Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
How to Make Millions Before Grandma Dies: Cerita Menghangatkan dan Mengharukan tentang Cucu dan Nenek—Nonton Ini Harus Siapin Tisu yang Banyak
M
(Putthipong "Billkin" Assaratanakul) adalah seorang pemuda
pengangguran, yang drop out dari kuliahnya, dan kini menjadi game
caster. Seperti kebanyakan anak muda pemalas lainnya, M berharap bisa
mendapatkan uang banyak dengan cara mudah. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai
rencana.
Dia
lalu terinspirasi dari sepupunya yang baru saja mendapat warisan besar dari
mendiang kakek dari keluarga ayahnya. Sepupunya tersebut adalah yang merawat
mendiang kakek mereka di hari-hari terkahirnya, maka sang kakek mewariskan
sebagian besar hartanya kepada sepupunya tersebut. Ingin seperti itu juga, M
merawat nenek dari keluarga ibunya, yang biasa dipanggil Amah (Usha
"Taew" Seamkhum).
Sang
nenek yang didiagnosis penyakit mematikan divonis bahwa usianya tidak akan lama
lagi. M pun berharap bahwa dengan merawat sang nenek di hari-hari terakhirnya,
dia akan mewarisi aset terbesar. Berhasilkah rencana M tersebut, atau dia
menemukan hal lain yang lebih berharga?
Kelebihan
How to Make Millions Before Grandma Dies merupakan film Thailand yang sangat populer tahun
ini. Setelah di awal tahun ada Not Friends (baca reviunya di sini), sekarang ada ini. Tampaknya, film-film Thailand mulai dapat
perhatian lebih banyak dan digemari penonton di tanah air ya.
Popularitas How to Make Millions Before Grandma
Dies sejalan dengan kualitas film ini. Pada dasarnya, film ini adalah
tentang perebutan warisan, sebuah tema yang tidak asing lagi. Ada banyak film
dan sinetron di Indonesia yang mengambil tema itu untuk cerita-cerita drama
keluarga. Akan tetapi, How to Make Millions Before Grandma Dies tidak
seperti itu.
Dalam cerita drama keluarga, ada banyak relasi
keluarga yang bisa diangkat, seperti hubungan suami-istri, orang tua-anak, dan
kakak-adik, tetapi film ini memilih yang agak unik (setidaknya bagiku), yaitu
nenek-cucu. Ini adalah film tentang usaha seorang cucu agar ia mendapatkan
warisan terbesar dari neneknya. Kalau kalian berpikir M ini tidak tahu malu,
aku pun setuju, tetapi hasil akhirnya akan membuat kalian terharu.
Yang perlu di-highlight dari film ini adalah
caranya menampilkan kedekatan dan perkembangan hubungan M dan Amah, neneknya. Di
awal, ketika M mulai pindah ke rumah sang nenek untuk merawatnya, penonton akan
dibuat tertawa dengan interaksi keduanya. Sebagai contoh, (spoiler alert)adegan beli ikan goreng itu saja cukup membuatku tertawa—lucu banget
adegannya. Ada saja cara M mencuri hati Amah, tapi Amah kebal dari segala bujuk
rayu M, hahaha.
Akan tetapi, seiring berjalannya film, penonton
pasti dapat melihat ada perubahan pada keduanya. Amah jadi lebih lembut kepada
M, sedangkan M terlihat mengalami pergeseran motivasi. Hubungan keduanya jadi
lebih dekat dan akrab, terlihat begitu hangat dan membuat tersenyum.
Kedekatan hubungan itu diperkuat oleh scoring dan camerawork-nya.
Scoring film ini sederhana dan menekankan pada naturalisme, seperti
sebagaimana cerita-cerita genre slice of life. Sementara itu, camerawork-nya
pun lebih banyak hanya diam menyorot satu sudut tertentu, lalu menangkap
interaksi tokoh-tokohnya. Camerawork-nya fokus memperlihatkan percakapan
para tokohnya senatural mungkin, yang membuat interaksi mereka terasa lekat. Oleh
karena itu, kedekatan M dan Amah dapat lebih terasa—tidak ada dramatisasi, tetapi
tetap terasa emosional.
Omong-omong, sebagian besar jalan cerita film ini
terinspirasi dari pengalaman sang penulis skrip ketika ia merawat neneknya di
masa pandemi COVID-19 dulu. Maka dari itu, tidak heran interaksi M dan Amah terasa
begitu membumi dan lekat dengan pengalaman banyak orang. Aku teringat salah
satu kalimat yang sangat berkesan dari salah satu tokohnya (kalau tidak salah
bunyinya seperti ini): “Yang dibutuhkan orang tua adalah waktu. Waktu dari anak
cucunya, tetapi itu yang sulit sekali mereka dapatkan.”
Itu bisa menjadi bahan perenungan bagi kita semua. Seberapa
sering kita menjenguk dan menanyakan kabar orang tua kita? Seberapa lama kita menghabiskan
waktu dengan orang tua kita ketika kita menjenguknya? Seberapa berkualitasnya
waktu itu?
Selain itu, film ini membuatku merenungkan kehidupan
para lansia. Mereka sudah sangat tua yang berarti secara fisik mereka sudah
tidak lagi sekuat dulu. Mereka telah melihat banyak hal, mengalami banyak hal
selama hidup, tetapi dunia di hadapan mereka kini berubah dengan amat cepat,
menghilangkan sebagian besar potongan-potongan kecil kenangan dari masa muda
mereka. Sebagian besar orang-orang yang mereka kenal sudah tiada, dan mereka
pun menunggu giliran mereka. Jika kalian berpikir itu hidup yang depresif, mungkin
begitulah kehidupan lansia (meskipun aku yakin tidak semua begitu, dan akan berbeda-beda
di level individu ya). Anak dan cucu merekalah yang menjadi sumber keceriaan,
tetapi itu pun kadang sulit sekali untuk mereka miliki karena kesibukan anak
cucu mereka tersebut. Salah satu kalimat yang diucapkan Amah ketika dia ditanya
apakah dirinya kesepian begitu membekas di pikiranku (kalau tidak salah begini
bunyinya): “Tidak, aku tidak kesepian. Tapi waktu tahun baru, kalian semua
datang dan membawa banyak makanan, lalu besoknya kalian pulang, dan aku harus
menghabiskan semua makanan yang tersisa itu sendirian, aku merasa sedih.” Karena
merenungkan itu semua, aku jadi makin merindukan nenek kakekku, hehehe.
Baiklah, mari kembali membahas film ini. Sepanjang
proses perkembangan hubungan M dan Amah tersebut, ada banyak hal terjadi.
Pembuat film sepertinya ingin menunjukkan berbagai hal mengenai nilai keluarga,
terutama di Thailand. Meskipun tidak semenonjol relasi M dan Amah, film ini
juga menunjukkan relasi Amah dengan anak-anaknya: Kiang (Sanya "Duu"
Kunakorn), Chew (Sarinrat "Jear" Thomas), dan Soei (Pongsatorn
"Phuak" Jongwilas). Melalui tokoh-tokoh tersebutlah M mengalami
perkembangan karkater.
Lebih daripada itu, aku rasa film ini ingin
memperlihatkan kompleksitas hubungan keluarga, khususnya keluarga Asia yang
terkenal kaku. Film ini memperlihatkan bagaimana Amah memperlakukan keluarganya—ada
yang dengan lembut dan ada yang dengan tegas, tetapi semua dia lakukan dengan
kasih sayang. Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana balasan yang Amah
terima—ada yang membalasnya dengan kasih sayang dan pengabdian, ada yang dengan
ungkapan kecewa, ada yang dengan pencampakkan, dan ada yang dengan pengkhianatan.
Dengan pendekatan film ini yang serba naturalis dan sederhana, kita belajar betapa
beragamnya bentuk relasi antaranggota keluarga dan itu tidak selalu indah. What
sad is that it is happens in real life.
Setelah banyak hal yang kita lihat sepanjang film,
setelah hubungam M dan Amah bertransformasi menjadi lebih akrab dan hangat, kita
tiba di penghujung film yang merupakan klimaks cerita. Di 30 menit terakhir,
bobot emosi film terus naik sampai pada akhir cerita. Itu adalah akhir yang begitu
tear-jerking karena di akhir film semua emosi yang telah dibangun sejak
awal ditumpahkan semua. Kalian harus menyiapkan tisu ketika menontonnya ya.
Berikutnya, aku ingin me-highlight ini sebab
aku pikir ini penting, dan maaf ini akan spoiler (silakan dilewati jika
tidak mau membacanya ya). Ada banyak cerita drama keluarga soal perebutan
warisan yang mengangkat perselisihan antara orang tua dan anak. Premis cerita seperti
itu tidak jarang kita temukan, baik di film-film lokal maupun luar. Pada
film-film tersebut, kebanyakan cerita berakhir dengan rekonsiliasi orang tua
dan anak, tetapi ada yang rekonsiliasinya terjadi ketika si orang tua sudah
meninggal, sudah terlambat. Aku tidak suka yang seperti itu. Mengapa harus saat
sudah begitu terlambat mereka baru berbaikan? Mengapa harus segengsi itu untuk
meminta maaf? Akan tetapi, itu tidak terjadi di film ini. (Spoiler alert)
proses rekonsiliasi tersebut terjadi ketika Amah masih hidup. Oleh karena itu,
aku merasa lebih lega karena Amah dapat pergi tanpa membawa beban, dan anak
cucunya dapat melanjutkan hidup dengan lega.
Oh iya, ini di luar reviu, tetapi aku ingin
menyampaikan ini. Ada orang-orang yang tidak menyukai film ini, tidak merasa relate
dengannya karena tidak suka karakter M yang dari awal sampai akhir tetap
pengangguran, tidak ada perkembangan. Aku hargai jika kalian tidak relate dengan
itu, karena relate atau tidak adalah pengalaman personal. Namun, aku
mungkin ingin mengklarifikasi sedikit: film ini adalah tentang hubungan cucu
dan neneknya yang hidupnya tidak lama lagi. Jadi, wajar jika tidak ada adegan
yang menampakkan M berubah jadi mencari kerja atau apalah, sebab memang itu
bukan fokusnya. Perkembangan karakter yang dialami M adalah perubahan
motivasinya merawat Amah, dan mengenai beragamnya relasi antaranggota keluarga.
Itulah fokus keseluruhan film.
Kelemahan
Aku
agak bingung menemukan kelemahan film ini, karena aku rasa jalan ceritanya dari
awal sampai akhir bagus sekali. Akan tetapi, jika ditanya apa yang aku kurang
suka dari film ini, aku akan menjawab: tidak ada momen yang memperlihatkan
interkasi antara anak-anaknya Amah. Menurutku, walaupun fokusnya adalah antara
M dan Amah, akan lebih baik jika ada momen anak-anaknya Amah saling
berekonsiliasi, mengungkapkan apapun yang terpendam dalam diri mereka.
Selain
itu, aku juga sebenarnya ingin lebih banyak melihat adegan Amah dan M mengenang
masa lalu, ketika M masih kecil. Tidak perlu dibuat adegan flashback,
cukup dengan dialog saja. Menurutku, itu bisa memperkuat keintiman di antara
nenek dan cucu tersebut.
Kesimpulan
How
to Make Millios Before Grandma Dies adalah film yang begitu
menghangatkan hati. Film Thailand satu ini memperlihatkan kedekatan hubungan
antara cucu dan neneknya dengan begitu lekat dan membumi, banyak orang bisa
merasa relate dengannya. Film ini pun dapat menjadi bahan perenungan
tentang kehidupan para lansia serta kompleksitas relasi antaranggota keluarga,
khususnya dalam konteks ini adalah keluarga etnis Cina Thailand. Meskipun jalan
ceritanya masih bisa ditingkatkan lagi, secara keseluruhan film ini sangat
bagus. Kalian yang menontonnya akan merasa kangen dengan orang tua, kakek
nenek, atau anak cucu kalian. Jadi, skor dariku adalah 9/10 untuk film satu
ini. Sekali lagi, kalau mau menonton film ini, sebaiknya kalian menyiapkan tisu
yang banyak ya.
Kalian dapat menonton film ini secara streaming di Netflix. Silakan menonton trailer-nya di bawah ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar