Dua Hati Biru: Sebuah Sekuel yang Lebih Dewasa dan Mendidik (Cocok Ditonton Pasangan yang Ingin Menikah)

Identitas Film Judul : Dua Hati Biru Sutradara : Dinna Jasanti, Gina S. Noer Produser : Chand Parwez Servia, Gina S. Noer, Riza, Sigit Pratama Tanggal rilis : 17 April 2024 Rumah produksi : Starvision, Wahana Kreator Penulis naskah : Gina S. Noer Durasi tayang : 1 jam 46 menit Pemeran : Angga Yunanda, Aisha Nurra Datau, Farrell Rafisqy, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Lulu Tobing, Keanu AGL, Maisha Kanna Genre : Drama keluarga, romantis   Sinopsis Setelah empat tahun berkuliah dan bekerja di Korea, Dara (Aisha Nurra Datau) kembali ke Indonesia demi bisa tinggal bersama suaminya, Bima (Angga Yunanda), dan putranya yang masih kecil, Adam (Farrell Rafisqy). Namun, kedatang

The Storm Runner: Gabungan The Lightning Thief, The Red Pyramid, dan Diary of A Wimpy Kid versi Mitologi Maya

Identitas Buku

Judul

:

The Storm Runner (The Storm Runner #1)

Penulis

:

J. C. Cervantes

Penerbit

:

Disney Hyperion

Tahun terbit

:

2019

Cetakan

:

I

Tebal

:

426 halaman

Harga

:

Rp167.000,- (softcover); Rp294.000,- (hardcover)

ISBN

:

9781368023603

Genre

:

High fantasy, fantasi urban, mitologi, petualangan, coming of age, middle grade

 

Tentang Penulis

J. C. Cervantes atau juga dikenal dengan nama Jennifer Cervantes adalah seorang penulis New York Times best-selling. Dia tumbuh besar di San Diego, California, dekat dengan perbatasan Tijuana. Di sanalah dirinya menemukan kekagumannya terhadap mitologi Maya dan Aztek.

Kini dia tinggal di Land of Enchantment (alias New Mexico) bersama suami dan ketiga anaknya. Ia mengawali karir menulisnya dengan buku Tortilla Sun (2010), yang terinspirasi dari putri bungsunya. Sejak saat itu, J. C. Cervantes telah menulis banyak buku, baik buku anak-anak, young adult, dan dewasa. Beberapa karya lainnya adalah The Storm Runner (2018), The Fire Keeper (2019), The Shadow Crosser (2020), Fractured Path (2022), Flirting with Fate (2022), The Lords of Night (2022), Always Isn't Forever (2023), The Enchanted Hacienda (2023), dan Dawn of the Jaguar (2023). Karya terbarunya yang akan terbit berjudul The Daggers of Ire.

Saat ini, karya-karyanya tersebut telah masuk dalam American Booksellers Association New Voices, Barnes and Noble’s Best Young Reader Books, and Amazon’s Best Books of the Month. Dia pun telah mendapatkan banyak penghargaan dan pengakuan sebagai penulis.

J. C. Cervantes berharap agar anak-anak di manapun dapat melihat diri mereka tercermin dalam halaman-halaman buku yang memberi inspirasi bagi mereka serta belajar untuk melihat melampaui kehidupan mereka sendiri, mengenali dan merayakan perbedaan. Ketika sedang tak menulis, dia senang menghantui toko buku dan mencari sihir ke seluruh sudut dunia. Kalian dapat mengetahui lebih banyak tentang J. C. Cervantes melalui www.jccervantes.com atau di medsosnya, @jencerv (Twitter) dan @authorjcervantes (Instagram).

 

Sinopsis

Zane Obispo

Zane Obispo adalah seorang anak berusia 13 tahun dengan kelainan pada kakinya. Satu kakinya lebih pendek dari yang satunya sehingga membuatnya pincang dan harus menggunakan tongkat. Zane membenci itu sebab anak-anak lain di sekolah selalu merundungnya karena itu. Namun, bukannya diam saja ketika dirundung, Zane melawan—dan itu membuatnya terus terkena masalah di sekolah.

