A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Pencarian Belahan Jiwa, Keutuhan Diri, dan Kebahagiaan

Pencarian Belahan Jiwa, Keutuhan Diri, dan Kebahagiaan

Sumber: LightFieldStudios; iStock by Getty Images, diambil dari The Times of Israel
 

Dalam mitologi Yunani, dikisahkan bahwa saat manusia pertama kali diciptakan oleh Titan Prometheus, laki-laki dan perempuan berada dalam satu tubuh. Manusia saat itu memiliki satu tubuh dengan dua wajah pada satu kepala, empat lengan, empat tungkai, dan dua alat kelamin—laki-laki dan perempuan sekaligus. Pada saat itu, manusia diyakini sebagai makhluk yang kuat dan punya potensi besar. Bahkan, Dewa Zeus pun cemas dengan potensi tersebut sampai akhirnya dia mengutuk manusia dengan penderitaan serta memisahkan mereka menjadi dua: laki-laki dan perempuan.

Sejak terpisah, manusia menjadi lebih lemah dan tak bahagia, selalu merasa kehilangan sesuatu. Karena kasihan, Dewa Apollo bernubuat bahwa manusia dapat kembali sempurna dan bahagia jika mereka berhasil menemukan belahan dirinya yang terpisah. Itulah awal mula manusia mencari belahan jiwa (soulmate)—mencari manusia lain yang seharusnya bisa melengkapi diri mereka agar menjadi utuh kembali.

Ada banyak kisah lain tentang belahan jiwa seperti itu, tetapi semua kurang lebih sama: bahwa setiap manusia diciptakan berpasangan yang berarti untuk tiap individu ada satu individu lain yang menjadi takdirnya untuk melengkapi dirinya. Gagasan tentang belahan jiwa pun menjadi kepercayaan banyak orang sampai hari ini, dan sebutannya juga makin beragam: cinta sejati, jodoh, belahan hati, dan lain-lain. Entah belahan jiwa memang sungguhan ada atau mitos belaka, tidak ada yang tahu pasti.

Yang pasti, pencarian belahan jiwa saat ini menjadi perlombaan. Mereka yang sudah menemukan belahan jiwanya akan dielu-elukan dalam pergaulan, diberi selamat. Mereka yang belum menemukannya tak jarang diledek, dikucilkan, dan bahkan dicap hidupnya tidak bahagia sehingga perlu dikasihani. Banyak dari kita yang juga menginternalisasi keyakinan bahwa hidup tanpa pasangan itu menyedihkan. Maka dari itu, tidak heran jika upaya untuk menemukan belahan jiwa saat ini semakin beragam, mulai dari kencan buta, dijodohkan, sampai menggunakan aplikasi kencan (dating app). Pokoknya, semua cara dicoba demi menemukan sosok belahan jiwa yang misterius itu.

Padahal, sosok belahan jiwa atau jodoh sendiri sebenarnya sulit didefinisikan. Gagasan tersebut pun bisa dibilang adalah hal baru. Pada zaman dulu, orang-orang menikah tidak selalu karena cinta, tapi lebih karena kebutuhan bertahan hidup. Orang zaman dulu hidup dengan bergantung sekali pada keluarga—karena keluarga berfungsi menyediakan penghidupan, lapangan pekerjaan, jaminan kesehatan, jaminan sosial, jaminan hari tua, tenaga kerja, dan lain sebagainya. Maka dari itu, pernikahan—karena dianggap dapat memperbesar keluarga—menjadi cara untuk memperbesar peluang bertahan hidup.

Akan tetapi, sejak dunia memasuki zaman modern, peran-peran keluarga tersebut diambil alih oleh negara. Ditambah lagi, sejak era filsafat romantisme di Eropa pada tahun 1800-an, dipromosikan ide bahwa setiap orang berhak mengejar kebahagiaan pribadinya, termasuk dalam pernikahan. Oleh karena itu, berkembanglah pemikiran untuk mencari pasangan menikah yang bisa membuat bahagia.

Alasan menikah yang mulanya untuk bertahan hidup bergeser menjadi karena cinta. Keyakinan tehadap sosok cinta sejati, belahan jiwa, atau jodoh makin kuat dalam benak orang-orang. Bahkan sekarang, cinta sejati menjadi tema yang umum dijumpai di novel-novel dan lagu-lagu, film Hollywood dan Bollywood, drama Korea dan Thailand, sampai konten TikTok dan Instagram.

Namun, siapakah cinta sejati atau belahan jiwa itu? Walaupun sulit dijelaskan, secara umum orang mempersepsikan belahan jiwa, cinta sejati, atau jodoh sebagai sosok yang dapat melengkapi diri, mengisi kekurangannya, dan membuatnya utuh kembali; yang ketika ketemu, mereka akan saling mencintai, lalu bahagia selamanya. Dalam mencari jodoh, orang akan mencari sosok yang bisa melengkapi dirinya, sosok yang sesempurna mungkin. Orang yang tidak pandai memasak mencari yang pandai memasak; orang yang kurang good-looking mencari yang good-looking, orang yang sulit mengelola keuangan mencari yang pintar mengelola keuangan.

Padahal, semua orang tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Orang yang pandai memasak mungkin tidak pandai membersihkan rumah; orang yang good-looking mungkin berpemikiran dangkal; orang yang pintar mengelola keuangan mungkin tidak pintar mengelola emosi—selalu ada cela pada setiap diri orang. Maka dari itu, pencarian sosok yang sempurna adalah kesia-siaan.

Namun, siapa yang peduli? Diakui atau tidak, ada rasa rindu dalam diri manusia terhadap belahan jiwanya sehingga mencari sosok belahan jiwa adalah hal yang masuk akal secara intuitif. Apalagi, ada kebahagiaan luar biasa sebagai reward-nya. Dengan begitu, penncarian belahan jiwa menjadi misi seumur hidup bagi manusia.

Mereka yang sudah ‘menemukan’ belahan jiwanya pun tidak bisa dibilang telah menuntaskan misi tersebut. Tidak ada jaminan bahwa pasangan mereka saat ini adalah belahan jiwa mereka. Mereka masih harus mempertahankan separuh jiwa mereka tersebut agar tetap bersama. Bahkan, setelah susah payah mencari belahan jiwa tersebut, ada banyak yang masih meragukan apakah benar dia adalah belahan jiwanya. Oleh karena itu, seperti ketika berusaha mendapatkan cinta, mempertahankan cinta juga butuh usaha. Tidak ada akhir bahagia selama-lamanya yang otomatis didapatkan seperti di dongeng.

Padahal, katanya pencarian belahan jiwa akan berbuah kebahagiaan, tetapi banyak dari mereka yang telah memiliki pasangan malah tidak bahagia, meskipun mereka mengklaim telah bertemu jodoh. Masalahnya, gagasan tentang belahan jiwa mendorong kita untuk memiliki ekspektasi berlebihan terhadap pasangan kita. Ketika kita mengira pasangan kita adalah belahan jiwa kita, kita akan berekspektasi bahwa mereka adalah sosok yang sempurna untuk melengkapi diri kita dan akan mencintai kita seperti apapun. Ekspektasi tersebut sangatlah berat dan akan membebani, serta bertolak belakang dengan kenyataan bahwa tidak ada orang yang sempurna.

Pencarian belahan jiwa itu sendiri dapat menjadi sumber penderitaan. Mereka yang masih mencari-cari, yang belum menemukan jodoh sering merasa hampa, kesepian, dan tidak utuh. Semua itu karena gagasan tentang belahan jiwa membuat orang menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain. Padahal, jika kita mau mengambil waktu sejenak dan merenung, kita akan menyadari bahwa sumber kebahagiaan tidak melulu belahan jiwa.

Mungkin, cara kita mencari kebahagiaan itu yang salah. Alih-alih mencarinya ke luar, sebaiknya kita mencarinya ke dalam. Daripada mencari orang lain untuk membuat diri kita merasa utuh, mungkin kita seharusnya mencari keutuhan tersebut dalam diri kita. Mungkin yang perlu kita lakukan untuk menemukan kebahagiaan adalah mengubah pola pikir kita yang awalnya menggantungkan kebahagiaan pada sosok belahan jiwa yang misterius menjadi pada diri kita sendiri.

Itu seperti gambar rectoverso—sebuah gambar pada kedua sisi kertas yang kalau dilihat dari salah satu sisi saja akan tampak tidak utuh, tapi sebenarnya gambar pada kedua sisi tersebut saling melengkapi menjadi satu gambar utuh. Contoh rectoverso adalah logo Bank Indonesia pada uang kertas rupiah, yang akan tampak sempurna ketika diterawang. Diri kita juga adalah rectoverso, yang ketika dilihat pada satu sisi akan tampak tidak utuh, tetapi ketidakutuhan tersebut bukan harus digenapi orang lain. Yang perlu dilakukan adalah mengubah cara kita melihat diri agar kita menyadari bahwa sebetulnya kita adalah sosok yang utuh.

Meskipun begitu, perjalanan untuk menemukan keutuhan dalam diri tersebut tidak semudah menerawang uang kertas ke sinar matahari. Perjalanan tersebut adalah perjalanan yang panjang dan menyakitkan karena harus memaksa diri untuk melihat ketidaksempurnaan yang ada pada diri kita. Akan tetapi, walaupun tidak mudah, itu adalah langkah yang layak diambil karena di suatu tempat dalam perjalanan tersebut, kamu akan tiba di titik mampu menerima diri apa adanya, menyadari bahwa dirimu sempurna dalam ketidaksempurnaannya.

Ya, mungkin perjalanan untuk bisa menerima diri apa adanya tersebut sama beratnya dengan pencarian belahan jiwa—atau perjuangan mempertahankannya. Usaha untuk dapat merasa utuh memang bukan perjuangan yang mudah dan sebentar. Namun, selama itu mampu mengurangi penderitaan dan memaksimalkan kebahagiaan, manusia akan rela menjalaninya. Lagipula, hanya itu yang bisa kita lakukan: berjuang sebaik-baiknya untuk bahagia, terlepas dari manapun sumber kebahagiaan itu, entah belahan jiwa atau diri sendiri.

 ***

Sudah sejak lama aku ingin menulis artikel ini dan mempublikasikannya di blog-ku. Namun, artikel ini perlu ditulis ulang berkali-kali—empat kali kalau tidak salah—sampai akhirnya aku cukup puas. Tujuanku sederhana: ingin membagikan perspektifku tentang cinta—lebih tepatnya bahwa salah satu bentuk cinta yang paling indah adalah cinta kepada diri sendiri.

Isi artikel ini terinspirasi, atau lebih tepatnya mengambil referensi dari berbadai sumber. Namun, jangan anggap ini artikel serius ya. Secara garis besar, tulisan ini mengambil referensi dari artikel berjudul Dicari: Belahan Jiwa (2021) yang ditulis oleh Nicky Stephani di portal berita Asumsi.co. Kemudian, narasi tentang rectoverso terinspirasi dari narasi pada novel Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (2000; silakan baca reviunya di sini) karya Dee Lestari. Aku juga mengambil masukan dari video berjudul Apakah Jodoh Benar-Benar Ada? di kanal Youtube-nya Kok Bisa?, serta sedikit insight dari artikel Valentine’s Day: a brief history of the soulmate – and why it’s a limited concept (2023) oleh Tony Milligan pada website The Conversation, buku Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia (2011) oleh Yuval Noah Harari, dan buku Filosofi Teras (2018) oleh Henry Manampiring. Kemudian, jika kalian ingin membaca kisah belahan jiwa versi mitologi Yunani secara lebih lengkap, silakan dibaca di aritkel ini: A Brief History of Soul Mates.

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar