Identitas Buku
Judul
|
:
|
Menjadi:
Seni Membangun Kesadaran tentang Diri dan Sekitar
|
Penulis
|
:
|
Afutami
|
Penerbit
|
:
|
PT
Gramedia Pustaka Utama
|
Tahun
terbit
|
:
|
2022
|
Cetakan
|
:
|
I
|
Tebal
|
:
|
224
halaman
|
Harga
|
:
|
Rp138.000,-
|
ISBN
|
:
|
9786020664293
|
Genre
|
:
|
Ilmu
sosial, memoar, filsafat, pengembangan diri
|
Tentang Penulis
 |
Andhyta "Afutami" Firselly Utami |
Andhyta Firselly Utami alias Afu atau Afutami adalah
anak perempuan pertama di keluarganya. Wanita asal Cianjur tersebut merupakan
lulusan S-1 Hubungan Internasional di Universitas Indonesia dan S-2 Kebijakan
Publik di Havard University.
Sosok Afutami banyak dikenal masyarakat sebagai sosok
muda yang memperjuangkan isu lingkungan dan keadilan sosial—yang keduanya
sebenarnya adalah isu yang sama. Hampir sepuluh tahun masa kariernya dia
habiskan untuk melawan krisis iklim melalui penelitian ekonomi lingkungan yang
menghasilkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan publik bagi pemerintah.
Saat ini, Afutami bekerja sebagai analis ekonomi
lingkungan di Bank Dunia. Selain itu, dia juda membentuk dan memimpin
organisasi wadah profesional muda untuk belajar, berkolaborasi, dan bersuara
dengan tujuan mendorong kebijakan publik berbasis bukti dan empati, yang
bernama Think Policy. Afu, bersama teman-temannya, juga menginisiasi platform Bijak Memilih, yang menyediakan
informasi relevan dan faktual untuk memudahkan para pemilih dalam mencari
informasi serta mendorong para pemilih muda untuk mulai berdiskusi tentang
pemilu berdasarkan isu-isu yang relevan dalam rangka menghadapi pemilu tahun
2024.
Buku Menjadi
adalah buku pertama dari Afu, tetapi tidak akan menjadi yang terakhir.
Selain melalui buku, Afu kerap membagikan gagasan-gagasannya di media sosial,
blog, serta kanal Youtube-nya, Frame & Sentences (meskipun sudah jarang
mengunggah video baru).
Sinopsis
Berpikir kritis bukanlah tujuan, melainkan bagian
dari berproses untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Dengan berpikir
kritis, manusia bisa mengembangkan kesadaran akan diri, menyelesaikan masalah
dengan efektif, membuka pikiran terhadap berbagai perbedaan gagasan, serta
mengembangkan empati dalam berhubungan dengan manusia lain.
Melalui buku Menjadi,
Afutami ingin membagikan pemikirannya untuk membantu siapapun yang membaca
bukunya dalam proses mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Afutami memulai
buku ini dengan membantu pembaca untuk mengenal diri, belajar konsep pemecahan
masalah yang efektif, serta mengembangkan pemahaman tentang empati. Kemudian,
Afutami membagikan pengalaman perjalanannya sendiri dalam memahami berbagai
paradoks di masyarakat, mulai dari ketimpangan dan privilese, humanisme dan
nasionalisme, serta ekonomi dan lingkungan. Di akhir, Afutami menawarkan
berbagai cara agar pembaca dapat mengaktualisasikan pemahaman yang sudah didapat
untuk menciptakan perubahan bagi diri sendiri serta orang lain.
Afutami tidak berniat menggurui pembacanya atau memberi
tahu mereka apa yang seharusnya benar dan salah. Alih-alih, Afutami hendak
menawarkan petunjuk jalan dalam proses pengembangan diri. Dia ingin berbagi
pengalamannya tentang proses Menjadi.
Kesan Membaca Buku Ini
Sebelum membaca reviu ini, aku ingin memberi tahu
bahwa ini akan menjadi reviu yang panjang. Juga akan ada banyak spoiler. Oleh karena itu, jika kalian
tidak mau terkena spoiler, silakan
lewati saja. Aku mengapresiasi kalian yang mau membacanya dan aku menghargai
kalian yang tidak mau membacanya. Okay,
here we go!
Buku Menjadi
memberiku kesan yang luar biasa. Kak Afu pernah bilang bahwa dia tidak tahu
harus mengategorikan Menjadi ke genre
apa, apakah ilmu sosial, filsafat, self-help,
atau yang lain, dan dia merasa bahwa bukunya memang tak bisa dikategorikan ke
satu kategori saja. Setelah membacanya, aku sangat setuju. Buku ini seperti
paket lengkap untuk menambah wawasan dan pemahaman tentang diri dan sekitar
kita.
Sebelum masuk ke isi bukunya, aku ingin
mengapresiasi desain sampul, desain layout
halamannya, ilustrasinya, dan color
palette-nya. Semua cantik sekali! Entah berlebihan atau tidak, tetapi hanya
itu yang terpikirkan olehku untuk mendeskripsikan tampilan fisik buku ini. Desain
sampulnya tampak elegan dengan warna-warni yang soft dan manis. Bahan kertas untuk sampul dan halaman isinya pun berbeda
dari buku kebanyakan sehingga terasa seperti sketchbook atau buku jurnal—seakan-akan ini memang jurnal
pribadinya Kak Afu.
Kemudian, desain ilustrasinya sangat cute! Dibuat dengan cantik dan berwarna-warni
pastel yang manis, ilustrasi buku ini
membuatku betah membaca dan membantuku memahami isi bukunya. Ungkapan “jangan menilai
buku dari sampulnya (atau mungkin penampilannya)” tidak berlaku bagi buku ini,
karena baik tampilan maupun kontennya sama-sama bagus. All the credits go to Kak Satwika Kresna, the illustrator.
Sementara untuk isinya, Afutami membagi konten
buku ini menjadi prolog dan tiga bagian isi, lalu masing-masing bagian isi
terdiri atas tiga bab. Yang makin menambah elok buku ini adalah judul dari tiap
bagian itu terdengar indah karena metaforis! Masing-masing bagian isi buku ini membahas
hal yang berbeda, tetapi pada dasarnya semua masih satu topik yang sama, yaitu
mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap diri dan sekitar. Maka dari
itu, aku akan membahas kesanku membaca masing-masing bagian secara terpisah
setelah ini.
Akan tetapi, isu yang dibahas dalam buku ini
tidaklah mendalam. Karena mencakup banyak topik, buku ini tidak akan membahas
tiap topik secara mendalam, melainkan ‘permukaannya’ saja. Kalian yang ingin
mempelajari topik-topik tertentu dari buku ini secara lebih lanjut harus
mencari sumber lain. Buku ini juga dilengkapi dengan kode QR di beberapa
halamannya yang akan mengantarkan pembaca ke tautan untuk sumber-sumber belajar
lebih lanjut dari topik yang dibahas dalam buku ini loh!
Bagian
Pertama: tentang Mengembangkan Kemampuan Berpikir
Bagian pertama ini dibuka
dengan preview singkat soal berpikir
kritis. Aku suka sekali salah satu pernyataannya tentang berpikir kritis di
buku ini.
“Akan
tetapi, berpikir kritis bukan tentang apa yang mudah, tapi tentang memiliki
otonomi. Kemampuan berpikir kritis adalah kemerdekaan untuk berpikir sendiri.
Keleluasaan untuk mengumpulkan informasi secara utuh, memprosesnya secara
terstruktur, sehingga kita dapat membuat keputusan terbaik atau mencari solusi
yang paling efektif.”
Selain itu, Afutami memperkenalkan konsep sistem
bepikir manusia, yakni ada sistem 1, yang cepat dan emosional, dan ada sistem 2,
yang lambat dan rasional. Dia mengatakan bahwa mengetahui adanya kedua sistem
tersebut penting untuk melatih kemampuan berpikir kritis. Namun, dia juga
mengatakan bahwa tujuan berpikir kritis bukanlah menghilangkan sistem 1 tadi,
melainkan mengetahui kapan kita harus menggunakan sistem 1 dan kapan harus
menggunakan sistem 2. Itu mematahkan anggapan kebanyakan orang bahwa berpikir
kritis itu berarti menjadi orang yang tidak mengerti emosi.
Kemudian, dari seluruh isi konten buku ini, aku
paling suka bagian pertama ini karena salah satu topiknya adalah membahas
tentang mengenal diri, dan itu adalah topik bab pertama dari bagian pertama ini.
Baru mulai membaca saja pembaca diajak untuk merenungkan tentang diri sendiri. Pada
bab ini ada pembahasan tentang membedakan peran (role) dan diri (self)
serta proses pendewasaan. Kak Afu menyampaikan topik yang lumayan ‘berat’ tersebut
dengan begitu santai, tetapi tidak terkesan sok tahu. Dia lebih seperti encouraging pembaca untuk memahami
dirinya sendiri, sebelum mulai memahami sekitarnya.
Aku pribadi sangat suka
bagian yang membahas perbedaan peran dan diri. Bagian itu membuatku berpikir
banyak mengenai diriku yang sebenarnya, terlepas dari label-label peranku, seperti
almamater, urutan kelahiran di keluarga, agama, gender, dan profesi Buku ini
membuatku merenungkan itu, hahaha. Meski terdengar terlalu mengawang-awang, aku
setuju dengan Kak Afu mengenai pentingnya mengenali diri di luar label-label peran
tersebut, seperti yang ditulis di bukunya:
“Yang
berbahaya adalah ketika kita menginternalisasi label dan ekspektasi sedemikian
rupa, sampai merasa ada batasan dalam bagaimana kita harus bertindak atau
merespons suatu kejadian, tanpa berpikir ulang tentang dari mana impuls respons
itu berasal.”
Setelah itu, barulah Afutami menjelaskan tentang
kerangka berpikir pemecahan masalah. Pada bagian ini, Kak Afu menjelaskan ada
dua jenis masalah: masalah adaptif dan masalah teknis, lalu dia menjelaskan
tahap-tahap serta tip untuk menemukan solusi atas masing-masing jenis masalah
tersebut. Ini menarik sekali karena selama membaca bab ini, aku jadi
merenungkan berbagai masalah di sekitar kita, terutama untuk mengategorikannya
ke dalam masalah adaptif atau masalah teknis. Tidak hanya itu, di bagian ini
pula, Kak Afu menjelaskan tentang pentingnya mengajak pihak terkait (stakeholder) untuk bersama-sama
memecahkan masalah; serta pentingnya menyadari apa saja yang tidak diketahui
tentang suatu masalah untuk menemukan solusi yang paling efektif atas masalah
tersebut.
Di bab terakhir dari
bagian pertama—juga salah satu bagian paling kusuka dari keseluruhan buku ini—Kak
Afu menjelaskan kaitan antara berpikir kritis dan berempati. Kebanyakan orang
berpikir bahwa menjadi orang yang kritis (maksudnya orang yang berpikir kritis)
bisa membuat orang jadi tidak mengerti emosi. Akan tetapi, Kak Afu menentang
anggapan itu dengan mengatakan:
“…
berpikir kritis bukan tentang menjadi kritikus, apalagi secara tidak
konstruktif. Turunan dari berpikir kritis justru adalah kemampuan berempati.
Ketika berpikir secara lebih sistematis, kita juga melatih kepekaan terhadap
apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain, baik lawan bicara maupun
pihak lain yang terdampak oleh isu yang sedang dibahas. Karena itu, dalam
menyampaikan masukan, melakukannya dengan empatik adalah bagian tak terpisahkan
dari berpikir kritis.”
Pada bab ini, Kak Afu menjelaskan tentang pentingnya
untuk membuka diri terhadap perbedaan pendapat. Dia mengatakan bahwa itu
bermanfaat untuk menambah alternatif solusi yang bisa digunakan untuk pemecahan
masalah. Yang menarik adalah Kak Afu juga mengajak pembaca untuk bisa berempati
kepada orang-orang yang sulit menerima perbedaan pendapat dan ide. Dia mengatakan
bahwa ada suatu biaya sosial (social cost)
yang menyebabkan seseorang sulit untuk menerima adanya perbedaan ide. Alih-alih
menentang sikap mereka yang tak mau mencoba berempati pada pihak yang berbeda
ide dengan mereka, Kak Afu malah mengajak kita untuk berempati terhadap mereka.
Menarik banget kan?
Bagian
Kedua: tentang Paradoks dalam Kehidupan Bermasyarakat
Pada badian kedua ini, Kak Afu bukan menjelaskan
konsep-konsep seperti di bagian pertama. Dia berbagi cerita tentang
perjalanannya dalam mendapatkan pemahaman tentang paradoks di masyarakat. Kak
Afu menyebutkan ada tiga paradoks di masyarakat: ketimpangan vs privilese,
humanisme vs nasionalisme, serta ekonomi vs lingkungan. Dia menceritakan
perjalanannya memahami paradoks-paradoks tersebut dengan pola
tesis-antitesis-sintesis: diawali dengan pemahaman awalnya tentang paradoks
tersebut, lalu momen ketika dia terpapar gagasan atau fakta yang bertolak
belakang dengan pemahaman awalnya, sampai ditutup dengan terbentuknya pemahaman
barunya saat ini.
Yang aku suka adalah caranya bercerita di bagian
ini bukan seperti ingin menggurui pembaca. Bukan ingin mengatakan bahwa cara pemahaman
yang benar seperti ini dan yang salah seperti ini dalam memahami isu-isu
tersebut. Justru, Kak Afu seperti sedang curhat kepada pembacanya. Dia
menuliskan perjalanan dirinya memahami isu-isu tersebut dengan cara yang rendah
hati. Dia pun melengkapi “ceritanya” dengan memaparkan fakta-fakta penting
terkait isu yang dibahas.
Yang paling kusuka adalah dia mengatakan bahwa
kesimpulan yang dia dapat saat ini bersifat sementara karena bisa jadi ke
depannya dia mendapatkan kesimpulan yang baru. Dia juga mengingatkan agar
pembaca tidak serta-merta mencaplok kesimpulannya. Dia berharap pembaca bisa
terdorong untuk mencari kesimpulan mereka sendiri tentang isu-isu paradoks
tersebut.
Bab pertama bagian ini
adalah tentang ketimpangan vs previlise. Pengalaman yang Afutami ceritakan pada
bab ini sangat relatable bagiku.
Keresahan yang dia rasakan setelah menyadari dirinya dipenuhi previlise
sehingga bisa berprestasi lebih daripada sebagian besar teman-temannya juga
pernah menjadi keresahanku.
“Namun
belakangan, aku dibangunkan dari ilusi bahwa prestasi-prestasi itu datang dari
bakat dan kerja kerasku sendiri. Kenyataannya, aku memiliki berbagai kecukupan
(sumber daya, kasih sayang) yang belum tentu dimiliki kebanyakan teman-temanku
di sana.”
Selain merasa relate dengan keresahan Afutami, aku
sangat menyukai pendapatnya mengenai isu ketimpangan vs previlise yang ini:
“Bagi kita yang terlahir dalam privilese, memahami kontribusi
kemewahan yang dimiliki membantu kita untuk lebih rendah hati dalam memandang
kemampuan kita sebenarnya. Di sisi lain, kita juga bisa lebih berempati
memandang kondisi mereka yang tidak seberuntung kita. Yang lebih penting lagi,
kita dapat memahami bahwa ada tanggung jawab untuk menggunakan privilese tersebut
dalam memberikan kesempatan yang sama bagi orang lain.
Sementara itu, bagi kita yang terlahir dari keluarga dengan
berbagai keterbatasan, tidak memenangkan ‘lotre kehidupan’ bukan berarti harus
berkecil hati. Kesadaran akan privilese mungkin justru memberi kekuatan baru
yang membesarkan hati, untuk menyelamati diri karena sudah berjuang
sebaik-baiknya terlepas berbagai rintangan, membuka beragam pintu kemungkinan
tanpa bantuan kenalan, dan memaafkan diri untuk keadaan yang di luar kontrol
kita.”
Bab kedua dari bagian ini membahas paradoks humanisme vs
nasionalisme. Berbeda dari paradoks yang pertama, paradoks yang ini bukanlah
keresahanku. Aku tidak pernah menaruh perhatian khusus terhadap masalah ini.
Namun, ketika membacanya, aku seperti disadarkan bahwa pemahaman nasionalisme
kita sering salah kaprah. Ironis memang ketika kita mengakui salah satu nilai
dalam Pancasila adalah kemanusiaan (humanisme), sejarah mencatat bahwa banyak
tindakan yang bangsa kita lakukan bertentangan dengan nilai kemanusiaan itu
sendiri atas nama nasionalisme. Mungkin, buku ini menjadi fase awalku memasuki
tahap antitesis atas paradoks tersebut.
Kemudian bab terakhir
dari bagian ini membahas paradoks ekonomi vs lingkungan. Topik ini sangat
sering disampaikan Kak Afu di media-media dan kesempatan-kesempatan lain. Dia
menyampaikan bahwa kerap kali ekonomi dan lingkungan dipertentangkan seakan
sebuah trade-off, ketika ingin
memilih yang satu, kita harus mengorbankan yang lain. Namun, seperti yang Kak
Afu tuliskan di sini:
“Sejak
awal, aku sudah merasa bahwa kita seperti dihadapkan pada trade-off yang salah: seolah-olah ada pilihan yang harus dibuat,
antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengorbankan lingkungan, atau menjaga
lingkungan dengan mengorbankan kesejahteraan banyak orang. Padahal, seperti
yang telah kita bahas di bagian sebelumnya, bisa jadi timbangan inilah yang
mendorong pengukuran terhadap hal-hal yang salah in the first place.”
Dia mengatakan bahwa keduanya bisa dikejar bersamaan—meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi tidak harus dengan cara
yang merusak lingkungan. Dia pun mempromosikan konsep ekonomi donat (atau
martabak katanya untuk versi yang lebih lokal) sebagai pengganti paradigma
ekonomi sekarang ini—yang sebaiknya kalian baca sendiri untuk tahu lebih
lanjut.
Aku suka sekali caranya
memandang perekonomian masyarakat yang tidak hanya memperhatikan apa-apa yang
bisa dirupiahkan, melainkan juga hal-hal di luar itu. Aku sangat setuju bahwa
kesejahteraan ekonomi manusia tidak selamanya bisa dihitung dengan rupiah,
tidak selamanya lebih banyak lebih baik. Aku suka cara Kak Afu yang memulai
pembahasan tentang ekonomi vs lingkungan ini dengan membagikan pengalamannya
bertemu suku Dayak Iban, karena itu seperti menyadarkanku bahwa kesejahteraan
manusia justru dilihat dari caranya merasa cukup atas apa yang dia miliki—dan
hei, itu seperti pandangan dalam stoicism!
Sebagaimana yang tertulis di buku:
“Betapa reduktifnya modernisme dalam melihat pembangunan,
mengingat banyaknya hal yang mencukupkan atau mungkin membahagiakan meski tidak
melulu bisa dikuantifikasi ke dalam hitung-hitungan rupiah.”
Bagian Ketiga: Mengambil
Langkah Pertama Membentuk Perubahan
Bagian terakhir dari buku ini membicarakan tentang penyusunan
strategi yang tepat bagi kita untuk mengejawantahkan pemikiran-pemikiran yang
telah kita dapat di bab-bab sebelumnya untuk menciptakan perubahan. Ada satu
poin penting yang aku suka dari bagian ini: Kak Afu tidak mendorong kita untuk
langsung menciptakan perubahan besar, berskala nasional apalagi internasional. Justru
ia mendorong pembaca untuk berani membuat perubahan, sekalipun cakupannya
sangat kecil. Dia bahkan menuliskan bahwa perubahan yang dilakukan dalam skala
besar biasanya hanya berupa perubahan umum dan hanya di permukaan, tetapi
perubahan yang dilakukan dalam skala kecil—pribadi, keluarga, lingkungan
sekitar—bisa lebih mendalam dan lebih berdampak. Maka dari itu, jangan berkecil
hati jika kamu belum bisa membuat perubahan di level nasional atau
internasional, karena perubahan kecil dari level pribadi atau keluarga juga
bisa berdampak signifikan.
Pada bab pertama bagian ini, Kak Afu menyampaikan bermacam insight penting sebelum kita mulai
meyusun langkah perubahan. Dia menjelaskan alasan pentingnya dilakukan
perubahan. Kemudian, dia menyampaikan bahwa akan selalu ada pihak yang
menentang perubahan. Akan tetapi, alih-alih bersikap memusuhi pihak yang
antiperubahan tersebut, Kak Afu malah mengajak kita untuk berempati kepada
mereka. Itu sesuatu yang tidak kusangka dari buku ini. Setelah itu, dia
menjelaskan strategi perubahan reformis dan strategi perubahan revolusionis
untuk menjadi opsi dalam menentukan pendekatan perubahan yang ingin kita
lakukan.
Berikutnya, di bab kedua, Kak Afu mengajak kita untuk memulai
perubahan dari apa yang kita miliki. Siapapun bisa memulai perubahan dengan
berbekal apa yang dia miliki sekarang, entah itu profesinya, statusnya di
lingkungan rumahnya, atau apapun. Perubahan bisa kita lakukan tanpa harus
menunggu kita menjadi pemimpin negara atau orang tajir. Kemudian, dia pun
menyampaikan pentingnya memiliki growth
mindset dan pola pikir untuk tidak membandingkan pencapaian diri dengan
pencapaian orang lain dalam menciptakan perubahan. Aku yakin sekali banyak
orang yang relate dengan itu.
Terakhir, Kak Afu mengingatkan bahwa walaupun perjuangan
perubahan yang kita kerjakan amat penting, sebaiknya kita tidak lupa untuk
beristirahat. Istirahat adalah bagian penting dari berusaha dan bukan menandakan
bahwa kita malas. Selain itu, Kak Afu juga mengingatkan pembaca bahwa perubahan
tidak dapat dilakukan seorang diri, selalu ada teman seperjuangan yang
mendampingi. Bahkan, yang membuatku agak terkejut adalah Kak Afu juga menulis
bahwa ada kalanya perjuangan yang kita lakukan itu akan menemukan jalan buntu,
dan sebaiknya kita menyerah daripada menghabiskan tenaga untuk hal yang sia-sia—karena
tenaga itu bisa dialihkan untuk hal lain. Itu adalah sebuah masukan yang tak
terduga sama sekali untuk buku yang juga bisa termasuk self-help ini.
Kesimpulan
Menjadi adalah buku yang berisi banyak hal. Kak Afu sebagai penulis ingin
berbagi banyak kebijaksanaan melalui buku ini—mulai dari berpikir kritis,
pendewasaan, pemecahan masalah, isu ketimpangan, isu kemanusiaan, isu
lingkungan, sampai perencanaan aksi untuk membuat perubahan.
Meski berisi banyak informasi dan pembelajaran, buku ini
tidak terasa seperti menggurui. Bahkan, pada beberapa bagian, Kak Afu terasa
seperti sedang bercerita kepada pembaca, berbagi isi pikiran, dan mencurahkan
isi hati. Ditambah lagi, desain bukunya juga cantik dengan warna-warni pastel yang lucu—semua berkat ilustratornya,
Kak Satwika Kresna. Akan tetapi, isi buku ini hanya membahas permukaan dari
tiap topik, tidak mendalam.
Walaupun begitu, buku ini menyenangkan sekali untuk dibaca.
Buku ini terasa sekali ditulis dengan empati dan perhatian. Buku ini sangat cocok
untuk siapapun yang suka isu-isu sosial dan isu-isu tentang pengembangan diri.
Maka dari itu, buku ini bisa menjadi memoar, buku ilmu sosial, dan buku self-help. Para followers Kak Afudi medsos wajib banget baca buku ini!
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar