A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Komet: Petualangan Raib, Seli, dan Ali dengan Gaya One Piece

Identitas Buku

Judul

:

Komet

Penulis

:

Tere Liye

Co-author

:

Diena Yashinta

Penerbit

:

PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit

:

2021

Cetakan

:

I

Tebal

:

384 halaman

Harga

:

Rp95.000,-

ISBN

:

9786020385938

Genre

:

Petualangan, fantasi ilmiah, isekai, coming of age

 

Tentang Penulis

Tere Liye adalah seorang penulis novel ternama dari Indonesia. Dia lahir di pedalaman Sumatera pada tanggal 21 Mei 1979. Dia adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Tere Liye sudah menciptakan banyak karya bestseller, seperti Hafalan Shalat Delisa (2005), Moga Bunda Disayang Allah (2005), Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010), dan Pulang (2015). Novel Komet sendiri adalah novel keenam dari serial Petualangan Dunia Paralel, menyusul Bumi (2014), Bulan (2015), Matahari (2016), Bintang (2017), dan Ceros dan Batozar (2018).

 

Sinopsis

Situasi dunia paralel sedang genting. Tamus, Fala-tara-tana IV, dan Si Tanpa Mahkota telah bebas dari Penjara Bayangan Di Bawah Bayangan. Raib, Seli, dan Ali tahu apa yang diincar Si Tanpa Mahkota: suatu benda yang disebut Komet.

Ali telah menemukan petunjuk bahwa benda tersebut ada di sebuah pulau dengan tumbuhan aneh, tetapi tidak ada yang tahu letak pulau itu. Namun, ada satu cara pergi ke sana, yaitu dengan bunga matahari pertama mekar dari Klan Matahari. Bunga matahari sakti tersebut dapat membuka portal ke tempat itu.

Ketika Si Tanpa Mahkota melangkah ke dalam portal tersebut, pergi ke pulau dengan tumbuhan aneh, Raib, Seli, dan Ali tanpa pikir panjang menyusulnya. Ketiga sahabat itu lalu mendapati diri mereka tiba di sebuah kepulauan asing. Mereka harus berlomba dengan Si Tanpa Mahkota untuk sampai ke pulau dengan tumbuhan aneh itu. Jika mereka kalah, Si Tanpa Mahkota akan mendapatkan pusaka yang bisa membuatnya menguasai seluruh dunia paralel.

 

Kelebihan

Hal pertama yang membuatku berpikir novel Komet menarik adalah dunia paralelnya. Klan Komet berbeda sekali dari dunia paralel-dunia paralel di empat buku sebelumnya. Penduduk Klan Komet bahkan tidak menyebut dunia mereka “Klan Komet”, melainkan “Kepulauan Komet.” Kemudian, di klan tersebut, tidak ada peralatan elektronik yang bisa berfungsi sehingga petualangan Raib, Seli, dan Ali kali ini tidak dibantu peralatan canggih. Semua dilakukan dengan cara tradisional. Karena alat elektronik yang tidak berfungsi tersebut, kehidupan penduduk Kepulauan Komet juga mirip dengan kehidupan beberapa kelompok masyarakat Indonesia yang masih tradisional. Ditambah lagi, dunia paralel tersebut berwujud kepulauan, semakin mirip Indonesia, bukan?

Selain itu, dalam petualangan kali ini, Raib, Seli, dan Ali tidak dapat menggunakan kapsul terbang atau transportasi canggih lainnya. Mereka harus (spoiler alert) menggunakan perahu atau kapal untuk pindah dari pulau ke pulau. Itu adalah hal baru bagi mereka, apalagi mereka tidak bisa berlayar. Selain itu, ketika membaca novel ini, aku jadi teringat manga/anime “One Piece” dan film “Pirates of the Caribbean.”

Selanjutnya, di dalam buku ini, Tere Liye menyiratkan beberapa pesan moral yang disampaikan dengan smooth, tidak terkesan menggurui. Ada beberapa situasi ketika kebaikan hati Raib, Seli, dan Ali diuji. Pada saat-saat itulah aku melihat Tere Liye ingin memberikan teladan untuk para pembacanya. Tere Liye tidak memasukkan pesan moral-pesan moral tersebut dengan cara menggurui, tetapi langsung dari sikap Raib, Seli, dan Ali ketika berhadapan dengan suatu situasi. Salah satunya adalah (spoiler alert) waktu Raib melarang Ali mengambil makanan dari perahu nelayan di Pulau Hari Senin.

Selain itu, sepanjang cerita ini, nasib Raib dan Seli terus berputar bagai roda—mereka sendiri pun bilang begitu. Ada saat-saat mereka bernasib baik dan saat-saat mereka bernasib malang sekali. Pada saat-saat itulah persahabatan mereka diuji. Salah satu bagian yang aku suka adalah (spoiler alert) waktu mereka berangkat ke Pulau Hari Selasa, ketika mereka kehilangan arah tujuan. Aku sangat kagum pada pengorbanan Seli. Kemudian, (spoiler alert) waktu mereka harus berenang ke Pulau Hari Sabtu, aku kagum dengan kegigihan Raib dan yang lainnya. Bayangkan saja mereka harus berenang berkilo-kilometer, dihantam hujan dan terik matahari, hanya sambil berpegangan potongan kayu selama 24 jam lebih, tanpa makan dan minum. Kuat sekali tekad mereka untuk mencegah Si Tanpa Mahkota.

 

Kelemahan

Kelemahan pertama yang aku temukan adalah adanya salah ketik atau typo. Di beberapa halaman, masih terdapat typo, seperti pada halaman 194, 245, 258, 276, dan 357. Karena aku membaca versi cetakan pertama, aku harap di versi cetakan-cetakan berikutnya salah ketik-salah ketik tersebut sudah tidak ada.

Kemudian, tampaknya Tere Liye mengulangi kesalahan di buku “Bintang.” Dia masih menggunakan alur yang repetitif. Ketika membaca buku ini, terasa agak membosankan waktu Raib, Seli, dan Ali bertemu (lagi) dengan seorang Kay di setiap pulau. Setelah mereka bertemu dengan Kay untuk ketiga kalinya (alias si Petani Kay di Pulau Hari Rabu), aku tidak kaget lagi dengan Kay-Kay yang selanjutnya, malah bosan.

Bukan hanya soal Kay yang terus diulang-ulang, (spoiler alert) tantangan yang harus dihadapi ketiga sahabat tersebut juga diulang, tepatnya tantangan di Pulau Hari Selasa dan Pulau Hari Rabu. Memang substansi yang diujikan berbeda di kedua pulau tersebut, tetapi bentuk ujiannya sama, yaitu melawan binatang buas. Di Pulau Hari Selasa mereka melawan bintang laut raksasa dan di Pulau Hari Rabu mereka melawan sekawanan burung hitam. Salahnya adalah pertarungan tersebut terjadi berurutan sehingga pertarungan di Pulau Hari Rabu terkesan mengulang pertarungan di Pulau Hari Selasa.

Selanjutnya, dari tantangan-tantangan yang ada, aku tidak melihat adanya tantangan yang membuat perkembangan diri mereka. Padahal, dalam cerita petualangan, bahaya dan tantangan akan membuat perkembangan pada tokoh. Sayang sekali Raib, Seli, dan Ali tidak mengalami perkembangan, mereka di awal buku dan di akhir buku sama saja. Tidak ada teknik bertarung baru yang dikuasai, tidak ada perkembangan karakter.

Oh iya, di atas aku sudah bilang bahwa Tere Liye menyampaikan beberapa pesan moral dalam buku ini. Salah satunya adalah (spoiler alert) tentang senjata-senjata ajaib dengan kekuatan pukulan berdetum dan petir. Diceritakan bahwa senjata-senjata tersebut menimbulkan ketergantungan dan efek samping yang bersifat toksik bagi tubuh. Senjata-senjata tersebut adalah analogi dari obat-obatan terlarang di dunia kita.

Akan tetapi, agak aneh rasanya apabila senjata-senjata tersebut menimbulkan efek toksik bagi kesehatan. Diceritakan bahwa senjata-senjata tersebut menimbulkan racun bagi tubuh penggunanya. Namun, itu tidak masuk akal bagiku. Coba bayangkan pistol atau pedang yang setiap digunakan akan membuat kita sakit, mengotori darah kita dengan zat toksik. Tentu tidak masuk akal. Tere Liye seharusnya memberikan penjelasan yang lebih masuk akal karena selama ini fenoma-fenomena di dunia paralel selalu bisa dijelaskan dengan ilmiah dan logis. Mungkin analogi yang lebih baik dia gunakan adalah obat-obatan atau tumbuh-tumbuhan ajaib yang memberikan kekuatan, semacam steroid atau doping.

Kelemahan terakhir yang aku rasakan adalah akhir ceritanya. Spoiler alert, akhir cerita Komet itu menggantung karena akan disambung ke buku selanjutnya. Namun, Tere Liye seharusnya dapat menulis akhir cerita menggantung yang lebih proper, bukan sekadar menulis bahwa sebentar lagi portal Klan Komet Minor akan terbuka, lalu mengakhiri cerita dengan bilang petualangan tersebut belum selesai. Kesannya, dia bingung mau menutup cerita seperti apa, lantas tulis saja ceritanya akan bersambung. Tere Liye mungkin dapat meniru bagaimana Rick Riordan mengakhiri cerita di buku “The Mark of Athena.”

 

Kesimpulan

Komet adalah sebuah kisah petualangan dunia paralel yang berbeda. Di Klan Komet, Raib, Seli, dan Ali tidak dapat menggunakan peralatan elektronik apapun; semua dilakukan dengan cara tradisional. Mereka juga harus berlayar dari pulau ke pulau dan melewati ujian demi ujian. Akan tetapi, Tere Liye lagi-lagi masih menggunakan pola alur cerita yang repetitif. Akhir ceritanya pun ditulis dengan kurang baik, seakan-akan buru-buru ingin cerita dibuat bersambung ke buku selanjutnya. Maka dari itu, aku memberi skor 7,6/10 untuk novel ini.

Sebelumnya (Ceros dan Batozar)

Selanjutnya (Komet Minor)

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar