Dibandingkan
film Ant-Man and the Wasp: Quantumania dan Doctor Strange in the
Multiverse of Madness, serial TV ini betulan cerita pahlawan super dan
multisemesta. Konflik multisemesta yang menjadi pokok permalahannya solid, dan
terasa banget pertaruhannya tinggi. Pada musim kali ini, kita akan memperdalam
konsep multisemesta yang diusung Marvel Cinematic Universe (MCU).
Hal
menarik dari musim kedua ini adalah perdebatan moral tentang menghapus
linimasa-linimasi yang menyimpang. Argumentasi kuat Sylvie dan yang lainnya
agar tak menghapus linimasa-linimasa tersebut adalah karena ada banyak nyawa
tak bersalah yang akan mati jika linimasa-linimasa tersebut dihapuskan. Akan
tetapi, saat itu kita bicara di level yang lebih tinggi daripada persoalan
sosial-politik biasa. Itu menjadi menarik karena problematika moral manusia
yang begitu terbatas diaplikasikan ke kasus yang melampaui sosial-politik,
bahkan ruang dan waktu. Menurutku, tak ada jawaban yang benar dan salah, maka
setiap penonton bebas mendukung siapapun dalam perdebatan tersebut.
Selain
itu, jalan cerita musim kedua ini tidak tertebak dan seru. Mulai dari menyembuhkan
fenomena time-slip Loki, mencari sosok Victor Timely, sampai menyelamatkan
multisemesta—semua adalah rangkaian petualangan yang begitu padat dan seru. Puncaknya
adalah sebuah adegan yang sangat membuat merinding, yang mengingatkanku pada
film Avengers: Infinity War. Itu keren banget! Bahkan, film-film
MCU yang sekarang belum berhasil memberikan perasaan merinding yang sama
seperti itu. Memang serial TV satu ini menggendong nama baik MCU pada masa itu.
Akan
tetapi, yang paling menarik dari serial ini adalah perjalanan Loki
sendiri. Bagi yang mengikuti film-film MCU, kalian tahu bahwa Loki adalah
seorang penjahat, atau setidaknya anti-hero. Dia bukan sosok berjiwa
patriot dan bijaksana; dia egois dan narsis. Akan tetapi, petualangannya di TVA
mengantarkan dia untuk mengalami perkembangan karakter yang mengesankan.
Pada
akhirnya, Loki belajar bahwa ini semua bukan tentang dirinya saja. Memutar
kembali episode pertama serial TV ini, ada adegan ketika Loki diperlihatkan
nasibnya hingga ajal ketika dia dibunuh Thanos, lalu dia merenungkan tujuannya.
Kemudian, di episode terakhir serial TV ini—dengan judul yang sama dengan
episode pertamanya tadi—Loki akhirnya menemukan tujuannya tersebut. Itu
merupakan sebuah perjalanan perkembangan karakter yang luar biasa. Aku tak
habis pikir bahwa cerita ini akan menjadi seperti itu.
Saat
tiba di episode terakhir, aku jadi sadar bahwa musim pertama dan keduanya
merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Bukan sebuah sekuel, tetapi
lebih seperti bagian pertama dan kedua, karena ceritanya memang satu rangkaian.
Episode terakhir musim pertama lebih seperti checkpoint, bukan akhir.
Dan semuanya ternyata adalah tentang perjalanan Loki menemukan jati diri
kepahlawanannya, tentang perjalanannya mencapai tujuan mulianya—the glorious
purpose.
Aku
berani mengatakan bahwa serial TV Loki adalah salah satu serial TV
terbaik dari MCU, dan jika ada rencana untuk membuat musim-musim berikutnya,
aku akan menantikannya. Walaupun begitu, Loki dan TVA telah muncul di beberapa
cerita terbaru MCU, seperti Marvel’s What If…? musim kedua (2023) dan Deadpool
and Wolverine (2024). Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.
***
The Killing Vote
(2023)
 
  | 
   Judul 
   | 
  
   : 
   | 
  
   The Killing Vote 
   | 
 
 
  | 
   Sutradara 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Park Shin Woo 
   | 
 
 
  | 
   Produser eksekutif 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Lee Seul Gi, Jeon Su Jeong, Kim Eun Mi 
   | 
 
 
  | 
   Produser 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Han Jeong Hwan, Kim Hee Yeol, Park Sang Hyun 
   | 
 
 
  | 
   Penulis 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Jo Yoon Young 
   | 
 
 
  | 
   Musim/Episode 
   | 
  
   : 
   | 
  
   1 Musim/12 episode 
   | 
 
 
  | 
   Pemeran 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Park Hae Jin, Park Sung Woong, Lim Ji Yeon 
   | 
 
 
  | 
   Genre 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Hardboiled,
  thriller, crime  
   | 
 
The
Killing Vote adalah drama Korea yang diadaptasi dari
komik webtoon karya Uhm Se Yoon dan Jung Yi Pum dengan judul yang jika diterjemahkan
ke bahasa Inggris menjadi National Death Penalty Vote—yang juga
merupakan terjemahan langsung dari judul versi Koreanya. Serial TV satu ini
dapat ditonton secara streaming di Prime Video.
The
Killing Vote bercerita tentang sosok misterius bertopeng
bernama Gaetal yang mengadakan sebuah pemungutan suara yang dinamakan Killing
Vote. Pada tanggal-tanggal tertentu, Gaetal akan muncul melalui siaran yang
ditayangkan di mana-mana—telepon genggam, internet, serta billboard—untuk
memulai acara Killing Vote. Seorang kriminal akan diperkenalkan beserta tindak
kejahatannya, lalu dia akan mempersilakan masyarakat untuk melakukan vote,
melalui sebuah aplikasi yang terpasang di telepon genggam mereka, apakah
kriminal tersebut pantas dihukum mati atau tidak. Jika lebih dari 50 persen
suara setuju dengan hukuman mati, kriminal tersebut akan mendapatkannya.
Sementara
itu, seorang polisi dari Biro Keamanan Siber, Joo Hyeon (Lim Ji Yeon) segera
menyelidiki kasus ini. Dia lalu bergabung dengan tim yang dipimpin detektif Kim
Moo Chan (Park Hae Jin) untuk menyelidikinya. Petunjuk pertama mereka
mengarahkan mereka kepada seorang narapidana bernama Kwon Seok Joo (Park Sung
Woong), seorang profesor yang membunuh pemerkosa sekaligus pembunuh putrinya
yang saat itu masih berusia delapan tahun. Namun, Kwon Seok Joo menyangkal
bahwa dia adalah Gaetal ataupun memiliki hubungan dengan Gaetal.
Meskipun
begitu, Joo Hyeon dan Kim Moo Chan tak bisa membuang firasat bahwa Kwon Seok
Joo adalah dalang di balik Killing Vote. Mampukah mereka membuka kedok Kwon
Seok Joo dan Gaetal? Sebenarnya, apa tujuan akhir dari Killing Vote ini?
Sepertinya,
drakor ini boleh dibilang underrated sebab tak banyak yang
membicarakannya. Padahal, menurutku ide dan alur ceritanya termasuk bagus,
meskipun ada sedikit catatan pada hal-hal lain. Mungkin, aku akan bahas
catatan-catatannya tersebut dulu ya. Salah satu yang aku rasa kurang dari
drakor ini adalah peran dan akting para tokoh pendukungnya. Peran para tokoh
pendukung, seperti para polisi lainnya di timnya Moo Chan, kurang solid. Aku
tidak merasa tertarik pada mereka. Bahkan, ketika ada satu polisi yang jadi
polisi jahat (bad cop), awalnya aku tertarik, tapi langsung menguap
begitu saja. Pengecualian mungkin untuk Kim Jo Dan (Ko Gun Han), yang menjadi
rekan Joo Hyeon dari Biro Keamanan Siber ya. Dia lumayan kocak untuk memecahkan
suasana.
Berikutnya,
sosok Gaetal entah mengapa tak lagi semenarik itu setelah cerita berjalan,
terutama sejak di pertengahan. Sebagaimana yang disebutkan di atas, polisi
berusaha menemukan benang merah antara Kwon Seok Joo dan Gaetal. Mungkinkah
keduanya orang yang sama atau mungkinkah mereka memiliki hubungan apapun?
Namun, seiring waktu, yang menjadi perhatianku justru si Kwon Seok Joo dan riwayat
kejahatannya. Itu lebih menarik ketimbang Gaetal. Rasanya, Gaetal jadi sekadar
penjiplak Kwon Seok Joo—meskipun ternyata tak sesederhana itu, tetapi tetap
saja Gaetal kalah pamor daripada Kwon Seok Joo.
Sementara
itu, untuk sisi positifnya, aku suka sekali dengan pendekatannya yang
menggunakan kejahatan siber. Sampai saat ini, banyak drakor bergenre crime yang
masih saja fokus pada kasus pembunuhan, pembunuhan berantai, pencurian, dan
kejahatan keuangan; belum banyak yang mengangkat kejahatan siber. Padahal,
dengan realitas saat ini, relevan rasanya untuk mengusung pendekatan itu.
Apalagi, di dalam drakor ini ditunjukkan bahwa (spoiler alert) Gaetal
meretas telepon genggam masyarakat Korea untuk memasang aplikasi Killing Vote
tersebut, yang bisa menjadi refleksi kita bahwa tingkat keamanan perangkat
gawai kita tak secanggih itu sehingga data-data pribadi kita sangatlah rawan
diretas.
Selain
itu, kita dapat melihat bahwa Killing Vote sejatinya adalah penjelmaan dari viral-based
justice yang sekarang menjadi fenomena di media sosial—no viral, no
justice. Jika kalian sering membuka media sosial, pasti kalian tahu bahwa
banyak tindak kejahatan yang akhirnya terungkap atau ditindaklanjuti karena viral
alias ramai diperbincangkan di media sosial. Masyarakat beramai-ramai
mengangkat suatu tindak kejahatan dan mengekspos pelakunya, lalu menghakiminya
agar mendapatkan sanksi sosial. Pada dasarnya, Killing Vote juga demikian,
hanya saja ini versi ekstremnya karena berujung pada hukuman mati.
Sekilas
hal tersebut terlihat adil, tetapi sebagaimana yang diperlihatkan oleh drakor
ini, itu adalah bentuk persekusi dan main hakim sendiri. Killing Vote mungkin
terlihat adil dan benar karena menghukum orang-orang yang sepantasnya mati atas
kejahatan mereka. Apalagi, ia menerapkan sistem pemungutan suara sehingga
terasa lebih demokratis dan terkesan mewakili kehendak massa. Akan tetapi, ada
risiko dan bahaya dalam sistem keadilan seperti itu, yang bahkan dapat melukai
orang tak bersalah.
Sebagaimana
yang drakor ini coba tunjukkan, sistem viral-based justice dapat
digunakan oleh orang yang “salah” untuk menghakimi orang tak berdosa secara
hukum. Orang yang dihakimi bisa saja di-framing sehingga masyarakat
percaya bahwa ia memang bersalah. Apalagi, viral-based justice mengabaikan
asas praduga tak bersalah. Selain itu, sistem viral-based justice tak
memiliki batasan jelas dan logis antara tindakan seperti apa yang pantas
dihukum dan tidak, sebab tak ada landasan hukumnya, serta tak ada proses untuk
memaparkan bukti dan mengujinya. Semua tergantung dari narasi orang yang me-viral-kan
kejahatan tersebut, dan itu rentan manipulasi dan framing.
Hal
lain yang menurutku menarik adalah karakter Kwon Seok Joo. Karakternya begitu
rumit untuk dipahami dan penuh kejutan. Apakah dia pahlawan atau penjahat,
apakah yang ia perjuangkan benar atau tidak, itu tergantung penilaian
masing-masing penonton. Namun yang pasti, karkaternya memiliki banyak lapisan
yang menarik untuk diperdalam. Aku perlu mengapresiasi Park Sung Woong yang
telah berhasil memerankan karakter tersebut.
Belum
lagi soal kejahatan yang menimpa putrinya di masa lalu. Itu merupakan kunci
penting dari cerita ini. Kebenaran atas kasus tersebut akan menjadi petunjuk
terbesar untuk memecahkan Killing Vote. Maka dari itu, kedua kasus ini saling
berkaitan.
Apabila
kalian mencari drakor bergenre crime-thriller yang, mengutip istilah
kekinian, hidden gem, silakan menonton The Killing Vote. Kalian
akan dibuat tegang dengan misteri dan penyelidikannya. Selain itu,
pendekatannya pun unik, yakni mengusung tema kejahatan siber dan viral-based
justice yang menurutku, relevan dengan kondisi saat ini. Dilihat dari
akhirnya, ada peluang cerita ini dilanjutkan ke musim kedua, tetapi belum ada
informasi apa-apa tentang hal ini. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini.
***
Gadis Kretek
(2023)
 
  | 
   Judul 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Gadis Kretek 
   | 
 
 
  | 
   Sutradara 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Kamila Andini, Ifa Isfansyah 
   | 
 
 
  | 
   Produser 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Shanty Harmayn 
   | 
 
 
  | 
   Musim/Episode 
   | 
  
   : 
   | 
  
   1 Musim/5 episode 
   | 
 
 
  | 
   Pemeran 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Putri Marino, Arya Saloka 
   | 
 
 
  | 
   Genre 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Drama sejarah 
   | 
 
Gadis
Kretek adalah salah satu serial TV yang luar biasa
happening pada tahun 2023. Serial TV satu ini diadaptasi dari novel
berjudul sama karya Ratih Kumala. Sejak proses produksinya, serial TV ini telah
menarik perhatian banyak orang berkat popularitas bukunya serta jajaran
pemerannya yang bertabur bintang. Sutradaranya, Kamila Andini dan Ifa
Isfansyah, juga sangat terkenal dengan film-film yang mengangkat tema isu
perempuan. 
Begitu
tayang, banyak kritik positif yang diterima serial TV ini. Bahkan, tak sedikit
yang menyebutnya serial TV Indonesia terbaik untuk tahun tersebut. Tak hanya
itu, Gadis Kretek juga meraih penghargaan di Seoul International Drama
Awards untuk kategori Best Mini Series-International Competition Program
pada tahun 2024—mengalahkan pesaingnya, salah satunya 3 Body Problem (2024)
dari Amerika Serikat. Jika kalian ingin menonton serial TV ini, silakan
ditonton di Netflix ya.
Pada
tahun 2000-an, Lebas (Arya Saloka), putra pengusaha kretek ternama di
Indonesia, mendapat tugas dari ayahnya, Soeraja (Pritt Timothy), yang tampaknya
sudah mendekati ajalnya, agar mencari sesosok wanita dari masa lalunya yang
bernama Jeng Yah. Pencarian tersebut menuntunnya bertemu dengan seorang dokter
bernama Arum (Putri Marino). Sebuah foto yang menjadi petunjuknya menunjukkan
sosok Jeng Yah ketika muda beserta ibunya Arum. Mereka lalu menemukan buku
harian serta surat-surat lama yang membawa mereka kembali ke tahun 1960-an
untuk menelusuri kisah antara wanita misterius bernama Jeng Yah (Dian
Sastrowardoyo) dan Soeraja (Ario Bayu), ayahnya Lebas. Siapakah sebenarnya Jeng
Yah? Dan apakah Lebas mampu mempertemukan kembali ayahnya dengan Jeng Yah?
Aku
belum membaca novel Gadis Kretek, maka tak bisa membandingkan versi
adaptasi serial TV ini dengan bukunya, tetapi dari yang kudengar, alur
ceritanya agak berbeda dengan yang versi buku sih. Terlepas dari itu, menurutku
serial TV ini luar biasa bagus. Dari awal ke akhir serta dari berbagai aspek
teknis, serial TV ini mengesankan.
Desain
produksinya sangat diperhatikan hingga ke detail. Latar tahun 1960-an serta
2000-an disajikan dengan bagus serta mengundang nostalgia. Tata kostumnya juga
sesuai dengan latar waktunya. Terkhusus Jeng Yah, pakaian kebaya hitam yang
begitu khas baginya tampak elok sekali. Apapun yang dilakukan Jeng Yah jadi
begitu khas karena penampilannya memang berbeda. Belum lagi gaya narasi Jeng
Yah yang teramat khas dan puitis berhasil menambah kesan dramatis dan elegan
terhadap ceritanya. Hal-hal tersebut didukung juga oleh jajaran pemeran yang
performanya mengagumkan.
Kemudian,
sesuai dengan judulnya, serial TV ini sedikit banyak menyinggung sejarah bisnis
kretek di negeri kita. Meskipun tak mendalam, setidaknya kita dapat melihat
bagaimana proses produksi kretek pada tahun 1960-an, bagaimana persaingan
bisnis kretek kala itu, serta arti kretek dalam kehidupan masyarkat kita. Oh
iya, penting juga untuk diketahui, serial TV ini tidak meglorifikasi rokok atau
kretek ya, sebab (spoiler alert) beberapa tokoh berujung meninggal
karena penyakit yang diakibatkan kretek.
Hal
lain yang penting untuk diketahui tentang serial TV ini adalah ia juga
menyinggung tentang diskriminasi terhadap perempuan dalam industri kretek.
Perempuan hanya boleh bekerja untuk melinting kretek, tidak untuk meracik saus,
sedangkan Jeng Yah selalu ingin meracik saus kretek dan ia memiliki kecakapan
untuk itu. Melalui permasalahan yang dihadapi Jeng Yah, kita dapat melihat
bahwa ada seksisme dalam industri kretek. Padahal, itu menghalangi perkembangan
bisnis sebab alih-alih mempertimbangkan kecakapan seseorang, yang dilihat malah
jenis kelamin dan gendernya.
Selain
itu, ada juga kisah romansa antara Jeng Yah dengan Soeraja, yang menggerakkan
cerita dan menyingkap misterinya. Kisah mereka penuh lika-liku dan rintangan
yang tak berkesudahan. Aku pun bingung apakah ini romansa atau balada. Jika
kalian mengikuti kisah Jeng Yah dan Soeraja sampai akhir, mungkin kalian akan
merasa sesak. Aku sendiri saat tiba di akhir cerita, tak bisa merasakan sedih,
tak ada air mata yang keluar, hatiku hanya bisa mencelus dan merasa hampa. Puncaknya
adalah ketika Jeng Yah dan Soeraja bertemu terakhir kali, lalu diiringi lagu Runtuh
oleh Febryani Putri ft. Fiersa Besari. Rasanya, tak ada cerita yang
sesedih ini.
Namun,
tunggu dulu—jika kalian berpikir cerita ini hanya tentang Jeng Yah dan Soeraja,
kalian salah. Di novel ini, ada peristiwa sejarah penting yang ditampilkan,
yakni penangkapan orang-orang tanpa proses pengadilan di tahun 1965. Hal
tersebut dilakukan sebagai bentuk penumpasan PKI di Indonesia. Namun dalam
praktiknya, banyak orang tak bersalah atau tak terbukti terafiliasi dengan PKI
ikut ditangkap. Banyak keluarga yang hancur akibat penangkapan tersebut dan
selamanya terluka. 
Itu
adalah catatan berdarah sejarah bangsa kita, yang sayangnya tak diajarkan di
sekolah. Aku salut sekali karena serial TV ini berani menampilkannya, sebagai counter
atas narasi heroik penumpasan PKI yang mainstream. Apalagi, cara
serial TV ini menyampaikannya juga begitu cerdik sebab dia memperlihatkannya
melalui pengalaman para tokohnya sehingga masuk ke cerita, bukan ujug-ujug
menampilkan penangkapan terhadap terduga anggota PKI tapi tak jelas
keterkaitannya dengan cerita para tokoh. Dengan pendekatan tersebut, kita dapat
meresapi bagaimana perisitwa itu adalah sebuah tragedi.
Selain
Jeng Yah dan Soeraja, Lebas dan Arum juga akan mencuri perhatian penonton.
Penelusuran mereka untuk menguak masa lalu Jeng Yah dan Soeraja tak kalah
menarik dengan kisah Jeng Yah dan Soeraja itu sendiri. Apalagi, di setiap
episode akan terungkap fakta baru soal Jeng Yah dan Soeraja yang akan
memengaruhi kehidupan Lebas dan Arum. Puncaknya adalah ketika Arum mencoba
kretek Kembang Setaman—itu hanya adegan seseorang menghisap kretek, tetapi
begitu emosional dan menyayat hati, tersirat kerinduan yang begitu mendalam darinya.
Aku
amat sangat merekomendasikan serial TV ini. Gadis Kretek telah
menetapkan standar baru bagi serial TV Indonesia. Ia tak kalah bagus dari
serial-serial TV lain asal luar negeri. Bagi kalian yang mudah terbawa suasana,
mungkin sebaiknya siapkan tisu ya. Kalian dapat menonton trailer-nya di sini. 
***
Bodies
(2023)
 
  | 
   Judul 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Bodies 
   | 
 
 
  | 
   Pencipta 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Paul Tomalin 
   | 
 
 
  | 
   Sutradara 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Marco Kreuzpaintner, Haolu Wang 
   | 
 
 
  | 
   Produser eksekutif 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Paul Tomalin, Marco Kreuzpaintner, Will Gould, Frith
  Tiplady 
   | 
 
 
  | 
   Produser 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Susie Liggat 
   | 
 
 
  | 
   Musim/Episode 
   | 
  
   : 
   | 
  
   1 Musim/8 episode 
   | 
 
 
  | 
   Pemeran 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Amaka Okafor, Jacob Fortune-Lloyd, Kyle Soller, Shira Haas,
  Tom Mothersdale, Gabriel Howell, Stephen Graham 
   | 
 
 
  | 
   Genre 
   | 
  
   : 
   | 
  
   Fiksi ilmiah, misteri, thriller, drama 
   | 
 
Bodies
adalah sebuah miniseries terbatas yang
diadaptasi dari komik berjudul sama karya Si Spencer dengan ilustrasi oleh Dean
Ormston, Tula Lotay, Meghan Hetrick, dan Phil Winslade, yang diterbitkan oleh
DC Vertigo. Kalian dapat menonton serial TV ini di Netflix.
Bodies
bercerita tentang sebuah misteri ditemukannya
jenazah tak dikenal yang muncul di Longharvest Lane, Whitechapel, London,
tetapi yang lebih membingungkan adalah penemuan jenazah tersebut terjadi di
empat periode waktu yang berbeda: 1890, 1941, 2023, dan 2053. Empat detektif
dari empat masa berbeda menyelidikinya, tetapi menghadapi berbagai hambatan
yang seakan sengaja mempermainkan mereka. Entah konspirasi apa yang bermain
dalam kasus ini, tetapi yang pasti, konspirasi tersebut telah berlangsung
selama lebih dari satu abad. Penyelidikan keempat detektif tersebut pun saling
bertautan, serta memicu rentetan rantai konsekuensi yang saling memengaruhi
yang berujung pada tewasnya nyawa banyak orang. Dapatkah mereka memecahkan
misteri tersebut dan mencegah malapetaka yang mungkin terjadi?
Jika
kalian mencari cerita detektif bercampur fiksi ilmiah yang seru dan bikin
penasaran, Bodies adalah rekomendasi yang tepat. Serial TV satu ini
mengingatkanku pada serial TV asal Jerman Dark (2017–2020, baca reviunya
di sini)
karena sama-sama menggunakan tema perjalanan waktu dan ada beberapa latar
waktu. Keduanya juga memiliki semacam sekte misterius yang mengelu-elukan
penjelajah waktu. Selain itu, serial TV ini juga mirip dengan film Predestination
(2014) karena ada unsur grandfather paradox-nya.
Dengan premis yang menarik tersebut, cerita detektif dan perjalanan waktu ini
dikembangkan menjadi tontonan yang bagus dan menarik.
Aku
tertarik sekali dengan penyelidikan yang dilakukan oleh keempat detektif dari
empat masa yang berbeda dalam serial TV ini. Mereka memiliki kesulitan yang
berbeda-beda ketika menyelidiki kasusnya, yang menjadikan cerita ini terasa
berwarna-warni. Perlahan-lahan, penyelidikan makin mendalam dan mencuatlah
benang merah yang menghubungkan mereka. Bahkan, menarik banget melihat bahwa
secara tak langsung, detektif-detektif tersebut bekerja sama—sebuah kerja sama
lintas masa, lintas abad. Bagaimana akhirnya keempat kasus penemuan jenazah ini
saling terhubung adalah hal yang membuatku tertarik pada alur ceritanya, karena
ketika itu terungkap, rasanya mind-blowing.
Keempat
detektifnya pun didesain dengan penokohan yang begitu unik sebab bisa dibilang,
mereka adalah kaum minoritas atau kaum yang termarjinalkan di masa mereka
masing-masing. Detektif Shahara Hasan (Amaka Okafor) adalah seorang wanita
etnis kulit hitam di tahun 2023; Detektif Karl “Charles Whiteman” Weissman
(Jacob Fortune-Lloyd) adalah seorang Yahudi di tahun 1941; Detektif Alfred
Hillinghead (Kyle Soller) adalah seorang pria homoseksual di tahun 1890; dan
Detektif Iris Mapplewood (Shira Haas) adalah seorang penyandang disabilitas di
tahun 2053. Semuanya adalah orang-orang dari kelompok termarjinalkan yang
identitasnya secara tidak langsung menjadi tantangan tersendiri bagi
penyelidikan mereka. Mungkin tak secara terang-terangan dijadikan faktor yang
menghalangi mereka, tetapi kita dapat menyadarinya—itu merupakan keunggulan
tersendiri dalam hal penokohan dan penyajian alur ceritanya.
Di
sisi lain, sang penjahat juga memiliki karkater yang menarik. Dalam cerita ini,
kita tak hanya melihat bagaimana para detektif memecahkan kasus dan menangkap
penjahat, tetapi juga melihat bagaimana si penjahat ‘dibentuk. Aku selalu suka
dengan cerita yang penjahatnya ternyata orang baik yang menjadi jahat karena
dunia jahat kepadanya. Perasaan diabaikan dan tak diinginkan adalah hal yang
mendorong si penjahat untuk berbuat sejauh itu. Kemudian, mengingat bahwa para
detektif dalam cerita ini juga berasal dari kelompok yang termarjinalkan di
masyarakat, aku pikir mereka bisa relate dengan si penjahat—mereka
sama-sama tersingkirkan di masyarakat. 
Aku
juga puas dengan penyelesaian dan akhir ceritanya. Walaupun premis dan alur
ceritanya rumit, tetapi cerita ini berhasil diselesaikan dengan baik dan
memberikan akhir yang memuaskan baik untuk tokoh-tokohnya, juga untuk penonton.
Aku
sangat merekomendasikan Bodies untuk kalian yang mencari serial TV
pendek, tapi ceritanya tetap apik. Kalian bisa menonton trailer-nya di sini.
***
Akhirnya
rekomendasi serial TV terfavorit di tahun 2023 selesai! Aku tak menyangka butuh
waktu sangat lama untuk menyelesaikan daftar ini. Ada banyak kesibukan
yang menyulitkanku menulis. Aku masih tetap menarik jeda untuk menonton supaya
tetap waras, hanya saja tak menemukan waktu untuk menuliskan perasaanku tentang
tontonan-tontonan tersebut. Aku butuh waktu cukup lama untuk memproses kesanku
terhadap tontonan tersebut, lalu merumuskannya menjadi tulisan. Jadi, mohon
dimaklumi ya, hehehe.
Aku sudah sedikit mempersiapkan
ulasan untuk serial TV terfavorit di tahun 2024. Bahkan part 1-nya juga
sudah published  di sini.
Semoga tontonan-tontonan yang aku masukkan ke daftar ini—serta daftar-daftar
sebelumnya—bisa menghibur kalian di tengah kesibukan kalian. Sampai bertemu di
serial TV terfavorit tahun 2024 dan 2025!
Sebelumnya
Selanjutnya
 
 
 
 
Komentar
Posting Komentar