How to Make Millions Before Grandma Dies: Cerita Menghangatkan dan Mengharukan tentang Cucu dan Nenek—Nonton Ini Harus Siapin Tisu yang Banyak

Identitas Film Judul : How to Make Millions Before Grandma Dies Sutradara : Pat Boonnitipat Produser : Vanridee Pongsittisak, Jira Maligool Tanggal rilis : 4 April 2024 (Thailand), 15 Mei 2024 Rumah produksi : Jor Kwang Films Penulis naskah : Pat Boonnitipat, Thodsapon Thiptinnakorn Durasi tayang : 2 jam 5 menit Pemeran : Putthipong "Billkin" Assaratanakul, Usha "Taew" Seamkhum, Sarinrat "Jear" Thomas, Sanya "Duu" Kunakorn, Pongsatorn "Phuak" Jongwilas, Himawari Tajiri, Tontawan "Tu" Tantivejakul, Duangporn Oapirat Genre : Potongan kehidupan , komedi, drama keluarga   Sinopsis M (Putthipong "Billkin" Assaratanakul) ada

The Fire Keeper: Sebuah Sekuel Petualangan-Fantasi yang Lebih Eksploratif dan Representatif terhadap Mitologi dan Kebudayaan Suku Maya

Identitas Buku

Judul

:

The Fire Keeper (The Storm Runner #2)

Penulis

:

J. C. Cervantes

Penerbit

:

Disney Hyperion

Tahun terbit

:

2019

Cetakan

:

I

Tebal

:

423 halaman

Harga

:

Rp138.000,- (paperback), Rp294.000,- (hardcover)

ISBN

:

9781368041881

Genre

:

High fantasy, fantasi urban, mitologi, petualangan, coming of age, komedi, middle grade

 

Tentang Penulis

J. C. Cervantes atau juga dikenal dengan nama Jennifer Cervantes adalah seorang penulis New York Times best-selling. Dia tumbuh besar di San Diego, California, dekat dengan perbatasan Tijuana. Di sanalah dirinya menemukan kekagumannya terhadap mitologi Maya dan Aztek.

Kini dia tinggal di Land of Enchantment (alias New Mexico) bersama suami dan ketiga anaknya. Ia mengawali karir menulisnya dengan buku Tortilla Sun (2010), yang terinspirasi dari putri bungsunya. Sejak saat itu, J. C. Cervantes telah menulis banyak buku, baik buku anak-anak, young adult, dan dewasa. Beberapa karya lainnya adalah The Storm Runner (2018), The Fire Keeper (2019), The Shadow Crosser (2020), Fractured Path (2022), Flirting with Fate (2022), The Lords of Night (2022), Always Isn't Forever (2023), The Enchanted Hacienda (2023), dan Dawn of the Jaguar (2023). Karya terbarunya berjudul The Daggers of the Ire direncanakan terbit pada tahun 2024.

Saat ini, karya-karyanya tersebut telah masuk dalam American Booksellers Association New Voices, Barnes and Noble’s Best Young Reader Books, and Amazon’s Best Books of the Month. Dia pun telah mendapatkan banyak penghargaan dan pengakuan sebagai penulis.

J. C. Cervantes berharap agar anak-anak di manapun dapat melihat diri mereka tercermin dalam halaman-halaman buku yang memberi inspirasi bagi mereka serta belajar untuk melihat melampaui kehidupan mereka sendiri, mengenali dan merayakan perbedaan. Ketika sedang tak menulis, dia senang menghantui toko buku dan mencari sihir ke seluruh sudut dunia. Kalian dapat mengetahui lebih banyak tentang J. C. Cervantes melalui https://jccervantes.com/ atau di medsosnya, @jencerv (Twitter) dan @authorjcervantes (Instagram).

 

Sinopsis

Zane Obispo,
Putra Hurakan

Hidup baru Zane Obispo di sebuah pulau tropis yang telah disiapkan para dewa seharusnya menyenangkan. Dia bersama keluarga tercintanya dan dikelilingi orang-orang yang paling dia pedulikan. Anjing kesayangannya, Rosie, juga kembali, meski kini berwujud anjing neraka; dan entah mengapa hubungannya dengan Rosie seperti berubah—tidak sama seperti dulu. Ditambah lagi, Zane juga kebingungan mengenai perasaannya dengan Brooks.

Akan tetapi, setelah mendapatkan kabar bahwa ayahnya, Hurakan sang Dewa Angin, Badai, dan Api akan dieksekusi mati karena memiliki anak dengan manusia (dan anak itu adalah Zane sendiri), dirinya tidak bisa diam saja. Hurakan telah menyelamatkan Zane sebelumnya, maka sekarang gilirannya menyelamatkan Hurakan.

Namun, seakan keadaan belum cukup buruk, Zane mendapati bahwa buku yang ditulisnya tentang petualangannya mengalahkan Ah-Puch sang Dewa Kematian, Kegelapan, dan Kehancuran—yang di dalamnya dia tuliskan pesan rahasia untuk anak-anak dewa[1] lainnya di luar sana—telah membuat keberadaan para anak dewa tersebut diketahui, menjadikan posisi mereka rentan untuk diserang. Bahkan, Zane mendapatkan visi bahwa para anak dewa tengah diculik oleh sosok misterius. Zane merasa bertanggung jawab atas itu.

Banyak yang harus Zane lakukan: menyelamatkan Hurakan sebelum dia dieksekusi dan menyelamatkan para anak dewa dari penculik misterius yang tampaknya merencanakan sesuatu yang lebih besar dan jahat. Namun, bagaimana Zane bisa melakukannya jika dirinya terjebak di pulau tropis yang kini seperti kurungan baginya? Dalam petualangan kali ini, dia harus bersekutu dengan orang tak terduga, membuat pengorbanan besar, menghadapi musuh yang licik dan keji, serta mengungkap rahasia yang lebih kelam dari yang bisa dia bayangkan.

 

Kelebihan

Dari penampilan fisiknya, aku paling suka buku satu ini dibandingkan dua buku lainnya dalam trilogi The Storm Runner. Menurutku, sampul The Fire Keeper adalah yang terbagus. Itu menjadi suatu kelebihan tersendiri bagi buku ini.

Hal lain yang kusuka dari buku ini adalah perkembangan karakter Zane. Pada buku sebelumnya, Zane terasa sekali sangat kekanak-kanakan, egois, dan ceroboh, yang membuatku sebal pada banyak kesempatan. Dia seperti tidak bisa melihat gambaran besar yang lebih penting. Akan tetapi, pada buku ini sudah terasa sekali dia menjadi lebih dewasa.

Dia telah berkembang baik sebagai tokoh utama cerita sekaligus sebagai narator. Dari cara dia bernarasi saja sudah terasa perkembangan karakternya. Dia tidak lagi banyak menyisipkan komentar sinis terhadap segala hal. Dia tidak lagi hanya mengutarakan kepentingannya yang kekanak-kanakan. Dan sebagai tokoh utama, sebagai jagoan, Zane telah mampu mengesampingkan egonya. Dia dengan sadar mengakui tanggung jawabnya dan mau memikulnya. Hal tersebut terlihat dari caranya merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada para anak dewa dan keinginannya untuk menyelamatkan Hurakan.

Omong-omong terkait cara bernarasinya Zane, (spoiler alert) kalian yang telah tuntas membaca buku pertamanya akan paham mengapa cara Zane bercerita seperti itu (kalian harus membaca bukunya dulu supaya paham maksudku). Itu merupakan pendekatan yang menarik bagiku. Pada buku kali ini pun, Zane seakan-akan bercerita kepada para anak dewa. Sejak prolog saja aku sudah dibuat penasaran dengan ceritanya.

Yang lebih menarik lagi ialah gaya bercerita tersebut menjadi modal bagi konflik di buku ini. Dengan membuat beberapa “halaman rahasia” yang seharusnya hanya bisa dibaca para anak dewa, Zane telah mengekspos mereka ke dunia mitologi Maya, menjadikan keberadaan mereka diketahui sehingga mereka menjadi sasaran. Kemudian, para anak dewa ini diculik oleh musuh dalam buku ini. Itu ide yang brilian!

Tidak hanya itu, aku juga suka dengan misi yang harus Zane dkk hadapi. Misi kali ini memiliki pertaruhan yang lebih tinggi dan berat, serta lebih rumit. Ada banyak hal yang harus Zane kerjakan di saat bersamaan, tetapi terlalu banyak yang tak dia ketahui. Musuhnya begitu cerdik—siapapun dia, dia telah berhasil mempermainkan Zane. Itu adalah sesuatu yang menarik sekali karena meningkatkan rasa penasaranku dan mendorongku untuk terus membalik halaman.

Alur ceritanya juga cukup rumit. Karena ada banyak hal yang tak diketahui Zane, dia berkali-kali harus mencari jawaban dari sosok-sosok tak terduga. Itu membawa kita mengeksplorasi mitologi dan kebudayaan Maya lebih jauh lagi. Akan tetapi, yang cukup mengejutkan adalah kehadiran dewa dan makhluk mitologi dari panteon Aztek (untuk yang belum tahu, bangsa Maya dan mitologi mereka berbeda dari Aztek; usia peradaban Maya juga jauh lebih tua daripada Aztek). Ini menarik sekali—J. C. Cervantes telah mengembangkan semesta The Storm Runner ke arah yang tak terduga. Oh, tadi kubilang bahwa petualangan Zane kali ini mengantarkannya bertemu sosok-sosok tak terduga, ‘kan? Salah satu di antaranya adalah sang Penjaga Api (The Fire Keeper). Kalian tak akan menduga siapa sosok Penjaga Api itu. Sebuah pengembangan worldbuilding yang brilian.

Ren Santiago,
Bruja Bayangan
Omong-omong, ada tokoh baru dalam timnya Zane. Namanya adalah Ren Santiago, seorang gadis yang tertarik dengan alien. Dia seperti Zane, seorang anak dewa (baca sendiri untuk mengetahui orang tua dewatanya Ren). Ren adalah tokoh yang menarik karena dia memiliki potensi yang besar. Latar belakangnya—yang berasal dari keluarga bruja (sebutan untuk penyihir dalam kebudayaan suku Mexica)—saja sudah menjadi suatu cerita tersendiri. Dia pun memiliki kekuatan dewata yang keren banget, serta kepribadian yang tulus. Aku ingin melihat lebih banyak hal tentang Ren digali lebih dalam.[2]

Oh, kemudian, akan ada sekutu tak terduga! Dia adalah kejutan besar dalam buku ini. Cerdik sekali ya J. C. Cervantes. Anyway, kemunculan si sekutu tak terduga ini sangatlah menarik untuk plot. Bagiku, dia mendadak menjadi sosok berbahaya yang memikat. Aku juga menyukai chemistry-nya dengan Ren.

Hurakan, Dewa Angin, Badai, dan Api
Kemudian, adegan favoritku dalam buku ini adalah ketika Zane bertemu Hurakan. Entah mengapa, bagiku pertemuan mereka terasa menghangatkan hati. Hubungan Hurakan dan Zane terasa lebih intim ketimbang Percy Jackson dengan Poseidon. Hurakan mengajari Zane tentang identitas dan potensi Zane—itu membuatku lebih menyukainya daripada Poseidon. Apalagi di The Fire Keeper, ketika Hurakan sedang dalam masalah, aku merasa motivasi Zane menyelamatkannya bukan sekadar balas budi atau kewajiban, sepertinya dia memang peduli pada ayahnya tersebut.

 

Kelemahan

Walaupun secara umum The Fire Keeper telah melebihi buku sebelumnya, aku masih merasakan beberapa kelamahan dalam buku ini. Salah satunya adalah alurnya yang agak membosankan di pertengahan. Di awal, cerita langsung masuk ke misi menyelamatkan Hurakan. Namun, arah ceritanya baru terlihat jelas ketika cerita sampai di halaman 190-an. Sebelum itu, ada lebih banyak petualangan berputar-putar, yang walaupun cukup seru karena menjelajahi Xibalba (Dunia Bawahnya mitologi Maya), tetap saja terasa agak dragging.

Selain itu, aku tidak melihat adanya motivasi yang kuat dari salah satu antagonisnya. (Spoiler alert), salah satu antagonis dalam buku ini adalah sang Kelelawar Kematian (aku tidak akan membocorkan nama aslinya). Sayangnya, ketika kucari tahu tentang dia, aku tidak menemukan kisah tentangnya sebagai penjahat yang ingin menguasai dunia atau apa. Dia tidak seperti Kronos yang pernah digulingkan dewa-dewi Olympus[3], atau seperti si Penidur yang memang dijerumuskan takdir untuk menjadi penghancur dunia[4], atau seperti Ah-Puch yang ingin membalas dendam.[5] Tidak ada motivasi yang cukup jelas bagi si Kelelawar Kematian untuk berulah jahat, baik di buku ini maupun di kisah-kisah mitologi Maya yang diketahui.

Kemudian, kelemahan satu ini sebetulnya permasalahan selera ya. Menurutku, (spoiler alert) adegan ketika Zane mengorbankan tongkat kesayangannya—yang dia namakan Fuego—tidak sesedih itu. Aku cukup bersimpati kepada Zane karena harus merelakan alat yang sudah menjadi barang kesukaannya; rasanya pasti sesedih ketika kita kehilangan barang kesayangan kita. Namun, aku jadi membandingkannya dengan Riptide milik Percy Jackson atau pisau perunggu milik Annabeth Chase. Maka dari itu, ketika Zane kehilangan Fuego, aku tidak merasa syok, tidak seperti sewaktu Annabeth kehilangan pisau perunggunya.[6] Mungkin karena aku belum se-invested itu dengan Zane dan Fuego. Mungkin kalau itu terjadi di buku selanjutnya, perasaan yang kudapat bisa lebih intens.

 

Kesimpulan

The Fire Keeper merupakan sekuel yang secara umum melebihi buku sebelumnya. Misi kali ini lebih genting dan rumit sehingga Zane harus memutar otak. Namun, keberadaan Ren si tokoh baru dan juga sekutu yang tak terduga membuat arah petualangan kali ini tak tertebak sama sekali. Meski alurnya terasa membosankan di pertengahan, kejutan demi kejutan yang muncul mampu membuat ceritanya bisa dinikmati, salah satunya berkat kemunculan sosok-sosok tak terduganya. Selain itu, berkat gaya penceritaan Zane yang lebih dewasa, buku ini terasa berbeda sekali dari buku sebelumnya—terasa lebih baik dan menyenangkan. Dan meskipun antagonisnya kekurangan motivasi jahat dan aku belum bisa se-invested itu kepada Zane dan Fuego, aku menyukai buku ini karena pengembangan mitologi Maya yang dilakukan J. C. Cervantes amat menarik; apalagi dia juga menambahkan mitologi Aztek ke dalam ceritanya. Skor untuk buku satu ini adalah 8/10. Buku ini harus dibaca oleh kalian yang sudah menyelesaikan The Storm Runner, serta seluruh penggemar cerita fantasi mitologi.

Sayangnya, The Fire Keeper belum dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Jadi, kalian yang sebelumnya membaca The Storm Runner edisi bahasa Indonesia harus bersabar dulu ya. Atau kalian bisa langsung membaca yang versi bahasa Inggrinsya saja kalau memang sepenasaran itu dengan kelanjutan petualangan Zane dan teman-temannya.

Sebelumnya (The Storm Runner)

Selanjutnya (The Shadow Crosser)

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 


[1] Dalam versi orisinal bahasa Inggris, anak dari manusia dan dewa disebut godborn.

[2] Rupanya Ren memiliki spin-off tentang dirinya. Sebuah dwilogi yang diiberi judul dwilogi Shadow Bruja.

[3] Silakan baca serial Percy Jackson and the Olympians karya Rick Riordan.

[4] Silakan baca serial Aru Shah and the End of Time karya Roshani Chokshi.

[5] Silakan baca buku The Storm Runner karya J. C. Cervantes.

[6] Baca The Mark of Athena karya Rick Riordan. 

Komentar