Dua Hati Biru: Sebuah Sekuel yang Lebih Dewasa dan Mendidik (Cocok Ditonton Pasangan yang Ingin Menikah)

Identitas Film Judul : Dua Hati Biru Sutradara : Dinna Jasanti, Gina S. Noer Produser : Chand Parwez Servia, Gina S. Noer, Riza, Sigit Pratama Tanggal rilis : 17 April 2024 Rumah produksi : Starvision, Wahana Kreator Penulis naskah : Gina S. Noer Durasi tayang : 1 jam 46 menit Pemeran : Angga Yunanda, Aisha Nurra Datau, Farrell Rafisqy, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Lulu Tobing, Keanu AGL, Maisha Kanna Genre : Drama keluarga, romantis   Sinopsis Setelah empat tahun berkuliah dan bekerja di Korea, Dara (Aisha Nurra Datau) kembali ke Indonesia demi bisa tinggal bersama suaminya, Bima (Angga Yunanda), dan putranya yang masih kecil, Adam (Farrell Rafisqy). Namun, kedatang

Six Crimson Cranes: Kisah Petualangan-Fantasi Epik Seorang Princess Versi Asia Timur

Identitas Buku

Judul

:

Six Crimson Cranes (Six Crimson Cranes #1)

Penulis

:

Elizabeth Lim

Penerjemah

:

Reni Indardini

Penerbit

:

PT Bentang Pustaka

Tahun terbit

:

2023 (versi orisinal bahasa Inggrisnya terbit pada 2021)

Cetakan

:

I

Tebal

:

400 halaman

Harga

:

Rp139.000

ISBN

:

978623861214

Genre

:

High fantasy, petualangan, romantis, young adult

 

Tentang Penulis

Elizabeth Lim tumbuh di besar di Amerika Serikat dan Jepang. Dia tumbuh bersama dongeng, mitos, dan lagu yang hangat. Dia sudah mendongeng sejak usia 10 tahun dengan menulis fanfiction untuk Sailor Moon, Sweet Valley, dan Star Wars. Namun, ketika guru bahasa Inggrisnya mengkritik esainya, dia berhenti menulis cerita dan fokus untuk tidak mendapatkan nilai jelek pada bahasa Inggris.

Ketika dewasa, Elizabeth Lim berprofesi sebagai komposer film dan video game. Dia memiliki gelar A.B. dalam musik dan studi Asia Timur dari Havard College, gelar sarjana dari The Julliard School, serta gelar doktor dalam komposisi musik. Akan tetapi, dia selalu rindu menulis cerita.

Pada suatu hari, dia mulai menulis novel kembali, hanya iseng-iseng. Namun, itu berubah menjadi serius dan sejak saat itu, dia tak pernah menoleh ke belakang. Kini, Elizabeth Lim telah menulis beberapa judul buku best-selling dan dirinya pun telah menjadi penulis best-seller versi New York Times, Sunday Times, dan USA TODAY.

Beberapa karya terkenalnya adalah dwilogi Blood of Stars, yaitu Spin the Dawn (2018) dan Unravel the Dusk (2020); serta dwilogi Six Crimson Cranes, yaitu Six Crimson Cranes (2021) dan The Dragon’s Promise (2022). Karya terbarunya yang adalah spin-off prekuel dari dwilogi Six Crimson Cranes, dengan judul Her Radiant Curse (2023).

Saat ini, Elizabeth tinggal di New York bersama suami dan putrinya.

 

Sinopsis

Putri Shiori'anma

Shiori adalah putri bungsu Kaisar Kiata. Dia memiliki enam kakak laki-laki yang amat dia sayangi. Akan tetapi, karena dirinya sudah menginjak usia dewasa, Shiori akan dijodohkan. Dia membencinya karena itu berarti kebersamaannya dengan kakak-kakaknya tidak akan sama lagi.

Di hari pertunangannya, dia malah membuat masalah. Dia melakukannya bukan karena sengaja, melainkan demi menutupi rahasianya, yaitu bahwa dia memiliki kekuatan sihir. Masalahnya, sihir dilarang di Kiata dan dianggap sebagai pembawa petaka. Karena kecerobohannya tersebut Shiori hampir ketahuan oleh ibu tirinya, Raikama.

Akan tetapi, seperti Shiori, Raikama juga menyimpan rahasia tentang kekuatan sihirnya. Namun, karena suatu kecelakaan tak terduga, Raikama mengutuk kakak-kakak Shiori menjadi bangau. Shiori sendiri dikutuk nyaris bisu—untuk setiap patah kata yang keluar dari bibirnya, salah satu kakaknya akan mati.

Raikama juga mengasingkan Shiori jauh dari rumahnya—tanpa uang, tanpa identitas, dan tanpa suara. Kutukan Raikama mencegahnya untuk pulang atau agar dikenali siapapun. Namun, Shiori tidak bisa hanya berpasrah pada nasib karena dia harus menemukan kakak-kakaknya dan menolong mereka. Shiori harus berjuang mematahkan kutukan sang ibu tiri serta membongkar konspirasi gelap di Kiata, dengan bantuan seekor burung kertas, pangeran naga, dan seorang laki-laki yang telah dia patahkan hatinya.

 

Kelebihan

Aku tertarik pada buku Six Crimson Cranes karena popularitasnya di kalangan penggemar buku. Sudah banyak sekali pujian yang kubaca terhadap buku ini. Harus kuakui buku ini sesuai dengan reputasinya.

Dari tampilan fisik bukunya, versi terjemahan bahasa Indonesia ini sangat cantik. Pinggirannya berwarna pink dan sampulnya memiliki ilustrasi yang menarik. Desain sampulnya seperti menggabungkan sampul versi Amerika Serikat dan versi Inggris. Aku suka tampilan Shiori pada sampul bukunya. Aku mengapresiasi Kak Muthofa Nur Wardoyo, selaku desainer sampulnya, dan Kak Sulton, selaku ilustrator sampulnya.

Sampul versi Amerika Serikat (kiri)
dan sampul versi Inggris (kanan)

Sebagai buku bergenre high fantasy, Six Crimson Cranes memiliki worldbuilding[1] yang solid dan mengagumkan. Negeri Kiata diciptakan dengan mengambil referensi dari kerajaan-kerajaan di Asia Timur. Budaya serta mitologi dalam cerita ini pun mengambil referensi dari kebudayaan Asia Timur kuno, seperti pakaian bangsawannya. Beberapa mitos dan cerita rakyat Kiata pun terinspirasi dari mitos-mitos di Asia Timur, seperti mitos tentang origami bangau, penggambaran naga, serta kisah tentang Wanita Bulan yang mirip kisah Dewi Bulan Chan’E. Sejujurnya aku kurang tahu tentang kebudayaan dan mitologi Asia Timur, maka aku minta maaf kalau ada yang salah dari yang kusebutkan tadi.

Worldbuilding tersebut kemudian disampaikan oleh Elizabeth Lim dengan cara yang sederhana dan mengesankan sehingga memudahkan pembaca untuk mengerti. Di beberapa bab pertama, mungkin pembaca akan sedikit kebingungan dengan konsep worldbuilding-nya, sepertiku, tetapi itu biasa ketika membaca cerita-cerita fantasi. Seiring berjalannya cerita, akan ada penjelasan mengenai sejarah, mitologi, dan kebudayaan negeri Kiata yang mempermudah pembaca memahami konteks, seperti tentang alasan sihir terlarang di Kiata, legenda Imurinya dan Wanita Bulan, kisah iblis-iblis di Pegunungan Suci, dan lain-lain.

Tidak hanya itu, Elizabeth Lim juga membuat adanya keberagaman budaya di negeri Kiata. Menurut cerita, negeri Kiata amat luas sehingga ada perbedaan di tiap-tiap wilayah Kiata, walaupun hanya sedikit. (Spoiler alert) waktu Shiori berada di wilayah Utara Kiata, tepatnya di Iro, Elizabeth Lim menjelaskan bahwa orang-orang Utara memiliki kebudayaan yang berbeda dari wilayah-wilayah lain di Kiata. Elizabeth Lim juga mendeskripsikan bentang alam wilayah Utara Kiata dengan cantik. Itu sesuatu detail yang menarik karena di Asia Timur sendiri, seperti di Tiongkok, terdapat keberagaman budaya di wilayah-wilayahnya yang berbeda.

Selain mengambil referensi dari kebudayaan dan mitologi Asia Timur, sepertinya Six Crimson Cranes juga mengambil referensi dari dongeng-dongeng. Shiori yang dikutuk mengenakan mangkuk di kepalanya terinspirasi dari dongeng Hachikazuki dari Jepang. Shiori yang harus bekerja sebagai pembantu mengingatkanku pada dongeng Cinderella. Kemudian, Shiori yang tak bisa memberitahukan identitas aslinya kepada sosok kesatria yang mencuri hatinya mengingatkanku pada kisah Mulan. Menurutku itu adalah cara yang kreatif sekali—karakter Shiori sepertinya terinspirasi dari berbagai tokoh, tetapi dia bisa menjadi sosok orisinal yang otentik.

Kemudian, aku memiliki pengalaman membaca yang menarik ketika membaca buku ini. Sebelum Six Crimson Cranes, aku habis membaca The Screaming Staircase (Lockwood & Co. #1) karya Jonathan Stroud. Dalam buku tersebut, Jonathan Stroud mendeskripsikan latar tempat, objek-objek tertentu, dan tokoh-tokohnya dengan teramat detail. Kemudian, aku agak terkejut dengan buku Six Crimson Cranes yang adalah kebalikannya The Screaming Staircase tadi. Narasi deskriptif dalam Six Crimson Cranes itu ringkas dan tidak terlalu detail, tapi bisa memberikan gambaran yang bagus di benakku. Elizabeth Lim tidak banyak fokus pada deskripsi latar atau tokoh, tetapi pada jalan cerita. Bukan berarti gaya narasi The Screaming Staircase buruk, hanya saja aku lebih suka yang Six Crimson Cranes yang lebih fokus pada jalan cerita.

Karena buku ini fokus pada jalan cerita, buku ini menjadi sangat page-turning.[2] Sejak bab pertama, cerita terasa mengalir dengan pace yang lumayan cepat. Memang cerita tidak langsung masuk ke konflik—butuh beberapa bab untuk sampai ke sana—tetapi rasanya cerita ini makin seru di setiap halamannya, membuatku tidak ingin berhenti. Bagian orientasi dan fase awal konflik berlangusng sangat cepat, tetapi saat cerita masuk ke bagian ketika Shiori tinggal di Iro, wilayah Utara Kiata, dan bekerja sebagai pembantu di sana, cerita melambat. Namun, bagian itu tidak membosankan karena perlahan-lahan, ketika Shiori berada di sana, konfliknya itu memanas dan musuh sebenarnya mulai terlihat (akan kubahas lebih lanjut nanti).

Selain itu, yang membuat cerita pada bagian Shiori tinggal di Iro menjadi menarik adalah romansanya. Romansa antara Shiori dan Takkan, mantan tunangannya, tergolong slow-burn. Bahkan, setelah keduanya jatuh cinta pun, mereka tidak langsung menjadi pasangan yang menggebu-gebu. Hubungan keduanya tidak terkesan panas membara, tetapi kalem dan manis. Aku suka sekali dengan cara Takkan memperlakukan Shiori, sekalipun saat itu dia belum mengenali Shiori sebagai putri Kiata.

Bushi'an Takkan

Oh iya, Takkan itu digambarkan sebagai laki-laki green flag banget. Sebelum ini, aku membaca serial Caraval dan Once Upon a Broken Heart yang tokoh laki-lakinya itu problematik tapi rupawan—yang seharusnya adalah red flag. Maka dari itu, mungkin aku agak kaget ketika mendapati Takkan adalah kebalikan mereka. Dia bukan laki-laki bucin karena di awal, dia sendiri pun mau dijodohkan dengan Shiori semata-mata sebagai kewajibannya. Ketika kemudian dia jatuh hati sungguhan pada Shiori tetapi cintanya ditolak, dia juga patah hati. Namun, yang mengagumkan adalah dia tetap ingin melakukan yang terbaik demi Shiori dengan begitu tulus. Itulah kualitas yang paling mengesankan dari sosok Bushian Takkan: ketulusannya.

Selain Takkan, tokoh-tokoh lain yang berada di sisi Shiori juga sama menariknya. Kiki, burung kertas ajaib yang mendampingi Shiori, dapat mencuri perhatian karena tingkahnya yang lucu. Aku salut dengan loyalitasnya menemani Shiori selama dia dikutuk. Dia juga lucu dengan semua ocehannya. Aku kagum sekali dengan ikatan saudara antara Shiori dan kakak-kakaknya. Sedari awal, kita sudah diberi tahu bahwa Shiori dan kakak-kakaknya sangat dekat dan saling menyayangi. Maka dari itu, ketika mereka dikutuk, aku turut merasa sedih. Aku ikut syok saat tahu bahwa jika Shiori bicara satu kata, salah satu kakaknya akan mati. Itu sedih sekali, apalagi setelah kita mengetahui seberapa dekat mereka. Kalau kalian suka cerita persaudaraan yang rela melakukan apapun demi melindungi satu sama lain, Six Crimson Cranes ini cocok untuk kalian.

Seryu sang Pangeran Naga

Tokoh pendukung berikutnya adalah Seryu, si pangeran naga. Well, dia juga bisa menjadi laki-laki green flag, (spoiler alert) hanya saja dia bukanlah tokoh utamanya. Yang agak gergetan adalah Shiori dipertemukan lebih dulu dengan Seryu ketimbang Takkan, sehingga memunculkan ide bahwa sepertinya Seryu-lah yang akan menjadi pasangan Shiori—setidaknya aku sempat berpikir begitu, hahaha. Namun, terlepas dari itu, Seryu adalah teman yang baik sekali. Aku selalu suka dengan sikapnya yang amat ramah terhadap Shiori dan selalu bersedia menolongnya.

Dan kalau membicarakan tokoh menarik dari Six Crimson Cranes, kurasa tidak lengkap tanpa membicarakan tokoh satu ini, tetapi ini akan menjadi huge SPOILER. Oleh karena itu, kalian yang belum membaca bukunya, sebaiknya berhenti sampai di sini saja, hehehe.

Raikama

Tokoh yang kumaksud adalah Raikama si ibu tiri. Di awal, dia tampak sebagai antagonis karena dia mengutuk Shiori dan kakak-kakaknya dengan kutukan yang sangat kejam. Akan tetapi, menjelang akhir buku, barulah musuh yang sebenarnya terlihat dan Raikama tidak seperti yang diduga di awal. Raikama mematahkan stereotipe buruk terhadap sosok ibu tiri. Pada akhirnya, aku tak membenci Raikama, malahan aku hampir menangis dibuatnya, terutama ketika dia dan Shiori akhirnya bisa bicara dari hati ke hati.

 

Kelemahan

Yang aku kurang suka dari fisik buku ini adalah ukurannya. Ukuran buku ini lebih besar dari buku-buku kebanyakan sehingga kurang praktis dibawa-bawa. Padahal, aku selalu membawa buku ke tempat kerja untuk dibaca waktu istirahat. Karena ukurannya yang besar, buku ini memakan tempat di dalam tasku dan membuat tasku jadi lebih berat.

Kemudian, aku sedikit kurang nyaman dengan terjemahannya: terutama pada kata “takkan” dan “makan”. Ya, seperti yang kalian sudah tahu, ada tokoh bernama Takkan di sini, tetapi banyak juga penggunaan kata “takkan” (tidak akan) di buku ini. Sering kali aku tertukar dengan maksud kata tersebut, apakah yang dimaksud itu nama tokoh atau “tidak akan”. Sementara untuk kata “makan”, nama mata uang Kiata adalah makan. Seharusnya, kata makan yang merujuk ke mata uang Kiata dicetak miring saja agar tidak tertukar dengan kata “makan” dalam bahasa Indonesia.

Selain itu, worldbuilding cerita ini dapat menimbulkan kesalahpahaman. Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, kisah Six Crimson Cranes mengambil referensi dari mitos dan kebudayaan Asia Timur untuk worldbuilding-nya. Namun, Asia Timur sangat luas sehingga pasti ada keberagaman budaya. Bahkan, di dalam satu negara Asia Timur pun terdapat banyak keberagaman budaya di wilayah-wilayahnya. Karena Elizabeth Lim mengombinasikan mitos dan kebudayaan dari berbagai wilayah di Asia Timur, ada risiko itu menyebabkan kesalahpahaman bagi pembaca awam bahwa kebudayaan dan mitos di wilayah Asia Timur sama semua. Alih-alih menjadi buku yang merepresentasikan kebudayaan dan mitos Asia Timur, buku ini bisa menimbulkan kesalahpahaman tersebut yang memperkuat prasangka orang-orang Barat bahwa seluruh Asia Timur itu tidak ada bedanya.

Sementara dari segi cerita, aku tidak punya banyak komplain. Aku menikmatinya sekali. Mungkin, seandainya porsi cerita untuk kakak-kakaknya Shiori dan Seryu lebih banyak lagi, cerita ini akan menjadi lebih menarik.

 

Kesimpulan

Six Crimson Cranes adalah kisah fantasi yang mengagumkan dan seru. Kisah ini akan mengingatkanmu pada dongeng-dongeng tentang petualangan putri yang menghadapi rintangan dan kutukan. Selain itu, worldbuilding-nya yang terinspirasi dari kebudayaan dan mitos masyarakat Asia Timur terkesan indah serta dijabarkan dengan sederhana, tetapi berisiko menimbulkan kesalahpahaman bahwa kebudayaan dan mitos di seluruh wilayah Asia Timur itu sama. Selain itu, gaya narasi penulisnya nyaman dibaca, membuat ceritanya tidak berbelit sehingga kamu akan tergoda untuk membalik halaman terus. Kalian pun pasti akan terpikat dengan tokoh-tokohnya, yaitu Shiori, Takkan, Kiki, Seryu, dan kakak-kakaknya Shiori—oh bahkan Raikama juga! Meskipun terjemahannya menurutku sedikit kurang nyaman dibaca, secara keseluruhan itu tidak merusak cerita kok. Kemudian romansanya, pasti akan menyukainya karena slow-paced, dan sepertinya yang bukan penggemar cerita romansa dapat menyukainya. Oleh karena itu, skor yang kuberikan untuk buku ini adalah 9,3/10.

Buku ini menaikkan ekspektasiku untuk sekuelnya, The Dragon’s Promise, dan spin-off prekuelnya, Her Radiant Curse. Aku tidak sabar menunggu versi terjemahan keduanya terbit.

Selanjutnya (The Dragon's Promise)

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 


[1] Worldbuilding adalah proses mengonstruksi dunia imajiner, terkadang diasosiasikan dengan semesta fiksional (sumber: Wikipedia).

[2] Page-turning berarti sebuah buku yang menarik, seru, dan menegangkan, biasanya sebuah novel (sumber: The Free Dictionary). 

Komentar