Identitas
Buku
Judul
|
:
|
Lockwood
& Co. #3: The Hollow Boy (Pemuda Berongga)
|
Penulis
|
:
|
Jonathan
Stroud
|
Penerjemah
|
:
|
Poppy
D. Chusfani
|
Penerbit
|
:
|
PT
Gramedia Pustaka Utama
|
Tahun
terbit
|
:
|
2016
(versi orisinal bahasa Inggrisnya terbit pada 2015)
|
Cetakan
|
:
|
I
|
Tebal
|
:
|
440
halaman
|
Harga
|
:
|
Rp82.500
|
ISBN
|
:
|
9786020328034
|
Genre
|
:
|
Horor
supranatural, detektif
okultisme, drama prosedural, action, petualangan, young
adult
|
Tentang
Penulis
Jonathan Anthony Stroud lahir di Bedford, Inggris
pada pada 27 Oktober 1970, dan tumbuh besar di St. Albans. Sejak kecil,
Jonathan Stroud senang membaca, menggambar, dan menulis cerita. Di usia 7–9
tahun dia sering sakit sehingga dia banyak menghabiskan waktu di rumah sakit
atau di tempat tidurnya. Untuk menghilangkan kebosanan, dia menenggelamkan diri
dalam buku-buku dan cerita-cerita.
Setelah lulus kuliah sastra Inggris di Unviesitas
York, Jonathan Stroud bekerja sebagai editor di toko buku The Walker. Kemudian,
dia mulai menulis karyanya sendiri dan menerbitkannya, dan langsung menjadi
populer. Di awal karier menulisnya, Jonathan Stroud banyak menulis cerita
anak-anak. Kemudian, dia pun mulai proyek buku trilogi Bartimeus-nya, yang menjadi karyanya yang paling laris.
Pada tahun 2012, Jonathan Stroud mengumumkan
proyek teraburnya, yaitu serial Lockwood
& Co. Buku pertama dalam serial tersebut, The Screaming Staircase langsung mendapatkan pujian dari pembaca.
Bahkan, Rick Riordan, penulis serial Percy
Jackson & the Olympians, menyebutnya jenius. Kini, Jonathan Stroud
tinggal di St. Albans bersama istri dan kedua anaknya. Karya terbarunya adalah
serial novel Scarlett and Browne yang
saat ini sudah terdiri atas dua buku.
Sinopsis
Sejak kesuksesan mereka dalam kasus Kaca-Tulang
yang hilang, Lockwood & co. menjadi ramai job. Klien mengalir berdatangan ingin menyewa jasa mereka. Popularitas
mereka pun makin meningkat. Bahkan, pada beberapa kasus, mereka harus bekerja
secara terpisah saking banyaknya permintaan.
Biarpun mereka kelelahan dan rumah mereka di
Portland Row makin tak terurus, bagi Lucy semua baik-baik saja. Apalagi, kini
Lockwood sudah lebih terbuka terkait masa lalunya setelah dia mengajak dirinya
dan George ke kamar terlarang di rumah mereka tersebut. Bagi Lucy, di sinilah
rumahnya—bersama Lockwood yang memesona dan George.
Akan tetapi, kehidupan tidak selalu semulus yang
diinginkan. Lucy harus menghadapi si Tengkorak yang terus-menerus meracau tidak
sopan; meskipun sesekali dia memberikan informasi bermanfaat. Kemudian, ada
juga Wabah Chelsea yang tiap hari terus memburuk yang sampai harus memaksa
masyarakat mengungsi akibat peningkatan drastis aktivitas para Pengunjung.
Mereka juga harus berhadapan dengan hantu jejak kaki berdarah di rumah salah
satu klien mereka.
Namun, yang paling buruk dari itu semua adalah
Lockwood dan George merekrut anggota baru—seorang perempuan! Namanya Holly
Munro dan dia lebih cantik dan anggun serta rapih daripada Lucy. Entah mengapa,
Lucy tidak menyukainya. Mengapa ketika semua terasa baik-baik saja dengan
mereka bertiga, harus ada orang baru yang menyebalkan sekali? Bagaimanakah
nasib agensi Lockwood & co. ke depannya?
Kelebihan
The
Hollow Boy adalah buku ketiga dari serial
detektif okultisme Lockwood & co.
Mulai dari buku inilah yang belum diadaptasi ke serial TV di Netflix. Sayang
sekali Netflix membatalkan serialnya, padahal isi cerita The Hollow Boy sangatlah seru dan akan sangat keren jika dapat
diadaptasi menjadi serial TV.