Maka dari itu, dia memutuskan untuk home schooling, dan sudah setahun dia melakukannya. Dia hanya tinggal bersama ibunya dan pamannya yang hanya lebih tua darinya beberapa tahun. Karena dia tinggal di gurun pasir, lingkungan rumahnya juga sepi—hanya ada dua tetangga yang dekat dengannya. Untuk mengisi waktu luang, Zane suka mengeksplorasi gunung berapi tak aktif di belakang rumahnya—yang dia namai The Beast—bersama dengan anjing peliharaan kesayangannya, Rosie.

Malam itu Zane menyaksikan sendiri ada pesawat perintis yang jatuh masuk ke kawah The Beast. Namun, yang membuat Zane terguncang adalah sang pilot terlihat mengerikan seperti monster—atau iblis. Keesokan harinya, seorang gadis misterius seusianya, Brooks, muncul. Dia mengatakan bahwa Zane memiliki peran penting dalam sebuah ramalan kuno yang melibatkan Dewa Kematian Maya yang terkurung di dalam The Beast. Zane diramalkan akan membebaskan sang dewa, yang merupakan ancaman bagi dewa-dewi lainnya.

Kemunculan Brooks membuka dunia baru bagi Zane. Mitologi Maya beserta makhluk-makhuk di dalamnya ternyata nyata. Dengan semakin dekatnya takdir Zane untuk membebaskan sang Dewa Kematian, Zane harus pergi dari rumah untuk menjalankan sebuah misi—misi yang akan membawanya untuk mengungkap siapa dirinya dan apa kekuatannya.

 

Kelebihan

The Storm Runner adalah buku pertama dari trilogi The Storm Runner; dan katanya awalnya buku ini diniatkan menjadi buku stand-alone, bukan buku berseri. Namun tak apa, aku malah senang karena ingin melihat lebih banyak petualangan Zane dan Brooks. Serial The Storm Runner juga adalah serial ketiga dari Rick Riordan Presents yang telah kubaca. Sebelumnya, aku sudah membaca serial Pandawa karya Roshani Chokshi (meski baru sampai buku ketiga) dan serial Seribu Dunia karya Yoon Ha Lee (meski baru sampai buku pertama).[1] Mungkin, aku akan sedikit membandingkan buku ini dengan buku-buku karya kedua penulis tersebut serta buku-bukunya Rick Riordan ya.

Sebagai salah satu buku berlabel Rick Riordan Presents, The Storm Runner mengangkat mitologi Maya sebagai tema utamanya. Aku sama sekali tidak familiar dengan mitologi dan kebudayaan suku Maya, selain yang kutahu mereka suka sekali melakukan pengorbanan manusia dan sistem kalender mereka sangat canggih pada masanya. Belakangan ini pun aku baru tahu nama Dewa Kukuulkaan berkat film Black Panther: Wakanda Forever (baca reviunya di sini). Jadi, aku membaca buku ini tanpa bekal pengetahuan mitologi Maya apapun.

Itu menjadi suatu kelebihan karena aku jadi tertarik dengan segala konsep worldbuilding-nya.[2] Aku jadi penasaran dengan sosok dewa-dewinya dan makhluk-makhluk supranatural lainnya. Rupanya dewa-dewi Maya unik-unik loh—ada Hurakan, Dewa Badai dan Api; Ixkakaw, Dewi Coklat dan Pohon Kakao; Kukuulkaan atau K’ukumatz, Dewa Air dan Angin dan Dewa Pencipta. Bahkan, J. C. Cervantes juga memunculkan sesosok dewi yang terlupakan dari sejarah—sebuah sentuhan kreatif sebagai cara untuk memperluas worldbuilding buku ini. Selain itu, ada berbagai makhluk supranatural Maya yang muncul dalam buku ini, seperti nawal (perubah wujud), nik’ wachinel (cenayang), raksasa, iblis, dan lain-lain. Semua begitu asing bagiku sekaligus sangat menarik.

Kelebihan berikutnya dari buku ini adalah penokohannya. Zane Obispo, tokoh utama dalam buku ini, adalah seorang anak dengan kelainan pada kakinya, yaitu salah satu kakinya lebih pendek dari yang satunya sehingga dia berjalan pincang. Dia adalah sosok representasi kelompok disabilitas dalam semesta Rick Riordan Presents. Kasus kelainan seperti yang dialami Zane bisa terjadi di dunia nyata; (spoiler alert) sementara di buku ini, penyebab kelainan yang Zane alami adalah gen dewata dari ayahnya—karena darah kaum fana dan supranatural tidak kompatibel untuk bercampur.

Dengan menjadi representasi penyandang disabilitas, Zane memperlihatkan bahwa sosok pahlawan tidak harus selalu “sempurna” secara fisik. Meskipun memiliki kelainan, Zane tetap bisa menjadi pahlawan. Yang sangat aku suka adalah (spoiler alert) nantinya dijelaskan bahwa kaki Zane yang pendek sebelah, kaki yang dia benci dan anggap sebagai kecacatannya, rupanya adalah kunci untuk mengakses kekuatan dewata dalam dirinya. Itu menyiratkan bahwa bagian tubuh kita yang kita benci bisa jadi adalah letak kekuatan utama kita, bahwa sebenarnya itu bukan cela, dan diri kita sebenarnya sempurna dan utuh, tapi hanya berbeda.

Hondo Obispo, paman Zane

Berikutnya, Zane ditemani teman-temannya dalam petualangannya, yakni Brooks dan pamannya, Hondo Obispo. Bisa dibilang tim mereka ini unik karena ada Hondo yang seorang manusia biasa. Dalam buku-buku Rick Riordan dan Rick Riordan Presents, sangat jarang manusia biasa dijadikan tokoh utama cerita. Selain Hondo, hanya pernah Rachel Dare dari serial Percy Jackson and the Olympians. Kalau Zane menjadi representasi penyandang disabilitas, Hondo mungkin menjadi representasi orang biasa yang memperlihatkan bahwa tanpa kekuatan supranatural pun seseorang dapat menjalani petualangan berbahaya, hahaha. But anyway, aku menyukai karakter Hondo yang lucu dan penuh percaya diri.

Brooks, seorang nawal

Aku juga suka dengan hubungan Zane dan Brooks. Dinamika mereka mengingatkanku pada kru Lockwood & Co. dari serial novel Lockwood & Co. karya Jonathan Stroud. Mereka dapat bekerja sama dengan baik, sambil bercekcok tentang segala hal. Terkadang, terasa geregetan melihat mereka mendebatkan hal yang kurang penting di situasi genting. Meskipun begitu, dengan adanya sedikit romansa di antara keduanya, terdapat kesan genre coming of age dalam cerita ini.

Sementara itu, dari segi alurnya, buku ini memiliki pace yang cepat. Sejak cerita dimulai pada halaman pertama, cerita mengalir terus dan konfliknya pun meningkatkan dengan lumayan cepat. Sebagai buku pertama dari sebuah trilogi, pace yang cepat tersebut membuat buku ini tidak berbasa-basi di awal untuk mengenalkan worldbuilding-nya. Itu dapat menjadi kelemahan (yang akan kubahas nanti), tetapi juga kelebihan karena aku justru jadi terpancing untuk terus melanjutkan ceritanya agar dapat mengerti apa yang terjadi sebenarnya.

