Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam: Kisah Pilu Seorang Gadis yang Menjadi Korban Ketidakadilan Sebuah Tradisi

Identitas Buku Judul : Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Penulis : Dian Purnomo Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2020 Cetakan : VI Tebal : 300 halaman Harga : Rp99.000 ISBN : 9786020648453 Genre : Fiksi kontemporer, fiksi feminisme , drama   Tentang Penulis Dian Purnomo lahir dengan nama Dian Yuliarsi di Salatiga pada 19 Juli 1976. Dirinya telah serius menulis sejak SMA, tetapi dia juga pernah bekerja di radio Prambors dan FeMale Radio. Sepanjang kariernya, Dian Purnomo telah menerbitkan 9 novel dan antologi cerpen. Dian Purnomo...

Apa Boleh Mengomentari Cara Berpakaian Orang Lain?

Apa Boleh Mengomentari Cara Berpakaian Orang Lain?

Itu artinya pakaian yang dikenakan seseorang merupakan topeng yang ingin ia perlihatkan entah untuk menutupi atau memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya. 

(Sumber: stylecaster.com)

Beberapa waktu lalu, media sosial sempat ramai karena tweet Revina VT yang dianggap blunder. Revina VT bilang bahwa dia tidak suka melihat orang yang menggunakan sport bra dan celana pendek yang sampai memperlihatkan bokongnya ketika pergi ke gym. Dia berkata bahwa itu polusi visual. Tweet Revina tersebut mendapat respons negatif dan kritik dari warganet. Dia dibilang blunder lantaran di instagramnya dia sering mengampanyeka body positivity[1] dan self-acceptance[2], tapi kali ini dia malah membuat tweet bernuansa body shaming.[3]

Tweet Revina VT tidak hanya ditanggapi warganet, tetapi juga beberapa social media influencer dan artis. Salah satunya Gita Savitri yang mengkritik dengan mengatakan orang mau pakai baju apapun itu bukan urusan orang lain untuk mengomentari. Dia juga bilang bahwa tweet Revina bisa mematahkan semangat orang-orang yang sedang berjuang mendapatkan body goals ‘bentuk tubuh impian’ mereka. Tidak hanya Gita Savitri, penyanyi jebolan Indonesian Idol, Marion Jola, juga turut bersuara. Dia bilang bahwa tidak ada itu yang namanya polusi visual, maka Revina VT tidak patut berkata seperti itu terhadap bentuk tubuh seseorang.

Sekarang mari kita lihat tweetnya Revina. Dalam tweetnya tersebut, yang Revina permasalahkan atau yang dia tidak suka adalah orang yang memakai sport bra dan celana pendek di gym. Maka, yang sebenarnya Revina bicarakan dalam tweetnya tersebut lebih ke arah cara berpakaian, bukan bentuk tubuh. Dengan begitu, mengatakan Revina melakukan body shaming adalah kurang tepat. Oleh karena itu, kritik Gita Savitri, yang mengatakan bahwa cara berpakaian orang lain itu bukan urusan kita, tepat dalam permasalahan ini.

(sumber: insertlive.com)

Namun, ada hal yang kurang pas dari kritik Gita Savitri tersebut, menurutku. Dia menyiratkan bahwa apapun kondisinya, cara orang berpakaian bukanlah urusan orang lain sehingga tidak berhak orang mengomentarinya. Pertanyaannya: Apakah patut mengomentari atau mengkritik cara orang lain berpakaian?

Menurut aku, mengomentari atau mengkritik cara berpakaian seseorang itu boleh saja dengan memenuhi syarat atau kondisi tertentu. Ada dua hal yang harus terpenuhi, yaitu ranah perdebatannya apa dan empati. Kedua hal tersebut harus terpenuhi ketika kita mau menyampaikan komentar atau kritik kita kepada seseorang terkait cara berpakaian orang tersebut.

Hal pertama adalah ranah perdebatan. Ranah perdebatan ini bisa dikatakan sebagai konteks pembicaraan, entah itu tentang moral, etika, kesopanan, estetika, atau lainnya. Dalam hal mengkritik cara berpakaian seseorang, ranah yang diperbolehkan—menurut aku—salah satunya adalah ranah estetika, yakni seputar keindahan, seperti cantik atau tidak, bagus atau tidak, dan indah atau tidak.

Ketika kamu bilang pakaian yang digunakan seseorang kelihatan tidak bagus, itu tidak apa-apa; ketika kamu bilang pakaian yang digunakan orang tidak cocok dengan warna kulitnya, itu tidak apa-apa; atau ketika kamu bilang pakaian yang digunakan orang itu membuatnya terlihat gemuk, itu tidak apa-apa. Semua itu tentang cara berpakaian seperti apa yang bisa memaksimalkan keindahan diri kita, termasuk keindahan bentuk tubuh kita terlepas dari apakah bentuk tubuh kita ideal atau tidak.

Kamu boleh saja bilang orang yang gemuk lebih bagus kalau pakai baju yang tidak ketat. Kamu boleh saja bilang orang yang kurus lebih cakep tidak menggunakan baju yang terbuka. Kamu boleh saja mengatakan bahwa orang dengan bentuk tubuh begini lebih bagus menggunakan pakaian seperti ini dan orang dengan bentuk tubuh begitu lebih bagus menggunakan pakaian begitu. Orang lain pun boleh tidak setuju dengan kamu. Fesyen itu mirip makanan, yaitu soal selera—tidak ada yang salah kalau punya selera berbeda.

Kalau kita kembali ke tweet Revina VT, tweet tersebut masih dalam ranah estetika. Dia bilang bahwa orang yang memakai sport bra dan celana pendek yang sampai memperlihatkan bokong itu tidak sedap dipandang mata. Itu masih dalam ranah estetika. Tweet Revina masih memenuhi hal pertama.

Kemudian, perdebatan tentang cara berpakaian orang sebaiknya tidak dilakukan dalam ranah moral, yakni tentang baik buruk. Ini sangat sering terjadi di masyarakat dan bahkan bisa menghasilkan stigma atau stereotip[4]Misalnya, perempuan yang berbaju seksi sering dicap sebagai perempuan tidak benar alias bermoral buruk. Perempuan bercadar atau laki-laki yang celananya di atas mata kaki sering dianggap ekstremis Islam. Seorang pria bersorban dan bergamis dianggap sebagai seorang yang religius. Orang yang pakaiannya rapih berdasi dianggap orang berpendidikan dan baik-baik. Cara berpakaian orang sering kali dijadikan patokan untuk menilai apakah dia orang baik atau buruk.

Padahal, sudah ada peribahasa “jangan menilai buku dari sampulnya”, tapi orang-orang selalu saja menilai orang lain dari penampilannya. Cara berpakaian orang tidak ada hubungannya dengan baik buruknya orang tersebut. Bahkan, kalau kita menilai orang dari cara berpakaiannya, kita bisa tertipu dan rugi sendiri pada akhirnya.

Memang ada yang bilang cara kita berpakaian itu mencerminkan kepribadian kita. Kepribadian dalam bahasa Inggris adalah personality, yang berasal dari kata persona, yang berarti topeng. Itu artinya pakaian yang dikenakan seseorang merupakan topeng yang ingin ia perlihatkan entah untuk menutupi atau memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak langsung menilai orang dari penampilannya.

Perempuan berbaju seksi yang kelihatan seperti pelacur mungkin rajin berdonasi ke panti asuhan. Perempuan bercadar dan laki-laki bercelana di atas mata kaki mungkin adalah orang yang sangat ramah kepada umat agama lain. Seorang pria bersorban dan bergamis yang tampak seperti ahli agama mungkin suka berbuat cabul. Orang yang pakaiannya rapih berdasi mungkin adalah koruptor. Maka dari itu, mengomentari cara orang berpakaian dalam ranah moral itu sebaiknya tidak dilakukan karena keduanya tidak berhubungan.

Kemudian, sekarang pun ada orang-orang yang mempermasalahkan cara berpakaian orang lain yang mengaitkannya dengan tingkat keimanan. Misalnya, perempuan yang jilbabnya tidak menutupi dada atau masih menggunakan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh akan dinilai tingkat keimanannya rendah. Bahkan, ada sebutan untuk mereka, yakni jilboobs. Padahal, iman itu urusan hati dan pikiran, maka tidak bisa dinilai dari cara berpakaian.

Di samping ranah estetika dan ranah moral, ranah kesopanan juga sering digunakan untuk perdebatan tentang cara berpakaian. Kerap kali orang-orang mengomentari cara berpakaian orang lain itu kurang sopan. Ranah ini boleh saja dijadikan perdebatan, tapi dalam situasi-situasi tertentu saja. Apa yang sopan dan tidak sopan tentu berbeda-beda bagi setiap orang dan berbeda-beda pada setiap keadaan. Misalnya, ada orang berpakaian seksi saat beribadah di rumah ibadah, maka dia boleh ditegur mengenai cara berpakaiannya tersebut.

Di samping itu, ranah kesopanan dalam perdebatan cara berpakaian juga dibatasi oleh jangkauan properti atau jangkauan hak milik. Ketika kamu ada di ruang publik, seperti mall atau taman, kamu tidak sebaiknya menegur cara berpakaian orang tidak sopan karena itu di luar jangkauan properti kamu. Ruang publik adalah milik bersama dan karena itu kamu tidak sebaiknya memaksakan definisi kesopanan kamu ke orang lain.

Namun, ketika kamu sedang ada di rumahmu, lalu datang orang dengan pakaian yang tidak sopan versi kamu, kamu bisa menegurnya. Kamu bisa memintanya berpakaian yang sopan (versi kamu) atau mempersilakan dia pergi karena itu ada di dalam rumah kamu yang artinya masih dalam jangkauan properti kamu. Kamu bisa menegur cara berpakaian orang itu, apakah sopan atau tidak, selama kamu tidak melecehkan dan melanggar hak-hak dasarnya sebagai manusia.

Ada contoh kasus yang mirip dengan penjelasan di atas, yakni kasusnya Kimi Hime yang sempat ditegur karena cara berpakaiannya dinilai melanggar asusila. Meskipun ini tentang ranah kesusilaan, bukan ranah kesopanan, konsep di atas tetap bisa diaplikasikan ke sini. Kimi Hime sempat ditegur oleh DPR dan Kemkominfo karena cara berpakaiannya dalam video-videonya dianggap “mengundang syahwat.” Bahkan, tiga video Kimi Hime ditarik dari YouTube karena alasan itu.

Padahal, siapapun tidak berhak mengatur cara Kimi Hime berpakaian dalam video-videonya karena itu adalah channel YouTube-nya, jangkauan propertinya. Dalam kasus itu, pemerintah memaksa orang lain untuk mengikuti definisi “berpakaian yang baik” versinya. Itu merupakan tindakan yang melanggar privasi seseorang karena Kimi Hime bebas menggunakan pakaian apapun yang dia suka dan kalau ada yang tidak suka dengan itu, dia bebas untuk tidak menonton atau memblokir channel-nya.

Berikutnya, di samping ranah perdebatannya, hal lain yang harus diperhatikan ketika mengomentari cara berpakaian orang lain adalah empati[5]. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang memperhatikan perspektif audiens. Maka, ketika kamu mau mengomentasi atau mengkritik cara berpakaian seseorang, sebaiknya kamu memperhatikan keadaan dan perspektif orang tersebut. Misalnya, orang tersebut insecure[6] atau tidak percaya diri terhadap bentuk tubuhnya, maka komentar yang kamu sampaikan sebaiknya menghindari kata-kata yang bernuansa body shaming.

Itulah yang tidak ada di tweet Revina VT. Komentar Revina tersebut memang masih di ranah estetika, tetapi tidak ada empati. Komentar semacam itu akan dianggap sebagai hinaan dan ditolak orang-orang sehingga tidak efektif. Ada banyak contoh kalimat yang lebih berempati yang dapat digunakan Revina tanpa perlu bilang itu polusi visual.

Berempati dalam menyampaikan komentar tentang fesyen tidak hanya soal body shaming, tetapi juga tentang kesenjangan sosial-ekonomi. Cara berpakaian orang kaya dengan orang miskin tentu saja berbeda. Maka dari itu, ketika mau mengomentari pakaian seseorang, sebaiknya kita tidak sampai menyinggung status ekonomi dia, seperti, “Ih baju kamu udah jelek banget tuh. Gak punya uang untuk beli baru?” Hal semacam itu harus dihindari agar tidak semakin memperlebar jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin dalam pergaulan.

Secara singkat, ketika kamu ingin mengomentari atau mengkritik cara berpakaian seseorang, kamu perlu memperhatikan dua hal, yaitu ranah perdebatannya dan empati. Dalam hal ranah perdebatan, ranah yang sebaiknya digunakan adalah ranah estetika, sedangkan ranah lain, seperti moral, tidak sebaiknya digunakan. Adapun ranah kesopanan bisa digunakan dengan memperhatikan batasan jangkauan properti kita. Kemudian, agar komentar atau kritik kamu bisa diterima dengan baik oleh audiens, diperlukan empati. Komentar atau kritik kamu sebaiknya tidak menyinggung bentuk tubuh dan status ekonomi audiens kamu. Sekalipun kita bebas berbicara apapun di medsos kita, selama ucapan kita tidak berempati, tidak akan ada yang mendengar ucapan kita.

***

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 


[1] Body positivity adalah penerimaan setiap perubahan tubuh mulai dari bentuk, ukuran, hingga kemampuan tubuh seiring bertambahnya usia. [Redaksi Halodoc. (31 Mei 2018). Apakah itu Body Positivity?. Dikutip pada 08 Desember 2020, dari halodoc.com: https://www.halodoc.com/artikel/apakah-itu-body-positivity].

[2] Self-acceptance ‘penerimaan diri’ adalah keadaan menerima diri sendiri secara utuh. Self-acceptance sejati adalah menerima dirimu apa adanya, tanpa kualifikasi, syarat, atau pengecualian apapun. [Leon F. Seltzer. (2008). Dalam Ackerman, Courtney E. (12 Oktober 2020). What is Self-Acceptance? 25 Excercises + Definition and Quotes. Dikutip pada 08 Desember 2020 dari Positive Psychology: https://positivepsychology.com/self-acceptance/].

[3] Body shaming adalah mengkritik atau memberi komentar negatif pada bentuk fisik seseorang dengan sengaja ataupun tidak. [Eva Nur Rachmah dan Fahyuni Baharuddin. (2019). Faktor Pembentuk Perilaku Body Shaming Di Media Sosial. Psikologi Sosial di Era Revolusi Industri 4.0: Peluang dan Tantangan hal 66--73. Diakses melalui http://fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Eva-Nur.pdf].

[4] Stereotip (n) konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat (KBBI).

[5] Empati (n Psi) adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain (KBBI).

[6] Insecure adalah istilah untuk menggambarkan perasaan tidak aman yang membuat seseorang merasa gelisah, takut, malu, hingga tidak percaya diri. [Alodokter. (01 Juli 2020). Sering Merasa Insecure? Ini Cara Mengatasinya. Dikutip pada 10 Desember 2020, dari Alodokter: https://www.alodokter.com/sering-merasa-insecure-ini-cara-mengatasinya#:~:text=Insecure%20adalah%20istilah%20untuk%20menggambarkan,atau%20dari%20dalam%20diri%20sendiri.].

Komentar