Agak berbeda dari dua buku sebelumnya, pembukaan
buku ini terasa hangat dan menyeramkan sekaligus. (Spoiler alert) buku ini dibuka dengan sebuah misi penyelidikan
hantu di sebuah losmen. Ketika itu, mereka harus menghadapi hantu pengalih rupa
yang kuat sekali. Di satu sisi, ada kesan creepy
dari losmennya, pemiliknya, dan terutama hantunya; di sisi lain, kelakuan
Lucy, Lockwood, dan George malah terasa lucu. Koordinasi mereka berantakan,
tapi mereka saling mengisi. Biarpun mereka kerap berdebat, ada kehangatan dari
persahabatan mereka. Maka dari itu, aku bilang pembukaan buku ini terasa
berbeda.
Kemudian, cerita dilanjutkan dengan pengungkapan
tentang masa lalu Lockwood dan rahasia kamar terlarang di Portland Row No. 35.
Aku kaget sekali membaca cerita Lockwood tentang kakaknya. Itu pasti pengalaman
yang traumatis sekali baginya. Segala isi kamar tersebut adalah jangkar yang
menahan Lockwood di masa lalu, sekaligus yang membuatnya bergerak maju. Aku
turut berduka baginya, dan ingin rasanya aku memberikan support langsung untuknya—padahal dia cuma tokoh fiksi, hahaha.
Selain kasus di losmen tadi, kru Lockwood & co. juga menangani beberapa kasus lain dalam buku ini. Kasus-kasusnya terasa
lebih menyeramkan dan berhasil membuatku merinding, apalagi ketika aku
membacanya pada malam hari. Salah satu kasusnya adalah kasus Jejak Kaki
Berdarah, yang mengingatkanku pada kasus Undakan Menjerit di buku pertama (baca
reviunya di sini). Undakan Menjerit
mungkin lebih membahayakan, tetapi kisah di balik Jejak Kaki Berdarah juga
tidak kalah mengerikan—bahkan ada twist yang
mengejutkan di akhirnya!
Berikutnya, ada lagi kasus Wabah Chelsea.
Menurutku, kasus satu ini menarik karena menjadi metafora yang menggambarkan
keadaan ketika terjadi suatu outbreak atau
wabah. Yang terjadi pada kasus Wabah Chelsea mencerminkan keadaan ketika wabah
menyebar di suatu wilayah. Ketika pemerintah tidak dapat segera menemukan akar
masalah serta lambat bertindak, masyarakat akan menjadi chaos—sepeti itulah yang terjadi di Wabah Chelsea. Menariknya,
respons pihak otoritas pun juga tertebak: memperbaiki citra dengan berbadai
usaha kampanye—usaha semacam itu biasa digunakan politisi dan orang-orang elit
demi menyelamatkan nama baik mereka, padahal tak menyelesaikan apa-apa.
Kelebihan lainnya dari buku ini adalah
penokahannya yang terasa lebih memikat. Buku ini dibuka dengan aksi ketiga kru
Lockwood & co. yang kocak, mempertegas hubungan mereka yang sudah seperti
keluarga. Oleh karena itu, menurutku Jonathan Stroud cerdas sekali dengan
memunculkan anggota baru dalam cerita. “Apa
yang akan terjadi jika ada anggota baru dalam tim?”—itulah idenya.
Pembaca sejak buku pertama pasti tahu betapa sulitnya sampai Lucy, Lockwood,
dan George dapat menjadi kompak seperti saat ini, mengingat dulu mereka selalu
bercekcok mengenai segala hal.
Kemudian, muncul Holly Munro yang merusak
keseimbangan yang telah ada. Ditambah lagi, Holly lumayan bertolak belakang
dengan Lucy karena Holly lebih efisien, rapih, dan elegan. Hal itu diperparah
dengan perlakuan Lockwood dan George yang akrab sekali terhadap Holly walaupun
dia anggota baru; berbeda dengan dulu ketika Lucy baru bergabung. Melihat permusuhan
antara Lucy dan Holly menjadi hal yang menarik, terutama ketika babak akhir
cerita. Rupanya Holly memiliki masa lalu yang berat yang tak disangka Lucy. Seketika
itu juga, kesanku terhadap Holly berubah. Dia menjadi karakter yang lebih
menarik lagi untuk dikembangkan.
Selain Holly, ada tokoh lain yang mencuri
perhatian, yaitu si Tengkorak. Pada buku kedua, The Whispering Skull (baca reviunya di sini), si Tengkorak terkesan
jahat dan licik, tetapi pada buku ini karakternya berubah. Meskipun masih
mengucapkan hal-hal tak sopan dan lucu dengan komentar sinisnya, Tengkorak juga
menjadi partner yang berguna bagi Lucy. Dia membantu penyelidikan kasus-kasus
yang ada pada buku ini. Dia adalah scene-stealer.
Terakhir, aku sangat
menyukai babak puncak dari buku ini. Babak puncak pada dua buku sebelumnya
tidak ada apa-apanya dibandingkan yang satu ini. Kekacauan yang terjadi
sangatlah mengerikan dan mendebarkan. Dinamika antartokohnya juga seru untuk
diikuti. Biasanya, ketika di situasi lalu para tokohnya malah bersikap
dramatis, aku akan sebal karena mereka missing
what matters; tetapi berbeda dengan buku ini—cekcok antara Lucy dan Holly
justru tidak terasa bukan pada tempatnya. Malah, itulah yang kutunggu-tunggu,
momen ketika keduanya bisa bicara jujur tentang pikiran mereka. Kemudian,
ketika mereka diserang hantu dan kekacauan terjadi, cerita menjadi makin sulit
untuk tidak dibaca sampai habis.
Kelemahan
 |
Sampul The Hollow Boy versi Amerika |
Hal utama yang kurasa kurang dari buku ini adalah
main plot. Maksudnya, pada dua buku
sebelumnya ada satu masalah utama yang menjadi inti cerita dan masalah utama
inilah yang sejak awal menjadi perhatian para tokoh utama, meskipun sepanjang
jalan cerita ada juga kasus-kasus lain. Akan tetapi, menurutku pada buku ini
tidak ada yang seperti itu. Atau setidaknya, masalah utamaya tak berkaitan
dengan kasus supranatural, melainkan dinamika antartokohnya yang bergejolak akibat
kemunculan Holly.
Sayangnya, masalah utama tersebut baru terlihat
setelah memasuki babak ketiga pada cerita. Sebelum itu, cerita fokus untuk
menggambarkan keadaan Lockwood & co. usai Lockwood terbuka tentang mendiang
kakaknya. Itu sudah menghabiskan ratusan halaman, dan baru kemudian kita masuk
ke masalah utama. Itu tidak sesuai saja dengan seleraku, tetapi mungkin
beberapa pembaca lain tidak terlalu mempermasalahkannya.
Selain itu, aku berulang kali sebal dengan sikap
Lucy yang tidak suka pada Holly. Walaupun pada akhirnya permusuhan dingin
mereka memuncak dengan bagus, aku capek sekali melihat sikap Lucy yang membenci
Holly tanpa sebab yang jelas. Dia merasa Holly meremehkannya, padahal
dirinyalah yang meremehkan Holly. Jonathan Stroud tidak memberitahukan mengapa
Lucy tidak menyukai Holly dan sejauh yang kutahu sepertinya Lucy membenci Holly
karena asumsinya sendiri. Not cool, Lucy.
Dan terakhir, judul buku ini adalah The Hollow Boy yang berarti Pemuda
Berongga, tetapi sosok Pemuda Berongganya hanya muncul di akhir dan itupun
sebentar sekali. Sejak halaman pertama kubaca, aku sudah penasaran siapakah
sosok Pemuda Berongga ini—dan (spoiler
alert) aku sempat mengira ia berkaitan dengan kasus Jejak Kaki Berdarah
tapi ternyata tidak. Saat akhirnya si Pemuda Berongga muncul, aku merasa
pertanyaanku terjawab, tetapi setelahya sudah tidak ada apa-apa lagi.
Kesimpulan
The
Hollow Boy merupakan buku yang melampaui
dua pendahulunya. Buku ini memiliki jalan cerita yang lebih kompleks, tetapi
tetap dapat diceritakan dengan baik—pujian untuk Jonathan Stroud! Kasus-kasus
pada buku ini juga terasa lebih menyeramkan, yang suasananya akan lebih terasa
jika dibaca di malam hari sambil minum teh hangat. Si Tengkorak menjadi pencuri
perhatian di sini dengan kecerewatannya dan sinismenya. Kemudia, ada Holly
Munro yang elegan dan efisien yang membuat Lucy tidak nyaman. Permusuhan
keduanya memang menyebalkan, terutama karena Lucy memusuhi Holly lebih dulu
tanpa alasan yang jelas, tetapi lalu itu berkembang menjadi perdebatan yang
menguras emosi.
Selain itu, aku suka dengan insight yang diperlihatkan Jonathan Stroud mengenai wabah dan
bagaimana Jonathan Stroud menutup cerita ini dengan pertarungan melawan hantu
yang spektakuler dan mendebarkan. Kombinasi antara jalan cerita yang pelik dan
dinamika antartokoh yang memikat menjadi alasan kalian untuk membaca buku ini.
Skor yang kuberikan untuk buku satu ini adalah 8,7/10—aku sengaja tidak
memberikan skor sampai 9 karena aku punya ekspektasi lebih terhadap dua buku
terakhirnya.
Sebelumnya (The Whispering Skull)
Selanjutnya (The Creeping Shadow)
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Sesosok hantu.
Komentar
Posting Komentar