Kemudian, ketika aku membacanya, aku jadi teringat buku The Red Pyramid karya Rick Riordan. Seperti pada buku tersebut, para tokoh utamanya bertualang tanpa bimbingan dewata—tidak ada benda ajaib sebagai bekal ataupun ramalan sebagai petunjuk. Zane dan teman-temannya sendirian dalam misi mereka. Bahkan, jika mereka mencari bantuan kepada dewa-dewi, itu menjadi bahaya bagi mereka. Di sisi lain, itu menjadikan konflik buku ini semakin seru, juga memberikan kesan berbeda tentang karkater dewa-dewi Maya sehingga buku ini tetap memiliki orisinalitasnya, tidak terbayangi karya-karya Rick Riordan.

Oh iya, aku suka banget dengan treatment narasinya. Cerita ini menggunakan sudut pandang Zane sebagai orang pertama. J. C. Cervantes membuat seakan-akan Zane sendiri yang menulis buku ini dan menuturkan cerita dengan gayanya. Gaya narasinya itu terkesan tengil, membuatnya terasa seperti Diary of Wimpy Kids. (Spoiler alert) namun, yang membuatnya unik adalah cerita ini ditujukan kepada dewa-dewi dan terdapat pesan rahasia di dalamnya. Bahkan, halaman pesan rahasianya dicetak dengan kertas berwarna lebih gelap—itu desain produk yang keren sekali. Tapi apa maksudnya buku ini ditujukan kepada dewa-dewi dan ada pesan rahasianya? Kalian harus baca sendiri untuk tahu jawabannya!

Omong-omong soal akhir yang brilian, akhir buku ini memang keren. Jika kalian penyuka plot twist, akhir buku ini memiliki plot twist yang tak disangka-sangka. Pemahamanku tentang buku ini berubah drastis setelah sampai di akhir dan aku jadi penasaran dengan kelanjutkannya. Jika dewa-dewi Yunani penuh tipu daya, dewa-dewi Maya jauh lebih penuh tipu daya, kebohongan, dan kepura-puraan.

(Spoiler alert) bagian favoritku dari buku ini adalah ketika Zane bertemu dengan Hurakan di The Empty. Hubungan ayah-anak keduanya terasa menghangatkan hati. Entah mengapa, aku selalu suka melihat kebersamaan mereka. Mungkin karena keduanya mengingatkanku dengan Percy dan Poseidon. Aku sangat suka melihat bagaimana Hurakan tetap peduli pada Zane, mau membimbingnya dalam petualangannya.

 

Kelemahan

Salah satu kelemahan buku ini adalah pace cepatnya. Seperti yang kubilang tadi, begitu mulai membaca buku ini, rasanya tidak berbasa-basi penulis langsung membuat si tokoh utama terseret ke dalam kekacauan supranatural Maya. Apalagi, tidak ada momen “orientasi” bagi Zane; dia langsung terjun ke dalam misi. Bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan cerita semacam ini, mereka mungkin akan kebingungan dan tak dapat menikmati cerita—bahkan aku sempat merasakan hal serupa karena aku tidak akrab dengan mitologi Maya.

Setelah pace yang cepat di awal, alur terasa lambat berkembang di pertengahan. (Spoiler alert) sampai ketika Brooks menjelaskan tentang ramalan mengenai Zane, aku tahu bahwa pada akhirnya Zane akan membebaskan sang Dewa Kematian, lalu Zane akan bertualang untuk menyegel kembali sang dewa. Namun, dari momen sejak Zane mendapati soal ramalan tersebut sampai akhirnya Zane membebaskan sang Dewa Kematian itu rupanya cukup panjang. Bahkan, petualangan untuk menyegel kembali sang Dewa Kematian baru dimulai setelah hampir halaman 200.

Selanjutnya pun petualangan mereka bukan yang mengunjungi beragam tempat. Jika kalian berpikir petualangan Zane seperti petualangan Percy dan Annabeth yang ke banyak lokasi dan bertemu makhluk-makhluk mitologi berbahaya, kalian mungkin akan kecewa. (Spoiler alert) petualangan Zane itu lebih straight forward—dia mencari petunjuk ke sini, lalu ternyata tidak ada, maka dia mencari lagi ke tempat lain, lalu melawan Dewa Kematian. Di satu sisi, aku mengerti alasannya, yakni karena Zane dan teman-teman bertualang tanpa petunjuk dan bekal apa-apa; di sisi lain, aku tetap merasa kurang puas karena kurang terasa adventurous.

Kemudian, penjelasan tentang mitologi Maya dalam ceritanya terasa kurang lengkap dan detail. Hal ini juga terjadi dalam buku Aru Shah and the End of Time yang merupakan buku pertama dalam serialnya. Padahal jika ada, pembaca yang awam terhadap mitologi Maya sepertiku bisa memahami konteks cerita dengan lebih baik. Bahkan, penjelasan di glosarium bisa dibilang minim. Aku ingin agar tiap mereka bertemu dengan sesosok dewa atau makhluk supranatural lain, ada penjelasan mengenai mereka berdasarkan mitologi Mayanya.

Terakhir, ada beberapa tokoh dengan peran penting, tetapi muncul hanya sebentar, yaitu Saqik’oxol/White Sparkstriker dan Quinn. Mereka hanya muncul di bagian akhir cerita, pada babak klimaks. Aku yakin mereka punya banyak hal yang dapat diceritakan, terutama Quinn, mengingat dia kakaknya Brooks. Sementara itu, aku juga penasaran dengan White Sparkstriker Tribe. Seharusnya ada lebih banyak penjelasan tentang itu.

 

Kesimpulan

Sampul The Storm Runner versi awal (kiri) dan versi
terjemahan bahasa Indonesia (kanan)

The Storm Runner adalah sebuah buku pembuka dari sebuah trilogi yang penuh potensi. Buku ini memiliki tokoh utama seorang representasi kelompok penyandang disabilitas, yang memperlihatkan bahwa seorang penyandang disabilitas juga dapat menjadi pahlawan. Selain itu, dinamika sang tokoh utama dengan teman-temannya juga menyenangkan. Sentuhan romansa tipis antara Zane dan Brooks pun menambah warna pada cerita ini sehingga terasa sebagai cerita coming of age. Selain itu, dengan mengangkat mitologi Maya sebagai temanya, buku ini dapat menjadi pintu untuk melihat mitologi Maya yang penuh dengan dewa-dewi licik dan makhluk-makhluk supranatural sakti—walaupun penjelasannya kurang detail dan lengkap.

Akan tetapi, pace cepat yang dimiliki buku ini dapat menjadi kelemahan karena membuat ceritanya terasa mengebut di awal, meskipun juga terasa page-turning.[3] Kemudian, alur ceritanya pun tak tertebak dan memiliki plot twist di akhir, walaupun di pertengahan keseruannya agak sedikit menurun. Bagaimanapun, The Storm Runner adalah buku yang menyenangkan dan aku berikan skor 7/10. Buku ini cocok untuk para pembaca Rick Riordan dan J. C. Cervantes serta bagi orang-orang yang tertarik dengan cerita fantasi yang benapaskan mitologi dari berbagai belahan dunia.

Selanjutnya (The Fire Keeper)

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 


[1] Untuk pentalogi Pandawa karya Roshani Chokshi, aku sudah membaca buku Aru Shah and the End of Time, Aru Shah and the Song of Death, dan Aru Shah and the Tree of Wishes. Untuk trilogi Seribu Dunia karya Yoon Ha Lee, aku sudah membaca Dragon Pearl. Reviu semuanya sudah ada di blogku, silakan dibaca.

[2] Worldbuilding adalah proses mengonstruksi dunia imajiner, terkadang diasosiasikan dengan semesta fiksional (sumber: Wikipedia).

[3] Page-turning berarti sebuah buku yang menarik, seru, dan menegangkan, biasanya sebuah novel (sumber: The Free Dictionary).

Komentar