Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
The Half of It: Film Romansa Remaja yang Filosofis dan Sederhana
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas
Film
Judul
:
The
Half of It
Sutradara
:
Alice Wu
Produser
:
Anthony
Bregman, M. Blair Breard, Alice Wu
Tanggal
rilis
:
1
Mei 2020
Rumah
produksi
:
Likely
Story
Penulis
naskah
:
Alice
Wu
Durasi
tayang
:
1
jam 44 menit
Pemeran
:
Leah
Lewis, Daniel Diemer, Alexxis Lemire
Genre
:
Coming
of age, komedi romantis
Sinopsis
Ellie
Chu (Leah Lewis) adalah seorang gadis biasa. Keluarganya adalah imigran dari
Tiongkok. Dia tinggal di kota kecil bernama Squahamish, sebuah kota yang sama sekali
tidak mengagumkan. Dia tidak populer di sekolahnya. Dia pintar—sangat
pintar—dan diam-diam menggunakan kepintarannya untuk membuka jasa mengerjakan
PR. Semua berjalan baik, tanpa keributan.
Kemudian
suatu hari, seorang teman sekolahnya, Paul Munsky (Daniel Diemer), memintanya
untuk membuatkannya surat cinta kepada Aster Flores (Alexxis Lemire). Ellie
mulanya menolak karena menurutnya, surat itu sesuatu yang personal dan harus
ditulis sendiri. Selain itu, juga karena Aster adalah gadis yang diam-diam dia
sukai. Akan tetapi, karena kepepet dan butuh uang segera, Ellie menerima
tawaran Paul.
Awalnya,
Ellie hanya akan menulis satu surat. Namun, ketika tahu Aster membalas,
terjalinlah korespondensi antara Ellie yang mengatasnamakan Paul dengan Aster.
Bisakah Ellie tetap profesional menjalankan kesepakatannya dengan Paul tanpa
membiarkan perasaannya ikut campur?
Kelebihan
Sudah
cukup lama aku tidak melihat film seperti ini: sebuah film percintaan remaja
yang terasa manis, lugu, dan hangat. Sepemantauanku, tren film remaja beberapa
tahun belakangan, terutama film Barat, banyak yang mengusung tema menakalan
remaja dan sebagainya. Aku sudah bosan dengan yang begitu. Maka dari itu, The
Half of It boleh dibilang merupakan relieve bagiku.
Pertama-tama,
yang aku suka dari film ini adalah pembukanya. Film remaja mana lagi yang
dibuka dengan monolog yang menceritakan mitos cinta sejati versi Plato? Dari
situ saja, aku sudah yakin akan menyukai film ini. Ini akan kubahas lebih
lanjut nanti ya.
Kemudian,
seperti yang telah kubilang sebelumnya, film ini adalah film remaja yang terasa
banget remajanya. Kebanyakan film remaja di Netflix meseksualisasi remaja, yang
biasanya membuatku malas duluan. Namun, The Half of It berhasil
menampilkan citra remaja yang lugu dan lucu. Aku jadi teringat dengan film To
All the Boys I’ve Loved Before, apalagi keduanya sama-sama mengusung tema
surat cinta; dan kedua film tersebut menampilkan kisah cinta remaja yang manis serta
lekat, tetapi tetap memiliki emosi yang kompleks.
Meskipun
temanya adalah kisah cinta remaja, film ini tidak sama sekali terkesan klise.
Malahan, aku salut dengan usaha untuk memaknai cinta. Dengan pembukaan yang
menceritakan mitos cinta sejati dari Yunani kuno, film ini berusaha
memperlihatkan seperti apa cinta itu. “Love is desire and pursue of whole”
merupakan kutipan dari mitos tersebut yang dituturkan oleh Plato. Salah satu
kutipan mengenai cinta yang menurutku paling tepat untuk menjelaskan cinta itu
sendiri. Dan menariknya, dalam film ini ada kutipan mengenai cinta yang menurutku
sama tepatnya:
“Love isn’t patient and
kind and humble. Love is messy and horrible and selfish and bold. It’s not
finding your perfect half. It’s the trying and the reaching and failing. Love
is being willing to ruin your good painting… for the chance at a great one.”
Hal lain
yang aku sukai dari The Half of It ialah aspek teknisnya. Aku suka
caranya menampilkan shot yang mengesankan keintiman antartokoh, (spoiler
alert) seperti ketika Ellie dan Aster menghabis waktu bersama di tempat
rahasianya Aster, atau ketika Ellie menceritakan tentang keluarganya kepada
Paul, atau bahkan ketika ayahnya Ellie mengobrol dengan Paul. Apalagi, dengan scoring-nya
yang minimalis, kesan intim tersebut terasa makin kuat. Aku bisa langsung
merasa lekat dengan tokoh-tokohnya.
Berikutnya,
aku sangat menyukai chemistry Ellie dan Paul. Aku suka melihat hubungan
mereka perlahan berkembang dari rekan bisnis menjadi teman. Aku suka melihat
persahabatan keduanya yang terasa tulus. Aku suka cara mereka mendukung satu
sama lain. Aku suka cara mereka bisa terbuka tentang diri mereka ke satu sama
lain. Interaksi mereka berdua terasa hangat dan menyenangkan. Yang lebih
penting lagi, persahabatan mereka mendorong keduanya untuk menjadi pribadi yang
lebih baik.
Selain
Ellie dan Paul, tentu aku juga suka dengan Ellie dan Aster. Meskipun Ellie
mengobrol dengan Aster mengatasnamakan Paul, chemistry mereka tetap
memikat. Obrolan mereka begitu intim, walau hanya lewat surat dan pesan chat.
Cara mereka mengobrol pun menunjukkan sekali bahwa mereka sefrekuensi. Dengan
car aitu, aku bisa merasakan kesan romantis dari mereka berdua. Tanpa perlu
melalui pelukan, ciuman, apalagi hubungan badan—yang biasanya dimunculkan dalam
kebanyakan film remaja Netflix—hubungan Ellie dan Aster terasa sangat romantis.
Omong-omong,
in case kalian heran—iya, Ellie dan Aster itu sama-sama perempuan dan
Ellie seorang lesbian. Namun, jangan langsung berpikir, “Ah, ini mah film yang
mau mengampanyekan LGBTQI+ lagi, males ah”. Enggak, film ini tidak begitu. Yang
aku suka dari The Half of It adalah walaupun film ini ingin mengadvokasi
hak kelompok LGBTQI+, film ini tidak melakukannya dengan cara yang menuntut.
Maksudku, banyak film LGBTQI+ yang terkesan “marah” dan “menuntut”—itu
pendekatan yang terkadang membuat penonton tidak minat duluan.
Akan
tetapi, The Half of It mengadvokasi kelompok LGBTQI+ dengan cara yang
lebih “halus”. Di dalam film ini, tidak ada adegan Ellie meminta agar
keluarganya atau teman-temannya supaya memvalidasi perasaannya sebagai seorang
lesbian. Justru, dalam film ini hanya ada Ellie yang ingin agar perasaannya
kepada Aster dimengerti. Iya, pendekatannya itu lebih personal—tidak
terang-terangan mengadvokasi kelompok LGBTQI+ secara umum. Di sisi lain,
menghubungkan kembali dengan usaha film ini untuk memaknai cinta, The Half
of It tampaknya ingin menyampaikan bahwa cinta, dalam arti menginginkan dan
mengejar keutuhan dan kebahagiaan, itu tidak memandang gender dan jenis kelamin;
it is about the right person.
Terakhir,
aku suka dengan adegan penutupnya. Pertama, (spoiler alert) aku suka
melihat ketika Paul dan Ellie seperti mereka ulang adegan dari sebuah film yang
pernah mereka tonton bersama. Sebelumnya, Ellie mengatakan bahwa kedua tokoh
dalam film tersebut konyol karena melakukan adegan tersebut; tapi pada
akhirnya, mereka melakukan adegan itu juga dan Ellie merasa senang yang
terlihat dari senyumnya. Kedua, aku suka adegan sederhana yang menampakkan
orang-orang yang sedang menatap ke luar jendela. Adegan itu menunjukkan
orang-orang yang sedang mencari cinta mereka, mencari keutuhan mereka. Itu
merupakan cara yang tepat untuk menutup film ini, yang dibuka dengan narasi
mitos cinta sejati. What a well-written story!
Kelemahan
Kelemahan
yang aku rasakan dari film ini adalah penyelesaiannya yang terasa diburu-buru. Mungkin,
itu karena semua masalahnya baru memuncak di hampir 30 menit terakhir, sehingga
hanya tersisa sedikit waktu untuk tahap resolusi. Akhirnya, penyelesaian
masalahnya bisa dibilang hanya begitu saja. Bahkan, akhirnya agak menggantung
bagiku. Seandainya masih ada beberapa
menit lagi, mungkin penyelesaiannya dapat diceritakan dengan lebih baik.
Kesimpulan
The
Half of It adalah salah satu film coming of age yang
patut ditonton semua orang. Film percintaan remaja ini terasa remaja
banget—tidak meseksualisasi remaja secara berlebihan, tidak menunjukkan
kenakalan remaja, dan juga tidak memperlihatkan drama remaja yang lebay. Alih-alih,
film ini berupaya mengeksplorasi makna cinta. Chemistry yang bagus
antartokohnya sangat mendukung narasi cerita yang terasa hangat di hati ini,
walaupun tahap resolusinya agak terburu-buru dan datar. Di sisi lain, film ini
pun mampu mengadvokasi hak kelompok LGBTQI+ melalui pendekatan yang terkesan
lebih personal. Aku memberikan skor 9/10 untuk film ini. Pokoknya, film ini
harus masuk watchlist kalian!
Kalian bisa menonton The Half of It di Netflix. Silakan tonton trailer filmnya di bawah ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar