A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Like & Share: Sebuah Film tentang Remaja Perempuan yang Sensual dan Vokal

Identitas Film

Judul

:

Like & Share

Sutradara

:

Gina S. Noer

Produser

:

Chand Parwez Servia, Gina S. Noer

Tanggal rilis

:

8 Desember 2022

Rumah produksi

:

Starvision Plus, Wahana Kreator Nusantara

Penulis naskah

:

Gina S. Noer

Durasi tayang

:

1 jam 52 menit

Pemeran

:

Aurora Ribero, Arawinda Kirana, Aulia Sarah, Jerome Kurnia

Genre

:

Coming of age, drama remaja, feminisme

 

Sinopsis

Lisa (Aurora Ribero) dan Sarah (Arawinda Kirana), dua sahabat dekat di sekolah itu, sedang semangat mengembangkan kanal Youtube mereka sediri. Isi kanal Youtube mereka adalah video-video ASMR.[1] Namun, semangat masa muda mereka harus berbentrokan dengan realitas.

Lisa memiliki ibu yang banyak menuntut dirinya. Ibunya ingin agar Lisa, daripada membuat video tidak jelas, lebih memanfaatkan waktu untuk belajar mengaji atau membantu keluarga. Ibunya juga tidak suka Lisa bergaul dengan Sarah karena dianggap membawa dampak negatif. Keadaan memburuk ketika Lisa yang masih remaja, yang mulai penasaran untuk mengeksplorasi seksualitasnya, mulai kecanduan nonton video porno. Hal tersebut tidak hanya membuat hubungannya dengan ibunya makin renggang, juga merusak persahabatannya dengan Sarah.

Di sisi lain, ketika Sarah ingin menolong Lisa, dia malah bertemu dengan laki-laki mencurigakan yang bermulut manis, Devan (Jerome Kurnia). Mulanya Devan memang tampak baik dan manis, apalagi usianya yang terpaut jauh dari Sarah memberikannya kesan dewasa. Akan tetapi, Devan pun berubah menjadi sosok bejat yang malah menghancurkan hidup Sarah yang masih hijau.

Lisa dan Sarah, dua sahabat dekat di sekolah itu, sedang semangat mengembangkan kanal Youtube mereka sendiri. Akan tetapi, ketika memasuki usia dewasa, mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia nyata dan dunia maya amat berbahaya bagi perempuan.


Kelebihan

Tak perlu dipungkiri bahwa film ini adalah salah satu film Indonesia terbaik yang tayang pada tahun 2022. Film yang membahas isu perempuan dengan amat emosional dan mendebarkan ini, sayangnya, malah tidak mendapatkan apresiasi besar di pasar. Sungguh disayangkan. Padahal, terlepas dari skandal yang menimpa salah satu aktrisnya, film ini sangat layak—bahkan, sebaiknya—ditonton banyak orang karena pesan yang ingin disampaikannya.

Gina S. Noer sepertinya tidak lelah untuk membuat film yang konfliknya kontroversial. Setelah membuat Dua Garis Biru (2019), yang membicarakan remaja hamil di luar nikah, dan Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga (2021), yang menampakkan cinta antarsaudara tiri, kali ini dia membuat Like & Share yang mengangkat isu tabu di masyarakat. Film ini membahas isu perempuan, terutama masalah pelecehan seksual yang kerap kali dialami perempuan serta masalah seksualitas perempuan.

Melalui karakter Lisa, film ini menunjukkan sosok remaja perempuan yang mulai mengeksplorasi seksualitasnya. Itu adalah hal yang tabu dalam masyarakat kita. Perempuan tidak seharusnya tertarik atau mencari tahu hal-hal seperti itu karena dinilai tidak etis. Hal itu dicontohkan dalam film ini dengan adegan ketika ibunya Lisa memergokinya sedang masturbrasi, lalu memarahi dan menyuruhnya mending mengaji saja.

Well, memang mengaji lebih bermanfaat, tetapi perlu disadari juga bahwa orang tua bertanggung jawab untuk mengajari anak perempuannya tentang tubuh mereka sendiri dan cara menyikapinya, bukan membungkamnya tanpa penjelasan. Ketika para orang tua tidak menyediakan penjelasan bagi anak perempuan mereka, ada kemungkinan mereka akan mencari jawaban dari orang lain, dan bisa saja itu orang yang tidak bertanggung jawab dan berniat jahat. Tak memberi penjelasan apa-apa bukanlah solusi untuk melindungi anak perempuan Anda.

Kemudian, ketika mulai masuk ke masalah Lisa yang kecanduan menonton video porno, kita diperlihatkan terhadap perbedaan pandangan terhadap laki-laki dan perempuan yang menonton porno. Ya memang kecanduan menonton porno itu tidak baik, tetapi rasanya jika itu dialami laki-laki, tanggapan orang-orang akan lain. Laki-laki menonton porno itu wajar, tetapi perempuan menonton porno itu tidak bermoral. Aku setuju sekali dengan kata Sarah (yang kalau tidak salah begini), “Memangnya ada aturan gender untuk boleh nonton bokep atau enggak?”

Isu perempuan lain yang diangkat dalam film ini adalah isu pelecehan seksual, yang terutama diperlihatkan melalui tokoh Sarah. Secara plot, ada paralel antara yang terjadi pada Sarah dan yang terjadi pada Mba Fita (Aulia Sarah). (Spoiler alert) Fita adalah sosok perempuan yang ada dalam sebuah video porno viral yang sempat ditonton Lisa dan Sarah. Ketika mereka berdua tidak sengaja bertemu Mba Fita sungguhan, Lisa bilang bahwa mereka sebaiknya minta maaf kepadanya karena telah menertawakan nasib malangnya. Namun, Sarah malah bilang bahwa itu tidak ada gunanya, toh mereka telah menertawakan nasib malang banyak orang di internet. Pada akhirnya, Sarah mengalami nasib serupa dengan Mba Fita—orang-orang menertawai nasib malangnya yang tersebar di internet.

Yang dialami Mba Fita dan Sarah adalah revenge porn, yang menurut Wikipedia, yaitu distribusi atau penyebaran gambar eksplisit secara daring dan terkadang luring, tanpa persetujuan, oleh mantan pasangan, pasangan, orang lain, atau peretas yang bertujuan untuk membalas dendam, mendapatkan hiburan, atau memperoleh keuntungan, seperti uang dan popularitas. Revenge porn ini termasuk pelecehan seksual berbasis elektronik di dunia maya. Kasus revenge porn ini sudah lama terjadi meskipun istilahnya baru populer belakangan ini. Bahkan, katanya kebanyakan cuplikan video porno yang berseliweran di media sosial adalah video revenge porn. Iya, itu adalah video-video yang orang-orang biasanya mintakan link-nya.

Film ini pun menggambarkan realitas tersebut. Ketika ada video revenge porn tersebar di media sosial, orang-orang cenderung malah meramaikannya, meminta link-nya, dan menyalahkan korban (yang biasanya adalah perempuan). Memang pada beberapa kasus, si korban memberi persetujuan untuk membuat videonya, tetapi itu tidak sama dengan memberi persetujuan untuk menyebarkan video. Akan tetapi, hal tersebut biasanya malah dipelintir untuk dijadikan dalih yang memberatkan korban, seperti ketika pengacaranya Devan malah balik menyerang Sarah. Masyarakat pun banyak yang malah menertawakan nasib malang Sarah yang tersebar di internet, seperti ketika Sarah dan Lisa menertawakan nasib malang Mba Fita. Itu artinya hal serupa bisa terjadi pada siapapun.

Pelecehan seksual berbasis elektronik yang diperlihatkan film ini tidak hanya revenge porn, ada juga berupa komentar-komentar yang melecehkan. Dibandingkan revenge porn, pelecehan seksual yang ini lebih sering ditemukan. Korbannya pasti seringnya perempuan, walau tak menutup kemungkinan laki-laki juga dapat menjadi korban. Yang berbahaya adalah orang-orang suka menganggap komentar seperti itu sebagai candaan, bukan apa-apa, meski bagi korbannya itu amat tidak mengenakkan. Komentar seperti apa sih yang dimaksud? Kalian tonton saja film ini sampai habis karena adegan terakhirnya merangkum itu.

Selain daripada itu, perlu diperhatikan juga bahwa Like & Share tidak hanya menampilkan pelecehan seksual berbasis elektronik. Ada juga pelecehan seksual yang terjadi di dunia nyata, yang terutama diperlihatkan di bagian awal film ini. Misalnya, pelecehan seksual yang terjadi di sekolah yang pelakunya bisa guru atau sesama murid—yang terjadi dalam berbagai bentuk, seperti fisik dan verbal. Itu memperkuat kesan dan memberikan kita kewaspadaan bahwa dunia bukan tempat aman bagi perempuan, baik dunia nyata maupun dunia maya karena pelecehan seksual dapat terjadi di manapun.

Yang paling mencelus hati adalah kalimat yang diucapkan Devan, “Yang selalu hancur itu perempuan, bukan laki-laki.” Memang menyebalkan sekali mendengarnya bicara begitu, tetapi begitulah kenyataannya. Sudah mendapatkan pelecehan seksual, perempuan juga sering mendapatkan victim blaming[2]—disalahkan karena hanya diam, tidak melawan, atau disalahkan atas pakaian yang mereka kenakan—which is not relevant at all. Masyarakat kita menempatkan beban kesalahan pada perempuan sampai membuat mereka hancur, sementara si laki-laki terbebas tanpa konsekuensi. Film ini menunjukkan ketidakadilan itu dengan sangat baik serta penuh emosi, dan kurasa film ini tidak melebih-lebihkan kenyataan tersebut.

Sementara itu, dari segi teknis, aku suka penyajian film ini, terutama color tone-nya. Color tone-nya ketika memperlihatkan Lisa dan Sarah yang sedang asyik membuat video ASMR itu terkesan warna-warni dan cerah—seperti menyimbolkan kebebasan diri mereka dalam berekspresi. Sementara color tone untuk dunia nyata, dunia yang dihadapi keduanya terkesan lebih suram—seperti menyimbolkan bahwa kenyataan tak seindah keinginan mereka. Kemudian, meskipun film ini minim musik, adegan-adegannya tetap terasa impactful. Oh iya, poster filmnya pun bagus sekali—sangat provokatif tetapi mengagumkan.

Terakhir, dari semua adegan dalam film ini, adegan favoritku adalah adegan penutup film ini. Video ASMR Lisa dan Sarah yang begitu berani dan menohok: A Statement, but Make It ASMR. Adegan itu merangkum semua emosi dan pesan yang ingin disampaikan kedua remaja itu kepada dunia, yang mewakili perasaan Gina S. Noer sebagai pembuat film. She has done a really, really great job!

 

Kelemahan

Dari semua kelemahan pada film ini, yang paling terasa bagiku adalah tentang penyelesaian masalah bagi Lisa. Salah satu masalah yang dialaminya adalah kecanduan nonton video porno, tetapi sampai akhir film aku tidak melihat penyelesaiannya. Padahal, kecanduan menonton video porno itu dialami banyak orang, sehingga akan bagus ketika masalah itu diselesaikan dengan baik—entah apapun solusi terbaiknya—agar dapat menjadi contoh bagi  masyarakat umum. Akan tetapi, masalah tersebut tampaknya terlupakan begitu saja atau selesai begitu saja.

Kemudian, aku kurang puas dengan penyelesaian masalah antara Lisa dan ibunya. Ini masalah selera ya, tetapi aku kurang puas saja. Aku juga tidak butuh penyelesaiannya itu berupa grand gesture, tetapi penyelesaian yang kulihat pada film ini kurang cukup memuaskan untukku.

 

Kesimpulan

Like & Share adalah sebuah film tentang perempuan yang menyajikan visual yang sensual dengan cerita yang vokal. Film ini mengangkat isu tabu, yakni remaja perempuan yang mengeksplorasi seksualitas mereka, tetapi tidak dengan cara yang menghakimi. Alih-alih, film ini ingin memberikan kesadaran kepada orang tua untuk mau memulai dialog dewasa dengan anak mereka tentang itu. Di samping itu, film ini pun menunjukkan betapa tidak amannya dunia ini bagi perempuan—tidak di dunia nyata, tidak juga di dunai maya. Film ini dengan sangat baik memperlihatkan betapa masyarakat kita tidak adil terhadap perempuan dan laki-laki—perempuan selalu yang lebih menderita. Walaupun dari segi cerita ada beberapa hal yang menurutku belum diselesaikan dengan baik, tetapi secara keseluruhan film ini sangat impactful dan provokatif. Aku akan memberikan skor 9/10 dan akan merekomendasikan film ini ditonton oleh semua orang, dari usia remaja sampai dewasa agar mereka bisa makin waspada terhadap isu yang disampaikan film ini.

Kalian bisa menonton Like & Share di Netflix. Kalau kalian penasaran dengan filmnya, silakan tonton dahulu trailer-nya di sini.


***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!


[1] ASMR (Autonomous Sensory Meridian Response) adalah media yang mengedepankan bunyi-bunyi yang dihasilkan dari apapun. Tren media sosial ini bermanfaat untuk menenangkan tubuh (sumber: sehatQ.com).

[2] Menyalahkan korban (victim blaming) terjadi ketika korban sebuah tindakan kriminal atau tindakan yang bersifat merugikan dipersalahkan atas bahaya atau kerugian yang terjadi kepada mereka, baik secara sebagian maupun sepenuhnya (sumber: Wikipedia). 

Komentar