Dua Hati Biru: Sebuah Sekuel yang Lebih Dewasa dan Mendidik (Cocok Ditonton Pasangan yang Ingin Menikah)

Identitas Film Judul : Dua Hati Biru Sutradara : Dinna Jasanti, Gina S. Noer Produser : Chand Parwez Servia, Gina S. Noer, Riza, Sigit Pratama Tanggal rilis : 17 April 2024 Rumah produksi : Starvision, Wahana Kreator Penulis naskah : Gina S. Noer Durasi tayang : 1 jam 46 menit Pemeran : Angga Yunanda, Aisha Nurra Datau, Farrell Rafisqy, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Lulu Tobing, Keanu AGL, Maisha Kanna Genre : Drama keluarga, romantis   Sinopsis Setelah empat tahun berkuliah dan bekerja di Korea, Dara (Aisha Nurra Datau) kembali ke Indonesia demi bisa tinggal bersama suaminya, Bima (Angga Yunanda), dan putranya yang masih kecil, Adam (Farrell Rafisqy). Namun, kedatang

Winter Tea Time: Ketika Alice bukan Terjebak di Wonderland, tapi di dalam Time Loop—Sebuah Cerita Romantasy yang Ringan dan Penuh Hikmah

Identitas Buku

Judul

:

Winter Tea Time

Penulis

:

Prisca Primasari

Penerbit

:

Cabaca

Tahun terbit

:

2023

Cetakan

:

I

Tebal

:

258 halaman

Harga

:

Rp99.500,-

Genre

:

Fantasi romantis, low fantasy, new adult

 

Tentang Penulis

Prisca Primasari adalah seorang penulis asal Indonesia yang lahir pada 22 Februari 1986 di Surabaya. Dia sudah menulis sejak duduk di bangku SD. Hobinya adalah menulis, traveling, membaca semua ragam karya sastra, menonton film dan anime, serta mendengarkan musik. Nama Prisca Primasari sudah dikenal luas di dunia kepenulisan Indonesia berkat karya-karyanya yang luar biasa. Beberapa buku yang ditulisnya adalah Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011), Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa (2012), Evergreen (2013), Paris: Aline (2013), Priceless Moment (2014), French Pink (2014), Purple Eyes (2016), Heartwarming Chocolate (2016), Love Theft (2017), Lovely Heist (2018), Heavenly (2021), dan Winter Tea Time (2023). Buku terbarunya dengan judul Scarlet—yang merupakan spin-off dari buku Love Theft dan Lovely Heist—akan segera terbit pada tahun akhir tahun 2023.

 

Sinopsis

London, 14 Januari 1996

Itu adalah hari ulang tahun Celia Willow yang kedua puluh satu, yang juga adalah harinya yang sangat buruk. Dia berencana merayakan ulang tahunnya dengan mengadakan pesta teh bertema Alice in Wonderland, tetapi tidak ada temannya yang datang—kecuali satu. Hanya satu orang yang datang, yaitu Hayden Forests, tetangganya sekaligus temannya sejak kecil. Celia amat kecewa karena pestanya tak sesuai harapan, lalu dia langsung beranjak tidur.

Ketika dia terbangun, Celia mendapati dirinya kembali ke hari yang sama. Dirinya terjebak dalam perulangan waktu (time loop). Celia terbangun pada tanggal 14 Januari berulang-ulang kali. Celia frustrasi menghadapi situasi itu, tetapi tidak ada yang bisa membantunya. Hayden, satu-satunya teman yang bisa diandalkannya tidak percaya pada hal di luar nalar dan selalu menunut penjelasan saintifik. Tidak mungkin Hayden akan percaya dengan masalah time loop ini. Biar bagaimanapun, Celia harus meyakinkan Hayden untuk membantunya ke luar dari kutukan waktu tersebut.

 

Kelebihan

Pertama-tama, dari fisik bukunya, aku suka sekali. Aku beli yang hardcover—dan kualitasnya oke. Kemudian, aku juga beli dengan freebies berupa stiker dan pembatas buku yang tampak lucu sekali. Aku suka gambar sampulnya yang sederhana, bergaya vintage bertemakan Alice in Wonderland. Ilustrasi Celia dan Hayden yang ada di dalamnya juga tampak menggemaskan dan manis, seperti ilustrasi di light novel atau manga. The credit goes to Kak Diwasandhi sebagai desainer sampul dan ilustratornya.

Kemudian, untuk ceritanya, Winter Tea Time mengambil tema time loop ‘perulangan waktu’. Ini adalah tema yang menurutku sulit dieksekusi, tetapi Kak Prisca Primasari bisa mengeksekusinya dengan baik di novel ini. Dalam cerita bertema perulangan waktu, harus ada sekuens yang diulang beberapa kali. Itu tricky menurutku karena ketika terlalu sering diulang akan memunculkan kejenuhan bagi pembaca sehingga pengulangan sekuensnya harus pas agar menimbulkan kesan frustrasi yang sesuai dengan yang dirasakan si tokohnya.

Dalam hal ini, Kak Prisca Primasari sudah berhasil melakukannya. Sekuens yang diulang-ulang tersebut terutama paling terasa di beberapa bab pertama, kalau tidak salah sampai bab lima atau enam. Di situ, berulang kali diceritakan bagaimana Celia menjalani hari ulang tahunnya: (spoiler alert) bangun pagi–merapihkan rumah–mengadakan pesta ulang tahun–kecewa karena tidak ada yang datang–tidur. Sekuens tersebut diulang beberapa kali di bab-bab pertama, tetapi karena ada peristiwa-peristiwa berbeda di antara sekuens tersebut pada tiap linimasa (timeline), selalu ada hal baru pada plotnya. Kalian juga tak perlu khawatir akan membaca peristiwa yang sama berulang kali. Ketika cerita makin bergulir, bagian tersebut akan dilewati karena nantinya Celia mengambil langkah yang berbeda. Aku paham mungkin kalian tidak menangkap maksudku—maka sebaiknya kalian baca sendiri ya, hahaha.

Baiklah, maksudku adalah penyusunan alur seperti itu rupanya efektif untuk membuatku tertarik pada ceritanya dan bisa menikmati proses membacanya. Akibat sekuens yang sama diulang beberapa kali di awal, aku jadi ikut merasakan frustrasinya Celia, seperti “mengapa sih diulang terus?”. Kemudian, karena pada tiap linimasa ada hal baru yang dilakukan Celia, ada kesan cerita itu ‘berjalan’ meski sebenarnya berulang. Kemudian, di babak akhir cerita, tentu pembaca tidak akan bosan karena tidak ada lagi sekuens berulang tersebut akibat langkah berbeda yang diambil Celia.

Selain karena plotnya yang disusun rapih, buku ini juga menarik karena karkater Celia. Aku pikir, aku dan Celia bisa berteman. Seperti Celia, aku juga suka minum teh, kue-kue manis, dan benda-benda vintage. Aku juga suka pergi ke mana-mana sendirian dan membaca buku. Pasti kami berdua bisa akrab, hahaha.

Yang membuatku tertarik padanya adalah perkembangan karakternya. Pada kebanyakan cerita perulangan waktu, si protagonis akan mengalami perkembangan karakter yang signifikan yang membuatnya dapat keluar dari perulangan waktu tersebut, seperti pada film Groundhog Day yang disebutkan dalam buku ini. Namun, karena aku belum pernah menontonnya, aku akan membandingkan buku ini dengan film Happy Death Day saja.

Baik di Happy Death Day dan di Winter Tea Time, kedua protagonisnya adalah perempuan yang sama-sama terjebak dalam perulangan waktu di hari ulang tahun mereka. Bedanya adalah Theresia dari Happy Death Day adalah perempuan yang menyia-nyiakan hidup dan melakukan hal-hal tidak bermanfaat; sementara Celia dari Winter Tea Time memiliki kepribadian yang sangat positif dan penuh keceriaan. Kontras bukan? Akan tetapi, keduanya juga sama-sama melewatkan sesuatu yang penting dalam hidup mereka.

Inilah yang menarik: bagi karakter seperti Theresia yang memang bad girl, sangat wajar dan mudah ditebak perkembangan karakternya menjadi seperti apa; sedangkan untuk Celia yang good girl, aku sempat berpikir “memangnya dia akan menjadi seperti apa, kan dia sudah cewek baik-baik?”. Rupanya, sekalipun Celia adalah sosok gadis baik, tetap ada hal yang luput darinya—dia tidaklah sesempurna itu. Bagiku, itu seperti pengingat diri (self-reminder) bahwa meskipun kita sudah bersikap positif, akan ada cela dalam diri kita yang perlu diperbaiki.

Melalui perkembangan karkater Celia, kita dapat belajar untuk lebih menghargai orang-orang yang memang peduli pada kita dengan tulus. Tidak seharusnya kita mengejar perhatian dan pengakuan orang-orang yang tidak peduli pada kita. Pada akhirnya, hal-hal sederhana yang dekat sekali dengan Celia-lah yang menjadi kuncinya untuk bebas dari kutukan waktu tersebut. We shouldn’t take those who are really care and love us sincerely for granted.  

Selain itu, hubungan Celia dan Hayden juga bagus sekali. Sebelum itu, aku mau bilang bahwa karakter Hayden itu realistis. Siapa pula yang akan mudah percaya pada perulangan waktu di dunia nyata? Di sisi lain, aku juga suka dengan keseriusannya kepada Celia.

Perkembangan hubungan mereka manis sekali, dan kebetulan aku suka friends-to-lovers trope. Oleh karena itu aku mendapati cerita ini menyenangkan dan sesuai seleraku, hahaha. Bahkan, sebenarnya momen romantis keduanya itu tidak banyak, tetapi bisa seberkesan itu. (Spoiler alert) aku sangat suka adegan ketika keduanya pertama kali berciuman di tengah malam serta ketika keduanya berciuman di sisi tempat tidur Hayden. Aku suka sekali ketika Celia bilang begini:

“Aku… aku mengalami hari yang sama berulang kali. Selama itu, aku mulai memandangmu dengan cara yang berbeda. Bagiku ini bukan pertama kali kita berciuman seperti ini. Kau dan aku sudah pernah melakukannya, di linimasa sebelumnya. Jadi, jika kau bertanya sejak kapan aku menyukaimu… aku suka padamu sejak hari ini.”

Itu ungkapan cinta yang tulus dan menyentuh, mataku berair waktu membacanya, hahaha. Maka dari itu, ketika hari kembali terulang, aku dapat bersimpati pada Celia yang harus patah hati karena Hayden kembali menjadi Hayden yang lama, yang masih sebatas temannya.

Kemudian, ada satu hal menarik lagi. (Spoiler alert) ada adegan ketika Hayden mencium Celia sewaktu Celia tidur—ini sebelum Celia mulai menyukai Hayden. Biarpun Celia menyukai ciuman tersebut, itu tetap saja pelecehan seksual. Yang aku suka adalah penulis tidak meromantisasi hal tersebut. Sebagaimana kebanyakan cerita romansa klasik, mencuri ciuman dari perempuan yang sedang tidur dianggap romantis, padahal itu pelecehan seksual. Dalam buku ini, adegan tersebut diikuti dengan pengakuan bersalah Hayden, yang menandakan bahwa Hayden pun mengakui itu perbuatan buruk. Terima kasih Kak Prisca Primasari sudah membagikan pemahaman tersebut melalui cerita ini.

 

Kelemahan

Meskipun secara keseluruhan aku menyukai cerita ini, aku agak kurang suka dengan babnya yang panjang. Satu bab bisa lebih dari 12 halaman; padahal kalau menurutku, banyak bab yang bisa dipecah menjadi beberapa bab pendek. Aku memang lebih suka bab-bab pendek karena lebih membuat penasaran, sedangkan bab-bab panjang membuatku kelelahan membaca, hehehe.

Dari segi jalan cerita, ada satu bagian yang menurutku kurang matang, yaitu ketika Celia belajar untuk berani tampil di depan banyak orang dengan bernyanyi sambil main gitar di tearoom. Memang itu adalah fase perkembangan karakter Celia yang bagus dan merupakan usahanya mematahkan perulangan waktu, tetapi setelah itu aku tidak melihat signifikansinya terhadap kelanjutan cerita. Kini Celia jadi berani tampil di depan umum, lalu apa? Seandainya di epilog ada adegan Celia habis tampil di sebuah tearoom, mungkin akan lebih baik ya—akan terasa lebih paid-off.

 

Kesimpulan

Sampul Winter Tea Time versi
e-book di aplikasi Cabaca
Winter Tea Time adalah sebuah novel Indonesia yang memiliki tema unik: perulangan waktu. Tema yang sulit ini berhasil dieksekusi oleh penulisnya menjadi cerita yang menyenangkan dan manis. Seperti kebanyakan cerita perulangan waktu lain, Winter Tea Time me-highlight perkembangan karakter tokoh utamanya. Karakter Celia yang good girl menunjukkan bahwa sekalipun kita sudah bersikap sepositif mungkin, kita bisa saja tetap luput akan suatu hal. Celia juga mengajari kita bahwa kita harus lebih menghargai orang-orang di sekitar kita yang sungguhan tulus dan sayang pada kita. Meskipun bab-babnya panjang, ceritanya menarik sekali sampai-sampai aku terus membalik halaman. Apalagi, kisah Celia dan Hayden yang menggemaskan sekali—penggemar cerita romansa pasti akan suka. Oleh sebab itu, kuberikan skor 9,2/10 untuk Winter Tea Time. Oh iya, selain buku fisik, Winter Tea Time juga bisa dibaca di aplikasi Cabaca ya.
***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar