A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

The Tower of Nero: Sebuah Penutup Epik dan Manis dari Seri The Trials of Apollo

Identitas Buku

Judul

:

The Trials of Apollo #5: The Tower of Nero

Penulis

:

Rick Riordan

Penerbit

:

Disney Hyperion

Tahun terbit

:

2020

Cetakan

:

I

Tebal

:

480 halaman

Harga

:

Rp157.000,- (paperback), Rp315.000,- (hardcover)

ISBN

:

9781368071048

Genre

:

Fantasi urban, high fantasy, mitologis, petualangan, drama komedi, coming of age

 

Tentang Penulis

Rick Riordan adalah seorang penulis #1 New York Times Best-Selling di Amerika Serikat. Dia terkenal dengan serial best-seller-nya, yaitu Percy Jackson and the Olympians yang bertemakan mitologi Yunani yang digabungkan dengan peradaban modern. Dia kemudian melanjutkan serial ini dengan melahirkan dua serial baru, yaitu The Heroes of Olympus dan The Trials of Apollo.

Di samping dua serial tersebut, Rick Riordan juga menulis beberapa serial best-seller lainnya: The Kane Chronicles yang yang mengombinasikan mitologi Mesir dan peradaban modern serta Magnus Chase and the Gods of Asgard yang mengombinasikan mitologi Nordik dan peradaban modern. Keunikan dari setiap novelnya adalah mereka semua terjadi di satu universe, meskipun berdasarkan pada mitologi yang berbeda-beda.

Karya-karya hebat Rick Riordan tersebut semuanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk di Indonesia. Karya terbarunya adalah The Daughter of the Deep.

Sekarang ini, Rick Riordan tinggal di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat bersama istri dan kedua putranya.  Jika kalian ingin mengenalnya lebih dekat, kalian bisa melihatnya di www.rickriordan.com atau follow twitternya di @camphalfblood.

 

Sinopsis

Lester Papadopoulos alias Apollo
Enam bulan telah berlalu sejak Apollo jatuh ke bumi sebagai manusia bernama Lester Papadopoulos. Dalam kurun waktu tersebut, dia dan Meg McCaffrey si Putri Demeter telah melalui banyak petualangan. Mereka telah membebaskan orakel-orakel kuno. Mereka telah mengalahkan dua dari tiga kaisar-dewa di Triumvirate Holdings—Commodus dan Caligula. Mereka juga telah kehilangan banyak teman dalam perjalanan.

Namun, misi mereka belum usai. Yang terburuk belum tiba. Setelah menjelajahi Amerika Serikat, mereka akhirnya kembali ke titik awal, Manhattan—tempat kekuasaan kaisar terakhir, Nero. Apollo dan Meg harus menyusup ke dalam Menara Nero untuk membunuh sang kaisar jahat. Jika mereka tidak bisa menghentikan Nero tepat waktu, dia akan membakar seluruh New York dengan api Yunani. Nyawa banyak orang yang menjadi taruhan.

Kaisar Nero

Akan tetapi, Nero adalah ayah tiri Meg yang manipulatif dan kasar, dan Menara Nero adalah tempat Meg dibesarkan, tempatnya tumbuh dengan siksaan emosional selama bertahun-tahun. Apollo tidak bisa membayangkan Meg kembali ke tempat tersebut. Nero pasti akan memanfaatkan Meg, memuntir pikirannya agar Meg mengkhianati Apollo lagi. Akankah Meg dapat melawan ucapan-ucapan manipulatif Nero?

Di tambah lagi, masih ada Python yang bersarang di Delphi. Musuh bebuyutan Apollo tersebut terus menjadi makin kuat. Dia telah memengaruhi pikiran Rachel Elizabeth Dare sang Pythia. Jika Apollo tidak segera mengalahkan sang monster ular tersebut, Python akan memiliki kuasa atas masa depan dan dia akan menggunakannya untuk membawa kerusakan.

Apapun yang akan terjadi, petualangan Apollo sebagai Lester akan berakhir. Semuanya akan ditentukan dalam petualangan ini. Mampukah Apollo mengalahkan musuh-musuhnya dan mengklaim kembali kedewaannya? Namun, dia juga harus mempertanyakan ini kepada dirinya: apakah dia masih seingin itu kembali menjadi dewa?

 

Kelebihan

The Tower of Nero berhasil mengejutkanku. Dia memang tidak tragis seperti The Burning Maze (2018), tetapi dia tetap sama serunya. Ceritanya memiliki alur yang berbeda sekali untuk buku pamungkas suatu serial, kalau dibandingkan dengan The Last Olympian (2009) dan The Blood of Olympus (2014). Namun, buku ini tidak kalah seru!

Ceritanya memiliki vibes yang terus berganti sepanjang alur berjalan. Pada mulanya, suasana cerita terasa seperti cerita misi penyusupan. (Spoiler alert) para tokoh membuat rencana dan bekerja sama dengan orang dalam untuk menyusup ke markas musuh. Namun kemudian, suasana cerita berubah menjadi dongeng pahlawan yang menyelamatkan putri. (Spoiler alert) Apollo harus secepat mungkin menyelamatkan Meg yang ditahan Nero. Meg seperti putri yang dikurung di menara oleh orang tua angkat yang jahat, seperti dongeng Rapunzel.

Aku bahkan awalnya mengira buku ini hanya soal penyusupan, tidak ada perang besar seperti yang ada di The Last Olympian dan The Blood of Olympus. Namun rupanya, all-out battle itu tetap ada! Kemudian, ketika Apollo menghadapi Python di babak akhir kisah ini, suasana cerita berubah lagi menjadi seperti cerita superhero. Sang jagoan pada akhirnya harus bertarung satu lawan satu melawan musuh besarnya.

Hal lain tentang buku ini yang menarik perhatianku adalah perkembangan karakternya. Sepanjang serial The Trials of Apollo, perkembangan karakter Apollo selalu menjadi hal menarik yang seperti tidak ada habisnya untuk dieksplorasi, meski di buku ini, Apollo tidak banyak mengalami perkembangan karakter. Namun, ketika pada akhirnya dia sangat dekat dengan kedewaannya lagi, dia dihadapi pada pertanyaan: apakah itu yang dia inginkan?

Setelah semua yang dia lewati sebagai Lester, Apollo harus menentukan kehidupan seperti apa yang dia mau—apakah dia ingin kembali menjadi dewa seperti dulu atau dia ingin hal lain? Pertanyaan tersebut menuntut Apollo untuk mendefinisikan sosok seperti apa yang dia harapkan dari dirinya di masa depan. Dan bukankah pertanyaan mengenai “diri” yang kita inginkan juga kerap kita tanyakan pada diri sendiri? Setidaknya bagiku, itu relatable. Itu menjadikan seluruh serial ini cerita coming of age-nya Apollo. Kemudian, yang menarik adalah perkembangan karakter Apollo menyiratkan bahwa jati diri itu dipilih (dibentuk), bukan dicari.

Sebagai Lester, Apollo telah banyak belajar tentang arti menjadi manusia. Dia selalu teringat pesan Jason Grace untuknya, “Remember what it’s like to be human.” Dan di buku ini, ada beberapa quotes yang aku suka mengenai perkembangan karakter Apollo. Salah satunya: “To be human is to move forward, to adapt, to believe in your ability to make things better. That is the only way to make the pain and sacrifice mean something.”  Selain itu, aku juga suka quotes Apollo yang lainnya saat bertemu dengan Dewi Styx: “Perhaps that was what Styx had been trying to teach me: It wasn’t about how loudly you swore your oath, or what sacred words you used. It was about whether or not you meant it. And whether your promise was worth making.”

Meg McCaffrey, Putri Demeter,
Dewi Pertanian dan Panen

Selain Apollo, aku juga bangga sekali pada perkembangan karkater Meg. Nero adalah contoh toxic parent yang begitu manipulatif dan licik. Namun, (spoiler alert) Meg berhasil melawan kontrol Nero atas dirinya. Dia tidak lagi percaya kata-kata Nero, dia tidak lagi menjadi boneka sang kaisar. Bagi seorang anak, tidak mudah untuk keluar dari belenggu orang tua yang manipulatif dan kasar seperti itu. Dibutuhkan banyak sekali keberanian dan karena itu, aku sangat bangga pada Meg.

Kemudian, cerita Meg tersebut juga menyiratkan isu kesehatan mental, tentang emotional abuse dan gaslighting. Melalui karakter Meg, pembaca bisa mendapat insight bahwa anak-anak sangat rentan menjadi korban kekerasan emosional dan gaslighting oleh orang tuanya. Kekerasan emosional serta tipu daya seperti itu memang tidak meninggalkan bekas luka di tubuh, tetapi selamanya dapat merusak kewarasan seorang anak.

Untung saja, Meg punya Apollo yang meyakinkan dirinya bahwa dia dapat melawan kendali Nero. Apollo menyemangati Meg dengan mengucapkan: “Meg, there’s only one person here you need to listen to: yourself. Trust yourself.” Kata-kata tersebut mungkin seperti kalimat positif yang biasa diucapkan motivator-motivator, tetapi kata-kata tersebutlah yang dibutuhkan untuk mendorong korban kekerasan emosional untuk bisa keluar dari jeratan kekerasan tersebut.

Maka dari itu, (spoiler alert) aku begitu terharu ketika pada akhirnya Apollo dan Meg dapat berkumpul lagi setelah Nero kalah. Obrolan mereka sebelum Apollo pergi menghadapi Python begitu menghangatkan hati. Mereka telah melewati banyak hal bersama. Petualangan mereka telah membuat mereka bertumbuh. Mereka adalah teman terbaik untuk satu sama lain. Mereka seperti kakak dan adik yang saling benci sekaligus saling sayang. Aku ingin sekali memeluk mereka berdua. It was so heart-warming.

Nico di Angleo, Putra Hades (kiri), dan
Rachel Dare, Pythia Orakel Delphi (kanan)

Berikutnya, tokoh lainnya yang menarik dalam buku ini adalah Nico di Angelo si Putra Hades dan Rachel Elizabeth Dare si Orakel Delphi. Nico sangat keren di buku ini dengan kekuatannya mengubah orang menjadi hantu tengkorak. Kekuatan yang dia dapatkan sejak petualangannya di buku The Blood of Olympus tersebut sangat mengerikan. Aku bahkan merinding tiap Nico menggunakannya. Sementara itu, aku senang Rachel terjun langsung lagi dalam misi. Sudah lama sekali dia tidak muncul sebagai tokoh utama dalam cerita. Oh, I miss seeing Rachel in action.

Panah Dodona

Selanjutnya, di samping pertempuran di Menara Nero, ada juga pertarungan Apollo melawan Python. Pertarungan mereka seru dan epik sekali! (Spoiler alert) saat Panah Dodona menyampaikan ramalannya, “Apollo must fall but Apollo must rise again”, aku merinding. Sepanjang pertarungan tersebut, Apollo perlahan-lahan kembali menjadi dewa. Itu adegan yang membuatku tertegun, tak bisa berkata-kata saat menyaksikan (atau membaca) apa yang sedang terjadi. And apparently, dewa-dewi di Olympus juga deg-degan menyaksikan pertarungan Apollo melawan Python tersebut, hahaha.

Namun, jika dibandingkan dengan pertarungan Jason, Piper, dan Leo melawan Gaea (baca: The Blood of Olympus), pertarungan antara Apollo dan Python masih lebih seru. Apollo benar-benar susah payah melawan sang monster ular, menggunakan apapun cara yang dia bisa dan sisa kekuatan yang dia punya. Dia tidak menyerah, tekadnya sekeras perunggu langit dan emas imperial. Itulah yang membuat pertarungan tersebut begitu mendebarkan.

Terakhir, aku sangat suka cara Rick Riordan menutup buku ini. (Spoiler alert) aku suka melihat Apollo berkumpul kembali dengan Artemis, saudari kembarnya. Mereka begitu adorable! Aku juga senang Rick Riordan tidak melupakan tokoh-tokoh lainnya yang telah membantu Apollo. Tidak hanya itu, sebagai pembaca buku-buku Rick Riordan sejak The Lightning Thief (2006), aku merasa epilog tersebut bagaikan epilog untuk keseluruhan seri Perkembahan Blasteran dan Perkemahan Jupiter. Rick Riordan memberi tahu pembaca setianya seperti apa kehidupan yang sedang dijalani—dan hendak dijalani—para pahlawan dari kedua perkemahan. Itu adalah epilog yang manis, juga menyentuh. I’m so glad to know that our heroes are happy at the end.

                 

Kelemahan

Meskipun The Tower of Nero memberikan cerita yang seru dan epik kepada para pembacanya, aku menemukan beberapa kekurangan. Pertama, aku kurang suka cara buku ini menggunakan treatment yang digunakan di buku The Sword of Summer (2015) dari serial Magnus Chase and the Gods of Asgard. Di buku ini, Apollo dan teman-temannya membagi tugas dan berpencar, tetapi cerita hanya dari sudut pandang Apollo. Jadi, pembaca tidak tahu secara rinci petualangan tokoh-tokoh lainnya, seperti Nico, Will, dan Rachel ketika mereka terpisah dari Apollo. Padahal, aku yakin petualangan mereka juga tidak kalah seru.

Will Solace, Putra Apollo,
Dewa Musik, Penyembuhan, dan
Matahari

Kemudian, aku merasa peran Will Solace si Putra Apollo (ya, pada petualangan ini, Apollo dibantu putranya sendiri) tidak terlalu banyak. Padahal, ini pertama kalinya Will menjadi tokoh utama, pertama kalinya kita melihat Will dalam misi. Aku berekspektasi karakternya akan dieksplorasi lebih dalam, tetapi rupanya tidak. Perannya seperti disederhanakan hanya sebagai pacarnya Nico dan penyembuh dalam tim (juga sebagai lampu senter).

Kelemahan lainnya dalam cerita ini terletak pada sosok sang Python. Dalam mitologi Yunani sendiri cerita tentang Python tidak banyak, maka aku suka ketika Rick Riordan mengembangkan karakter Python di buku ini. Namun, aku tidak bisa melihat Python sebagai musuh besar dari keseluruhan serial The Trials of Apollo. Mungkin, itu karena selama serial ini, Python tidak memiliki porsi cerita yang cukup dan dia juga tidak banyak mencampuri petualangan Apollo. Berbeda sekali dengan Gaea sang Dewi Bumi yang melakukan hal-hal kejam kepada para kru Argo II (baca: serial The Heroes of Olympus). Maka dari itu, ketika Apollo melawan Python, aku tidak ada rasa benci ke Python; sedangkan ketika Apollo melawan Nero, aku sangat membenci Nero.

 

Kesimpulan

Sebagai buku penutup dari serial The Trials of Apollo, The Tower of Nero merupakan penutup manis yang mendebarkan, epik, dan penuh haru. Ceritanya tidak bisa ditebak, terus berganti vibes. Selain itu, di buku ini, kita dapat melihat buah dari perkembangan karakter Apollo dan Meg, betapa jauh mereka telah bertualang bersama, menghadapi bahaya dan mengalami kehilangan. Walaupun ada kekurangan di sana-sini, aku yakin para pembacanya tetap akan suka buku ini. Pada akhirnya, melalui cerita ini, Apollo telah mengajari para pembaca tentang arti menjadi manusia: perjuangan, keberanian, pengorbanan, harapan, persahabatan, dan belas kasih. Oleh karena itu, aku memberi skor 9,3/10 untuk The Tower of Nero.

Is it really the end? Of course, no. Rick Riordan telah mengumumkan bahwa dia akan menerbitkan dua buku lagi: satu tentang petualangan Nico dan Will usai pertempuran di Menara Nero—berjudul The Sun and the Star—dan satunya lagi tentang petualangan Percy, Annabeth, dan Grover yang berlatar waktu sebelum The Trials of Apollo tetapi sesudah The Heroes of Olympus—berjudul Percy Jackson and the Olympians: The Chalice of the Gods. Maka dari itu, persiapkan diri (dan uang) kalian, ya! 

Sebelumnya (The Tyrant's Tomb)

***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar