Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam: Kisah Pilu Seorang Gadis yang Menjadi Korban Ketidakadilan Sebuah Tradisi

Identitas Buku Judul : Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Penulis : Dian Purnomo Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2020 Cetakan : VI Tebal : 300 halaman Harga : Rp99.000 ISBN : 9786020648453 Genre : Fiksi kontemporer, fiksi feminisme , drama   Tentang Penulis Dian Purnomo lahir dengan nama Dian Yuliarsi di Salatiga pada 19 Juli 1976. Dirinya telah serius menulis sejak SMA, tetapi dia juga pernah bekerja di radio Prambors dan FeMale Radio. Sepanjang kariernya, Dian Purnomo telah menerbitkan 9 novel dan antologi cerpen. Dian Purnomo...

Perlukah Kemkominfo Men-suspend Konten Kimi Hime?


Perlukah Kemkominfo Men-suspend Konten Kimi Hime?



Beberapa minggu lalu, youtuber asal Indonesia, Kimi Hime, mendapat teguran dari Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) terkait konten dalam kanal Youtube-nya yang dinilai vulgar. Permasalahannya berawal dari aduan oleh Asosiasi Pengawas Penyiaran Indonesia (APPI) yang mengadukan konten Kimi Hime ke Komisi I DPR RI. Kemudian, pengaduan tersebut dibahas dalam raker bersama Kemkominfo. Bahkan, mereka sempat menonton video-video Kimi Hime bersama-sama dalam rapat tersebut dan menilai bahwa video-video tersebut mengundang syahwat. Kimi Hime pun mendapat teguran sebab kontennya dianggap telah melanggar UU ITE pasal 27 ayat (1).

Sekarang, tiga video dari kanal Kimi Hime telah di-suspend oleh google atas permintaan Kemkominfo dan enam video lainnya diberi age restricted mode. Judul dari tiga video tersebut adalah:
  1. Strip Challenge Mati Satu Kali = Buka Baju;
  2. Kimi Hime Lagi Tegang Eh Keluar Putih-Putih; dan
  3. Keasikan Bermain, Gadis Ini Mengeluarkan Cairan Lengket.
Setelah itu, Kemkominfo memberikan undangan kepada Kimi Hime agar mereka dapat memberi Kimi Hime himbauan untuk membuat konten yang sesuai dengan nilai kesusilaan dan tidak mengejar clickbait semata. Namun, Kimi Hime tidak menjawab undangan tersebut dan malah membuat video yang menyatakan keberatannya atas tindakan Kemkominfo sekaligus mengadu ke Presiden Joko Widodo. Videonya dapat dilihat di bawah ini:


Dalam videonya itu, Kimi Hime menyebutkan beberapa hal, yakni:
  1. Video-videonya tidak ada yang mengandung unsur pornografi;
  2. Hanya sekitar 15% penontonnya yang merupakan anak-anak dengan rentang usia 13 – 17 tahun; dan
  3. Pertidaksetujuannya atas suspend terhadap tiga videonya tersebut karena telah merugikan dirinya.
Pada akhirnya, beberapa hari kemudian Kimi Hime dan kuasa hukumnya sudah bertemu dengan Kemkominfo. Bahkan, Kimi Hime sendiri sudah berinisiatif untuk memakai pakaian yang lebih tertutup dalam video-video terbarunya. Kemkominfo pun mengapresiasi itikad baik Kimi Hime tersebut.

Konflik tersebut seperti berakhir bahagia, tetapi kalau kita perhatikan di situ ada “penyerangan” oleh negara, dalam hal ini adalah Kemkominfo, terhadap warganya, yakni Kimi Hime. Penyerangan di sini bukanlah penyerangan dalam bentuk kekerasan, melainkan pembatasan atas kebebasan seorang content creator untuk berkarya.

Pertama, penilaian negatif terhadap konten-konten Kimi Hime bisa dibilang tidak adil. Alasannya adalah masih banyak youtuber lain yang memperlihatkan hal-hal vulgar dalam konten mereka, tapi tidak pernah mendapat teguran serupa. Banyak youtuber yang membuat konten dengan hal-hal vulgar atau tidak sesuai dengan nilai moral kita, tetapi tidak dalam bentuk visual, melainkan verbal seperti berkata kasar. Sebut saja contohnya adalah Reza Arap dengan kanal Youtube-nya dulu yang sekarang sudah dihapus. Namun, apakah Reza Arap pernah tersandung kasus serupa dengan Kimi Hime? Perlu dipertanyakan mengapa Pemerintah selalu hanya protektif terhadap hal-hal visual yang dinilai melanggar nilai-nilai masyarakat, tetapi hal-hal verbal maupun ideal tidak? Padahal, banyak sekali tontonan yang hanya memperlihatkan gaya hidup materialistis, seperti kanal Youtube-nya Atta Halilintar, tapi tidak pernah mendapat teguran serupa. Pemerintah harus menyadari sikap tidak adil mereka ini.


Kemudian, kita masih dapat mengakses hal-hal vulgar lainnya di Youtube karena Youtube merupakan media sosial yang mana semua orang dapat mengunggah video mereka. Sekalipun tidak ada youtuber lokal yang membuat video-video vulgar, kita masih dapat mengaksesnya di kanal-kanal Youtube asing. Maka, untuk apa sampai men-suspend video-video Kimi Hime kalau memang kita masih bisa mencari hal serupa di kanal lain? Ditambah lagi, video-video yang telah di­-suspend tersebut masih dapat ditonton dengan menggunakan VPN. Jika Kemkominfo ingin menegur, menghimbau, atau memberi age restricted mode terhadap video-video Kimi Hime, itu masih bisa diterima. Namun, men-suspend adalah usaha yang sia-sia.

Kedua, penilaian bahwa video-video Kimi Hime telah melanggar UU ITE pasal 27 ayat (1) adalah penilaian yang berlebihan. Memang, thumbnail Kimi Hime terkesan naughty, tetapi itu hanya sekadar thumbnail. Tidak satupun video-video Kimi Hime melanggar nilai kesusilaan masyarakat, memperlihatkan hal-hal vulgar, apalagi mempertontonkan pornografi. Kimi Hime adalah seorang gaming youtuber yang sebagian besar kontennya tentang gim, bukan pornografi. Bahkan, tiga video yang telah di-suspend adalah video review gim. Memang, Kimi Hime kerap mengenakan baju yang cukup terbuka dalam video-videonya, tapi apa itu melanggar UU ITE? Padahal, kalau kita pergi ke mall atau tempat umum lainnya, kita dapat menjumpai perempuan-perempuan dengan pakaian serupa. Maka dari itu, untuk apa ditutupi di dunia maya kalau di dunia nyata kita kerap melihatnya? Mungkin, kebetulan tubuh Kimi Hime seksi, maka videonya dinilai mengundang syahwat dan melanggar norma kesusilaan. Oleh sebab itu, tidak heran apabila dikatakan bahwa penilaian Kemkominfo dan Komisi I DPR RI terlalu subjektif dan penuh bias.

Ketiga, tindakan Kemkominfo untuk men-suspend video Kimi Hime tanpa berbicara dengan Kimi Hime sebelumnya adalah tindakan gegabah. Bagi para youtuber, video-video mereka bukan sekadar karya seni, tetapi juga sumber penghasilan mereka. Tindakan pemblokiran terhadap tiga video Kimi Hime adalah bentuk pembatasan hak Kimi Hime untuk berkarya dan mencari penghidupan, apalagi mengingat bahwa dasar pengambilan keputusannya tidak adil dan terlalu subjektif. Sepatutnya, Kemkominfo berbicara dengan Kimi Hime dulu sebelum men-suspend tiga video tersebut. Akibatnya, Kimi Hime sangat dirugikan di sini. Ditambah lagi, salah satu video tersebut adalah video endorse yang kemudian juga merugikan endorser-nya. Wajar saja kalau tindakan Kemkominfo dibilang gegabah.


Tentu saja, Kemkominfo melakukan tindakan tersebut dengan maksud melindungi masyarakat dari tontonan yang melanggar nilai kesusilaan, atau nilai-nilai lainnya. Namun, tidak semua maksud baik berjalan baik. Sebenarnya, siapa yang ingin dilindungi oleh Kemkominfo di sini? Kimi Hime telah mengklaim bahwa lebih dari 50% penonton videonya berada di usia 18 tahun ke atas. Orang-orang pada usia tersebut sudah pasti dapat membedakan baik dan buruk, apa yang bisa dipetik dan tidak dari sebuah video. Maka sekali lagi ditanyakan, siapa yang ingin dilindungi Kemkominfo di sini?

Padahal, apabila Kemkominfo ingin melindungi masyarakat dari tontonan toxic, mereka hanya perlu memberikan pendidikan kepada masyarakat kita. Pendidikan tersebut mengenai bagaimana memilih konten atau tontonan yang bermanfaat bagi kita. Kemkominfo dapat mengedukasi masyarakat, terutama orang tua dan anak-anak, misalnya dengan memperkenalkan Youtube Kids. Solusi berupa edukasi ini dapat berefek lama dan bahkan, seumur hidup.

Kemkominfo sebaiknya berpikih lebih jernih lagi sebelum memberi penilaian terhadap konten-konten para youtuber. Mereka juga sebaiknya tidak gegabah dalam mengambil tindakan seperti suspend atau blokir. Penilaian-penilaian tersebut sepatutnya tidak dipengaruhi bias pikir sehingga solusi yang diambil tepat sasaran dan tidak merugikan siapa-siapa. Dan salah satu solusi yang tepat ialah mengedukasi masyarakat untuk dapat memilih tontonan yang sesuai umur mereka, bermutu, serta bermanfaat.


***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar