Apa
Boleh Mengomentari Cara Berpakaian Orang Lain?
Itu artinya pakaian yang dikenakan seseorang merupakan topeng yang ingin ia perlihatkan entah untuk menutupi atau memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Beberapa waktu lalu, media
sosial sempat ramai karena tweet Revina VT yang dianggap blunder. Revina
VT bilang bahwa dia tidak suka melihat orang yang menggunakan sport bra dan celana pendek yang sampai memperlihatkan bokongnya ketika pergi ke gym. Dia berkata bahwa itu polusi
visual. Tweet Revina tersebut mendapat respons negatif dan kritik dari
warganet. Dia dibilang blunder lantaran di instagramnya dia sering
mengampanyeka body positivitydan
self-acceptance,
tapi kali ini dia malah membuat tweet bernuansa body shaming.
Tweet Revina VT tidak hanya
ditanggapi warganet, tetapi juga beberapa social media influencer dan
artis. Salah satunya Gita Savitri yang mengkritik dengan mengatakan orang mau
pakai baju apapun itu bukan urusan orang lain untuk mengomentari. Dia juga
bilang bahwa tweet Revina bisa mematahkan semangat orang-orang yang sedang
berjuang mendapatkan body goals ‘bentuk tubuh impian’ mereka. Tidak
hanya Gita Savitri, penyanyi jebolan Indonesian Idol, Marion Jola, juga turut
bersuara. Dia bilang bahwa tidak ada itu yang namanya polusi visual, maka
Revina VT tidak patut berkata seperti itu terhadap bentuk tubuh seseorang.
Sekarang mari kita lihat
tweetnya Revina. Dalam tweetnya tersebut, yang Revina permasalahkan atau yang
dia tidak suka adalah orang yang memakai sport bra dan celana pendek di gym.
Maka, yang sebenarnya Revina bicarakan dalam
tweetnya tersebut lebih ke arah cara berpakaian, bukan bentuk tubuh. Dengan
begitu, mengatakan Revina melakukan body shaming adalah kurang tepat. Oleh
karena itu, kritik Gita Savitri, yang mengatakan bahwa cara berpakaian orang
lain itu bukan urusan kita, tepat dalam permasalahan ini.
Namun, ada hal yang kurang pas
dari kritik Gita Savitri tersebut, menurutku. Dia menyiratkan bahwa apapun
kondisinya, cara orang berpakaian bukanlah urusan orang lain sehingga tidak
berhak orang mengomentarinya. Pertanyaannya: Apakah patut mengomentari atau mengkritik cara
orang lain berpakaian?
Menurut aku, mengomentari atau
mengkritik cara berpakaian seseorang itu boleh saja dengan memenuhi syarat atau
kondisi tertentu. Ada dua hal yang harus terpenuhi, yaitu ranah perdebatannya
apa dan empati. Kedua hal tersebut harus terpenuhi ketika kita mau menyampaikan
komentar atau kritik kita kepada seseorang terkait cara berpakaian orang
tersebut.
Hal pertama adalah ranah
perdebatan. Ranah perdebatan ini bisa dikatakan sebagai konteks pembicaraan,
entah itu tentang moral, etika, kesopanan, estetika, atau lainnya. Dalam hal
mengkritik cara berpakaian seseorang, ranah yang diperbolehkan—menurut aku—salah satunya adalah
ranah estetika, yakni seputar keindahan, seperti cantik atau tidak, bagus atau
tidak, dan indah atau tidak.
Ketika kamu bilang pakaian yang
digunakan seseorang kelihatan tidak bagus, itu tidak apa-apa; ketika kamu
bilang pakaian yang digunakan orang tidak cocok dengan warna kulitnya, itu
tidak apa-apa; atau ketika kamu bilang pakaian yang digunakan orang itu
membuatnya terlihat gemuk, itu tidak apa-apa. Semua itu tentang cara berpakaian
seperti apa yang bisa memaksimalkan keindahan diri kita, termasuk keindahan
bentuk tubuh kita terlepas dari apakah bentuk tubuh kita ideal atau tidak.
Kamu boleh saja bilang orang
yang gemuk lebih bagus kalau pakai baju yang tidak ketat. Kamu boleh saja
bilang orang yang kurus lebih cakep tidak menggunakan baju yang terbuka. Kamu
boleh saja mengatakan bahwa orang dengan bentuk tubuh begini lebih bagus menggunakan
pakaian seperti ini dan orang dengan bentuk tubuh begitu lebih bagus
menggunakan pakaian begitu. Orang lain pun boleh tidak setuju dengan kamu.
Fesyen itu mirip makanan, yaitu soal selera—tidak ada yang salah kalau punya
selera berbeda.
Kalau kita kembali ke tweet
Revina VT, tweet tersebut masih dalam ranah estetika. Dia bilang bahwa orang yang memakai sport bra dan celana pendek yang sampai memperlihatkan bokong itu tidak sedap
dipandang mata. Itu masih dalam ranah estetika. Tweet Revina
masih memenuhi hal pertama.
Kemudian, perdebatan tentang
cara berpakaian orang sebaiknya tidak dilakukan dalam ranah moral, yakni
tentang baik buruk. Ini sangat sering terjadi di masyarakat dan bahkan bisa menghasilkan
stigma atau stereotip. Misalnya, perempuan yang berbaju
seksi sering dicap sebagai perempuan tidak benar alias bermoral buruk.
Perempuan bercadar atau laki-laki yang celananya di atas mata kaki sering
dianggap ekstremis Islam. Seorang pria bersorban dan bergamis dianggap sebagai
seorang yang religius. Orang yang pakaiannya rapih berdasi dianggap orang berpendidikan
dan baik-baik. Cara berpakaian orang sering kali dijadikan patokan untuk
menilai apakah dia orang baik atau buruk.
Padahal, sudah ada peribahasa “jangan
menilai buku dari sampulnya”, tapi orang-orang selalu saja menilai orang
lain dari penampilannya. Cara berpakaian orang tidak ada hubungannya dengan
baik buruknya orang tersebut. Bahkan, kalau kita menilai orang dari cara
berpakaiannya, kita bisa tertipu dan rugi sendiri pada akhirnya.
Memang ada yang bilang cara kita
berpakaian itu mencerminkan kepribadian kita. Kepribadian dalam bahasa Inggris
adalah personality, yang berasal dari kata persona, yang berarti
topeng. Itu artinya pakaian yang dikenakan seseorang merupakan topeng yang
ingin ia perlihatkan entah untuk menutupi atau memperlihatkan siapa dirinya
yang sebenarnya. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak langsung menilai orang
dari penampilannya.
Perempuan berbaju seksi yang
kelihatan seperti pelacur mungkin rajin berdonasi ke panti asuhan. Perempuan
bercadar dan laki-laki bercelana di atas mata kaki mungkin adalah orang yang
sangat ramah kepada umat agama lain. Seorang pria bersorban dan bergamis yang
tampak seperti ahli agama mungkin suka berbuat cabul. Orang yang pakaiannya
rapih berdasi mungkin adalah koruptor. Maka dari itu, mengomentari cara orang
berpakaian dalam ranah moral itu sebaiknya tidak dilakukan karena keduanya
tidak berhubungan.
Kemudian, sekarang pun ada
orang-orang yang mempermasalahkan cara berpakaian orang lain yang mengaitkannya
dengan tingkat keimanan. Misalnya, perempuan yang jilbabnya tidak menutupi dada
atau masih menggunakan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh akan dinilai tingkat
keimanannya rendah. Bahkan, ada sebutan untuk mereka, yakni jilboobs.
Padahal, iman itu urusan hati dan pikiran, maka tidak bisa dinilai dari cara
berpakaian.
Di samping ranah estetika dan
ranah moral, ranah kesopanan juga sering digunakan untuk perdebatan tentang
cara berpakaian. Kerap kali orang-orang mengomentari cara berpakaian orang lain
itu kurang sopan. Ranah ini boleh saja dijadikan perdebatan, tapi dalam
situasi-situasi tertentu saja. Apa yang sopan dan tidak sopan tentu
berbeda-beda bagi setiap orang dan berbeda-beda pada setiap keadaan. Misalnya,
ada orang berpakaian seksi saat beribadah di rumah ibadah, maka dia boleh
ditegur mengenai cara berpakaiannya tersebut.
Di samping itu, ranah kesopanan
dalam perdebatan cara berpakaian juga dibatasi oleh jangkauan properti atau
jangkauan hak milik. Ketika kamu ada di ruang publik, seperti mall atau taman,
kamu tidak sebaiknya menegur cara berpakaian orang tidak sopan karena itu di
luar jangkauan properti kamu. Ruang publik adalah milik bersama dan karena itu
kamu tidak sebaiknya memaksakan definisi kesopanan kamu ke orang lain.
Namun, ketika kamu sedang ada di
rumahmu, lalu datang orang dengan pakaian yang tidak sopan versi kamu, kamu
bisa menegurnya. Kamu bisa memintanya berpakaian yang sopan (versi kamu) atau
mempersilakan dia pergi karena itu ada di dalam rumah kamu yang artinya masih
dalam jangkauan properti kamu. Kamu bisa menegur cara berpakaian orang itu,
apakah sopan atau tidak, selama kamu tidak melecehkan dan melanggar hak-hak
dasarnya sebagai manusia.
Ada contoh kasus yang mirip
dengan penjelasan di atas, yakni kasusnya Kimi Hime yang sempat ditegur karena
cara berpakaiannya dinilai melanggar asusila. Meskipun ini tentang ranah
kesusilaan, bukan ranah kesopanan, konsep di atas tetap bisa diaplikasikan ke
sini. Kimi Hime sempat ditegur oleh DPR dan Kemkominfo karena cara
berpakaiannya dalam video-videonya dianggap “mengundang syahwat.” Bahkan, tiga
video Kimi Hime ditarik dari YouTube karena alasan itu.
Padahal, siapapun tidak berhak
mengatur cara Kimi Hime berpakaian dalam video-videonya karena itu adalah channel
YouTube-nya, jangkauan propertinya. Dalam kasus itu, pemerintah memaksa
orang lain untuk mengikuti definisi “berpakaian yang baik” versinya. Itu
merupakan tindakan yang melanggar privasi seseorang karena Kimi Hime bebas
menggunakan pakaian apapun yang dia suka dan kalau ada yang tidak suka dengan
itu, dia bebas untuk tidak menonton atau memblokir channel-nya.
Berikutnya, di samping ranah
perdebatannya, hal lain yang harus diperhatikan ketika mengomentari cara
berpakaian orang lain adalah empati.
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang memperhatikan perspektif
audiens. Maka, ketika kamu mau mengomentasi atau mengkritik cara berpakaian
seseorang, sebaiknya kamu memperhatikan keadaan dan perspektif orang tersebut. Misalnya,
orang tersebut insecure
atau tidak percaya diri terhadap bentuk tubuhnya, maka komentar yang kamu
sampaikan sebaiknya menghindari kata-kata yang bernuansa body shaming.
Itulah yang tidak ada di tweet
Revina VT. Komentar Revina tersebut memang masih di ranah estetika, tetapi
tidak ada empati. Komentar semacam itu akan dianggap sebagai hinaan dan ditolak
orang-orang sehingga tidak efektif. Ada banyak contoh kalimat yang lebih
berempati yang dapat digunakan Revina tanpa perlu bilang itu polusi visual.
Berempati dalam menyampaikan
komentar tentang fesyen tidak hanya soal body shaming, tetapi juga
tentang kesenjangan sosial-ekonomi. Cara berpakaian orang kaya dengan orang
miskin tentu saja berbeda. Maka dari itu, ketika mau mengomentari pakaian
seseorang, sebaiknya kita tidak sampai menyinggung status ekonomi dia, seperti,
“Ih baju kamu udah jelek banget tuh. Gak punya uang untuk beli baru?” Hal
semacam itu harus dihindari agar tidak semakin memperlebar jurang kesenjangan
antara orang kaya dan miskin dalam pergaulan.
Secara singkat, ketika kamu
ingin mengomentari atau mengkritik cara berpakaian seseorang, kamu perlu
memperhatikan dua hal, yaitu ranah perdebatannya dan empati. Dalam hal ranah
perdebatan, ranah yang sebaiknya digunakan adalah ranah estetika, sedangkan ranah
lain, seperti moral, tidak sebaiknya digunakan. Adapun ranah kesopanan bisa
digunakan dengan memperhatikan batasan jangkauan properti kita. Kemudian, agar
komentar atau kritik kamu bisa diterima dengan baik oleh audiens, diperlukan
empati. Komentar atau kritik kamu sebaiknya tidak menyinggung bentuk tubuh dan
status ekonomi audiens kamu. Sekalipun kita bebas berbicara apapun di medsos
kita, selama ucapan kita tidak berempati, tidak akan ada yang mendengar ucapan
kita.
***
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar