Identitas Buku
Judul
|
:
|
The Storm Runner (The Storm
Runner #1)
|
Penulis
|
:
|
J. C. Cervantes
|
Penerbit
|
:
|
Disney Hyperion
|
Tahun terbit
|
:
|
2019
|
Cetakan
|
:
|
I
|
Tebal
|
:
|
426 halaman
|
Harga
|
:
|
Rp167.000,- (paperback);
Rp294.000,- (hardcover)
|
ISBN
|
:
|
9781368023603
|
Genre
|
:
|
High fantasy, fantasi urban, mitologi, petualangan, coming
of age, middle
grade
|
Tentang Penulis
J. C. Cervantes atau juga dikenal dengan nama Jennifer Cervantes adalah
seorang penulis New York Times best-selling. Dia
tumbuh besar di San Diego, California, dekat dengan perbatasan Tijuana. Di
sanalah dirinya menemukan kekagumannya terhadap mitologi Maya dan Aztek.
Kini dia tinggal di Land of Enchantment (alias
New Mexico) bersama suami dan ketiga anaknya. Ia mengawali karir menulisnya
dengan buku Tortilla Sun (2010),
yang terinspirasi dari putri bungsunya. Sejak saat itu, J. C. Cervantes telah
menulis banyak buku, baik buku anak-anak, young adult, dan
dewasa. Beberapa karya lainnya adalah The Storm Runner (2018),
The Fire Keeper (2019), The
Shadow Crosser (2020), Fractured Path (2022),
Flirting with Fate (2022), The
Lords of Night (2022), Always Isn't Forever (2023),
The Enchanted Hacienda (2023),
dan Dawn of the Jaguar (2023). Karya terbarunya yang akan terbit berjudul The Daggers of Ire.
Saat ini, karya-karyanya tersebut telah masuk dalam American
Booksellers Association New Voices, Barnes and Noble’s Best Young Reader Books,
and Amazon’s Best Books of the Month. Dia pun telah
mendapatkan banyak penghargaan dan pengakuan sebagai penulis.
J. C. Cervantes berharap agar anak-anak di manapun dapat melihat diri
mereka tercermin dalam halaman-halaman buku yang memberi inspirasi bagi mereka
serta belajar untuk melihat melampaui kehidupan mereka sendiri, mengenali dan
merayakan perbedaan. Ketika sedang tak menulis, dia senang menghantui toko buku
dan mencari sihir ke seluruh sudut dunia. Kalian dapat mengetahui lebih banyak
tentang J. C. Cervantes melalui www.jccervantes.com
atau di medsosnya, @jencerv (Twitter) dan @authorjcervantes (Instagram).
Sinopsis
 |
Zane Obispo |
Zane Obispo adalah seorang anak berusia 13 tahun
dengan kelainan pada kakinya. Satu kakinya lebih pendek dari yang satunya
sehingga membuatnya pincang dan harus menggunakan tongkat. Zane membenci itu sebab
anak-anak lain di sekolah selalu merundungnya karena itu. Namun, bukannya diam
saja ketika dirundung, Zane melawan—dan itu membuatnya terus terkena masalah di
sekolah.
Maka dari itu, dia memutuskan untuk home schooling, dan sudah setahun dia
melakukannya. Dia hanya tinggal bersama ibunya dan pamannya yang hanya lebih
tua darinya beberapa tahun. Karena dia tinggal di gurun pasir, lingkungan
rumahnya juga sepi—hanya ada dua tetangga yang dekat dengannya. Untuk mengisi
waktu luang, Zane suka mengeksplorasi gunung berapi tak aktif di belakang
rumahnya—yang dia namai The Beast—bersama dengan anjing peliharaan
kesayangannya, Rosie.
Malam itu Zane menyaksikan sendiri ada pesawat
perintis yang jatuh masuk ke kawah The Beast. Namun, yang membuat Zane
terguncang adalah sang pilot terlihat mengerikan seperti monster—atau iblis.
Keesokan harinya, seorang gadis misterius seusianya, Brooks, muncul. Dia mengatakan
bahwa Zane memiliki peran penting dalam sebuah ramalan kuno yang melibatkan
Dewa Kematian Maya yang terkurung di dalam The Beast. Zane diramalkan akan membebaskan
sang dewa, yang merupakan ancaman bagi dewa-dewi lainnya.
Kemunculan Brooks membuka dunia baru bagi Zane.
Mitologi Maya beserta makhluk-makhuk di dalamnya ternyata nyata. Dengan semakin
dekatnya takdir Zane untuk membebaskan sang Dewa Kematian, Zane harus pergi
dari rumah untuk menjalankan sebuah misi—misi yang akan membawanya untuk
mengungkap siapa dirinya dan apa kekuatannya.
Kelebihan
The
Storm Runner adalah buku pertama dari trilogi
The Storm Runner; dan katanya awalnya
buku ini diniatkan menjadi buku stand-alone,
bukan buku berseri. Namun tak apa, aku malah senang karena ingin melihat lebih
banyak petualangan Zane dan Brooks. Serial The
Storm Runner juga adalah serial ketiga dari Rick Riordan Presents yang
telah kubaca. Sebelumnya, aku sudah membaca serial Pandawa karya Roshani Chokshi (meski baru sampai buku ketiga) dan
serial Seribu Dunia karya Yoon Ha Lee
(meski baru sampai buku pertama). Mungkin,
aku akan sedikit membandingkan buku ini dengan buku-buku karya kedua penulis
tersebut serta buku-bukunya Rick Riordan ya.
Sebagai salah satu buku berlabel Rick Riordan
Presents, The Storm Runner mengangkat
mitologi Maya sebagai tema utamanya. Aku sama sekali tidak familiar dengan
mitologi dan kebudayaan suku Maya, selain yang kutahu mereka suka sekali
melakukan pengorbanan manusia dan sistem kalender mereka sangat canggih pada
masanya. Belakangan ini pun aku baru tahu nama Dewa Kukuulkaan berkat film Black Panther: Wakanda Forever (baca reviunya di sini).
Jadi, aku membaca buku ini tanpa bekal pengetahuan mitologi Maya apapun.
Itu menjadi suatu kelebihan karena aku jadi
tertarik dengan segala konsep worldbuilding-nya.
Aku jadi penasaran dengan sosok dewa-dewinya dan makhluk-makhluk supranatural
lainnya. Rupanya dewa-dewi Maya unik-unik loh—ada Hurakan, Dewa Badai dan Api;
Ixkakaw, Dewi Coklat dan Pohon Kakao; Kukuulkaan atau K’ukumatz, Dewa Air dan
Angin dan Dewa Pencipta. Bahkan, J. C. Cervantes juga memunculkan sesosok dewi
yang terlupakan dari sejarah—sebuah sentuhan kreatif sebagai cara untuk
memperluas worldbuilding buku ini. Selain
itu, ada berbagai makhluk supranatural Maya yang muncul dalam buku ini, seperti
nawal (perubah wujud), nik’ wachinel (cenayang), raksasa, iblis,
dan lain-lain. Semua begitu asing bagiku sekaligus sangat menarik.
Kelebihan berikutnya dari buku ini adalah
penokohannya. Zane Obispo, tokoh utama dalam buku ini, adalah seorang anak
dengan kelainan pada kakinya, yaitu salah satu kakinya lebih pendek dari yang
satunya sehingga dia berjalan pincang. Dia adalah sosok representasi kelompok
disabilitas dalam semesta Rick Riordan Presents. Kasus kelainan seperti yang
dialami Zane bisa terjadi di dunia nyata; (spoiler
alert) sementara di buku ini, penyebab kelainan yang Zane alami adalah gen
dewata dari ayahnya—karena darah kaum fana dan supranatural tidak kompatibel
untuk bercampur.
Dengan menjadi representasi penyandang
disabilitas, Zane memperlihatkan bahwa sosok pahlawan tidak harus selalu
“sempurna” secara fisik. Meskipun memiliki kelainan, Zane tetap bisa menjadi
pahlawan. Yang sangat aku suka adalah (spoiler
alert) nantinya dijelaskan bahwa kaki Zane yang pendek sebelah, kaki yang
dia benci dan anggap sebagai kecacatannya, rupanya adalah kunci untuk mengakses
kekuatan dewata dalam dirinya. Itu menyiratkan bahwa bagian tubuh kita yang
kita benci bisa jadi adalah letak kekuatan utama kita, bahwa sebenarnya itu
bukan cela, dan diri kita sebenarnya sempurna dan utuh, tapi hanya berbeda.
 |
Hondo Obispo, paman Zane |
Berikutnya, Zane ditemani teman-temannya dalam
petualangannya, yakni Brooks dan pamannya, Hondo Obispo. Bisa dibilang tim
mereka ini unik karena ada Hondo yang seorang manusia biasa. Dalam buku-buku
Rick Riordan dan Rick Riordan Presents, sangat
jarang manusia biasa dijadikan tokoh utama cerita. Selain Hondo, hanya
pernah Rachel Dare dari serial Percy
Jackson and the Olympians. Kalau Zane menjadi representasi penyandang
disabilitas, Hondo mungkin menjadi representasi orang biasa yang memperlihatkan
bahwa tanpa kekuatan supranatural pun seseorang dapat menjalani petualangan
berbahaya, hahaha. But anyway, aku
menyukai karakter Hondo yang lucu dan penuh percaya diri.
 |
Brooks, seorang nawal |
Aku juga suka dengan hubungan Zane dan Brooks.
Dinamika mereka mengingatkanku pada kru Lockwood & Co. dari serial novel Lockwood & Co. karya Jonathan
Stroud. Mereka dapat bekerja sama dengan baik, sambil bercekcok tentang segala
hal. Terkadang, terasa geregetan melihat mereka mendebatkan hal yang kurang
penting di situasi genting. Meskipun begitu, dengan adanya sedikit romansa di
antara keduanya, terdapat kesan genre coming
of age dalam cerita ini.
Sementara itu, dari segi alurnya, buku ini memiliki
pace yang cepat. Sejak cerita dimulai
pada halaman pertama, cerita mengalir terus dan konfliknya pun meningkatkan
dengan lumayan cepat. Sebagai buku pertama dari sebuah trilogi, pace yang cepat tersebut membuat buku
ini tidak berbasa-basi di awal untuk mengenalkan worldbuilding-nya. Itu dapat menjadi kelemahan (yang akan kubahas
nanti), tetapi juga kelebihan karena aku justru jadi terpancing untuk terus
melanjutkan ceritanya agar dapat mengerti apa yang terjadi sebenarnya.
Kemudian, ketika aku membacanya, aku jadi
teringat buku The Red Pyramid karya
Rick Riordan. Seperti pada buku tersebut, para tokoh utamanya bertualang tanpa
bimbingan dewata—tidak ada benda ajaib sebagai bekal ataupun ramalan sebagai
petunjuk. Zane dan teman-temannya sendirian dalam misi mereka. Bahkan, jika
mereka mencari bantuan kepada dewa-dewi, itu menjadi bahaya bagi mereka. Di
sisi lain, itu menjadikan konflik buku ini semakin seru, juga memberikan kesan berbeda
tentang karkater dewa-dewi Maya sehingga buku ini tetap memiliki
orisinalitasnya, tidak terbayangi karya-karya Rick Riordan.
Oh iya, aku suka banget dengan treatment narasinya. Cerita ini
menggunakan sudut pandang Zane sebagai orang pertama. J. C. Cervantes membuat
seakan-akan Zane sendiri yang menulis buku ini dan menuturkan cerita dengan
gayanya. Gaya narasinya itu terkesan tengil, membuatnya terasa seperti Diary of Wimpy Kids. (Spoiler alert) namun, yang membuatnya
unik adalah cerita ini ditujukan kepada dewa-dewi dan terdapat pesan rahasia di
dalamnya. Bahkan, halaman pesan rahasianya dicetak dengan kertas berwarna lebih
gelap—itu desain produk yang keren sekali. Tapi apa maksudnya buku ini
ditujukan kepada dewa-dewi dan ada pesan rahasianya? Kalian harus baca sendiri
untuk tahu jawabannya!
Omong-omong soal akhir yang brilian, akhir buku
ini memang keren. Jika kalian penyuka plot
twist, akhir buku ini memiliki plot
twist yang tak disangka-sangka. Pemahamanku tentang buku ini berubah
drastis setelah sampai di akhir dan aku jadi penasaran dengan kelanjutkannya. Jika
dewa-dewi Yunani penuh tipu daya, dewa-dewi Maya jauh lebih penuh tipu daya, kebohongan, dan kepura-puraan.
(Spoiler
alert) bagian favoritku dari buku ini adalah ketika Zane bertemu dengan
Hurakan di The Empty. Hubungan ayah-anak keduanya terasa menghangatkan hati. Entah
mengapa, aku selalu suka melihat kebersamaan mereka. Mungkin karena keduanya
mengingatkanku dengan Percy dan Poseidon. Aku sangat suka melihat bagaimana Hurakan tetap peduli pada
Zane, mau membimbingnya dalam petualangannya.
Kelemahan
Salah satu kelemahan buku ini adalah pace cepatnya. Seperti yang kubilang
tadi, begitu mulai membaca buku ini, rasanya tidak berbasa-basi penulis
langsung membuat si tokoh utama terseret ke dalam kekacauan supranatural Maya.
Apalagi, tidak ada momen “orientasi” bagi Zane; dia langsung terjun ke dalam
misi. Bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan cerita semacam ini, mereka
mungkin akan kebingungan dan tak dapat menikmati cerita—bahkan aku sempat
merasakan hal serupa karena aku tidak akrab dengan mitologi Maya.
Setelah pace
yang cepat di awal, alur terasa lambat berkembang di pertengahan. (Spoiler alert) sampai ketika Brooks
menjelaskan tentang ramalan mengenai Zane, aku tahu bahwa pada akhirnya Zane
akan membebaskan sang Dewa Kematian, lalu Zane akan bertualang untuk menyegel
kembali sang dewa. Namun, dari momen sejak Zane mendapati soal ramalan tersebut
sampai akhirnya Zane membebaskan sang Dewa Kematian itu rupanya cukup panjang.
Bahkan, petualangan untuk menyegel kembali sang Dewa Kematian baru dimulai
setelah hampir halaman 200.
Selanjutnya pun petualangan mereka bukan yang
mengunjungi beragam tempat. Jika kalian berpikir petualangan Zane seperti
petualangan Percy dan Annabeth yang ke banyak lokasi dan bertemu
makhluk-makhluk mitologi berbahaya, kalian mungkin akan kecewa. (Spoiler alert) petualangan Zane itu
lebih straight forward—dia mencari
petunjuk ke sini, lalu ternyata tidak ada, maka dia mencari lagi ke tempat
lain, lalu melawan Dewa Kematian. Di satu sisi, aku mengerti alasannya, yakni
karena Zane dan teman-teman bertualang tanpa petunjuk dan bekal apa-apa; di
sisi lain, aku tetap merasa kurang puas karena kurang terasa adventurous.
Kemudian, penjelasan tentang mitologi Maya dalam
ceritanya terasa kurang lengkap dan detail. Hal ini juga terjadi dalam buku Aru Shah and the End of Time yang
merupakan buku pertama dalam serialnya. Padahal jika ada, pembaca yang awam
terhadap mitologi Maya sepertiku bisa memahami konteks cerita dengan lebih baik.
Bahkan, penjelasan di glosarium bisa dibilang minim. Aku ingin agar tiap mereka
bertemu dengan sesosok dewa atau makhluk supranatural lain, ada penjelasan
mengenai mereka berdasarkan mitologi Mayanya.
Terakhir, ada beberapa tokoh dengan peran
penting, tetapi muncul hanya sebentar, yaitu Saqik’oxol/White Sparkstriker dan Quinn. Mereka hanya muncul di
bagian akhir cerita, pada babak klimaks. Aku yakin mereka punya banyak hal yang
dapat diceritakan, terutama Quinn, mengingat dia kakaknya Brooks. Sementara
itu, aku juga penasaran dengan White Sparkstriker Tribe. Seharusnya ada lebih
banyak penjelasan tentang itu.
Kesimpulan
 |
Sampul The Storm Runner versi awal (kiri) dan versi terjemahan bahasa Indonesia (kanan) |
The
Storm Runner adalah sebuah buku pembuka dari
sebuah trilogi yang penuh potensi. Buku ini memiliki tokoh utama seorang
representasi kelompok penyandang disabilitas, yang memperlihatkan bahwa seorang
penyandang disabilitas juga dapat menjadi pahlawan. Selain itu, dinamika sang
tokoh utama dengan teman-temannya juga menyenangkan. Sentuhan romansa tipis
antara Zane dan Brooks pun menambah warna pada cerita ini sehingga terasa
sebagai cerita coming of age. Selain
itu, dengan mengangkat mitologi Maya sebagai temanya, buku ini dapat menjadi
pintu untuk melihat mitologi Maya yang penuh dengan dewa-dewi licik dan
makhluk-makhluk supranatural sakti—walaupun penjelasannya kurang detail dan
lengkap.
Akan tetapi, pace
cepat yang dimiliki buku ini dapat menjadi kelemahan karena membuat
ceritanya terasa mengebut di awal, meskipun juga terasa page-turning. Kemudian,
alur ceritanya pun tak tertebak dan memiliki plot twist di akhir, walaupun di pertengahan keseruannya agak
sedikit menurun. Bagaimanapun, The Storm
Runner adalah buku yang menyenangkan dan aku berikan skor 7/10. Buku ini cocok untuk para pembaca Rick Riordan dan J. C. Cervantes serta bagi
orang-orang yang tertarik dengan cerita fantasi yang benapaskan mitologi dari
berbagai belahan dunia.
Selanjutnya (The Fire Keeper)
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar