Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Dua Hati Biru: Sebuah Sekuel yang Lebih Dewasa dan Mendidik (Cocok Ditonton Pasangan yang Ingin Menikah)
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas
Film
Judul
:
Dua
Hati Biru
Sutradara
:
Dinna Jasanti, Gina S. Noer
Produser
:
Chand
Parwez Servia, Gina S. Noer, Riza, Sigit Pratama
Tanggal
rilis
:
17
April 2024
Rumah
produksi
:
Starvision,
Wahana Kreator
Penulis
naskah
:
Gina
S. Noer
Durasi
tayang
:
1
jam 46 menit
Pemeran
:
Angga
Yunanda, Aisha Nurra Datau, Farrell Rafisqy, Cut Mini Theo, Arswendy Bening
Swara, Lulu Tobing, Keanu AGL, Maisha Kanna
Genre
:
Drama
keluarga, romantis
Sinopsis
Setelah
empat tahun berkuliah dan bekerja di Korea, Dara (Aisha Nurra Datau) kembali ke
Indonesia demi bisa tinggal bersama suaminya, Bima (Angga Yunanda), dan
putranya yang masih kecil, Adam (Farrell Rafisqy). Namun, kedatangan Dara tidak
serta merta menambah kebahagiaan keluarga kecilnya itu. Banyak hal terjadi
selama empat tahun tersebut; Adam sudah terbiasa hidup tanpa kehadiran Dara,
maka dia agak sulit menerima kehadiran ibunya tersebut. Ditambah lagi, campur
tangan orang tua mereka dalam urusan keluarga mereka membuat Dara dan Bima
merasa sudah saatnya membangun keluarga yang mandiri. Dapatkah Bima, Dara, dan
Adam membangun keluarga yang harmonis dan rukun?
Kelebihan
Film
ini adalah sekuel dari Dua Garis Biru (2019, baca reviunya di sini), salah
satu film Indonesia yang aku suka banget. Menurutku, film ini masih bagus dan
berhasil me-elevate cerita dari karakter Bima dan Dara, walau ada
sedikit catatan. Baiklah, pelan-pelan ya kita bahas.
Pertama,
kelebihan film ini adalah konfliknya yang terasa lebih dewasa dan lebih relatable
untuk banyak orang. Masih sama dengan film pendahulunya, Dua Hati Biru membicarakan
konsekuensi—tapi yang ini konsekuensi atas memilih untuk menikah dan membangun
keluarga. Ada banyak problem rumah tangga yang ditampilkan di sini, dan
semuanya realistis. Misalnya, soal cara mendidik anak alias parenting,
pembagian tugas antara suami dan istri, keinginan untuk bisa menjadi keluarga
yang mandiri, dan lain sebagainya.
Masalah-masalah
tersebut pun ditampilkan dengan cara yang natural. Misal, ketika Bima dan Dara
sama-sama kerja, diperlihatkan kondisi rumah mereka jadi berantakan dan tak
terurus. Kemudian ketika salah satu dari mereka berhenti kerja, rumah jadi
lebih rapih dan tertata. Jadi, untuk menyorot suatu masalah rumah tangga,
memang sudah ada build-up yang baik, tidak tiba-tiba masalahnya
dimunculkan.
Salah
satu permasalahan rumah tangga yang lumayan menonjol adalah terkait mendidik
anak atau parenting. Dalam film ini disebutkan bahwa anak akan meniru
orang tua mereka, lalu hal tersebut ditampilkan melalui (spoiler alert)
adegan ketika Adam ikut marah-marah ketika melihat orang tuanya bertengkar,
atau ketika Adam menolong temannya yang terluka dengan meniru apa yang ibunya
lakukan kepada dia. Disebutkan juga bahwa orang tua harus minta maaf kepada
anak kalau mereka salah, jangan hanya anak yang minta maaf kepada orang tua,
lalu itupun ditampilkan ketika (spoiler alert) Bima dan Dara minta maaf
kepada Adam. Jadi, pembuat film ini berusaha agar pesan-pesan parenting yang
disebutkan dalam film ini juga dimasukkan ke dalam cerita, menjadi contoh yang
bukan informasi-informasi belaka.
Masalah
rumah tangga lainnya yang ada dalam film ini adalah mengenai komunikasi.
Masalah ini sering sekali diangkat dalam film-film romantis—karena komunikasi
memang kunci menjaga hubungan. Dalam film ini, ditampilkan Bima dan Dara yang
berkali-kali berdebat mengenai berbagai hal, tetapi cara mereka berdiskusi itu
tidak produktif. Mereka belum apa-apa sudah kesal duluan sehingga pasangan
mereka ikut kesal mendengarnya, merasa tersinggung. Cara berkomunikasi seperti
itu sepertinya terjadi pada banyak pasangan ya, tidak cuma Dara dan Bima;
apalagi katanya di antara pasangan yang sudah lama menikah karena
mesra-mesraannya sudah luntur.
Padahal,
kalau bisa berbicara dengan tutur yang lebih halus dan ramah, seperti yang juga
dicontohkan di menjelang akhir film ini, diskusinya bisa lebih produktif. Kemudian,
bertutur kata halus harus dilakukan baik oleh istri maupun suami ya; jangan
sampai hanya istri yang bicara halus ke suami, tapi suami tetap kasar.
Permasalahan
rumah tangga berikutnya yang menarik dari film ini adalah mengenai pembagian
peran suami dan istri. Di Indonesia, umumnya kita dididik bahwa peran suami
adalah pencari nafkah dan peran istri adalah pengatur rumah tangga. Namun, hari
ini realitas tersebut tidak selalu begitu. Ada banyak istri yang bekerja karena
tuntutan ekonomi, seperti halnya Dara. Terlebih lagi, dalam film ini Dara
memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang lebih banyak daripada Bima—sebab Dara
kan lulusan universitas luar negeri ya.
Di
masyarakat kita, kondisi seperti itu sering kali dipermasalahkan. Banyak suami
merasa istri mereka jadi tidak hormat kepada mereka karena mereka menghasilkan
uang lebih banyak untuk keluarga. Bahkan, sampai banyak laki-laki yang tidak
ingin pasangannya punya pendidikan atau pekerjaan yang lebih baik daripada
mereka. Bagiku pribadi, itu pemikiran yang messed up ‘kacau’, karena
pasangan itu seharusnya saling mendukung, bukan menghambat atau menghalangi. Biasanya,
mentalitas seperti itu pula yang malah membuat laki-laki merendahkan kedudukan
perempuan sehingga perempuan rentan mengalami kekerasan dalam hubungan.
Balik
kembali ke film Dua Hati Biru, sebagai suami, Bima tidak seperti itu.
Dia setuju Dara bekerja dan bersikap supportive. Ada dialog antara Bima
dan ayahnya yang begitu bagus: jadi laki-laki itu tidak boleh termakan gengsi,
atau “harga diri seorang lelaki”. Ayahnya Bima mengakui bahwa dia sendiri
salah, masih termakan harga diri tersebut, tetapi bukan berarti Bima harus
menjadi seperti itu juga. Dia berharap Bima tidak mencontoh hal tersebut dan
bisa lebih supportive kepada Dara, istrinya. Well, seperti yang
kalian saksikan di filmnya, ketika Dara dibilang istri yang tidak taat kepada suami,
Bima pasang badan membela istrinya, bahkan rela keluar dari pekerjaannya karena
itu. Good job, Bim!
Selain
itu semua, sebenarnya ada insight menarik yang ingin ku-highlight dari
film ini, yaitu kelas parenting yang diadakan di komunitas RT atau RW.
Dalam film ini, (spoiler alert) diperlihatkan adanya kelas parenting yang
diinisiasi kelompok ibu-ibu PKK (pemberdayaan kesejahteraan keluarga). Itu
sesuatu yang menarik karena jarang sekali—bahkan aku sendiri belum pernah
melihat langsung—ada kelas parenting yang diinisiasi warga, apalagi yang
tinggal di daerah permukiman padat penduduk di gang-gang sempit Jakarta.
Biasanya,
parenting itu masalah kalangan elit, dan kelas-kelas parenting diisi
oleh pakar yang menyampaikan materi dengan bahasa Inggris—seperti yang
ditampilkan di awal film. Namun, film ini berusaha memberitahu kita bahwa ilmu parenting
itu bisa dipelajari siapapun, tidak hanya kelompok elit serta oleh suami
maupun istri, dan ilmu tersebut penting untuk membantu membangun rumah tangga
yang harmonis. Film ini seperti ingin membumikan ilmu parenting agar relatable
bagi semua kalangan masyarakat.
Selanjutnya,
aku ingin membicarakan para tokohnya. Rasanya menyenangkan bertemu kembali
dengan Bima dan Dara beserta keluarga mereka. Semua tokoh dari film yang lama
kembali, kecuali ayahnya Dara (silakan tonton sendiri agar tahu alasannya ya).
Karakter mereka semua pun masih sama—ayahnya Bima masih bijaksana dan tenang,
ibunya Bima masih galak dan cerewet, dan ibunya Dara masih lembut dan
perhatian.
Yang
menarik bagiku adalah peran orang tua mereka tetap signifikan terhadap cerita,
tak hanya sebagai kakek-nenek bagi Adam maupun mertua, tetapi sebagai orang tua
dari anak-anak mereka. Hal itu menjadikan karkater Dara dan Bima tidak hanya
terlihat sebagai orang tuanya Adam, tetapi juga sebagai anak. Every parent is
a child of their own parents.
Kemudian,
semua tokoh yang kembali ke film ini masih diperankan oleh aktor dan aktris
yang sama, kecuali Dara. Menurutku, keputusan untuk mengganti pemeran Dara
adalah keputusan tepat. Di film sebelumnya, Dara diperankan oleh Adhisty Zara,
lalu pada film ini digantikan oleh Aisha Nurra Datau. Aku tegaskan dulu bahwa
aku tidak bilang bahwa akting Adhisty Zara jelek ya. Hanya saja,
karakter Dara di film ini terlihat lebih cocok diperankan oleh Aisha Nurra
Datau dibandingkan oleh Adhisty Zara. Mengutip dialog Dara di film ini, “Sejak
aku melahirkan Adam, aku bukan lagi Dara pacar SMA kamu”—ya memang begitulah
kenyataannya. Dara dalam Dua Hati Biru memiliki karakter yang lebih
dewasa dan keibuan—dan Aisha Nurra Datau berhasil sekali mengeksekusi perannya
tersbeut. Aku tidak yakin jika Adhisty Zara yang masih memerankan Dara,
hasilnya akan sebagus ini—mungkin feel-nya akan beda.
Namun,
penggantian pemeran tersebut tidak melunturkan chemistry bagus di antara
Dara dan Bima. Mereka masih pasangan bapak ibu muda yang tidak sempurna, tetapi
kita sukai. Apalagi, dengan melihat perkembangan karakter mereka sepanjang film
ini, aku merasa bangga dengan keduanya. Bima belajar untuk menjadi kepala rumah
tangga yang baik, mengendalikan egonya, bersikap supportive kepada
pasangannya, membuka pikiran terhadap perbedaan pendapat, serta mengatasi rasa insecurity-nya.
Di sisi lain, Dara, yang mengalami banyak tekanan dari berbagai sisi, belajar
untuk lebih memahami pasangannya, tidak kabur dalam menghadapi masalah, dan
bersabar dalam mendidik anak. Pada akhirnya keduanya belajar untuk
berkomunikasi dan mengerti pasangannya dengan lebih baik.
Selain
para tokoh lama yang kembali, ada satu tokoh baru yang tak kalah mencuri
perhatian: Keanu! Seriusan ya, Keanu seperti tidak akting di film ini, hahaha.
Dia seperti menjadi dirinya sendiri. Namun, yang aku suka dari karakternya
adalah dia dapat menjadi teman yang baik bagi Bima dan Dara. Dia selalu
menolong mereka berdua di situasi-situasi susah. Karakter Keanu pun sukses
menjadi comic relieve untuk film ini. Selalu ketawa melihat kelakuan
Keanu.
Ada
satu tokoh baru lagi yang menjadi sentral film ini: Adam! Ya ampun, Adam itu
menggemaskan banget. Kalian pasti akan dibuat gemas dengan
tingkah-tingkahnya yang lucu. Aku sampai terheran loh, kok bisa anak sekecil
itu akting bagus. Ditambah lagi, tingkah Adam itu natural sekali, sangat
menggambarkan anak seusia dia. Ada banyak juga momen Adam dengan keluarganya
yang terasa menghangatkan hati. Terutama ketika dia bersama Dara; “Mama bilang
ya ke Adam kalau ada yang nyakitin Mama”—aku mau nangis rasanya saat melihat
adegan itu.
Oh
iya, omong-omong, ada satu cameo menarik loh. Sebenarnya ini sudah bocor
di mana-mana, tetapi barangkali kalian belum tahu, maka tidak akan kusebutkan
siapa tokoh yang muncul (supaya makin penasaran). Yang pasti, dia dari salah
satu filmnya Gina S. Noer juga dan keberadaannya di film ini lumayan menarik.
Bisa jadi, ini adalah tanda awal dari Gina S. Noer cinematic universe,
hahaha.
Kelemahan
Kelemahan
film ini ialah ada terlalu banyak masalah yang ingin di-address dalam
satu film. Ini mirip dengan kelemahan film Like & Share (2022, baca
reviunya di sini). Ada
berbagai masalah rumah tangga yang ingin diangkat dalam film ini dan menurutku,
pada beberapa bagian, membuat film ini seakan keteteran. Apalagi,
masalah-masalah rumah tangga yang diangkat itu sifatnya kontinu, tidak akan
selesai. Masalah-masalah tersebut akan muncul lagi seiring waktu, maka tidak
ada penyelesaian yang konkret. Penyelesaiannya adalah perubahan karakter dari
para tokohnya, tetapi itu tidak serta merta menyelesaikan masalah-masalah yang
terjadi.
Tidak
hanya secara keseluruhan film, masalah yang terlalu banyak juga dialami
karakter Dara. Selain ada tekanan dari keluarga kecilnya berasama Bima, dia
juga mendapat tekanan dari keluarganya sendiri. Masalahnya, karena fokus cerita
utamanya ke keluarga dia dengan Bima, masalah yang dengan keluarganya sendiri
agak terlupakan. Aku pikir memang tidak ingin banyak dibahas, tetapi ternyata
itu diungkit juga di belakang. Selain itu, aku agak merasa aneh ketika (spoiler
alert) tiba-tiba Dara menelepon bosnya di Korea dulu. Kalau dia hanya
berniat untuk kembali ke Korea, itu masih oke; tetapi kalau dia tiba-tiba sudah
sampai mendapat panggilan dari bosnya di sana dan belum membicarakan niatnya
pergi ke Korea lagi dengan Bima, itu aneh.
Berikutnya,
seperti di film Dua Garis Biru, film ini juga memakai simbol-simbol. Ada
kemunculan ondel-ondel beberapa kali dan mainan-mainan ikannya Adam yang satu
per satu dibuang atau hilang (aku tidak tahu sih ini simbol atau bukan, tetapi
rasanya iya, hahaha). Hanya saja, aku tidak mengerti makna simbol-simbolnya.
Beda dengan Dua Garis Biru yang simbol-simbolnya itu bisa mudah kita
pahami sehingga menambah kesan dari film tersebut, simbol-simbol yang ada di Dua
Hati Biru tidak seterang-terangan itu dan malah membuatku bertanya apa
mungkin tidak simbol dan aku yang terlalu berlebihan ya, hahaha. Kalau kalian
tahu atau punya analisis dari simbol-simbol yang muncul di film ini, silakan
bagikan di bawah ya.
Kesimpulan
Dua Hati Biru merupakan sekuel yang
masih sama bagusnya—jika tidak lebih bagus—dari Dua Garis Biru yang
fenomenal dulu. Film ini mampu menggambarkan potret masalah rumah tangga dengan
cara yang realistis dan natural. Secara tidak langusng, film ini bisa menjadi
media pendidikan pranikah karena di dalamnya ada masalah komunikasi dengan
pasangan, cara mendidik anak alias parenting, pembagian peran suami dan
istri, menjaga hubungan dengan mertua, dan lain-lain. Ada banyak pembelajaran
yang dapat dipetik dari film ini. Meskipun, terlalu banyak masalah yang
diangkat membuat ceritanya kurang fokus dan tak memiliki penyelesaian yang
konkret.
Di
sisi lain, film ini bisa membuat kalian mengenang kembali dengan film Dua
Garis Biru. Kehadiran kembali para tokoh di film yang lama turut mewarnai
cerita film ini. Perkembangan karkater Dara dan Bima pun dibuat dengan begitu
bagus dan matang. Penggantian pemeran Dara juga terasa tepat karena Aisha Nurra
Datau sukses mengeksekusi karkater Dara yang lebih dewasa. Pokoknya, aku
menyarankan semua orang yang ingin menikah atau baru menikah—juga yang sudah
lama menikah ya—agar menonton film ini. Skor dariku adalah 8,9/10.
Dua Hati Biru saat ini dapat kalian tonton di bioskop-bioskop kesayangan kalian. Kalau di kota kalian ada bioskop dan menayangkan film ini, sempatkanlah menonton. Kalau penasaran dengan filmnya, silakan tonton trailer-nya dulu di bawah ini ya.
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar