A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Menjadi: Seni Membangun Kesadaran tentang Diri dan Sekitar: Sebuah Buku yang Penuh Pembelajaran dan Renungan, Tidak Menggurui, serta Ditulis dengan Empati

Identitas Buku

Judul

:

Menjadi: Seni Membangun Kesadaran tentang Diri dan Sekitar

Penulis

:

Afutami

Penerbit

:

PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit

:

2022

Cetakan

:

I

Tebal

:

224 halaman

Harga

:

Rp138.000,-

ISBN

:

9786020664293

Genre

:

Ilmu sosial, memoar, filsafat, pengembangan diri

 

Tentang Penulis

Andhyta "Afutami" Firselly Utami

Andhyta Firselly Utami alias Afu atau Afutami adalah anak perempuan pertama di keluarganya. Wanita asal Cianjur tersebut merupakan lulusan S-1 Hubungan Internasional di Universitas Indonesia dan S-2 Kebijakan Publik di Havard University.

Sosok Afutami banyak dikenal masyarakat sebagai sosok muda yang memperjuangkan isu lingkungan dan keadilan sosial—yang keduanya sebenarnya adalah isu yang sama. Hampir sepuluh tahun masa kariernya dia habiskan untuk melawan krisis iklim melalui penelitian ekonomi lingkungan yang menghasilkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan publik bagi pemerintah.

Saat ini, Afutami bekerja sebagai analis ekonomi lingkungan di Bank Dunia. Selain itu, dia juda membentuk dan memimpin organisasi wadah profesional muda untuk belajar, berkolaborasi, dan bersuara dengan tujuan mendorong kebijakan publik berbasis bukti dan empati, yang bernama Think Policy. Afu, bersama teman-temannya, juga menginisiasi platform Bijak Memilih, yang menyediakan informasi relevan dan faktual untuk memudahkan para pemilih dalam mencari informasi serta mendorong para pemilih muda untuk mulai berdiskusi tentang pemilu berdasarkan isu-isu yang relevan dalam rangka menghadapi pemilu tahun 2024.

Buku Menjadi adalah buku pertama dari Afu, tetapi tidak akan menjadi yang terakhir. Selain melalui buku, Afu kerap membagikan gagasan-gagasannya di media sosial, blog, serta kanal Youtube-nya, Frame & Sentences (meskipun sudah jarang mengunggah video baru).

 

Sinopsis

Berpikir kritis bukanlah tujuan, melainkan bagian dari berproses untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Dengan berpikir kritis, manusia bisa mengembangkan kesadaran akan diri, menyelesaikan masalah dengan efektif, membuka pikiran terhadap berbagai perbedaan gagasan, serta mengembangkan empati dalam berhubungan dengan manusia lain.

Melalui buku Menjadi, Afutami ingin membagikan pemikirannya untuk membantu siapapun yang membaca bukunya dalam proses mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Afutami memulai buku ini dengan membantu pembaca untuk mengenal diri, belajar konsep pemecahan masalah yang efektif, serta mengembangkan pemahaman tentang empati. Kemudian, Afutami membagikan pengalaman perjalanannya sendiri dalam memahami berbagai paradoks di masyarakat, mulai dari ketimpangan dan privilese, humanisme dan nasionalisme, serta ekonomi dan lingkungan. Di akhir, Afutami menawarkan berbagai cara agar pembaca dapat mengaktualisasikan pemahaman yang sudah didapat untuk menciptakan perubahan bagi diri sendiri serta orang lain.

Afutami tidak berniat menggurui pembacanya atau memberi tahu mereka apa yang seharusnya benar dan salah. Alih-alih, Afutami hendak menawarkan petunjuk jalan dalam proses pengembangan diri. Dia ingin berbagi pengalamannya tentang proses Menjadi.

 

Kesan Membaca Buku Ini

Sebelum membaca reviu ini, aku ingin memberi tahu bahwa ini akan menjadi reviu yang panjang. Juga akan ada banyak spoiler. Oleh karena itu, jika kalian tidak mau terkena spoiler, silakan lewati saja. Aku mengapresiasi kalian yang mau membacanya dan aku menghargai kalian yang tidak mau membacanya. Okay, here we go!

Buku Menjadi memberiku kesan yang luar biasa. Kak Afu pernah bilang bahwa dia tidak tahu harus mengategorikan Menjadi ke genre apa, apakah ilmu sosial, filsafat, self-help, atau yang lain, dan dia merasa bahwa bukunya memang tak bisa dikategorikan ke satu kategori saja. Setelah membacanya, aku sangat setuju. Buku ini seperti paket lengkap untuk menambah wawasan dan pemahaman tentang diri dan sekitar kita.

Sebelum masuk ke isi bukunya, aku ingin mengapresiasi desain sampul, desain layout halamannya, ilustrasinya, dan color palette-nya. Semua cantik sekali! Entah berlebihan atau tidak, tetapi hanya itu yang terpikirkan olehku untuk mendeskripsikan tampilan fisik buku ini. Desain sampulnya tampak elegan dengan warna-warni yang soft dan manis. Bahan kertas untuk sampul dan halaman isinya pun berbeda dari buku kebanyakan sehingga terasa seperti sketchbook atau buku jurnal—seakan-akan ini memang jurnal pribadinya Kak Afu.

Kemudian, desain ilustrasinya sangat cute! Dibuat dengan cantik dan berwarna-warni pastel yang manis, ilustrasi buku ini membuatku betah membaca dan membantuku memahami isi bukunya. Ungkapan “jangan menilai buku dari sampulnya (atau mungkin penampilannya)” tidak berlaku bagi buku ini, karena baik tampilan maupun kontennya sama-sama bagus. All the credits go to Kak Satwika Kresna, the illustrator.

Sementara untuk isinya, Afutami membagi konten buku ini menjadi prolog dan tiga bagian isi, lalu masing-masing bagian isi terdiri atas tiga bab. Yang makin menambah elok buku ini adalah judul dari tiap bagian itu terdengar indah karena metaforis! Masing-masing bagian isi buku ini membahas hal yang berbeda, tetapi pada dasarnya semua masih satu topik yang sama, yaitu mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap diri dan sekitar. Maka dari itu, aku akan membahas kesanku membaca masing-masing bagian secara terpisah setelah ini.

Akan tetapi, isu yang dibahas dalam buku ini tidaklah mendalam. Karena mencakup banyak topik, buku ini tidak akan membahas tiap topik secara mendalam, melainkan ‘permukaannya’ saja. Kalian yang ingin mempelajari topik-topik tertentu dari buku ini secara lebih lanjut harus mencari sumber lain. Buku ini juga dilengkapi dengan kode QR di beberapa halamannya yang akan mengantarkan pembaca ke tautan untuk sumber-sumber belajar lebih lanjut dari topik yang dibahas dalam buku ini loh!

Bagian Pertama: tentang Mengembangkan Kemampuan Berpikir

Bagian pertama ini dibuka dengan preview singkat soal berpikir kritis. Aku suka sekali salah satu pernyataannya tentang berpikir kritis di buku ini.

“Akan tetapi, berpikir kritis bukan tentang apa yang mudah, tapi tentang memiliki otonomi. Kemampuan berpikir kritis adalah kemerdekaan untuk berpikir sendiri. Keleluasaan untuk mengumpulkan informasi secara utuh, memprosesnya secara terstruktur, sehingga kita dapat membuat keputusan terbaik atau mencari solusi yang paling efektif.”

Selain itu, Afutami memperkenalkan konsep sistem bepikir manusia, yakni ada sistem 1, yang cepat dan emosional, dan ada sistem 2, yang lambat dan rasional. Dia mengatakan bahwa mengetahui adanya kedua sistem tersebut penting untuk melatih kemampuan berpikir kritis. Namun, dia juga mengatakan bahwa tujuan berpikir kritis bukanlah menghilangkan sistem 1 tadi, melainkan mengetahui kapan kita harus menggunakan sistem 1 dan kapan harus menggunakan sistem 2. Itu mematahkan anggapan kebanyakan orang bahwa berpikir kritis itu berarti menjadi orang yang tidak mengerti emosi.

Kemudian, dari seluruh isi konten buku ini, aku paling suka bagian pertama ini karena salah satu topiknya adalah membahas tentang mengenal diri, dan itu adalah topik bab pertama dari bagian pertama ini. Baru mulai membaca saja pembaca diajak untuk merenungkan tentang diri sendiri. Pada bab ini ada pembahasan tentang membedakan peran (role) dan diri (self) serta proses pendewasaan. Kak Afu menyampaikan topik yang lumayan ‘berat’ tersebut dengan begitu santai, tetapi tidak terkesan sok tahu. Dia lebih seperti encouraging pembaca untuk memahami dirinya sendiri, sebelum mulai memahami sekitarnya.

Aku pribadi sangat suka bagian yang membahas perbedaan peran dan diri. Bagian itu membuatku berpikir banyak mengenai diriku yang sebenarnya, terlepas dari label-label peranku, seperti almamater, urutan kelahiran di keluarga, agama, gender, dan profesi Buku ini membuatku merenungkan itu, hahaha. Meski terdengar terlalu mengawang-awang, aku setuju dengan Kak Afu mengenai pentingnya mengenali diri di luar label-label peran tersebut, seperti yang ditulis di bukunya:

“Yang berbahaya adalah ketika kita menginternalisasi label dan ekspektasi sedemikian rupa, sampai merasa ada batasan dalam bagaimana kita harus bertindak atau merespons suatu kejadian, tanpa berpikir ulang tentang dari mana impuls respons itu berasal.”

Setelah itu, barulah Afutami menjelaskan tentang kerangka berpikir pemecahan masalah. Pada bagian ini, Kak Afu menjelaskan ada dua jenis masalah: masalah adaptif dan masalah teknis, lalu dia menjelaskan tahap-tahap serta tip untuk menemukan solusi atas masing-masing jenis masalah tersebut. Ini menarik sekali karena selama membaca bab ini, aku jadi merenungkan berbagai masalah di sekitar kita, terutama untuk mengategorikannya ke dalam masalah adaptif atau masalah teknis. Tidak hanya itu, di bagian ini pula, Kak Afu menjelaskan tentang pentingnya mengajak pihak terkait (stakeholder) untuk bersama-sama memecahkan masalah; serta pentingnya menyadari apa saja yang tidak diketahui tentang suatu masalah untuk menemukan solusi yang paling efektif atas masalah tersebut.

Di bab terakhir dari bagian pertama—juga salah satu bagian paling kusuka dari keseluruhan buku ini—Kak Afu menjelaskan kaitan antara berpikir kritis dan berempati. Kebanyakan orang berpikir bahwa menjadi orang yang kritis (maksudnya orang yang berpikir kritis) bisa membuat orang jadi tidak mengerti emosi. Akan tetapi, Kak Afu menentang anggapan itu dengan mengatakan:

“… berpikir kritis bukan tentang menjadi kritikus, apalagi secara tidak konstruktif. Turunan dari berpikir kritis justru adalah kemampuan berempati. Ketika berpikir secara lebih sistematis, kita juga melatih kepekaan terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain, baik lawan bicara maupun pihak lain yang terdampak oleh isu yang sedang dibahas. Karena itu, dalam menyampaikan masukan, melakukannya dengan empatik adalah bagian tak terpisahkan dari berpikir kritis.”

Pada bab ini, Kak Afu menjelaskan tentang pentingnya untuk membuka diri terhadap perbedaan pendapat. Dia mengatakan bahwa itu bermanfaat untuk menambah alternatif solusi yang bisa digunakan untuk pemecahan masalah. Yang menarik adalah Kak Afu juga mengajak pembaca untuk bisa berempati kepada orang-orang yang sulit menerima perbedaan pendapat dan ide. Dia mengatakan bahwa ada suatu biaya sosial (social cost) yang menyebabkan seseorang sulit untuk menerima adanya perbedaan ide. Alih-alih menentang sikap mereka yang tak mau mencoba berempati pada pihak yang berbeda ide dengan mereka, Kak Afu malah mengajak kita untuk berempati terhadap mereka. Menarik banget kan?

Bagian Kedua: tentang Paradoks dalam Kehidupan Bermasyarakat

Pada badian kedua ini, Kak Afu bukan menjelaskan konsep-konsep seperti di bagian pertama. Dia berbagi cerita tentang perjalanannya dalam mendapatkan pemahaman tentang paradoks di masyarakat. Kak Afu menyebutkan ada tiga paradoks di masyarakat: ketimpangan vs privilese, humanisme vs nasionalisme, serta ekonomi vs lingkungan. Dia menceritakan perjalanannya memahami paradoks-paradoks tersebut dengan pola tesis-antitesis-sintesis: diawali dengan pemahaman awalnya tentang paradoks tersebut, lalu momen ketika dia terpapar gagasan atau fakta yang bertolak belakang dengan pemahaman awalnya, sampai ditutup dengan terbentuknya pemahaman barunya saat ini.

Yang aku suka adalah caranya bercerita di bagian ini bukan seperti ingin menggurui pembaca. Bukan ingin mengatakan bahwa cara pemahaman yang benar seperti ini dan yang salah seperti ini dalam memahami isu-isu tersebut. Justru, Kak Afu seperti sedang curhat kepada pembacanya. Dia menuliskan perjalanan dirinya memahami isu-isu tersebut dengan cara yang rendah hati. Dia pun melengkapi “ceritanya” dengan memaparkan fakta-fakta penting terkait isu yang dibahas.

Yang paling kusuka adalah dia mengatakan bahwa kesimpulan yang dia dapat saat ini bersifat sementara karena bisa jadi ke depannya dia mendapatkan kesimpulan yang baru. Dia juga mengingatkan agar pembaca tidak serta-merta mencaplok kesimpulannya. Dia berharap pembaca bisa terdorong untuk mencari kesimpulan mereka sendiri tentang isu-isu paradoks tersebut.

Bab pertama bagian ini adalah tentang ketimpangan vs previlise. Pengalaman yang Afutami ceritakan pada bab ini sangat relatable bagiku. Keresahan yang dia rasakan setelah menyadari dirinya dipenuhi previlise sehingga bisa berprestasi lebih daripada sebagian besar teman-temannya juga pernah menjadi keresahanku.

“Namun belakangan, aku dibangunkan dari ilusi bahwa prestasi-prestasi itu datang dari bakat dan kerja kerasku sendiri. Kenyataannya, aku memiliki berbagai kecukupan (sumber daya, kasih sayang) yang belum tentu dimiliki kebanyakan teman-temanku di sana.”

Selain merasa relate dengan keresahan Afutami, aku sangat menyukai pendapatnya mengenai isu ketimpangan vs previlise yang ini:

“Bagi kita yang terlahir dalam privilese, memahami kontribusi kemewahan yang dimiliki membantu kita untuk lebih rendah hati dalam memandang kemampuan kita sebenarnya. Di sisi lain, kita juga bisa lebih berempati memandang kondisi mereka yang tidak seberuntung kita. Yang lebih penting lagi, kita dapat memahami bahwa ada tanggung jawab untuk menggunakan privilese tersebut dalam memberikan kesempatan yang sama bagi orang lain.

Sementara itu, bagi kita yang terlahir dari keluarga dengan berbagai keterbatasan, tidak memenangkan ‘lotre kehidupan’ bukan berarti harus berkecil hati. Kesadaran akan privilese mungkin justru memberi kekuatan baru yang membesarkan hati, untuk menyelamati diri karena sudah berjuang sebaik-baiknya terlepas berbagai rintangan, membuka beragam pintu kemungkinan tanpa bantuan kenalan, dan memaafkan diri untuk keadaan yang di luar kontrol kita.”

Bab kedua dari bagian ini membahas paradoks humanisme vs nasionalisme. Berbeda dari paradoks yang pertama, paradoks yang ini bukanlah keresahanku. Aku tidak pernah menaruh perhatian khusus terhadap masalah ini. Namun, ketika membacanya, aku seperti disadarkan bahwa pemahaman nasionalisme kita sering salah kaprah. Ironis memang ketika kita mengakui salah satu nilai dalam Pancasila adalah kemanusiaan (humanisme), sejarah mencatat bahwa banyak tindakan yang bangsa kita lakukan bertentangan dengan nilai kemanusiaan itu sendiri atas nama nasionalisme. Mungkin, buku ini menjadi fase awalku memasuki tahap antitesis atas paradoks tersebut.

Kemudian bab terakhir dari bagian ini membahas paradoks ekonomi vs lingkungan. Topik ini sangat sering disampaikan Kak Afu di media-media dan kesempatan-kesempatan lain. Dia menyampaikan bahwa kerap kali ekonomi dan lingkungan dipertentangkan seakan sebuah trade-off, ketika ingin memilih yang satu, kita harus mengorbankan yang lain. Namun, seperti yang Kak Afu tuliskan di sini:

“Sejak awal, aku sudah merasa bahwa kita seperti dihadapkan pada trade-off yang salah: seolah-olah ada pilihan yang harus dibuat, antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengorbankan lingkungan, atau menjaga lingkungan dengan mengorbankan kesejahteraan banyak orang. Padahal, seperti yang telah kita bahas di bagian sebelumnya, bisa jadi timbangan inilah yang mendorong pengukuran terhadap hal-hal yang salah in the first place.”

Dia mengatakan bahwa keduanya bisa dikejar bersamaan—meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi tidak harus dengan cara yang merusak lingkungan. Dia pun mempromosikan konsep ekonomi donat (atau martabak katanya untuk versi yang lebih lokal) sebagai pengganti paradigma ekonomi sekarang ini—yang sebaiknya kalian baca sendiri untuk tahu lebih lanjut.

Aku suka sekali caranya memandang perekonomian masyarakat yang tidak hanya memperhatikan apa-apa yang bisa dirupiahkan, melainkan juga hal-hal di luar itu. Aku sangat setuju bahwa kesejahteraan ekonomi manusia tidak selamanya bisa dihitung dengan rupiah, tidak selamanya lebih banyak lebih baik. Aku suka cara Kak Afu yang memulai pembahasan tentang ekonomi vs lingkungan ini dengan membagikan pengalamannya bertemu suku Dayak Iban, karena itu seperti menyadarkanku bahwa kesejahteraan manusia justru dilihat dari caranya merasa cukup atas apa yang dia miliki—dan hei, itu seperti pandangan dalam stoicism! Sebagaimana yang tertulis di buku:

“Betapa reduktifnya modernisme dalam melihat pembangunan, mengingat banyaknya hal yang mencukupkan atau mungkin membahagiakan meski tidak melulu bisa dikuantifikasi ke dalam hitung-hitungan rupiah.”

Bagian Ketiga: Mengambil Langkah Pertama Membentuk Perubahan

Bagian terakhir dari buku ini membicarakan tentang penyusunan strategi yang tepat bagi kita untuk mengejawantahkan pemikiran-pemikiran yang telah kita dapat di bab-bab sebelumnya untuk menciptakan perubahan. Ada satu poin penting yang aku suka dari bagian ini: Kak Afu tidak mendorong kita untuk langsung menciptakan perubahan besar, berskala nasional apalagi internasional. Justru ia mendorong pembaca untuk berani membuat perubahan, sekalipun cakupannya sangat kecil. Dia bahkan menuliskan bahwa perubahan yang dilakukan dalam skala besar biasanya hanya berupa perubahan umum dan hanya di permukaan, tetapi perubahan yang dilakukan dalam skala kecil—pribadi, keluarga, lingkungan sekitar—bisa lebih mendalam dan lebih berdampak. Maka dari itu, jangan berkecil hati jika kamu belum bisa membuat perubahan di level nasional atau internasional, karena perubahan kecil dari level pribadi atau keluarga juga bisa berdampak signifikan.

Pada bab pertama bagian ini, Kak Afu menyampaikan bermacam insight penting sebelum kita mulai meyusun langkah perubahan. Dia menjelaskan alasan pentingnya dilakukan perubahan. Kemudian, dia menyampaikan bahwa akan selalu ada pihak yang menentang perubahan. Akan tetapi, alih-alih bersikap memusuhi pihak yang antiperubahan tersebut, Kak Afu malah mengajak kita untuk berempati kepada mereka. Itu sesuatu yang tidak kusangka dari buku ini. Setelah itu, dia menjelaskan strategi perubahan reformis dan strategi perubahan revolusionis untuk menjadi opsi dalam menentukan pendekatan perubahan yang ingin kita lakukan.

Berikutnya, di bab kedua, Kak Afu mengajak kita untuk memulai perubahan dari apa yang kita miliki. Siapapun bisa memulai perubahan dengan berbekal apa yang dia miliki sekarang, entah itu profesinya, statusnya di lingkungan rumahnya, atau apapun. Perubahan bisa kita lakukan tanpa harus menunggu kita menjadi pemimpin negara atau orang tajir. Kemudian, dia pun menyampaikan pentingnya memiliki growth mindset dan pola pikir untuk tidak membandingkan pencapaian diri dengan pencapaian orang lain dalam menciptakan perubahan. Aku yakin sekali banyak orang yang relate dengan itu.

Terakhir, Kak Afu mengingatkan bahwa walaupun perjuangan perubahan yang kita kerjakan amat penting, sebaiknya kita tidak lupa untuk beristirahat. Istirahat adalah bagian penting dari berusaha dan bukan menandakan bahwa kita malas. Selain itu, Kak Afu juga mengingatkan pembaca bahwa perubahan tidak dapat dilakukan seorang diri, selalu ada teman seperjuangan yang mendampingi. Bahkan, yang membuatku agak terkejut adalah Kak Afu juga menulis bahwa ada kalanya perjuangan yang kita lakukan itu akan menemukan jalan buntu, dan sebaiknya kita menyerah daripada menghabiskan tenaga untuk hal yang sia-sia—karena tenaga itu bisa dialihkan untuk hal lain. Itu adalah sebuah masukan yang tak terduga sama sekali untuk buku yang juga bisa termasuk self-help ini.

 

Kesimpulan

Menjadi adalah buku yang berisi banyak hal. Kak Afu sebagai penulis ingin berbagi banyak kebijaksanaan melalui buku ini—mulai dari berpikir kritis, pendewasaan, pemecahan masalah, isu ketimpangan, isu kemanusiaan, isu lingkungan, sampai perencanaan aksi untuk membuat perubahan.

Meski berisi banyak informasi dan pembelajaran, buku ini tidak terasa seperti menggurui. Bahkan, pada beberapa bagian, Kak Afu terasa seperti sedang bercerita kepada pembaca, berbagi isi pikiran, dan mencurahkan isi hati. Ditambah lagi, desain bukunya juga cantik dengan warna-warni pastel yang lucu—semua berkat ilustratornya, Kak Satwika Kresna. Akan tetapi, isi buku ini hanya membahas permukaan dari tiap topik, tidak mendalam.

Walaupun begitu, buku ini menyenangkan sekali untuk dibaca. Buku ini terasa sekali ditulis dengan empati dan perhatian. Buku ini sangat cocok untuk siapapun yang suka isu-isu sosial dan isu-isu tentang pengembangan diri. Maka dari itu, buku ini bisa menjadi memoar, buku ilmu sosial, dan buku self-help. Para followers Kak Afudi medsos wajib banget baca buku ini! 

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!

Komentar