A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Zina yang bisa Dipidana

Zina yang bisa Dipidana

 

Risiko itu tidak hanya ada pada pelaku zina, tetapi juga pada pasangan yang sudah menikah



Kita lanjutin yuk pembahasan soal zina kemarin.

Oke, ayo.

 

Kemarin, kamu bilang mau ngomongin tentang kondisi apa saja yang menjadikan zina bisa dipidana. Ayo bahas sekarang!

Baiklah, baiklah. Kita akan mengacu pada hukum positif di Indonesia. Hukum positif itu adalah hukum yang saat ini berlaku.

Pertama, zina yang dapat dipidanakan adalah yang berupa perkosaan. Itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, yang mana perkosaan yang dimaksud adalah pemaksaan hubungan seks dengan ancaman dan kekerasan. Pelakunya dapat dipenjara paling lama 12 tahun.

Hal ini jelas dilarang karena terjadi pelanggaran otonomi tubuh si korban. Di samping itu, korban melakukan hubungan seks tanpa ada konsensus. Jelas itu melanggar moral.

KUHP

Pasal 285

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.


Oke, aku paham kalau itu. Apa ada lagi?

Di pasal 286 KUHP, dilarang juga untuk melakukan hubungan seks ketika pasangan kita sedang pingsan atau tidak berdaya. Jadi, kalau pacar kamu sedang mabuk berat, pingsan, atau tidak sadarkan diri – termasuk juga sedang tidur – kamu tidak boleh menyetubuhinya, sekalipun dia itu pacar kamu. Hukuman pidananya adalah penjara paling lama 9 tahun. Tapi, kalau sampai menyebabkan luka-luka, dapat dipidana penjara sampai dengan 12 tahun.

Dalam keadaan seperti tadi (mabuk, pingsan, tidur, tidak sadarkan diri, dan semacamnya) pasangan kamu tidak dapat memberikan konsensus. Walaupun dia pacar kamu, tidak selamanya dia setuju untuk berhubungan seks dengan mu. Tidak setiap saat dia mau untuk melakukan itu. Makanya, kalau kamu menyetubuhinya ketika dia pingsan atau tidak berdaya, sama saja kamu memperkosanya. 

KUHP

Pasal 286

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 

 

Baiklah. Itu tadi kan dua contoh zina tanpa konsesnsus dan wajar kalau itu dilarang dalam hukum. Tapi, apa ada zina konsensual yang dilarang hukum?

Pada dasarnya, zina yang konsensual itu tidak dilarang secara hukum atau tidak memiliki konsekuensi hukum (legal consequences), kecuali pada dua kondisi.

Kondisi pertama adalah zina dilakukan oleh orang yang sudah menikah atau perselingkuhan. Jika seorang suami atau istri berselingkuh (berhubungan seks), dia bisa dipidana. Hal ini diatur dalam pasal 284 KUHP.

Suami atau istri yang diselingkuhi harus melakukan tuntutan yang disertai bukti yang cukup kuat agar dapat mempidanakan pasangannya.  Penuntutan itu pun harus diikuti permohonan perceraian dalam kurun waktu 3 bulan.   

KUHP

Pasal 284

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.


Kamu sebelumnya bilang bahwa pernikahan itu ranah privat. Namun, kenapa negara bisa ikut campur di kondisi tersebut?

Dalam ranah privat seperti perkawinan, negara hanya bisa ikut campur kalau diminta pihak-pihak yang terlibat. Berdasarkan pasal 284 ayat (2) KUHP, penuntutan dilakukan jika ada pengaduan dari istri atau suami yang diselingkuhi. Itu disebut delik aduan.

Mr. Drs. E. Utrecht dalam bukunya, Hukum Pidana II, mengatakan bahwa penuntutan dalam delik aduan bergantung pada persetujuan korban, yang mana dalam hal ini adalah istri atau suami yang diselingkuhi. Artinya polisi tidak dapat bertindak tanpa ada pengaduan dari korban. 

KUHP

Pasal 284

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

 

Baiklah. Tadi kamu bilang ada dua kondisi zina konsensual yang bisa dipidana. Lalu, yang satu lagi apa?

Yang kedua adalah zina dengan anak-anak. Hal ini diatur dalam UU No. 35 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan anak-anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun.

Di dalam pasal 26, dikatakan bahwa orang tua harus mencegah perkawinan anak. Artinya, perkawinan konsensual yang dilakukan oleh anak-anak (orang yang belum 18 tahun) itu dilarang. Itu merupakan kewajiban dan tangung jawab orang tua untuk mencegahnya.

Kemudian, di pasal 76D ada larangan melakukan perkosaan terhadap anak-anak. Semua pemaksaan hubungan seks, baik dengan kekerasan dan ancaman, terhadap anak-anak memiliki konsekuensi pidana.

Sanksi pidananya diatur dalam pasal 81 yaitu pidana penjara 5 sampai 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 M. Akan tetapi, jika pelakunya itu adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, hukumannya dapat ditambah sepertiga dari yang seharusnya tersebut. 

UU No. 35 Tahun 2014

Pasal 26

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Pasal 76D

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 81

(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Tunggu…Artinya kalau aku punya pacar yang masih 17 tahun lalu aku sama dia berhubungan seks, mau sama mau, itu tetap bisa dipidana?

Betul, kamu tetap bisa dipidana. Anak-anak dinilai belum bisa memberikan konsensus untuk berhubungan seks. Anak-anak di bawah 18 tahun banyak yang belum mengetahui dan mengerti betul risiko berhubungan seksual. Itu sebabnya hubungan seks dengan anak-anak dilarang untuk menghindari risiko serta konsekuensi yang dapat terjadi. 

Barusan kamu bilang ada risiko dan konsekuensi dari berhubungan seks. Kenapa tidak sekalian saja negara mengaturnya untuk mencegah risiko dan konsekuensi tersebut?

Begini, perlu diperhatikan dengan lebih cermat bahwa risiko yang dimaksud adalah risiko berhubungan seks. Maka, risiko itu tidak hanya ada pada pelaku zina, tetapi juga pada pasangan yang sudah menikah.

Ambil contoh risiko kesehatan, misalkan penularan penyakit seksual. Untuk mencegah penularan penyakit seksual tersebut, negara membuat aturan yang melarang hubungan seks di luar pernikahan. Hukum tersebut tidak akan efektif. Kenapa? Sebab pasangan menikah tetap akan terkena penyakit seksual tersebut lantaran mereka tetap berhubungan seksual. Maka dari itu, aturan tersebut jadi tidak tepat sasaran.


Kalau begitu, bukan kah cukup dengan ikut melarang hubungan seks pasangan suami-istri – jadi yang dilarang itu pelaku zina dan pasangan menikah?

Hahaha…Itu tidak bisa dilakukan. Perkawinan itu adalah ranah perdata, bukan pidana. Kemudian, gak mungkin juga negara melarang pasangan suami-istri untuk tidak berhubungan badan.

 

Oh iya hahaha…Aku lupa. Tapi kalau gitu, gimana caranya supaya kita bisa menghindari risiko hubungan seks tadi?

Wah kalau soal itu, kita lanjut lain waktu aja ya.


Sebelumnya

Selanjutnya

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar