukan sebelum menikah. Aku setuju bahwa tindakannya itu egois, tetapi aku juga bisa mengerti alasannya. Dia pasti tidak ingin ada penyesalan setelah menikah. Dia tidak ingin ada pertanyaan “bagaimana jika” dalam pikirannya setelah menikah. Di sisi lain, dengan memenuhi rasa penasarannya tersebut, Lily menjadi semakin mantap bahwa tak ada masa depan yang lebih baik bagi dirinya selain bersama Marshall.

Yang agak membuatku terkejut adalah bahwa konflik tersebut masih disinggung kembali di musim terakhir. Pada musim terakhir, (spoiler alert) sempat ada pertengkaran antara Marshall dan Lily. Marshall menyinggung tentang Lily yang meninggalkannya sebelum mereka menikah sebagai pembenaran atas keputusannya yang membuat Lily kesal. Yang membuatku tertegun adalah perkataan Lily—dia bilang bahwa jika tiap kali mereka berdebat Marshall masih mengungkit itu dan hanya memikirkan siapa yang menang dan kalah, perlahan-lahan dia akan kehilangan Lily. Seharusnya perdebatan antara pasutri bukan tentang siapa yang menang dan kalah, tetapi mencoba saling memahami dan menemukan solusi terbaik untuk keduanya.

Oh iya, dari karakter Marshall sendiri, aku belajar tentang menitih karir. (Spoiler alert) Marshall adalah seorang lulusan fakultas hukum dan ingin menjadi pengacara lingkungan (environmental lawyer). Namun, cita-cita dia yang sebenarnya adalah ingin bisa melestarikan lingkungan melalui jalur hukum—dan pada akhirnya dia menyadari bahwa itu tidak harus diwujudkan dengan menjadi pengacara lingkungan. Dia berkali-kali merubah kariernya sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan yang paling sesuai untuk membantunya mewujudkan cita-cita. Itu mengajariku bahwa tak masalah berganti karier di tengah jalan, bahwa mengejar cita-cita itu memang membutuhkan waktu yang lama dan konsistensi bertahun-tahun, bahwa cita-cita itu tidak harus dikubur selamanya hanya karena saat ini tertunda.

Namun, tokoh dengan perkembangan karakter terbaik adalah Barney dan Robin. Keduanya sama-sama tak percaya pada komitmen dan tak memiliki visi untuk menikah dalam hidup mereka. Namun, perkembangan karakter keduanya menunjukkan bahwa orang dapat berubah pikiran.

Barney sendiri adalah tokoh yang unik dan khas—bukan hanya khas di serial ini, tetapi khas dari keseluruhan serial yang pernah kutonton—bahkan, konon sepanjang sejarah pertelevisian di Amerika. Karakternya yang mesum dan perayu wanita ditambah dengan berbagai catchphrase serta hobi prank-nya membuat dirinya begitu iconic. Jika bertemu dengan laki-laki seperti dia, kalian akan berpikir dia berengsek; tetapi sebagai teman, dia sangat asyik dan bisa memberikan pengalaman-pengalaman seru. Oleh karena itu, ketika melihat dia yang seorang playboy menjadi pria yang mencintai wanita sepenuh hati—dengan ugal-ugalan pula—aku ikut merasa senang.

Sementara untuk Robin, aku tertarik dengan bagaimana dia berubah jadi percaya pada hal-hal romantis. Di musim-musim awal dia berpacaran hanya untuk senang-senang, tanpa ada visi berkomitmen lebih serius. Dirinya hanya mementingkan karir. Namun, seiring cerita berjalan, terlihat dia berubah. Dia ingin menjalin hubungan lebih serius, bahkan sampai mencoba pernikahan. Padahal, dia telah melewati banyak pengalaman patah hati yang sedih banget. Yang paling sedih, menurutku, adalah (spoiler alert) ketika dia harus menolak lamaran pacarnya karena dia tidak bisa memberikan anak kepada pacarnya itu jika mereka menikah—itu sakitnya masih membekas di memoriku.

Akan tetapi, tentu saja sorotan utamanya adalah kisah cinta Ted Mosby. Walaupun bagiku dia terlalu konyol dengan segala gagasannya tentang cinta sejati dan sosok yang sempurna, perjalanan cintanya tetaplah menarik. Berbagai penolakan dan patah hati telah membentuk karakternya sehingga dia tahu siapa yang tepat untuk dirinya. Ted juga mengajari kita bahwa orang yang tepat itu akan sepadan dengan penantiannya, sebab penantian dan pencarian beberapa tahun akan terbayarkan dengan kebersamaan yang akan dilalui sepanjang hidup. Menjalin hubungan dengan orang yang tepat akan terasa mudah, sekalipun ada banyak tantangan menghadang. Kalian pasti akan turut senang dan bangga ketika melihat Ted pada akhirnya bertemu dengan wanita yang tepat tersebut.

Kemudian, ada hal menarik yang bisa diambil pembelajaran dari pengalaman berpacarannya Ted pada salah satu episode. Di salah satu episode, (spoiler alert) Ted dan Robin yang saat itu sedang berpacaran berhadapan pada pertanyaan “bagaimana kamu melihat dirimu lima tahun dari sekarang?”. Pada saat itu, Ted bilang bahwa dia melihat dirinya sudah menikah dan punya anak, sedangkan Robin membayangkan dirinya menjadi sukses dalam karirnya dan telah pergi ke berbagai negara. Dengan kata lain, keduanya memiliki visi yang berbeda dan menurutku keputusan mereka untuk berpisah adalah tepat. Robin tak melihat ada pernikahan sebagai masa depannya, dan walaupun bisa saja dia berubah pikiran di masa depan, tetap akan lebih baik bagi keduanya untuk berpisah. Ted bisa mencari wanita lain yang memang satu visi dengannya daripada menghabiskan waktu pada hubungan yang tak jelas akan ke mana. Ketika pasangan sudah tidak satu visi, lebih baik berpisah ketimbang berakhir saling menyakiti.

Sebenarnya, selain tentang penantian belahan jiwa, ada satu peristiwa menarik lagi bagiku yang membentuk karakter Ted. Itu adalah (spoiler alert) ketika Ted bimbang apakah akan mengambil tawaran kerja sebagai dosen atau tidak. Cita-cita Ted adalah menjadi arsitek yang merancang bangunan di New York, bukan dosen, tetapi saat itu dia sedang menganggur dan tawaran mengajar itu sangat menjanjikan. Episode tersebut mengajarkanku bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana kita, termasuk rencana yang telah kita susun hampir seumur hidup kita. Dalam hal karier, kadang kita harus bekerja yang tak sesuai harapan, tetapi itu bukan berarti menutup kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita. Anggaplah itu sebagai batu loncatan, sambil menunggu kesempatan mewujudkan cita-cita itu muncul. Pada akhirnya, Ted pun mendapatkan kesempatannya untuk merancang bangunan di New York.

Oke, sebenarnya masih ada banyak hal lain tentang serial ini yang bisa kubicarakan, tetapi sebaiknya kalian tonton sendiri saja. Meskipun akhir serial ini agak mengecewakan, aku tetap merasa puas dengan keseluruhan ceritanya. Berikut adalah fan-made trailer untuk kalian yang penasaran dengan serial ini; silakan cek di sini.

***

Welcome to Samdal-ri

(2023–2024)

Judul

:

Welcome to Samdal-ri

Sutradara

:

Cha Young Hoon

Penulis

:

Kwon Hye Joo

Produser eksekutif

:

Park Seol Gi

Produser

:

Jeon Seo Won, Lee Go Eun, Kim Su Ji, Kim Yu Ri, Jo Dong Min, Ha Seong Min

Musim/Episode

:

1 Musim/16 episode

Pemeran

:

Shin Hye Sun, Ji Chang Wook, Shin Dong Mi, Kang Mi Na, Kang Young Seok, Lee Jae Won, Bae Myung Jin

Genre

:

Komedi romantis, drama

Welcome to Samdal-ri adalah salah satu drakor yang ramai pada tahun 2024. Drakor ini memiliki vibes yang serupa dengan Our Blues (baca reviunya di sini) dan Hometown Cha-cha-cha (baca reviunya di sini)—kata orang, genre ini disebut healing drama. Kalian yang suka kedua drakor tadi pasti akan suka dengan Welcome to Samdal-ri. Drakor ini bisa kalian tonton di Netflix.

Welcome to Samdal-ri bercerita tentang perjalanan cinta dan perkembangan diri dua sahabat masa kecil: Cho Sam Dal (Shin Hye Sun) dan Cho Young Pil (Ji Chang Wook). Sejak anak-anak, Sam Dal ingin meninggalkan desa kecilnya yang berada di Pulau Jeju. Oleh karena itu, ketika dewasa, dia pergi ke Seoul untuk mengejar cita-citanya sebagai fotografer fesyen—dengan menggunakan nama baru, Cho Eun Hye. Dia pun menjadi sukses di bidangnya dan digadang-gadang sebagai fotografer fesyen tersukses di generasinya. Akan tetapi, sebuah skandal menghancurkan seluruh kariernya ketika hanya tinggal selangkah lagi dia sampai di puncak kesuksesan.

Hal itu memaksanya kembali ke kampung halaman yang telah lama tidak dia datangi. Di sanalah dia kembali bertemu dengan Young Pil, teman masa kecilnya, sekaligus mantan pacarnya. Perpisahan menyakitkan mereka masih membekas di ingatan keduanya, tetapi mereka menemukan bahwa perasaan mereka masih sama. Apakah yang akan dilakukan Sam Dal dengan perasaannya terhadap Young Pil? Dan dapatkah dia memperbaiki kembali karier yang telah dibangunnya dengan susah payah?

Yang membuatku tertarik dengan drakor ini adalah premisnya. Sam Dal adalah seorang fotografer sukses di usia muda yang tinggal selangkah lagi mencapai puncak karier, sesuatu hal yang dia impi-impikan sejak kecil, tetapi tiba-tiba itu semua runtuh. Di titik terendahnya, dia memutuskan kembali ke titik awalnya: rumah. Di sanalah dia memulai perjalanan pencarian diri. Aku rasa aku tidak akan bosan dengan premis seperti itu.

Meskipun genre drakor ini komedi romantis, aku terus terang tidak terlalu tertarik dengan kisah cinta Sam Dal dan Young Pil. Kisah cinta mereka sudah bisa ditebak akan berakhir bagaimana. Ditambah lagi pattern-nya serupa dengan banyak drakor romantis lain. Kalau menurutku, kekuatan utama drakor ini memang bukan di romansanya, melainkan di pendalaman karakternya.

Untuk karakter Young Pil, aku agak kurang suka dengan dia karena dia terlalu bucin. Dia mengingatkanku pada Choi Ung dari Our Beloved Summer (baca reviunya di sini), tetapi kesan yang kurasakan terhadap Cho Young Pil tidak sama dengan Choi Ung. Aku merasa, dari awal sampai akhir, cunia Young Pil hanya berputar pada Sam Dal, tak ada yang lain.

Di sisi lain, pendalaman karakter Sam Dal disajikan dengan sangat bagus. Seperti yang sudah kubilang, aku tertarik dengan cerita ini karena kisah Sam Dal yang selangkah lagi di puncak kesuksesan karier tetapi malah jatuh dan terpaksa kembali ke titik awalnya. Di Samdal-ri, desa kelahirannya, dia bertemu kembali dengan orang-orang yang menemaninya tumbuh besar, orang-orang yang sudah lama tidak dia hubungi: kedua orang tuanya, sahabat-sahabatnya, serta tetangga-tetangganya. Aku suka sekali karena di titik terendahnya, Sam Dal kembali ke akarnya dan bertemu dengan orang-orang yang tulus peduli dan sayang padanya, orang-orang yang tak akan membalikkan badan darinya, alih-alih memberikan peluk hangat untuknya. Perjalanan Sam Dal menemukan diri adalah perjalanan indah yang begitu menghangatkan hati. It always feels nice knowing that there’s a place you can call home where your loved ones who love and support you are there for you.

Selain masalah pencarian diri Sam Dal serta hubungan asmaranya dengan Young Pil, ada masalah lain yang membuatku penasaran dengan cerita ini. Aku tertarik dengan alasan keduanya putus yang ternyata berhubungan dengan kematian ibunya Young Pil. Bahkan, episode kisah dua Mi Ja, itu adalah episode yang sangat merusak suasana hati karena sedih banget. (Spoiler alert) ketika ibunya Sam Dal menangis di depan ayahnya Young Pil dan bilang bahwa dia juga sangat merindukan ibunya Young Pil, sahabat karibnya, itu membuatku patah hati.

Berikutnya, aku penasaran dengan alasan Bang Eun Ju (Jo Yun Seo), asisten studio yang bekerja untuk Sam Dal, memfitnahnya sampai membuat kariernya hancur. Apakah benar Sam Dal menyalahgunakan wewenangnya dan berlaku kasar? Apakah benar itu alasannya sampai ingin bunuh diri? Pertanyaan itu akan membuat kalian penasaran sampai akhirnya dijawab di akhir cerita.

Ada satu tokoh lagi yang menarik perhatian: Boo Sang Do (Kang Young Seok). Dia adalah second lead male yang mengejar Sam Dal. Hanya saja, seperti di drakor lainnya, dia adalah laki-laki yang perasaannya tak berbalas, bahkan tak mendapat kesempatan. Aku bersimpati kepadanya yang ditolak sebelum mencoba. Namun, aku sedikit kesal karena cerita ini sebetulnya tidak perlu mengikuti tren memancing second-lead syndrome, karena eksekusinya di drakor ini kurang berhasil bagiku. Namun, Sang Do adalah pejuang cinta yang keren sih.

Adegan favoritku dari drakor ini adalah adegan pameran foto-foto karya Sam Dal yang ada di akhir. Pameran foto itu adalah puncak perkembangan karakternya. Aku menafsirkan makna adegan tersebut seperti ini: ketika Sam Dal pikir dia kehilangan segalanya karena kariernya hancur, dia justru menemukan segala yang dibutuhkannya di rumah, yaitu orang-orang yang selalu mendukung dan menyayanginya apapun keadaannya. Kalian yang cengeng pasti akan menangis waktu adegan itu—sepertiku, hahaha.

Selain itu, adegan itu juga menunjukkan bahwa keberhasilan Sam Dal tak terlepas dari usaha bersama warga desa Samdal-ri. Pameran tersebut tak mungkin terwujud tanpa bantuan semua orang di sekeliling Sam Dal. Dibutuhkan bantuan seluruh desa untuk membesarkan naga. Ada banyak orang baik di balik kesuksesannya. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini.

***

Percy Jackson and Olympians
Season 1

(2023–on going)


Judul

:

Percy Jackson and the Olympians

Pencipta

:

Rick Riordan, Jonathan E. Steinberg

Produser eksekutif

:

Jonathan E. Steinberg, Dan Shotz, Rick Riordan, Rebecca Riordan, Ellen Goldsmith-Vein, Jeremy Bell, D. J. Goldberg, Bert Salke, James Bobin, Jim Rowe, Monica Owusu-Breen, Anders Engström, Jet Wilkinson, Craig Silverstein

Produser

:

John Catron

Musim/Episode

:

1 Musim/8 episode (on going)

Pemeran

:

Walker Scobell, Leah Sava Jeffries, Aryan Simhadri

Genre

:

Petualangan, fantasi urban, drama komedi, action

Percy Jackson and the Olympians merupakan serial TV Amerika yang diciptakan oleh Rick Riordan dan Jonathan E. Steinberg untuk Disney. Serial ini diadaptasi dari serial novel berjudul sama karya Rick Riordan. Khusus musim pertamanya, serial ini mengadaptasi buku pertama dari serial novel tersebut, yang berjudul The Lightning Thief. Secara umum, serial ini mendapatkan respons positif dari kritikus, tetapi respons dari penggemar lebih beragam. Kalian dapat menonton serial ini di Disney+ Hotstar.

Untuk yang belum familiar dengan cerita Percy Jackson and the Olympians, aku beri sedikit bocoran ya: ini adalah cerita fantasi-petualangan yang menggabungkan dunia modern dengan elemen mitologi Yunani, seperti dewa-dewi, monster, dan pahlawan. Ini adalah salah satu serial novel favoritku dan aku sangat semangat waktu menonton adaptasinya. Bahkan, saat penayangannya, aku sengaja membaca ulang buku The Lightning Thief yang dulu kubaca waktu SMP, hahaha. Oleh karena itu, aku akan sedikit membandingkan antara versi serial TV dengan versi bukunya ya.

Percy Jackson (Walker Scobell) adalah pembawa masalah di sekolah. Dia memiliki disleksia dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Dia sulit untuk menempatkan diri di manapun karena orang-orang menganggapnya aneh. Itu karena dia bisa melihat hal-hal yang tak dapat orang lain lihat, seperti kuda bersayap atau anjing raksasa. Percy juga awalnya menganggap itu semua khayalannya saja. Sampai akhirnya, guru pra-aljabarnya berubah menjadi monster mengerikan dan menyerangnya, serta satu-satunya sahabatnya di sekolah ternyata separuh kambing. Semua nyata, makhluk-makhluk mitos itu nyata.

Ibunya lalu memberi tahu dirinya bahwa dewa-dewi, monster, dan pahlawan dari mitologi Yunani sungguhan ada. Bahkan, Percy adalah putra dari salah satu dewa Yunani. Karena keberadaan Percy sekarang telah diketahui, tinggal masalah waktu sampai monster-monster lain mengincar Percy. Dia harus segera dibawa ke sebuah perkemahan khusus untuk anak-anak seperti dia, Perkemahan Blasteran—satu-satunya tempat aman bagi anak-anak seperti dirinya. Akan tetapi, Percy harus kehilangan ibunya demi mencapai perkemahan tersebut.

Namun, masalah belum berhenti sampai di sana. Setibanya Percy di Perkemahan Blasteran, ternyata sedang ada konflik di antara para dewa. Zeus sang Raja Dewa-Dewi kehilangan Petir Asalinya dan dia menuduh ayah Percy sebagai pencurinya. Demi mencegah perang antara dewa-dewi, serta membawa kembali ibunya dari Dunia Bawah, Percy bersama dua rekannya harus menemukan Petir tersebut dan pencuri aslinya. Akan tetapi, sebuah ramalan yang menghantui pikirannya berkata bahwa pada akhirnya dia akan gagal dan dia akan dikhianati seorang teman.

Adaptasi live-action dari serial Percy Jackson and the Olympians sudah kutunggu-tunggu sejak lama. Aku sangat excited dengan serial ini. Padahal, sebenarnya serial ini dulu pernah diadaptasi menjadi film—buku The Lightning Thief sudah pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 2010, tetapi harus diakui hasilnya mengecewakan sebab menyimpang sekali dari bukunya. Para penggemar bukunya ingin agar adaptasi ini tetap sesuai dengan materi orisinalnya, dan itulah yang dilakukan versi serial TV.

Adaptasi Percy Jackson and the Olympians versi serial TV lebih unggul daripada versi filmnya karena tetap setia pada materi orisinalnya. Tentu ada perubahan dari versi buku ke versi serial TV, tetapi secara umum, semuanya tetap sama, mulai dari alur cerita, konflik, sampai adegan-adegan pentingnya. Aku merasa bahwa adaptasi kali ini berhasil menghadirkan semesta Perkemahan Blasteran ke format audio visual. Kalian yang dulu pernah membaca bukunya mungkin akan bernostalgia.

Selain setia pada materi orisinalnya, versi serial TV ini memiliki efek visual yang enak dipandang. Well, walau khusus untuk penampilan monsternya, memang tidak begitu seram, tetapi jika dibandingkan dengan deskripsi di buku, itu sudah sesuai. Mungkin, itu karena tergetnya adalah anak-anak dan remaja sehingga penggambaran monsternya tidak semengerikan itu. Jadi, kalian yang berharap melihat monster seram dan sadis, mungkin sebaiknya turunkan ekspektasi kalian ya.

Akan tetapi, selain daripada itu, semua ditampilkan dengan kualitas visual yang oke. Aku suka sekali dengan latar Perkemahan Blasterannya—persis seperti yang kubayangkan. Suasana perkemahan bisa disajikan dengan tepat, lengkap dengan kehadiran Mr. D alias Dionysus (Jason Mantzoukas) dan Chiron (Glynn Turman) dengan karakter mereka yang kontras. Selain itu, latar lain yang paling kusuka adalah Dunia Bawah. Aku mengagumi cara serial ini menampilkan Dunia Bawah, negeri orang mati. Alih-alih digambarkan gelap dan suram serta dipenuhi jeritan, Dunia Bawah dalam serial ini ditampilkan sepi—dengan cara yang depresif. Istana Hades (Megan Mullally) sang Dewa Orang Mati dan Kekayaan, juga terlihat begitu mengagumkan. Aku pikir itu adalah efek visual kualitas film layar lebar.

Selain itu, aku ingin mengomentari penampilan akting dari ketiga tokoh utama kita: Walker Scobell sebagai Percy Jackson, Leah Sava Jeffries sebagai Annabeth Chase, dan Aryan Simhadri sebagai Grover Underwood. Menurutku, akting mereka bertiga bagus dan mampu menghidupkan karakter orisinal masing-masing versi bukunya. Akan tetapi, chemistry ketiganya sebagai Percy, Annabeth, dan Grover masih kurang menyatu, agak sedikit kaku. Atau itu disengaja ya, karena kan ketiganya baru pertama kali satu tim?

Di sisi lain, aku ingin memberikan apresiasi lebih untuk chemistry antara Walker Scobell sebagai Percy Jackson dengan Virginia Kull sebagai Sally Jackson, ibunya Percy. Dibandingkan dengan versi bukunya, peran Sally Jackson dalam versi serial TV lebih ditonjolkan lagi—dan itu dieksekusi dengan sangat baik. Chemistry kedua pemerannya sempurna—keduanya berhasil memerankan putra dan ibu yang rela melakukan apapun demi melindungi satu sama lain. Penampilan mereka terkadang membuat mataku berkaca-kaca.

Kemudian, aku agak terkejut dengan konsep ceritanya yang dikemas menjadi road movie. Ketiga anak ini bertualang melintasi Amerika Serikat untuk menyelesaikan misi mereka. Dalam perjalanan tersebut, tentu mereka menghadapi berbagai monster yang ingin memakan mereka. Dengan konsep road movie tersebut, aku merasa seperti diajak berjalan-jalan melihat tempat-tempat cantik di Amerika—cukup menyenangkan.

Sementara itu, untuk adegan action-nya, aku agak kecewa karena kurang banyak. Jika kalian membaca ulang novelnya, kalian akan tahu bahwa tidak semua pertarungan Percy melawan para monster dilakukan dengan adegan action, maka wajar jika adegan pertarungannya tidak banyak. Namun, yang aku kurang suka adalah adegan pertarungan puncaknya, yakni ketika Percy melawan seorang dewa pengkhianat (silakan tonton sendiri untuk tahu siapa dewanya), durasi pertarungannya terlalu singkat. Adegan pertarungan puncaknya itu cepat sekali, sedangkan pertarungan saat permainan tangkap bendera bisa lebih lama. Padahal, adegannya sudah oke dengan koreografi, scoring, dan efek visual yang bagus. Jika durasinya bisa diperpanjang sedikit lagi, pasti akan lebih memuaskan.

Kemudian, mungkin ini sedikit menjadi masalah ya: konsep mitologi Yunani-nya dikemas dengan kurang baik. Ini cukup vital bagi cerita karena mitologi Yunani adalah tema besar cerita ini. Hanya saja, dalam serial TV ini rasanya hal itu kurang berhasil dijelaskan ke penonton. Ketika bertemu satu sosok dari mitologi Yunani, ketika diceritakan tentang kisah mereka malah terasa seperti info dumping. Seharusnya, mungkin pengenalan para sosok mitos ini bisa dibuat lebih dramatis lagi, terutama bagi para dewa untuk menimbulkan kesan yang lebih kuat.

Omong-omong, serial TV ini sudah dikonfirmasi akan berlanjut ke musim kedua dengan mengadaptasi buku kedua dari serial novelnya: The Sea of Monsters. Proses syutingnya sudah dimulai dan mari kita tunggu saja kapan tanggal tayangnya. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.

***

American Nightmare

(2024)

Judul

:

American Nightmare

Sutradara

:

Bernadette Higgins, Felicity Morris

Musim/Episode

:

1 Musim/3 episode

Genre

:

Docuseries, kejahatan nyata

American Nightmare adalah sebuah serial dokumenter yang disutradarai oleh Bernadette Higgins dan Felicity Morris. Serial dokumenter ini mendapat respons positif di Rotten Tomatoes dari para kritikus. Kalian bisa menontonnya di Netflix.

American Nightmare meliput sebuah kasus penculikan yang menimpa korban perempuan bernama Denise Huskins yang terjadi pada Maret 2015. Pada saat itu, Denise Huskins diculik pada waktu malam dari tempat tinggalnya dengan pacarnya, Aaron Quinn di Vallejo, California. Akan tetapi, setelah melaporkannya ke pihak kepolisian Vallejo, mereka dan FBI malah beranggapan bahwa penculikan itu adalah rekayasa pasangan kekasih tersebut, mirip dengan film terkenal Gone Girl. Bahkan Denise Huskins dilabeli sebagai “the real Gone Girl”. Berita tentang rekayasa penculikan ini bahkan masuk berita nasional dan pasangan tersebut mendapat cibiran dari masyarakat.

Di sisi lain, ada seorang detektif dari kantor kepolisian lain yang sedang menyelidiki kasus yang dia duga berhubungan dengan kasus Denise Huskins dan Aaron Quinn. Detektif tersebut lalu menemukan bukti-bukti bahwa penculikan yang dialami Denise Huskins benar terjadi. Apakah Denise Huskins dan Aaron Quinn dapat membuktikan kepada dunia bahwa kejahatan yang mereka alami sungguhan terjadi? Apakah pelakunya dapat ditangkap?

Secara pribadi, aku menyukai dokumenter tentang kejahatan nyata. Aku juga suka menonton video-video di internet yang merangkum kasus-kasus kejahatan nyata. Terkadang, mendengar kisah kejahatan nyata sama serunya dengan cerita crime drama yang jelas-jelas fiksi. Hanya saja, kalau dokumenter kejahatan nyata juga menimbulkan rasa tidak tega dan sedih karena itu sungguh terjadi, ada korban sungguhan yang berduka atas peristiwa tersebut. Salah satunya adalah kasus penculikan Denise Huskins dan Aaron Quinn ini.

Serial dokumenter tiga episode ini berhasil merangkum kasus tersebut dengan pas. Dokumenter ini mampu menimbulkan rasa menegangkan dan penasaran yang tidak berhenti sampai akhir. Tidak hanya itu, mungkin—dan sangat mungkin—kalian juga akan merasa geram dan ingin menyumpahi pihak kepolisian Vallejo ketika sampai di akhir dokumenter ini. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa dokumenter ini juga berisi kasus perkosaan dan pelecehan seksual sehingga bisa triggering bagi sebagian orang.

Dalam menghadapi kasus kejahatan seksual, sebaiknya kita memihak korban dan percaya padanya. Masalah kasusnya benar terjadi atau tidak, itu bisa nanti dibuktikan, tetapi yang utama adalah memihak korban. Apabila kita sudah percaya dan memberi dukungan kepada korban, lalu ternyata terbukti kasusnya tidak terjadi, tidak ada ruginya bagi kita pribadi. Namun, jika kita tidak percaya korban dan bahkan menghancurkan kredibilitas korban, tapi ternyata sungguhan terjadi kejahatan seksual, dampak yang korban rasakan akan berlipat-lipat. Korban yang sudah merasa hancur atas kejadian yang menimpanya akan makin hancur ketika tidak ada orang yang mau percaya padanya. Selain itu, dengan tidak percaya pada cerita korban kejahatan seksual, kita malah menciptakan lingkungan yang tak aman bagi korban-korban lainnya karena mereka pasti akan bungkam karena takut dihakimi, dan itu akan membuat kejahatan seksual makin mudah terjadi karena orang-orang diam saja—yang lebih buruk, kejahatan seksual mungkin akan dianggap normal.

Sayangnya, kerangka berpikir tersebut tidak dilakukan oleh pihak kepolisian Vallejo pada saat menangani kasus penculikan Denise Huskins. Alih-alih mencoba menyelidiki dengan serius, pihak kepolisian Vallejo malah melabeli pasangan tersebut penipu. Bahkan, sengaja merusak reputasi mereka dengan memberikan pernyataan resmi tentang itu. Jika kalian menonton dokumenternya, kalian pasti akan sangat murka melihatnya. Pihak kepolisian bisa saja menyelamatkan Denise Huskins lebih awal jika mereka percaya pada Aaron Quinn, alih-alih berasumsi bahwa Aaron Quinn telah membunuh pacarnya tersebut.

Dokumenter ini memperlihatkan ketidakbecusan pihak kepolisian dalam menangani kasus, spesifiknya kasus kejahatan seksual, yang seharusnya membuat mereka malu dan memberikan permintaan maaf resmi. Akan tetapi, yang lebih membuat geram adalah di akhir dokumenter diberitahukan bahwa petugas-petugas kepolisian yang menangani kasus ini malah mendapatkan penghargaan atau promosi. Ketika korban harus menderita atas peristiwa buruk yang dia alami serta dihujat sebagai pembohong oleh masyarakat, pihak kepolisian yang tidak becus kerjanya malah dapat penghargaan dan promosi—sungguh luar biasa. Setelah menonton serial dokumenter ini, kalian akan menyadari bahwa yang jahat dalam kisah nyata ini bukan si pelaku penculikan saja. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.

***

Avatar: the Last Airbender (Live Action)
Season 1

(2024–on going)

Judul

:

Avatar: The Last Air Bender

Pengembang

:

Albert Kim

Produser eksekutif

:

Albert Kim, Jabbar Raisani, Dan Lin, Lindsey Liberatore, Michael Goi

Produser

:

Bonnie Benwick, Joshua Hale Fialkov, Ubah Mohamed

Musim/Episode

:

1 Musim/8 episode (on going)

Pemeran

:

Gordon Cormier, Kiawentiio, Ian Ousley, Dallas Liu, Paul Sun-Hyung

Genre

:

High fantasy, petualangan, action, drama

Avatar: The Last Airbender adalah sebuah serial adaptasi live action dari serial animasi terkenal (dan sangat bagus pula) yang berjudul sama dari Nickelodeon karya Michael Dante DiMartino dan Bryan Konietzko. Sebenarnya, serial animasi Avatar: The Last Airbender sudah pernah diadaptasi ke bentuk film live action pada tahun 2010, tetapi film tersebut mendapat respons yang negatif (dan sejujurnya aku pun belum menontonnya karena reviu buruk tersebut). Adaptasi yang kali ini justru mendapat respons yang lebih positif dari penggemar. Kalian bisa menyaksikannya di Netflix.

Avatar: The Last Airbender mengambil latar di dunia fiktif yang masyarakatnya terbagi menjadi empat negara: Suku Air, Kerajaan Bumi, Negara Api, dan Pengembara Udara. Di dunia tersebut, terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan pengendalian, yakni kemampuan memanipulasi salah satu dari empat elemen klasik: air, tanah, api, dan udara. Namun, ada satu pengendali yang disebut Avatar yang dapat menguasai keempat elemen. Sosok Avatar ini dihormati sekali dan dianggap sebagai pembawa keseimbangan dunia serta sebagai jembatan antara dunia material dan dunia roh.

Dahulu, keempat negara hidup dengan damai, tapi semuanya berubah saat Negara Api menyerang. Dengan ambisi memperluas wilayahnya dan menaklukkan negara-negara yang lain, Negara Api memulai perang yang kelak dikenal sebagai Perang Seratus Tahun. Negara Api bahkan telah membunuh seluruh Pengembara Udara, memusnahkan peradaban mereka dari muka bumi. Hanya Avatar yang bisa menghentikannya, tapi saat dunia membutuhkannya, dia menghilang.

Seratus tahun berlalu, kakak beradik dari Suku Air Selatan, Katara (Kiawentiio) dan Sokka (Ian Ousley) menemukan seorang bocah di dalam bongkahan es. Dia adalah pengendali udara terakhir bernama Aang (Gordon Cormier)—sang Avatar yang baru. Walaupun dia masih anak-anak, dia memiliki tanggung jawab besar untuk menghentikan perang. Maka dari itu, bersama kedua teman barunya, Aang memulai perjalanannya untuk belajar mengendalikan ketiga elemen lainnya sebelum menghadapi Raja Api demi mengembalikan keseimbangan dunia.

Kalau membicarakan cerita semeseta Avatar, rasanya tidak bisa hanya singkat karena ada banyak hal yang bisa dibahas. Namun, mungkin yang pertama kubahas adalah perbandingan antara versi serial animasi dengan versi serial live action-nya dulu ya. FYI, sebelum serial live action-nya tayang, aku sengaja menonton ulang serial animasinya lagi dari episode pertama—and it is still a masterpiece. Secara umum, ada perubahan yang agak signifikan antara versi animasi dengan versi live action, walaupun unsur-unsur penting dari versi animasi masih dipertahankan. Tentu itu bisa dimaklumi karena mengubah cerita animasi 20 episode (khusus musim pertama saja) menjadi cerita live action 8 episode membutuhkan penyesuaian di sana-sini. Untungnya, penyesuaian tersebut tidak menghilangkan daya tarik yang dimiliki versi animasinya.

Bagiku pribadi, ada penyesuaian yang terasa oke dan malah menarik karena memberikan vibes yang berbeda dari versi animasinya, seperti ada kebaruan; tetapi ada yang malah terasa kurang cocok karena gagal menyampaikan hal-hal tersirat yang ingin disampaikan versi animasinya. Selain itu, ada beberapa tokoh yang kalau di versi animasi muncul di musim kedua, tetapi dimunculkan di musim pertama di versi live action ini.

Penyesuaian yang berhasil itu contohnya adalah (spoiler alert) episode tentang Jet (Sebastion Amoruso), Sai sang Mekanik (Danny Pudi) dan Teo (Lucian-River Chauhan), serta Omashu dan Raja Bumi (Utkarsh Ambudkar). Di versi animasi, cerita mereka sendiri-sendiri, tetapi di versi live action cerita mereka digabungkan dan hasilnya bagus. Sementara penyesuaian yang kurang berhasil itu contohnya adalah (spoiler alert) ketika Aang, Katara, dan Sokka tersesat di dunia roh. Di versi animasinya, cerita ini diawali dengan amukan roh bernama Hei Bai—yang secara tersirat ingin memperlihatkan dampak buruk perang terhadap lingkungan; tetapi bagian itu tak berhasil ditangkap di versi live action. Selain itu, pada bagian tersebut di versi live action malah dimunculkan Koh sang Pencuri Wajah (George Takei), padahal seharusnya dia muncul ketika Aang sudah sampai di kutub Utara; dan Wan Shi Tong (Randall Duk Kim), roh burung hantu, yang seharusnya muncul di musim kedua sebagai penjaga perpustakaan keramat, tetapi di sini dia muncul seperti roh random di tengah hutan—itu mereduksi perannya sebagai roh penjaga pengetahuan. Itu sebagian contoh saja, dan mungkin kalian punya pendapat berbeda.

Bentuk penyesuaian lainnya adalah adanya adegan-adegan baru yang tidak ada di versi animasinya. Salah satu contohnya adalah adegan pembukanya, yakni peristiwa kelam Genosida Pengembara Udara. Dengan membuka cerita menggunakan adegan sekelam itu, penonton bisa langsung mengerti seberapa jahatnya musuh dalam cerita ini, seberapa buruknya perbuatan Negara Api. Inilah salah satu hal yang membuat cerita Avatar: The Last Airbender begitu menarik: dia berani menampilkan kejahatan seperti genosida dengan cara yang akan mudah diterima penonton dan akan membuat penonton turut marah. (Sedikit OOT, untuk kalian yang masih berpikir bahwa genosida adalah perang, mungkin kalian bisa menonton serial ini dan meresapinya, bahwa genosida adalah pembantaian suatu kaum dan penghapusan segala kebudayaan dan warisan mereka, dan itu tidak sama dengan perang ya.) Iya, cerita Avatar: The Last Airbender memang kelam, dan versi live action ini sepertinya kurang cocok untuk anak-anak; mungkin targetnya memang remaja dan dewasa.

Selain ceritanya, desain produksi serial adaptasi live action ini juga bagus. Aku suka efek visualnya yang mampu menampilkan aksi para pengendali dengan amat keren. Koreografi para pengendali juga terlihat apik dan dinamis sehingga adegan pertarungannya pun terasa sengit. Latar tempat serta kostum para tokohnya pun dibuat semirip mungkin dengan versi animasinya, dan hasilnya keren sekali. Uniknya lagi adalah latar tempat serta kebudayaannya mampu merepresentasikan kebudayaan negara-negara Asia yang memang menjadi inspirasi utama dalam worldbuilding semesta Avatar, seperti Kuil Udara yang mirip bangunan-bangunan di Tibet dan kota Omashu yang arsitekturnya mirip bangunan-bangunan Asia Selatan. Tidak hanya itu, pemilihan pemerannya juga memperhatikan aspek keberagaman dan representasi sehingga worldbuilding-nya terasa makin kuat. Serial ini mampu menunjukkan dirinya tidak whitewashing dengan cara yang tidak terkesan memaksa atau sok politically correct.

Sementara itu, salah satu kelemahan adaptasi live action ini adalah perkembangan karakter Aang. Seingatku, di sepanjang cerita ini, tidak ditampilkan Aang belajar pengendalian air, padahal tujuan utama cerita di musim pertama seharusnya adalah Aang belajar pengendalian air. Entah penulisnya lupa atau memang sengaja mengubahnya, tetapi aku rasa mereka lalai terhadap poin sepenting itu.

Selain itu, aku kurang suka juga dengan (spoiler alert) kemunculan Avatar lain sebelum Aang. Dalam versi animasinya, Avatar terdahulu yang paling sering muncul adalah Avatar Roku, sebab pada masanya Perang Seratus Tahun dimulai, dan dia ingin membimbing Aang untuk menghentikan perang tersebut. Namun, di versi live action ini, ada beberapa Avatar terdahulu lain yang dimunculkan, dan itu terasa seperti fan service yang tidak perlu. Masalahnya, serial live action ini menampilkan para Avatar itu dengan citra yang terkesan keliru. Roku memang humoris, tetapi malah ditampilkan terlalu lawak; Kyoshi memang tegas dan dingin, tetapi sepertinya bukan pemarah yang suka membentak-bentak. Ditambah lagi, konsep Avatar yang bereinkarnasi menurut siklus rasanya disampaikan dengan cara yang keliru, sehingga seakan-akan tiap Avatar itu “berbeda” alih-alih satu orang yang sama yang terus terlahir kembali di kehidupan yang berbeda-beda.

Walaupun begitu, ini memang sebuah adaptasi live action yang terbilang sukses. Serial ini bisa membuat para penggemar lama bernostalgia dan membuat penggemar baru memulai eksplorasi mereka di semesta Avatar yang keren sekali ini. Selain itu, serial ini sudah dikonfirmasi akan lanjut ke musim kedua dan ketiga, yang tinggal kita tunggu kapan tayangnya. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.

***

Only Murders in the Building
Season 3

(2023–on going)

Judul

:

Only Murders in the Building

Pencipta

:

Steve Martin, John Hoffman

Produser eksekutif

:

Dan Fogelman, Jess Rosenthal, Jamie Babbit, Steve Martin, Martin Short, Selena Gomez, John Hoffman

Produser

:

Thembi Banks, Jane Raab, Nick Pavonetti, Kristin Bernstein, Madeleine George, Sas Goldberg, Tess Morris

Musim/Episode

:

3 Musim/30 episode (on going)

Pemeran

:

Steve Martin, Martin Short, Selena Gomez

Genre

:

Misteri, drama komedi

Only Murders in the Building adalah sebuah serial bergenre misteri-komedi orisinal dari Hulu. Musim pertamanya tayang pada Agustus 2021, musim keduanya tayang pada Juni 2022, dan musim ketiganya tayang pada Agustus 2023. Serial ini meraih banyak penghargaan sejak debutnya sehingga terbilang sukses. Sudah dikonfirmasi bahwa musim keempatnya akan tayang pada Agustus 2024. Kalian dapat menonton Only Murders in the Building di Hulu dan Disney+ Hotstar.

Only Murders in Building bercerita tentang tiga orang penghuni apartemen Arconia: Charles-Haden Savage (Steve Martin), Oliver Putnam (Martin Short) dan Mabel Mora (Selena Gomez), yang mencoba memecahkan misteri kasus kematian di gedung apartemen mereka, dan membagikannya melalui siaran podcast ‘siniar’ yang bertajuk Only Murders in the Building. Menyambung adegan epilog di musim keduanya, kali ini geng Only Murders in Building akan menyelidiki kematian seorang aktor bernama Ben Glenroy (Paul Rudd). Namun sebelum itu, kita harus menengok ke satu tahun sebelum peristiwa nahas itu terjadi.

Setelah membersihkan nama mereka di musim kedua, geng Only Murders in Building membuka peluang bagus dalam jalan hidup mereka. Charles kembali berakting dan menjalin hubungan dengan penata rias kenalannya, Joy Payne (Andrea Martin). Oliver mendapat tawaran untuk menyutradarai sebuah pementasan teater setelah sekian lama. Sementara itu, hanya Mabel yang tampaknya diam di tempat. Semua terasa baik bersama kedua rekan lansianya itu ketika memecahkan misteri pembunuhan dan membuat siniar, tetapi dengan kedua temannya melanjutkan hidup di jalan masing-masing, Mabel bingung harus melakukan apa dalam hidupnya.

Satu-satunya hal yang masih mempersatukan ketiganya adalah pementasan yang disutradarai Oliver. Charles menjadi salah satu aktor di dalamnya dan Mabel sesekali berkunjung sebab dirinya mengagumi pemeran utamanya, seorang aktor papan atas: Ben Glenroy. Semua berjalan lancar di awal, tetapi makin mendekati hari pertunjukan perdana, konflik antarpemeran pecah. Puncaknya adalah ketika Ben tewas di panggung tepat saat dia akan tampil.

Siapapun yang terlibat dalam pementasan ini berpotensi menjadi pelakunya, mereka semua memiliki motif. Di sisi lain, ini adalah kesempatan bagi Mabel untuk mempersatukan rekan-rekannya kembali, because it takes two to tango, but it takes three to solve a murder. Akankah mereka berhasil menemukan pelaku pembunuhan Ben dan menyelamatkan pementasan Oliver?

Dari ketiga musim Only Murders in the Building, sebenarnya musim ketiga ini ada di peringkat terbawah, walaupun bukan berarti jelek ya. Hanya saja, jika dibandingkan dengan kedua musim sebelumnya, aku rasa musim ketiga memiliki penyajian misteri yang kurang gereget. Aku penasaran dengan siapa pelakunya, tetapi sempat bosan karena terlalu banyak masalah personal dari masing-masing tokoh yang bercampur aduk di sini. Bahkan, sebenarnya kasus kali ini tidak sesusah itu untuk dipecahkan, tidak seperti dua kasus sebelumnya, tetapi karena masing-masing tokoh punya agenda sendiri, jadilah penyelidikan mereka lama. Namun sekali mereka bekerja sama dengan serius, cepat saja kok selesainya.

Meskipun begitu, ada beberapa poin unggul dari musim ketiga ini. Tentu saja salah satunya adalah kehadiran dua pemeran istimewa: Paul Rudd sebagai Ben Glenroy dan Meryl Streep sebagai Loretta Durkin. Agak berbeda dari penampilan Cara Delevingne di musim lalu, kedua aktor tersebut memerankan tokoh yang penting bagi cerita. Paul Rudd memerankan Ben Glenroy yang merupakan korban pembunuhan kali ini, dan karkaternya memiliki beberapa lapisan yang menarik sekali—di akhir, mungkin kalian akan merasa kasihan padanya. Sementara itu, Meryl Streep memerankan Loretta Durkin yang merupakan salah satu aktris dalam pementasan Oliver, juga yang menjadi love interest-nya Oliver nanti. Kehadiran dua aktor papan atas itu membawa warna baru bagi serial ini.

Kemudian, seperti yang tadi kubilang, pada musim ini para geng Only Murders in the Building memiliki masalah personal masing-masing, terutama urusan cinta. Kali ini, ketiganya memiliki pasangan dan tampak bahagia. Hal ini menarik karena ketiganya mengalami permasalahan romansa yang berbeda-beda. Oliver jelas sedang dimabuk kepayang bersama Loretta, tapi akankah itu bertahan saat dia tahu rahasia Loretta? Mabel yang sedang kebingungan menentukan jalan hidup berkencan dengan pria bernama Tobert (Jesse Williams), tapi tidak ada yang serius di antara mereka, selain penyelidikan kematian Ben Glenroy. Sedikit OOT, aku terus terang mulai bosan dengan Mabel yang bergonta-ganti pacar di setiap musim. Selanjutnya, yang paling malang adalah Charles, sebab semua awalnya baik bersama Joy, hingga dia sendiri yang membuatnya berantakan. Tiga pasangan, tiga masalah cinta—kalian mungkin akan tertarik dengan sentuhan baru ini.

Selain itu, ada pula elemen musikalnya loh. Itu sesuatu yang menyenangkan karena sesuai dengan tema musim ini: pementasan teater. Lagi-lagi Oliver muncul dengan ide gilanya sehingga jadilan musim ini memiliki adegan-adegan musikal. Secara mengejutkan, lagu-lagunya terdengar asyik kok, hahaha. Beberapa aktor pun tampil bernyanyi dengan memukau. Ini sebuah sentuhan yang fresh.

Hal menarik lainnya dari musim ketiga ini ialah ceritanya menyoroti hubungan ibu dan anak. Mungkin tidak secara terang-terangan disampaikan ya, tetapi musim ketiga ini menyampaikan kepada penonton betapa besarnya kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Aku tidak akan bicara banyak untuk yang ini karena akan ada kejutannya, yang sebaiknya kalian tonton sendiri.

Walaupun ada kekurangan di sana sini, Only Murders in the Building tetap menjadi tontonan kesukaanku. Musim keempatnya pun akan tayang pada bulan Agustus 2024. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini.

***

Doctor Slump

(2024)

Judul

:

Doctor Slump

Sutradara

:

Oh Hyun Jong

Penulis

:

Baek Seon Woo

Produser eksekutif

:

Kim Se Ah, Kim Da Hee, Lee Soo Bum

Produser

:

Han Suk Won, Hwang Gi Yong

Musim/Episode

:

1 Musim/16 episode

Pemeran

:

Park Hyung Sik, Park Shin Hye

Genre

:

Drama psikologis, komedi romantis, drama medis

Doctor Slump adalah drakor terbaru yang dibintangi oleh Park Shin Hye dan Park Hyung Sik. Drakor ini bisa kalian tonton di Netflix. Ceritanya tentang dua orang rival saat masih SMA yang lalu sama-sama menjadi dokter, tetapi mengalami masa terpuruk dalam karir mereka. Yeo Jeong Woo (Park Hyung Sik) dan Nam Ha Neul (Park Shin Hye) adalah dua murid peringkat teratas di sekolah mereka. Keduanya bersaing gila-gilaan demi peringkat tersebut. Setelah lulus, keduanya pun memilih kuliah kedokteran, tetapi keduanya tak pernah lagi saling menghubungi.

Bertahun-tahun kemudian, keduanya sukses menitih karir di jalan masing-masing. Jeong Woo menjadi dokter bedah plastik sekaligus dokter selebriti dan mengelola bisnis, sementara Ha Neul menjadi dokter anestesi dan akan menjadi profesor. Akan tetapi, keduanya mengalami keterpurukan yang memaksa mereka berhenti dari pekerjaan. Terjadi kecelakaan medis di klinik Jeong Woo yang membuatnya dituduh melakukan malpraktik; sementara Ha Neul diperlakukan dengan tidak hormat oleh seniornya yang membuat dirinya burnout dan depresi.

Di saat keduanya berada di titik terendah dalam hidup, takdir mempertemukan mereka kembali. Saat tak ada lagi teman yang mau mengulurkan bantuan kepada mereka, mereka hanya punya satu sama lain. Dua saingan yang pernah sama-sama di titik teratas, kini bertemu kembali di titik terbawah. Akankah mereka bisa melewati semua masalah dan menemukan kebahagiaan?

Bagi beberapa orang, drakor satu ini mungkin bukan pilihan favorit mereka, tetapi bagiku, drakor ini punya tempat istimewa. Yang membuat drakor ini bagus adalah bagaimana ia lekat dengan perasaan banyak orang, tentang kesehatan mental, hubungan, dan cinta.

Tentu daya tarik pertama yang membuatku menonton drakor ini adalah kedua pemeran utamanya: Park Shin Hye dan Park Hyung Sik. Kualitas akting mereka tidak perlu lagi diragukan. Penampilan mereka mengagumkan dengan chemistry yang begitu menghangatkan. Walaupun rasanya risih melihat mereka mengenakan seragam SMA saat adegan-adegan kilas balik, aku masih menyukai penampilan mereka. Aku suka dengan karakter Jeong Woo yang komikal dan kekanak-kanakan serta karakter Ha Neul yang serius dan kaku.

Akan tetapi, poin unggul drakor ini terletak pada caranya mengangkat isu kesehatan mental yang dialami kedua tokoh utamanya. Sedari awal, kita sudah diperlihatkan bagaimana Ha Neul didiagnosis depresi oleh psikiater dan bagaimana Jeong Woo mengalami post traumatic stress disorder (PTSD) setelah kecelakaan medis yang dialaminya. Drakor ini menunjukkan bahwa tidak masalah untuk pergi ke profesional ketika kita mengalami gangguan kesehatan mental, itu bukan hal buruk. Daripada mendiagnosis sendiri, sebaiknya kita mencari bantuan profesional. Meskipun mengambil langkah pertama tersebut berat, itu akan sangat membantu untuk memulai perjalanan memulihkan diri.

Secara khusus, aku meraka relate dengan karakter Ha Neul. Dalam drakor ini, dia bilang bahwa dia tipe orang yang suka menyisihkan makanan yang paling dia suka untuk dimakan terakhir; dan aku adalah tipe yang seperti itu juga. Namun masalahnya, Ha Neul jadi suka menunda kebahagiaannya. Dia pikir bersenang-senang akan terasa lebih baik jika dia sudah sukses, maka dia terus fokus mengejar posisi teratas dan menahan diri untuk bersenang-senang; hingga tanpa sadar, dia melewatkan tahun-tahun masa mudanya. Secara pribadi, aku juga pernah berpikir demikian, meskipun tidak seekstrem Ha Neul, tetapi tetap saja, aku bisa mengerti perasaan lelahnya yang merasa semua yang dia telah usahakan selama ini tersia-siakan.

Bagi kalian yang merasa stres karena pekerjaan atau burnout, kalian akan sangat relate dengan Ha Neul. Hustle culture serta senioritas yang dialami Ha Neul tentu juga dialami banyak orang. Itu sangat melelahkan dan disayangkan ketika orang-orang justru menganggapnya normal; tak ada satupun orang yang pantas diperlakukan seperti Ha Neul di tempat kerja. Di sisi lain, orang-orang yang pernah mengalami kecelakaan saat bekerja, terutama para dokter yang pernah mengalami kecelakaan medis, akan relate dengan Jeong Woo. Memang kasusnya Jeong Woo lebih spesifik dibandingkan Ha Neul, tetapi tetap saja penonton secara umum dapat mengerti stres yang dirasakan Jeong Woo.

Selain itu, aku pun sangat menyukai kisah cinta di drakor ini. Perjalanan cinta Ha Neul dan Jeong Woo terasa bittersweet dan akan membuat kalian tersenyum dan terharu. Berawal dari saingan, lalu menjadi teman, lalu menjadi kekasih—walaupun semuanya cepat, tetapi prosesnya itu sangat menyenangkan. Memang sih agak cringe, terutama gara-gara kelakuan lucu Jeong Woo, tetapi justru aku senang karena mereka tampak membutuhkan hiburan sederhana di tengah-tengah keterpurukan yang sedang mereka alami. Menurutku, kisah cinta mereka terasa tulus dan jujur karena keduanya bertemu saat sama-sama di titik terendah sehingga dapat saling mengerti apa yang satu sama lain sedang hadapi, serta tak memiliki motif lain selain untuk bersama. Bagian favoritku adalah ketika mereka pertama kali main di arcade dan pergi ke pantai bersama—such perfect scenes to capture their little happiness that so precious.

Kemudian, keberadaan para tokoh pendukungnya pun juga menyenangkan, mereka turut meramaikan suasana. Ada Bin Dae Young (Yoon Park) dan Lee Hong Ran (Gong Seong Ha), sahabat terdekatnya Jeong Woo dan Ha Neul. Mereka berdua satu-satunya teman yang masih setia mendampingi Jeong Woo dan Ha Neul. Keduanya juga memiliki subplot kisah cinta sendiri, dan menurutku porsinya pas. Kalian pasti juga akan penasaran akan jadi seperti apa hubungan mereka nantinya.

Ada juga keluarganya Ha Neul yang selalu memberi dukungan moral kepada Jeong Woo dan Ha Neul. Meskipun tidak ada elemen drama keluarga yang cukup menonjol, tetapi peran keluarga Ha Neul dalam cerita ini tetap penting, terutama untuk perkembangan karakter Ha Neul—juga comedy relieves, hahaha. Kehangatan keluarga Ha Neul bahkan merupakan salah satu bagian yang kusuka dari drakor ini—ada momen mengharukan dan membahagiakan ketika melihat keluarga Ha Neul lengkap bersama-sama (tentu ditambah Jeong Woo, hahaha).

Mungkin, kekurangan drakor ini terletak di jumlah episodenya yang terlalu banyak. Ada 16 episode, padahal menurutku, 12 episode saja sudah cukup. Akibatnya, plotnya diperpanjang sampai agak membosankan di akhir-akhir.

Akan tetapi, drakor ini tetaplah sebuah drakor yang bagus dan menyenangkan untuk ditonton. Konklusi yang didapat setiap tokoh di akhir cerita rasanya sudah tepat, dan dapat diambil hikmahnya oleh penonton. Aku turut merasa senang menyaksikan perjalanan Jeong Woo dan Ha Neul untuk pulih dan menemukan cinta. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.

***

Queen of Tears

(2024)

Judul

:

Queen of Tears

Sutradara

:

Jang Young Woo, Kim Hee Won

Penulis

:

Park Ji Eun

Produser eksekutif

:

Lee Hye Young, Park Joo Yeon, Kang Hee Wook

Produser

:

Kim Je Hyun, Yoo Sang Won, Jang Jin Wook, Jang Young Woo, Kim Tae Hun, Heo Do Yun, Jo Su Yeong

Musim/Episode

:

1 Musim/16 episode + 2 episode spesial

Pemeran

:

Kim Soo Hyun, Kim Ji Won, Park Sung Hoon

Genre

:

Komedi romantis, drama

Queen of Tears adalah drakor yang sangat ramai dibicarakan di semester pertama tahun 2024. Rasanya, pada tiap pekan masa penayangannya, media sosial ramai membicarakan drakor satu ini. Kesuksesan Queen of Tears pun terbukti dengan menjadi drama dengan rating tertinggi di saluran TVN, menggeser posisi Crash Landing on You. Drakor ini juga mendapat peringkat ketiga sebagai drakor dengan rating tertinggi dalam sejarah pertelevisian kabel Korea. Drakor ini bisa kalian tonton di Netflix.

Queen of Tears berkisah tentang pasutri yang rumah tangganya di ujung tanduk. Baek Hyun Woo (Kim Soo Hyun) menikah dengan Hong Hae In (Kim Ji Won) yang berasal dari keluarga konglomerat yang memiliki Queens Group. Meskipun di awal mereka begitu saling mencintai terlepas dari perbedaan karakter masing-masing, rumah tangga mereka yang masih seumur jagung itu sekarang hampir berakhir. Hyun Woo tak lagi merasa bahagia bersama Hae In, dan bahkan keduanya sudah cukup lama pisah ranjang. Ditambah lagi, keluarga Hae In memperlakukannya bagai pekerja alih-alih menantu. Hyun Woo sudah memantapkan hatinya akan menggugat cerai Hae In.

Akan tetapi, saat Hyun Woo ingin menyampaikan niatnya tersebut ke Hae In, istrinya itu menyampaikan berita mengejutkan lebih dulu. Hae In memiliki tumor otak yang langka dan sulit disembuhkan, dan diperkirakan umurnya tinggal tiga bulan lagi. Situasi tak terduga tersebut mengubah segalanya. Ketika maut hendak memisahkan mereka, keduanya malah kembali menghidupkan cinta yang hampir sirna. Namun, ada banyak rintangan yang menanti mereka di depan. Dapatkah keduanya memperbaiki hubungan mereka di sisa-sisa hari mereka bisa bersama?

Jika premisnya menurut kalian mirip dengan sinetron, ya memang mirip sinetron. Banyak sinetron di Indonesia yang memiliki cerita serupa, tetapi eksekusi Queen of Tears berada di level yang berbeda. Mulai dari alur cerita, akting para pemerannya, scoring dan soundtrack, sampai tata kostumnya disajikan dengan baik.

Cerita Queen of Tears dibuka dengan perspektif Hyun Woo yang lelah dengan pernikahannya. Di awal, kita diperlihatkan betapa dinginnya Hae In dan keluarganya terhadap Hyun Woo. Namun setelahnya, kita diperlihatkan sudut pandang Hae In, bahwa dirinya juga sama menderitanya dengan Hyun Woo, tetapi dia harus menahan semua itu agar tidak terlihat lemah. Sebagai wanita karier yang memiliki banyak saingan, kelemahan sekecil apapun tidak boleh terlihat agar dia dapat mempertahankan posisinya. Menurutku, itu cara yang menarik untuk membuka cerita romantis ini, bahwa jauh di dalam, keduanya sama-sama tersiksa dengan keadaan mereka.

Drakor ini juga tahu cara untuk membuat akhir yang meninggalkan rasa penasaran di setiap episodenya. Akhir episode pertama adalah ketika Hae In bilang kepada Hyun Woo bahwa hidupnya tidak lama lagi. Siapa yang tidak terkejut dan penasaran dengan itu? Bukan hanya akhir yang membuat penasaran, beberapa episode Queen of Tears memiliki akhir yang membuat menangis. Salah satu favoritku adalah waktu Hyun Woo menemukan Hae In yang tersesat di desanya, serta ketika Hyun Woo menyusul Hae In ke Jerman. Di momen-momen tersebut, walaupun rumah tangga keduanya dipenuhi keputusasaan dan penyesalan, ada percik-percik harapan bahwa cinta mereka masih bisa dihidupkan kembali. Dilengkapi dengan soundtrack Love You with All My Heart oleh Crush, suasana romantis yang disuguhkan adegan-adegan tersebut dibawa ke level yang berbeda—perfect.

Tentu saja romansa drakor ini juga didukung oleh kualitas akting Kim Soo Hyun dan Kim Ji Won yang luar biasa. Mereka tampil dengan sempurna di sini, menunjukkan kualitas mereka sebagai aktor dan aktris dengan jam terbang tinggi. Chemistry mereka begitu menghanyutkan, penonton pasti akan invested pada karakter yang mereka mainkan. Mereka sukses menghidupkan karakter Hyun Woo dan Hae In yang memiliki kisah cinta yang tak lekang waktu. It is a great love story, which is delivered by performances of great actors.

Di samping romansa, ada juga konflik perebutan harta dan kekuasaan yang sebenarnya sudah klasik di drakor. Karena latar belakang keluarga Hae In adalah keluarga chaebol alias konglomerat, konflik seperti ini sudah pasti tidak luput dimasukkan. Malah, permasalahan keluarga ini menjadi salah satu faktor yang mendorong Hyun Woo dan Hae In berbaikan, termasuk kedua keluarga besar mereka. Yang awalnya aku tidak terlalu peduli pada keluarga mereka berdua, aku jadi menaruh perhatian pula pada mereka semua. Tak hanya drama Hae In dan Hyun Woo yang penting, tetapi perkembangan setiap karakter juga penting. Drakor ini tahu cara untuk membuat kita menyukai seluruh aspeknya.

Di sisi lain, penampilan para antogonisnya juga tak kalah menarik. Antagonis yang paling menarik perhatian ialah Yoon Eun Sung (Park Sung Hoon) yang juga suka pada Hae In dan ingin merebutnya dari Hyun Woo. Dia antagonis yang sinting karena cinta, tetapi karakternya tidak sesederhana itu. Perasaan diabaikan dan kesepian membuatnya menjadi seperti itu. Hal tersebut membuatnya menjadi antagonis yang tidak sekadar jahat dan serakah, tetapi juga seorang yang jatuh cinta sampai menjadi gila.

Namun, antagonis satunya, Moh Seul Hee (Lee Mi Sook), terasa sedikit kurang, kalau menurutku ya. Dia juga tampil dengan baik sebagai antagonis—seorang wanita kejam yang licik dan serakah, yang pasti akan membuat kalian ingin marah. Akan tetapi, (spoiler alert) tak ada alasan khusus baginya menyerang keluarga Hae In selain harta. Akan lebih baik jika ternyata dia punya masalah di masa lalu dengan keluarga Hae In, tetapi karena itu tidak ada, karakternya jadi sesederhana wanita serakah yang akan menghalalkan segala cara demi apa yang dia mau—agak downgrade jika dibandingkan dengan Eun Sung.

However, both are still good enemies for this story, and for the hero and heroine. Kisah cinta Hyun Woo dan Hae In, yang diwarnai dengan masalah penyakit mematikan, orang ketiga yang ingin merusak rumah tangga mereka, serta huru hara keluarga konglomerat, merupakan kisah cinta yang sayang sekali jika dilewatkan. Begitu sampai di akhir cerita, aku sangat senang melihat bahwa setiap tokoh mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan masing-masing setelah semua yang mereka hadapi. “The time that I’ve spent with you is miracle,” adalah kutipan yang begitu indah dari drakor ini, yang sangat cocok menggambarkan cinta Hyun Woo dan Hae In untuk satu sama lain. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.

Sebelumnya (Serial TV Terfavorit 2023)

Selanjutnya (Part 2)

Komentar