Serial TV Terfavorit 2023 (part 5)

Serial TV Terfavorit 2023

 

***

***

Daftar isi:
***

Attack on Titan
Season 4 Part 3

(2013–2023)

Judul

:

Attack on Titan

Sutradara

:

Araki Tetsurou, Koizuka Masashi, Hayashi Yuichiro, Shishido Jun

Penulis

:

Kobayashi Yasuko, Seko Hiroshi, Kawakubo Shintarou

Produser

:

Kinoshita Tetsuya, Tateishi Kensuke, Maeda Toshihiro, Furukawa Shin, Nagase Tomohito, Wada George, Endou Tetsuya, Nishiya Yasuyuki, Kiyota Souya, Itou Hitoshi, Kimura Makoto, Onori Yasuo

Musim/Episode

:

4 Musim/94 episode + 8 episode OVA

Pengisi suara

:

Kaji Yuki, Ishikawa Yui, Inoue Marina, Hosoya Yoshimasa, Taniyama Kishou, Shimono Hiro, Kobayashi Yuu, Ono Kenshou, Park Romi, Kamiya Hiroshi, Koyasu Takehito, Shimamura Yuu, Masuda Toshiki, Numakura Manami, Sakura Ayane, Hanae Natsuki, Saito Jiro, Saiga Mitsuki, Hiwatari Kouji

Genre

:

Action, high fantasy, dark fantasy, post-apocalyptic, shounen, seinen

Attack on Titan adalah anime yang diadaptasi dari manga berjudul sama karya Hajime Isayama. Judulnya dalam bahasa Jepang adalah Shingeki no Kyojin. Anime ini telah mendapatkan berbagai penghargaan dan pujian serta ditonton oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Kalian bisa menontonnya di Vidio, Viu, Disney+ Hotstar, Catchplay, Netflix, Prime Video, dan Hulu. Silakan membaca reviu musim pertama s.d. musim keempat bagian pertamanya di sini dan reviu musim keempat bagian keduanya di sini.

Attack on Titan berlatar di dunia pascakiamat tempat manusia hampir punah. Umat manusia yang tersisa tinggal di dalam kerajaan yang dikelilingi tembok-tembok tinggi yang melindungi mereka dari raksasa pemakan manusia yang disebut Titan. Namun, pada suatu hari, tembok tersebut berhasil dibobol oleh Colossal Titan yang menghancurkan kota-kota.

Dalam persitiwa mengerikan itu, Eren Yeager (Kaji Yuki) kehilangan ibunya yang tewas dimakan Titan. Untuk membalas dendam, Eren bersama kedua temannya, Mikasa Ackerman (Ishikawa Yui) dan Armin Arlert (Inoue Marina), bergabung dengan Survey Corps, pasukan militer yang bertarung melawan Titan serta mencari tahu asal-usul dan sejarah Titan dan dunia di luar tembok. Kalian bisa melihat trailer musim pertamanya di sini.

Di musim keempat, Attack on Titan tiba di puncak ceritanya. Perang antara Kekaisaran Eldia Baru dan Kekaisaran Marley tak terelakkan lagi. Kelompok Yeagerist yang dipimpin Eren menguasai militer Kekaisaran Eldia Baru. Eren bahkan telah menggunakan kekuatan Founding Titan untuk memulai Gemuruh. Dia membangkitkan seluruh Wall Titan yang selama ini terlelap dan menggerakkan mereka untuk meratakan seluruh peradaban manusia di luar Pulau Paradis dengan tanah. Tak terhitung berapa nyawa manusia yang tewas karenanya.

Sementara itu, Mikasa dan Armin beserta teman-teman mereka yang lain masih percaya bahwa mereka dapat mengubah pikiran Eren. Bersama-sama dengan para prajurit dari Marley, mereka menyusul Eren. Namun, jika mereka gagal membujuk Eren, hanya satu pilihan yang ada: membunuhnya.

Di penghujung kisah ini, Eren dan teman-temannya akan berseteru. Pertarungan dan pengorbanan tak bisa dihindari. Dapatkah mereka menghentikan Eren? Sanggupkah jika mereka harus membunuh Eren? Dapatkah mereka menyelamatkan umat manusia dari para Titan? Semuanya, kisah panjang sejak Ymir Fritz menjadi Titan pertama 2.000 tahun yang lalu hingga saat ini, akan berakhir di sini.

Attack on Titan musim keempat bagian ketiga ini terdiri atas hanya dua episode. Episode pertamanya tayang pada 4 Maret 2023 dan episode keduanya tayang pada 5 November 2023. Walau hanya dua episode, masing-masing episodenya berdurasi panjang sehingga seperti menonton film. Namun, di Netflix episodenya dipecah menjadi tujuh yang berdurasi pendek.

Sebenarnya, karena aku membaca manganya, aku sudah tahu akhir kisah Attack on Titan. Meskipun begitu, tetap saja perasaannya seperti pertama kali mengetahui akhirnya. Benar-benar emosional dan melelahkan. Attack on Titan adalah salah satu cerita fantasi-petualangan yang memiliki akhir tak terduga. Sebuah akhir yang begitu mengacak-acak emosi penontonnya sampai-sampai menjadi begitu fenomenal di dunia. Aku menangis saat menontonnya, padahal dulu sudah menangis juga waktu membaca versi manganya. Aku tidak mau membocorkannya karena barangkali kalian belum melihatnya. Yang pasti, ini adalah tipe cerita yang sebaiknya semakin sedikit kalian tahu, semakin baik.

Walaupun begitu, aku ingin sedikit membahas akhir cerita Attack on Titan ini—semoga tidak terlalu spoiler ya; kalau kalian tidak mau terkena spoiler, silakan dilewati saja. Bagiku, apapun alasannya, apa yang Eren lakukan tak dapat dibenarkan. Aku yakin Eren tahu itu bukan pilihan yang benar, tetapi itu adalah pilihan terbaik untuk mencapai outcome tersebut. Sayangnya, pilihan Eren hanya akan meneruskan siklus kebencian, lalu perang atas perbedaan ras akan berlanjut di masa depan, sebagaimana yang diperlihatkan di adegan-adegan epilog saat credit scene. Biarpun ini hanya cerita fiksi, aku rasa ada pembelajaran yang bisa kita ambil darinya.

Terlepas dari akhirnya yang kontroversial tersebut, aku tetap menyukai bagian ketiga dari musim terakhir anime ini. Ada banyak momen favoritku, seperti (spoiler alert) pengorbanan Hange Zoë (Romi Park), Mikasa yang menantang para Nine Titans terdahulu, Falco Grice (Natsuki Hanae) yang terbang dalam wujud Titan, dan percakapan Armin dengan Zeke Yeager (Takehito Koyasu). Momen-momen pertarungan heroik dan momen-momen pengungkapan jawaban akan mewarnai bagian terakhir dari kisah ini.

Bagi kalian yang belum pernah menonton Attack on Titan, aku sarankan agar mulai menontonnya. Kalian pasti akan ketagihan, dan merasakan sensasi menonton kisah yang begitu tidak terduga ini. Biarpun sudah selesai, bagian terakhir dari Attack on Titan ini akan dirilis dalam format film yang tayang di bioskop pada tahun Februari 2025 lalu di bioskop Indonesia. Jadi, silakan melihatnya bagi yang ingin sekali lagi mengalami akhir Attack on Titan. Kalian bisa menonton trailer Attack on Titan musim keempat bagian ketiga episode pertama di sini dan episode kedua di sini.

***

Sex Education
Season 4

(2023)

Judul

:

Sex Education

Pencipta

:

Laurie Nunn

Produser eksekutif

:

Jamie Campbell, Ben Taylor, Laurie Nunn, Clara Couchman (season 4)

Produser

:

Byron Archard, Jon Jennings

Musim/Episode

:

4 Musim/32 episode

Pemeran

:

Asa Butterfield, Gillian Anderson, Ncuti Gatwa, Emma Mackey, Connor Swindells, Kedar Williams-Stirling, Alistair Petrie, Mimi Keene, Aimee Lou Woods, Chinenye Ezeudu, Dua Saleh, George Robinson, Thaddea Graham, Anthony Lexa, Alexandra James, Felix Mufti, Lisa McGrillis

Genre

:

Komedi seksual, drama remaja, drama komedi, coming of age

Sex Education adalah sebuah serial orisinal Netflix karya Laurie Nunn. Sesuai judulnya, serial ini memiliki banyak konten seksual dan pendidikan seks yang dibawakan secara dewasa tapi jenaka. Maka dari itu, kalian harus cukup umur dulu untuk menonton Sex Education.  Kalian bisa menonton serial satu ini di Netflix.

Musim pertama serial ini pertama kali tayang pada Januari 2019. Kemudian, musim kedua dan ketiganya pertama kali tayang pada Januari 2020 dan September 2021. Serial yang begitu ramai diminati penonton Netflix ini kembali dengan musim terakhirnya pada September 2023. Reviu untuk musim ketiganya bisa dilihat di sini.

Bagi yang belum familiar dengan ceritanya, aku jelaskan dulu ya. Sex Education berpusat pada seorang remaja laki-laki bernama Otis Milburn (Asa Butterfield) yang canggung dan kikuk. Dia canggung terhadap aktivitas seksual, padahal ibunya adalah seorang terapis seks ternama, Dr. Jean Milburn (Gillian Anderson).

Walaupun begitu, di sekolahnya, Otis bekerja sama dengan teman-temannya, Maev Wiley (Emma Mackey) dan Eric Effiong (Ncuti Gatwa), untuk membuka klinik seks rahasia di sekolah mereka, tempat anak-anak di sekolahnya dapat berkonsultasi tentang seksualitas mereka. Akan tetapi, berbagai kejadian yang mewarnai kehidupan remaja mereka turut membuat hubungan pertemanan, serta asmara, mereka pasang surut. Silakan tonton trailer musim pertamanya di sini.

Di musim keempat ini, Otis dan beberapa teman lamanya pindah ke sekolah baru, SMA Cavendish, yang amat berbeda dengan sekolah lama mereka. Segalanya serba baru, termasuk pergaulan mereka. Di sekolah ini, komunitasnya begitu ramah, inklusif, serta peka kelestarian lingkungan.

Otis ingin memulai baru di sekolah tersebut dengan membuat klinik seks yang resmi, tak diam-diam lagi. Namun, sudah ada anak lain yang membuka klinik konsultasi seks, seorang murid dengan panggilan O—yang langsung saja menjadi rivalnya. Di sisi lain, Otis harus menjalani hubungan jarak jauh dengan Maev yang sedang mengikuti program pendidikan kepenulisan di Amerika Serikat. Rupanya benar, jarak dapat memengaruhi kualitas hubungan, seperti yang dialami Maev dan Otis. Seakan belum cukup berat, Otis juga harus menghadapi ibunya yang menunjukkan gejala depresi; sahabatnya, Eric, yang seperti menjauhi dirinya di sekolah baru ini; dan mantan pacarnya, Ruby Mathews (Mimi Keene), yang entah mengapa selalu mengikutinya. Mampukah Otis melalui tahun terakhirnya di SMA?

Musim keempat dari Sex Education dulu sudah kutunggu-tunggu banget, tetapi ternyata di bawah ekspektasiku. Musim penutup ini malah terasa kurang klimaks, tak seperti yang digembor-gemborkan materi pemasarannya.

Masih menyuarakan berbagai agenda woke culture, musim keempat ini menghadirkan latar tempat baru: SMA Cavendish, yang begitu melek dengan isu-isu progresif. Sekolah ini sangat menghargai aspirasi murid-muridnya, memiliki toilet yang netral gender, inklusif terhadap kelompok termarjinalkan, menanamkan seluruh anggota sekolahnya untuk cinta lingkungan, serta peduli terhadap kesehatan mental murid-muridnya. Yang menarik adalah latar sekolah tersebut menunjukkan bahwa membangun sekolah yang seperti itu—yang ramah lingkungan serta inklusif—masih mungkin kok, tak mustahil. Namun, ada catatan juga, bahwa terlalu banyak suasana positif bisa menjadi toksik. Terkadang, demi menjaga suasana tetap positif, kita cenderung menghindari konflik, padahal itu selalu tak menyelesaikan masalah.

Bersama dengan latar tempat baru, Sex Education juga menghadirkan beberapa tokoh baru: Abbi Montgomery (Anthony Lexa), Roman Zardari (Felix Mufti), dan Aisha Green (Alexandra James). Kehadiran mereka mendongkrak representasi dalam cerita ini, khususnya terhadap kelompok nonbiner dan penyandang disabilitas. Mereka menyuarakan permasalahan yang dihadapi kelompok termarjinalkan yang mereka wakili, misalnya akses fasilitas publik, pelayanan kesehatan, serta penerimaan di komunitas agama. Hanya saja, karakter ketiganya bukan karakter yang likeable. Ada beberapa hal yang membuat mereka tidak semenyenangkan itu di mataku.

Selain ketiga tokoh barunya, terus terang, aku juga kurang senang dengan Otis di musim ini. Pertama kalinya Otis terasa egois. Ketika orang-orang di sekelilingnya kesulitan dengan masalah masing-masing, Otis hanya mementingkan masalahnya sendiri untuk membuka klinik, sampai melupakan teman-temannya. Tak hanya itu, konflik-konflik yang dihadapi Otis pada musim ini juga seperti mendaur ulang konflik-konflik di musim-musim sebelumnya, tetapi sayangnya aku tidak merasa ada klimaksnya. Agak aneh ya karena closure tokoh utamanya tak terasa bagus.

Alih-alih, tokoh-tokoh lain yang mendapat closure yang sempurna. Maev menemukan motivasinya untuk mengejar mimpinya menulis, terlepas dari segala kehilangan yang dia alami. Eric dapat berdamai dengan hatinya setelah mengalami krisis keimanan, bahkan dia bertekad untuk mengubah pola pikir orang-orang komunitas gereja terhadap kaum queer. Jean dapat memulai kembali hidupnya setelah depresi yang dia alami. Adam memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya, serta belajar untuk mengungkapkan perasaannya. Ruby belajar untuk lebih ramah dan merendah, tak melulu mengejar popularitas dan validasi. Aimee dapat mengalahkan trauma yang selama ini menghantuinya. Merekalah yang justru mendapat closure yang lebih baik daripada Otis.

Terlepas dari kekurangannya, musim keempat dari Sex Education ini tetap kurekomendasikan. Terutama bagi kalian yang sudah mengikuti Sex Education sejak musim pertama, setidaknya kalian akan mendapatkan akhir dari kisah para tokoh kesayangan kalian. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini.

***

Loki
Season 2

(2023)

Judul

:

Loki

Pencipta

:

Michael Waldron

Produser eksekutif

:

Kevin Feige, Louis D’Esposito, Victoria Alonso, Stephen Broussard, Tom Hiddleston, Kate Herron, Michael Waldron, Brad Winderbaum, Kevin R. Wright, Justin Benson, Aaron Moorhead, Eric Martin

Produser

:

Tommy Turtle, Rachel Alter

Musim/Episode

:

2 Musim/12 episode

Pemeran

:

Tom Hiddleston, Sophia Di Martino, Owen Wilson, Gugu Mbatha-Raw, Wunmi Mosaku, Ke Huy Quan, Tara Strong

Genre

:

Superhero, action, petualangan, crime, thriller, fantasi, drama prosedural, fiksi ilmiah

Loki adalah serial orisinal Marvel Cinematic Universe (MCU) ketiga yang terhubung langsung dengan plot utama film-filmnya, menyusul WandaVision (2021) dan Falcon and the Winter Soldier (2021). Jika aku tidak salah, hanya ini serial TV orisinal MCU yang ada sekuelnya. Musim pertamanya tayang pertama kali pada 9 Juni 2021, sedangkan musim keduanya pada 9 November 2023. Silakan baca reviu untuk musim pertamanya di sini. Kalian bisa menonton Loki di Disney+ Hotstar.

Serial ini menceritakan petualangan Loki (Tom Hiddleston) yang kabur ketika para Avengers pergi ke masa lalu dalam upaya mengalahkan Thanos (tonton Avengers: Endgame; baca reviunya di sini). Loki yang kabur tersebut ditangkap oleh sebuah organisasi birokrat di luar ruang dan waktu yang bernama Time Variant Authority (TVA)—yang tugasnya adalah menjaga Linimasa Sakral (Sacred Timeline), yaitu linimasa yang diklaim sebagai satu-satunya linimasa yang benar, sedangkan berbagai linimasa lainnya dinilai sebagai deviasi atau penyimpangan dari Linimasa Sakral tersebut. Maka dari itu, salah satu tugas TVA adalah melenyapkan para varian yang menjadi kunci untuk menciptakan deviasi Linimasa Sakral.

Loki yang kabur tersebut adalah varian yang memicu penyimpangan dari Linimasa Sakral. Maka dari itu, TVA menangkapnya dan berencana melenyapkannya. Namun, Loki justru membuat kesepakatan dengan TVA bahwa dia akan membantu mereka untuk menangkap varian Loki yang lain, yang telah lama menjadi buronan. Akan tetapi, bisakah Loki memercayai TVA? Bagaimana jika ternyata varian Loki yang dia cari ternyata tak sesuai dugaannnya? Atau, bisakah TVA memercayai Loki?

Di musim kedua ini, petualangan Loki dilanjutkan. Dengan menyambung kejadian di akhir musim pertamanya, Linimasa Sakral menjadi kacau setelah kematian Dia Yang Tersisa (He Who Remains).  Bermunculan berbagai cabang linimasa baru secara tak terkendali. Akan terjadi kekacauan lintas multisemesta jika keadaan tidak segera ditangani. Di TVA sendiri, timbul perdebatan antara menghapuskan cabang-cabang linimasa baru tersebut atau mempertahankannya dengan dalih agar tidak mengorbankan kehidupan yang ada di linimasa-linimasa tersebut.

Sementara itu, Sylvie (Sophia di Martino) juga menghilang setelah membunuh Dia Yang Tersisa. Tak ada yang tahu di mana dia.

Di sisi lain, Loki mengalami fenomena aneh, yaitu dirinya terus-menerus berpindah periode waktu secara acak—tiba-tiba di masa lampau, lalu kembali ke masa sekarang. Dia lalu menemui Ouroboros “OB” (Ke Huy Quan), seorang teknisi TVA yang sangat ahli soal teknologi waktu dan multisemesta.

Loki harus menyembuhkan fenomena yang membuatnya berpindah-pindah waktu tersebut. Loki harus menemukan Sylvie. Loki harus mencegah kekacauan multisemesta. Loki harus mencegah varian-varian Dia Yang Tersisa datang dan menyulut perang. Dengan segala permasalahan yang ada di bahunya tersbut, dapatkah Loki bertindak heroik dan menyelamatkan tak hanya rekan-rekannya, tetapi seluruh multisemesta? Atau dia hanya akan menyelamatkan dirinya sendiri?

Dibandingkan film Ant-Man and the Wasp: Quantumania dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness, serial TV ini betulan cerita pahlawan super dan multisemesta. Konflik multisemesta yang menjadi pokok permalahannya solid, dan terasa banget pertaruhannya tinggi. Pada musim kali ini, kita akan memperdalam konsep multisemesta yang diusung Marvel Cinematic Universe (MCU).

Hal menarik dari musim kedua ini adalah perdebatan moral tentang menghapus linimasa-linimasi yang menyimpang. Argumentasi kuat Sylvie dan yang lainnya agar tak menghapus linimasa-linimasa tersebut adalah karena ada banyak nyawa tak bersalah yang akan mati jika linimasa-linimasa tersebut dihapuskan. Akan tetapi, saat itu kita bicara di level yang lebih tinggi daripada persoalan sosial-politik biasa. Itu menjadi menarik karena problematika moral manusia yang begitu terbatas diaplikasikan ke kasus yang melampaui sosial-politik, bahkan ruang dan waktu. Menurutku, tak ada jawaban yang benar dan salah, maka setiap penonton bebas mendukung siapapun dalam perdebatan tersebut.

Selain itu, jalan cerita musim kedua ini tidak tertebak dan seru. Mulai dari menyembuhkan fenomena time-slip Loki, mencari sosok Victor Timely, sampai menyelamatkan multisemesta—semua adalah rangkaian petualangan yang begitu padat dan seru. Puncaknya adalah sebuah adegan yang sangat membuat merinding, yang mengingatkanku pada film Avengers: Infinity War. Itu keren banget! Bahkan, film-film MCU yang sekarang belum berhasil memberikan perasaan merinding yang sama seperti itu. Memang serial TV satu ini menggendong nama baik MCU pada masa itu.

Akan tetapi, yang paling menarik dari serial ini adalah perjalanan Loki sendiri. Bagi yang mengikuti film-film MCU, kalian tahu bahwa Loki adalah seorang penjahat, atau setidaknya anti-hero. Dia bukan sosok berjiwa patriot dan bijaksana; dia egois dan narsis. Akan tetapi, petualangannya di TVA mengantarkan dia untuk mengalami perkembangan karakter yang mengesankan.

Pada akhirnya, Loki belajar bahwa ini semua bukan tentang dirinya saja. Memutar kembali episode pertama serial TV ini, ada adegan ketika Loki diperlihatkan nasibnya hingga ajal ketika dia dibunuh Thanos, lalu dia merenungkan tujuannya. Kemudian, di episode terakhir serial TV ini—dengan judul yang sama dengan episode pertamanya tadi—Loki akhirnya menemukan tujuannya tersebut. Itu merupakan sebuah perjalanan perkembangan karakter yang luar biasa. Aku tak habis pikir bahwa cerita ini akan menjadi seperti itu.

Saat tiba di episode terakhir, aku jadi sadar bahwa musim pertama dan keduanya merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Bukan sebuah sekuel, tetapi lebih seperti bagian pertama dan kedua, karena ceritanya memang satu rangkaian. Episode terakhir musim pertama lebih seperti checkpoint, bukan akhir. Dan semuanya ternyata adalah tentang perjalanan Loki menemukan jati diri kepahlawanannya, tentang perjalanannya mencapai tujuan mulianya—the glorious purpose.

Aku berani mengatakan bahwa serial TV Loki adalah salah satu serial TV terbaik dari MCU, dan jika ada rencana untuk membuat musim-musim berikutnya, aku akan menantikannya. Walaupun begitu, Loki dan TVA telah muncul di beberapa cerita terbaru MCU, seperti Marvel’s What If…? musim kedua (2023) dan Deadpool and Wolverine (2024). Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.

***

The Killing Vote

(2023)

Judul

:

The Killing Vote

Sutradara

:

Park Shin Woo

Produser eksekutif

:

Lee Seul Gi, Jeon Su Jeong, Kim Eun Mi

Produser

:

Han Jeong Hwan, Kim Hee Yeol, Park Sang Hyun

Penulis

:

Jo Yoon Young

Musim/Episode

:

1 Musim/12 episode

Pemeran

:

Park Hae Jin, Park Sung Woong, Lim Ji Yeon

Genre

:

Hardboiled, thriller, crime

The Killing Vote adalah drama Korea yang diadaptasi dari komik webtoon karya Uhm Se Yoon dan Jung Yi Pum dengan judul yang jika diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi National Death Penalty Vote—yang juga merupakan terjemahan langsung dari judul versi Koreanya. Serial TV satu ini dapat ditonton secara streaming di Prime Video.

The Killing Vote bercerita tentang sosok misterius bertopeng bernama Gaetal yang mengadakan sebuah pemungutan suara yang dinamakan Killing Vote. Pada tanggal-tanggal tertentu, Gaetal akan muncul melalui siaran yang ditayangkan di mana-mana—telepon genggam, internet, serta billboard—untuk memulai acara Killing Vote. Seorang kriminal akan diperkenalkan beserta tindak kejahatannya, lalu dia akan mempersilakan masyarakat untuk melakukan vote, melalui sebuah aplikasi yang terpasang di telepon genggam mereka, apakah kriminal tersebut pantas dihukum mati atau tidak. Jika lebih dari 50 persen suara setuju dengan hukuman mati, kriminal tersebut akan mendapatkannya.

Sementara itu, seorang polisi dari Biro Keamanan Siber, Joo Hyeon (Lim Ji Yeon) segera menyelidiki kasus ini. Dia lalu bergabung dengan tim yang dipimpin detektif Kim Moo Chan (Park Hae Jin) untuk menyelidikinya. Petunjuk pertama mereka mengarahkan mereka kepada seorang narapidana bernama Kwon Seok Joo (Park Sung Woong), seorang profesor yang membunuh pemerkosa sekaligus pembunuh putrinya yang saat itu masih berusia delapan tahun. Namun, Kwon Seok Joo menyangkal bahwa dia adalah Gaetal ataupun memiliki hubungan dengan Gaetal.

Meskipun begitu, Joo Hyeon dan Kim Moo Chan tak bisa membuang firasat bahwa Kwon Seok Joo adalah dalang di balik Killing Vote. Mampukah mereka membuka kedok Kwon Seok Joo dan Gaetal? Sebenarnya, apa tujuan akhir dari Killing Vote ini?

Sepertinya, drakor ini boleh dibilang underrated sebab tak banyak yang membicarakannya. Padahal, menurutku ide dan alur ceritanya termasuk bagus, meskipun ada sedikit catatan pada hal-hal lain. Mungkin, aku akan bahas catatan-catatannya tersebut dulu ya. Salah satu yang aku rasa kurang dari drakor ini adalah peran dan akting para tokoh pendukungnya. Peran para tokoh pendukung, seperti para polisi lainnya di timnya Moo Chan, kurang solid. Aku tidak merasa tertarik pada mereka. Bahkan, ketika ada satu polisi yang jadi polisi jahat (bad cop), awalnya aku tertarik, tapi langsung menguap begitu saja. Pengecualian mungkin untuk Kim Jo Dan (Ko Gun Han), yang menjadi rekan Joo Hyeon dari Biro Keamanan Siber ya. Dia lumayan kocak untuk memecahkan suasana.

Berikutnya, sosok Gaetal entah mengapa tak lagi semenarik itu setelah cerita berjalan, terutama sejak di pertengahan. Sebagaimana yang disebutkan di atas, polisi berusaha menemukan benang merah antara Kwon Seok Joo dan Gaetal. Mungkinkah keduanya orang yang sama atau mungkinkah mereka memiliki hubungan apapun? Namun, seiring waktu, yang menjadi perhatianku justru si Kwon Seok Joo dan riwayat kejahatannya. Itu lebih menarik ketimbang Gaetal. Rasanya, Gaetal jadi sekadar penjiplak Kwon Seok Joo—meskipun ternyata tak sesederhana itu, tetapi tetap saja Gaetal kalah pamor daripada Kwon Seok Joo.

Sementara itu, untuk sisi positifnya, aku suka sekali dengan pendekatannya yang menggunakan kejahatan siber. Sampai saat ini, banyak drakor bergenre crime yang masih saja fokus pada kasus pembunuhan, pembunuhan berantai, pencurian, dan kejahatan keuangan; belum banyak yang mengangkat kejahatan siber. Padahal, dengan realitas saat ini, relevan rasanya untuk mengusung pendekatan itu. Apalagi, di dalam drakor ini ditunjukkan bahwa (spoiler alert) Gaetal meretas telepon genggam masyarakat Korea untuk memasang aplikasi Killing Vote tersebut, yang bisa menjadi refleksi kita bahwa tingkat keamanan perangkat gawai kita tak secanggih itu sehingga data-data pribadi kita sangatlah rawan diretas.

Selain itu, kita dapat melihat bahwa Killing Vote sejatinya adalah penjelmaan dari viral-based justice yang sekarang menjadi fenomena di media sosial—no viral, no justice. Jika kalian sering membuka media sosial, pasti kalian tahu bahwa banyak tindak kejahatan yang akhirnya terungkap atau ditindaklanjuti karena viral alias ramai diperbincangkan di media sosial. Masyarakat beramai-ramai mengangkat suatu tindak kejahatan dan mengekspos pelakunya, lalu menghakiminya agar mendapatkan sanksi sosial. Pada dasarnya, Killing Vote juga demikian, hanya saja ini versi ekstremnya karena berujung pada hukuman mati.

Sekilas hal tersebut terlihat adil, tetapi sebagaimana yang diperlihatkan oleh drakor ini, itu adalah bentuk persekusi dan main hakim sendiri. Killing Vote mungkin terlihat adil dan benar karena menghukum orang-orang yang sepantasnya mati atas kejahatan mereka. Apalagi, ia menerapkan sistem pemungutan suara sehingga terasa lebih demokratis dan terkesan mewakili kehendak massa. Akan tetapi, ada risiko dan bahaya dalam sistem keadilan seperti itu, yang bahkan dapat melukai orang tak bersalah.

Sebagaimana yang drakor ini coba tunjukkan, sistem viral-based justice dapat digunakan oleh orang yang “salah” untuk menghakimi orang tak berdosa secara hukum. Orang yang dihakimi bisa saja di-framing sehingga masyarakat percaya bahwa ia memang bersalah. Apalagi, viral-based justice mengabaikan asas praduga tak bersalah. Selain itu, sistem viral-based justice tak memiliki batasan jelas dan logis antara tindakan seperti apa yang pantas dihukum dan tidak, sebab tak ada landasan hukumnya, serta tak ada proses untuk memaparkan bukti dan mengujinya. Semua tergantung dari narasi orang yang me-viral-kan kejahatan tersebut, dan itu rentan manipulasi dan framing.

Hal lain yang menurutku menarik adalah karakter Kwon Seok Joo. Karakternya begitu rumit untuk dipahami dan penuh kejutan. Apakah dia pahlawan atau penjahat, apakah yang ia perjuangkan benar atau tidak, itu tergantung penilaian masing-masing penonton. Namun yang pasti, karkaternya memiliki banyak lapisan yang menarik untuk diperdalam. Aku perlu mengapresiasi Park Sung Woong yang telah berhasil memerankan karakter tersebut.

Belum lagi soal kejahatan yang menimpa putrinya di masa lalu. Itu merupakan kunci penting dari cerita ini. Kebenaran atas kasus tersebut akan menjadi petunjuk terbesar untuk memecahkan Killing Vote. Maka dari itu, kedua kasus ini saling berkaitan.

Apabila kalian mencari drakor bergenre crime-thriller yang, mengutip istilah kekinian, hidden gem, silakan menonton The Killing Vote. Kalian akan dibuat tegang dengan misteri dan penyelidikannya. Selain itu, pendekatannya pun unik, yakni mengusung tema kejahatan siber dan viral-based justice yang menurutku, relevan dengan kondisi saat ini. Dilihat dari akhirnya, ada peluang cerita ini dilanjutkan ke musim kedua, tetapi belum ada informasi apa-apa tentang hal ini. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini.

***

Gadis Kretek

(2023)

Judul

:

Gadis Kretek

Sutradara

:

Kamila Andini, Ifa Isfansyah

Produser

:

Shanty Harmayn

Musim/Episode

:

1 Musim/5 episode

Pemeran

:

Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Putri Marino, Arya Saloka

Genre

:

Drama sejarah

Gadis Kretek adalah salah satu serial TV yang luar biasa happening pada tahun 2023. Serial TV satu ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ratih Kumala. Sejak proses produksinya, serial TV ini telah menarik perhatian banyak orang berkat popularitas bukunya serta jajaran pemerannya yang bertabur bintang. Sutradaranya, Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, juga sangat terkenal dengan film-film yang mengangkat tema isu perempuan.

Begitu tayang, banyak kritik positif yang diterima serial TV ini. Bahkan, tak sedikit yang menyebutnya serial TV Indonesia terbaik untuk tahun tersebut. Tak hanya itu, Gadis Kretek juga meraih penghargaan di Seoul International Drama Awards untuk kategori Best Mini Series-International Competition Program pada tahun 2024—mengalahkan pesaingnya, salah satunya 3 Body Problem (2024) dari Amerika Serikat. Jika kalian ingin menonton serial TV ini, silakan ditonton di Netflix ya.

Pada tahun 2000-an, Lebas (Arya Saloka), putra pengusaha kretek ternama di Indonesia, mendapat tugas dari ayahnya, Soeraja (Pritt Timothy), yang tampaknya sudah mendekati ajalnya, agar mencari sesosok wanita dari masa lalunya yang bernama Jeng Yah. Pencarian tersebut menuntunnya bertemu dengan seorang dokter bernama Arum (Putri Marino). Sebuah foto yang menjadi petunjuknya menunjukkan sosok Jeng Yah ketika muda beserta ibunya Arum. Mereka lalu menemukan buku harian serta surat-surat lama yang membawa mereka kembali ke tahun 1960-an untuk menelusuri kisah antara wanita misterius bernama Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) dan Soeraja (Ario Bayu), ayahnya Lebas. Siapakah sebenarnya Jeng Yah? Dan apakah Lebas mampu mempertemukan kembali ayahnya dengan Jeng Yah?

Aku belum membaca novel Gadis Kretek, maka tak bisa membandingkan versi adaptasi serial TV ini dengan bukunya, tetapi dari yang kudengar, alur ceritanya agak berbeda dengan yang versi buku sih. Terlepas dari itu, menurutku serial TV ini luar biasa bagus. Dari awal ke akhir serta dari berbagai aspek teknis, serial TV ini mengesankan.

Desain produksinya sangat diperhatikan hingga ke detail. Latar tahun 1960-an serta 2000-an disajikan dengan bagus serta mengundang nostalgia. Tata kostumnya juga sesuai dengan latar waktunya. Terkhusus Jeng Yah, pakaian kebaya hitam yang begitu khas baginya tampak elok sekali. Apapun yang dilakukan Jeng Yah jadi begitu khas karena penampilannya memang berbeda. Belum lagi gaya narasi Jeng Yah yang teramat khas dan puitis berhasil menambah kesan dramatis dan elegan terhadap ceritanya. Hal-hal tersebut didukung juga oleh jajaran pemeran yang performanya mengagumkan.

Kemudian, sesuai dengan judulnya, serial TV ini sedikit banyak menyinggung sejarah bisnis kretek di negeri kita. Meskipun tak mendalam, setidaknya kita dapat melihat bagaimana proses produksi kretek pada tahun 1960-an, bagaimana persaingan bisnis kretek kala itu, serta arti kretek dalam kehidupan masyarkat kita. Oh iya, penting juga untuk diketahui, serial TV ini tidak meglorifikasi rokok atau kretek ya, sebab (spoiler alert) beberapa tokoh berujung meninggal karena penyakit yang diakibatkan kretek.

Hal lain yang penting untuk diketahui tentang serial TV ini adalah ia juga menyinggung tentang diskriminasi terhadap perempuan dalam industri kretek. Perempuan hanya boleh bekerja untuk melinting kretek, tidak untuk meracik saus, sedangkan Jeng Yah selalu ingin meracik saus kretek dan ia memiliki kecakapan untuk itu. Melalui permasalahan yang dihadapi Jeng Yah, kita dapat melihat bahwa ada seksisme dalam industri kretek. Padahal, itu menghalangi perkembangan bisnis sebab alih-alih mempertimbangkan kecakapan seseorang, yang dilihat malah jenis kelamin dan gendernya.

Selain itu, ada juga kisah romansa antara Jeng Yah dengan Soeraja, yang menggerakkan cerita dan menyingkap misterinya. Kisah mereka penuh lika-liku dan rintangan yang tak berkesudahan. Aku pun bingung apakah ini romansa atau balada. Jika kalian mengikuti kisah Jeng Yah dan Soeraja sampai akhir, mungkin kalian akan merasa sesak. Aku sendiri saat tiba di akhir cerita, tak bisa merasakan sedih, tak ada air mata yang keluar, hatiku hanya bisa mencelus dan merasa hampa. Puncaknya adalah ketika Jeng Yah dan Soeraja bertemu terakhir kali, lalu diiringi lagu Runtuh oleh Febryani Putri ft. Fiersa Besari. Rasanya, tak ada cerita yang sesedih ini.

Namun, tunggu dulu—jika kalian berpikir cerita ini hanya tentang Jeng Yah dan Soeraja, kalian salah. Di novel ini, ada peristiwa sejarah penting yang ditampilkan, yakni penangkapan orang-orang tanpa proses pengadilan di tahun 1965. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penumpasan PKI di Indonesia. Namun dalam praktiknya, banyak orang tak bersalah atau tak terbukti terafiliasi dengan PKI ikut ditangkap. Banyak keluarga yang hancur akibat penangkapan tersebut dan selamanya terluka.

Itu adalah catatan berdarah sejarah bangsa kita, yang sayangnya tak diajarkan di sekolah. Aku salut sekali karena serial TV ini berani menampilkannya, sebagai counter atas narasi heroik penumpasan PKI yang mainstream. Apalagi, cara serial TV ini menyampaikannya juga begitu cerdik sebab dia memperlihatkannya melalui pengalaman para tokohnya sehingga masuk ke cerita, bukan ujug-ujug menampilkan penangkapan terhadap terduga anggota PKI tapi tak jelas keterkaitannya dengan cerita para tokoh. Dengan pendekatan tersebut, kita dapat meresapi bagaimana perisitwa itu adalah sebuah tragedi.

Selain Jeng Yah dan Soeraja, Lebas dan Arum juga akan mencuri perhatian penonton. Penelusuran mereka untuk menguak masa lalu Jeng Yah dan Soeraja tak kalah menarik dengan kisah Jeng Yah dan Soeraja itu sendiri. Apalagi, di setiap episode akan terungkap fakta baru soal Jeng Yah dan Soeraja yang akan memengaruhi kehidupan Lebas dan Arum. Puncaknya adalah ketika Arum mencoba kretek Kembang Setaman—itu hanya adegan seseorang menghisap kretek, tetapi begitu emosional dan menyayat hati, tersirat kerinduan yang begitu mendalam darinya.

Aku amat sangat merekomendasikan serial TV ini. Gadis Kretek telah menetapkan standar baru bagi serial TV Indonesia. Ia tak kalah bagus dari serial-serial TV lain asal luar negeri. Bagi kalian yang mudah terbawa suasana, mungkin sebaiknya siapkan tisu ya. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini

***

Bodies

(2023)

Judul

:

Bodies

Pencipta

:

Paul Tomalin

Sutradara

:

Marco Kreuzpaintner, Haolu Wang

Produser eksekutif

:

Paul Tomalin, Marco Kreuzpaintner, Will Gould, Frith Tiplady

Produser

:

Susie Liggat

Musim/Episode

:

1 Musim/8 episode

Pemeran

:

Amaka Okafor, Jacob Fortune-Lloyd, Kyle Soller, Shira Haas, Tom Mothersdale, Gabriel Howell, Stephen Graham

Genre

:

Fiksi ilmiah, misteri, thriller, drama

Bodies adalah sebuah miniseries terbatas yang diadaptasi dari komik berjudul sama karya Si Spencer dengan ilustrasi oleh Dean Ormston, Tula Lotay, Meghan Hetrick, dan Phil Winslade, yang diterbitkan oleh DC Vertigo. Kalian dapat menonton serial TV ini di Netflix.

Bodies bercerita tentang sebuah misteri ditemukannya jenazah tak dikenal yang muncul di Longharvest Lane, Whitechapel, London, tetapi yang lebih membingungkan adalah penemuan jenazah tersebut terjadi di empat periode waktu yang berbeda: 1890, 1941, 2023, dan 2053. Empat detektif dari empat masa berbeda menyelidikinya, tetapi menghadapi berbagai hambatan yang seakan sengaja mempermainkan mereka. Entah konspirasi apa yang bermain dalam kasus ini, tetapi yang pasti, konspirasi tersebut telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Penyelidikan keempat detektif tersebut pun saling bertautan, serta memicu rentetan rantai konsekuensi yang saling memengaruhi yang berujung pada tewasnya nyawa banyak orang. Dapatkah mereka memecahkan misteri tersebut dan mencegah malapetaka yang mungkin terjadi?

Jika kalian mencari cerita detektif bercampur fiksi ilmiah yang seru dan bikin penasaran, Bodies adalah rekomendasi yang tepat. Serial TV satu ini mengingatkanku pada serial TV asal Jerman Dark (2017–2020, baca reviunya di sini) karena sama-sama menggunakan tema perjalanan waktu dan ada beberapa latar waktu. Keduanya juga memiliki semacam sekte misterius yang mengelu-elukan penjelajah waktu. Selain itu, serial TV ini juga mirip dengan film Predestination (2014) karena ada unsur grandfather paradox-nya. Dengan premis yang menarik tersebut, cerita detektif dan perjalanan waktu ini dikembangkan menjadi tontonan yang bagus dan menarik.

Aku tertarik sekali dengan penyelidikan yang dilakukan oleh keempat detektif dari empat masa yang berbeda dalam serial TV ini. Mereka memiliki kesulitan yang berbeda-beda ketika menyelidiki kasusnya, yang menjadikan cerita ini terasa berwarna-warni. Perlahan-lahan, penyelidikan makin mendalam dan mencuatlah benang merah yang menghubungkan mereka. Bahkan, menarik banget melihat bahwa secara tak langsung, detektif-detektif tersebut bekerja sama—sebuah kerja sama lintas masa, lintas abad. Bagaimana akhirnya keempat kasus penemuan jenazah ini saling terhubung adalah hal yang membuatku tertarik pada alur ceritanya, karena ketika itu terungkap, rasanya mind-blowing.

Keempat detektifnya pun didesain dengan penokohan yang begitu unik sebab bisa dibilang, mereka adalah kaum minoritas atau kaum yang termarjinalkan di masa mereka masing-masing. Detektif Shahara Hasan (Amaka Okafor) adalah seorang wanita etnis kulit hitam di tahun 2023; Detektif Karl “Charles Whiteman” Weissman (Jacob Fortune-Lloyd) adalah seorang Yahudi di tahun 1941; Detektif Alfred Hillinghead (Kyle Soller) adalah seorang pria homoseksual di tahun 1890; dan Detektif Iris Mapplewood (Shira Haas) adalah seorang penyandang disabilitas di tahun 2053. Semuanya adalah orang-orang dari kelompok termarjinalkan yang identitasnya secara tidak langsung menjadi tantangan tersendiri bagi penyelidikan mereka. Mungkin tak secara terang-terangan dijadikan faktor yang menghalangi mereka, tetapi kita dapat menyadarinya—itu merupakan keunggulan tersendiri dalam hal penokohan dan penyajian alur ceritanya.

Di sisi lain, sang penjahat juga memiliki karkater yang menarik. Dalam cerita ini, kita tak hanya melihat bagaimana para detektif memecahkan kasus dan menangkap penjahat, tetapi juga melihat bagaimana si penjahat ‘dibentuk. Aku selalu suka dengan cerita yang penjahatnya ternyata orang baik yang menjadi jahat karena dunia jahat kepadanya. Perasaan diabaikan dan tak diinginkan adalah hal yang mendorong si penjahat untuk berbuat sejauh itu. Kemudian, mengingat bahwa para detektif dalam cerita ini juga berasal dari kelompok yang termarjinalkan di masyarakat, aku pikir mereka bisa relate dengan si penjahat—mereka sama-sama tersingkirkan di masyarakat.

Aku juga puas dengan penyelesaian dan akhir ceritanya. Walaupun premis dan alur ceritanya rumit, tetapi cerita ini berhasil diselesaikan dengan baik dan memberikan akhir yang memuaskan baik untuk tokoh-tokohnya, juga untuk penonton.

Aku sangat merekomendasikan Bodies untuk kalian yang mencari serial TV pendek, tapi ceritanya tetap apik. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.

***

Akhirnya rekomendasi serial TV terfavorit di tahun 2023 selesai! Aku tak menyangka butuh waktu sangat lama untuk menyelesaikan daftar ini. Ada banyak kesibukan yang menyulitkanku menulis. Aku masih tetap menarik jeda untuk menonton supaya tetap waras, hanya saja tak menemukan waktu untuk menuliskan perasaanku tentang tontonan-tontonan tersebut. Aku butuh waktu cukup lama untuk memproses kesanku terhadap tontonan tersebut, lalu merumuskannya menjadi tulisan. Jadi, mohon dimaklumi ya, hehehe.

Aku sudah sedikit mempersiapkan ulasan untuk serial TV terfavorit di tahun 2024. Bahkan part 1-nya juga sudah published  di sini. Semoga tontonan-tontonan yang aku masukkan ke daftar ini—serta daftar-daftar sebelumnya—bisa menghibur kalian di tengah kesibukan kalian. Sampai bertemu di serial TV terfavorit tahun 2024 dan 2025!


Sebelumnya

Selanjutnya

Komentar