The Architecture of Love: Kisah Cinta Manis dan Dewasa di Kota Penuh Gedung-Gedung Indah yang Menyimpan Cerita

Identitas Film

Judul

:

The Architecture of Love

Sutradara

:

Teddy Soeriaatmadja

Produser

:

Chand Parwez Servia, Riza

Tanggal rilis

:

30 April 2024

Rumah produksi

:

Starvision, Karuna Pictures, Legacy Pictures

Penulis naskah

:

Alim Sudio (screenplay), Ika Natassa (buku)

Durasi tayang

:

1 jam 50 menit

Pemeran

:

Putri Marino, Nicholas Saputra, Jerome Kurnia, Jihane Almira, Omar Daniel

Genre

:

Drama romantis

 

Sinopsis

Malam itu, tak mungkin bisa dilupakan Raia Risjad (Putri Marino). Malam yang seharusnya membahagiakan, yang seharusnya menjadi batu loncatan bagi kariernya sebagai penulis novel, justru menjadi malam yang sangat traumatis ketika dia memergoki suaminya berselingkuh.

Raia lalu kabur ke New York, kota besar dan asing, dengan harapan dapat memulihkan diri. Akan tetapi, dia mengalami writer’s block ‘kebuntuan menulis’[1] sehingga dia tak dapat menulis. Semua idenya lenyap sebab selama ini suaminyalah yang menjadi inspirasinya.

Sampai akhirnya dia bertemu River Yusuf (Nicholas Saputra), arsitek asal Indonesia yang tampak misterius. River mengajak Raia melihat New York dengan cara yang berbeda. Katanya setiap gedung punya cerita, dan itu membangkitkan kembali ide-ide di pikiran Raia.

Namun, setiap kali Raia ingin mendekati River, pria tersebut selalu menjaga jarak seolah ingin menyembunyikan sesuatu. Sebenarnya, ada apa dengan River? Mengapa dia selalu pergi dan menjauh dari Raia?

 

Kelebihan

Film ini adalah adaptasi dari novel best-selling karya Ika Natassa yang berjudul sama. Aku belum pernah membaca novelnya sih—walau sudah masuk ke to be read-ku sejak lama (mohon doanya supaya bisa segera baca bukunya ya)—maka aku tak bisa membandingkan keduanya.

Poin menarik utama dari film ini tentu saja adalah latar tempatnya. Dengan mengambil latar di New York, film ini memiliki atmosfer cerita yang berbeda dari kebanyakan film romansa lain. Sebenarnya, yang lebih tepat adalah caranya menjadikan New York tak hanya sebagai latar, tetapi juga menjadi bagian penting dalam narasi dan perkembangan hubungan antara kedua tokoh utama. “Setiap gedung punya cerita”, kata River, lalu dia menyampaikan kisah gedung-gedung tersebut kepada Raia. Itulah bagian yang sangat penting dari hubungan kedua tokoh tersebut.

Lebih dari itu, entah mengapa sepertinya ada ikatan romantis antara New York dengan profesi arsitek. Kota tersebut begitu modern dengan lanskap gedung-gedung pencakar langitnya. Banyak bangunan yang terlihat memukau menghiasi cakrawalanya. Di serial How I Met Your Mother dan film 500 Days of Summer, kedua tokoh utamanya juga seorang arsitek dan mereka memiliki impian merancang bangunan yang kelak turut menghiasi cakrawala kota tersebut. Oleh karena itu, menurutku pribadi, pemilihan latar New York tak asal karena sekadar kotanya cantik; melainkan ada asosiasi antara kota tersebut dengan profesi arsitek. Tak heran ketika River menuturkan kisah-kisah gedung-gedung di New York kepada Raia, kalian akan merasa bahwa ceritanya tidak mungkin sama jika latarnya di kota lain.

Selain latarnya, tentu saja perkembangan hubungan Raia dan River juga menjadi daya tarik film ini. Sebenarnya, film ini lumayan unik karena merupakan kisah cinta antara seorang janda dan duda, yang lumayan jarang ya ada di film-film lokal, apalagi dengan pendekatan yang seperti ini. Oleh karena kedua tokohnya sudah dewasa dan sama-sama pernah menjalani rumah tangga, romansanya tidak lagi penuh gombal dan basa-basi. Meski begitu, tetap saja terasa manis dan personal. Tentu saja bagian yang paling kusuka adalah ketika Raia dan River berkeliling New York bersama ke bangunan-bangunan yang memiliki cerita-cerita unik.

Yang menarik lagi dari hubungan mereka adalah adanya cinta segitiga (atau segiempat ya?) yang membumbui cerita, tetapi bukan cinta segitiga yang tipikal. Biasanya, ketika ada satu tokoh perempuan yang diperebutkan dua atau lebih tokoh laki-laki, akan ada persaingan sengit, rebutan, dan semacamnya. Akan tetapi, itu tidak ada di film ini—yang membuatku agak sedikit terkejut. Kesan hubungan asmara yang dewasa film ini menjadi makin kuat karenanya.

Ketika membicarakan film The Architecture of Love, tentu harus membicarakan pula akting kedua pemeran utamanya. Putri Marino sebagai Raia tampil sangat luar biasa. Kualitas akting dia sungguh mengagumkan! Di tahun 2024 ini aku menonton beberapa film yang dia bintangi, tetapi tak ada sisa-sisa ketika dia beralih dari satu peran ke peran lain. Maksudku, ketika di film ini, dia dapat menjadi Raia Risjad sepenuhnya, tanpa ada sedikitpun karakter yang tersisa dari perannya sebelumnya. Melalui gelagatnya, dialognya, dan cara dia berbicara dan menatap, Putri Marino sukses memerankan sosok Raia.

Di sisi lain, Nicholas Saputra sebagai River juga tidak kalah. Nicholas Saputra berhasil memerankan sosok River yang penuh misteri dan suka menghilang alias ghosting[2] ‘menggantung’. Dia pun membuktikan kemampuan aktingnya melalui peran River yang memiliki jangkauan emosi yang luas di film ini. Sosok River yang memiliki trauma, duka, dan kesedihan ditampilkan dengan baik sekali olehnya.

Selain kedua tokoh utama tersebut, para tokoh pendukungnya pun mendapatkan peran dan porsi yang pas. Ada Aga (Jerome Kurnia), Erin (Jihane Almira), dan Diaz (Omar Daniel) yang masing-masing memiliki peran dan cerita sendiri yang saling berhubungan dengan Raia dan River. Walaupun sebenarnya, peran mereka bisa ditingkatkan sih, tetapi ya sudah cukuplah.

 

Kelemahan

Kelemahan yang kurasakan dari film ini sebenarnya lebih ke hal-hal teknis. Contohnya adalah ketika adegan kecelakaan mobil. Adegannya disajikan dengan datar, tidak mengagetkan bagiku. Padahal, kalau menonton drakor, adegan kecelakaan sudah sering dipakai dan selalu terlihat mengejutkan dan menegangkan, yang kupikir seharusnya teknik yang sama bisa ditiru untuk film ini.

Hal lainnya sudah kubilang sebelumnya. Peran para tokoh pendukung mungkin bisa ditingkatkan lagi. Menurutku, cerita mereka sama menariknya dengan cerita Raia dan River, tetapi sedikit sekali porsi mereka untuk eksplorasi. Porsi cerita mereka sekadar cukup untuk ceritanya Raia dan River.

 

Kesimpulan

The Architecture of Love adalah sebuah film romantis dewasa yang memikat dan manis. Dengan menampilkan dua orang yang telah gagal dalam berumah tangga dan menggunakan pendekatan yang terasa lebih dewasa, film ini menghadirkan kisah tentang menemukan cinta, memulihkan trauma, menerima penolakan, dan memaafkan diri sendiri. Latar New York yang digunakan tak hanya sekadar pemanis, melainkan menjadi bagian penting dalam cerita—jika latarnya bukan di New York, kesannya pasti akan berubah. Meskipun ada sedikit kekurangan dalam hal teknis, kalian tetap akan menyukai film ini. Ditambah lagi akting para pemainnya serta penokohannya begitu bagus. Benar-benar sebuah kisah percintaan yang terasa segar dan nyaman. Skor dariku adalah 8/10. Film ini cocok ditonton siapapun yang sudah cukup umur, tentu saja.

Kalian bisa menonton The Architecture of Love di Netflix. Silakan menonton dulu trailer-nya kalau penasaran dengan filmnya.

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!

[1] Kebuntuan menulis adalah sebuah keadaan ketika penulis merasa kehilangan kemampuan menulis atau tidak menemukan gagasan baru untuk tulisannya (sumber: Wikipedia).

[2] Menggantung atau gantung (bahasa Inggris: ghosting) adalah istilah untuk menggambarkan pemutusan komunikasi sepenuhnya kepada pasangan, pacar, atau teman, tanpa memberitahukan alasan di balik sikap tersebut (sumber: Wikipedia). 

Komentar