A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

A Man Called Otto: Film Heart-Warming tentang Kakek Penggerutu dan Tetangga-Tetangganya yang Ramai--Siap-Siap Banjir Air Mata!

Identitas Film

Judul

:

A Man Called Otto

Sutradara

:

Marc Forster

Produser

:

Fredrik Wikström Nicastro, Rita Wilson, Tom Hanks, Gary Goetzman

Tanggal rilis

:

29 Desember 2022 (terbatas), 13 Januari 2023 (global)

Rumah produksi

:

Columbia Pictures, Stage 6 Films, SF Studios, Artistic Films, Playtones, 2DUX², STXfilms, Big Indie

Penulis naskah

:

Fredrik Backman, Hannes Holm, David Magee

Durasi tayang

:

2 jam 6 menit

Pemeran

:

Tom Hanks, Mariana Treviño, Truman Theodore, Rachel Keller

Genre

:

Drama komedi

 

Sinopsis

Otto Anderson (Tom Hanks), yang dulunya pria ramah dan ceria, kini menjadi pria tua penggerutu yang hampir tak pernah senyum sejak ditinggal mendiang istrinya, Sonya (Rachel Keller). Bagi Otto, Sonya adalah warna-warni dalam hidupnya, maka kepergian Sonya membuat dunianya membosankan. Dia pun tak lagi memiliki pekerjaan.

Maka, dengan rasa rindu yang begitu besar terhadap istrinya, Otto berniat menyusul Sonya dengan bunuh diri. Akan tetapi, usahanya selalu gagal sejak kedatangan tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya—keluarga kecil yang beranggotakan suami yang payah dan istri cerewet yang sedang mengandung anak ketiga mereka. Mereka selalu mengganggu Otto dengan permintaan tolong mereka yang seperti tidak ada habisnya. Akan tetapi, walau dengan muka cemberut, Otto tetap menolong mereka.

Berulang kali dia mencoba bunuh diri, berulang kali pula ada orang yang muncul di depan pintu rumahnya meminta tolong. Dia tak bisa mengacuhkan permintaan tolong tersebut. Sampai akhirnya, tanpa dia sadari, dia mulai menemukan kembali warna-warni baru di dunianya.

 

Kelebihan

A Man Called Otto adalah salah satu film yang ingin sekali kutonton di bioskop, tetapi tidak sempat. Popularitasnya di media sosial membuatku tertarik dan ternyata, popularitasnya tersebut tidak berbohong. Film ini memang sebagus itu.

Sekadar informasi, film ini merupakan remake dari film A Man Called Ove (2015) dari Swedia. Film itu sendiri pun merupakan adaptasi dari novel berjudul A Man Called Ove (2012) karangan Fredrik Backman. Novel tersebut sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Aku belum pernah menonton film versi Swedia-nya dan membaca novelnya, maka aku hanya akan mereviu film yang versi Amerika-nya tanpa membandingkannya dengan versi Swedia atau novelnya.

Dari judulnya, tokoh utama film ini adalah Otto Anderson, seorang pria dengan karakter yang keras tetapi sebenarnya baik hati. Dia orang yang sangat teratur, selalu menjalankan rutinitasnya setiap hari, mematuhi tata tertib, serta mengingatkan orang lain untuk mematuhinya juga. Namun, karena sikap dia yang penggurutu, tetangga-tetangganya tidak menyukainya. Meskipun begitu, kita tetap bisa melihat bahwa dia sedang berduka. Aku jadi teringat ucapannya Vision dari serial TV WandaVision: “What is grief, if not love preserving?” Itulah yang membuat karakternya menarik sekali.

Kemudian, film ini menggunakan alur maju mundur. Sesekali akan ada adegan kilas balik (flashback) yang memperlihatkan masa muda Otto dan Sonya. Otto semasa muda diperankan oleh Truman Theodore yang ternyata adalah anaknya Tom Hanks sendiri! Pantas saja mereka terlihat mirip. Ditambah lagi, akting Truman Theodore sebagai Otto yang muda dan akting Tom Hanks sebagai Otto yang lansia itu identik—keren banget.

Selanjutnya, bagian kilas balik film ini terasa sekali romantisnya, padahal porsinya tidak banyak. Walau hanya diceritakan sedikit, itu cukup untuk menyampaikan kesan bahwa Otto ini sosok yang romantis dan bucin. Ketika ada semakin banyak adegan kilas balik, karakter Otto yang sekarang, yang sudah lansia, menjadi lebih menarik dan amat memancing simpati. Tidak mungkin penonton tidak merasa kasihan kepadanya.

Seperti yang aku bilang di sinopsis, film ini memiliki banyak adegan percobaan bunuh diri. Beberapa kali tampak Otto ingin mengakhiri hidupnya karena teramat merindukan Sonya. Somehow, itu mengingatkanku pada karakter Richard dari film Love for Sale (2019). Bedanya adalah karakter Richard memperlihatkan transformasi dari orang yang kesepian menjadi kasmaran; karakter Otto menunjukkan kebalikannya—transformasi orang yang kasmaran menjadi kesepian. Bahkan, dia sempat menyebutkan bahwa hidupnya tidak lagi berwarna sejak Sonya pergi. Astaga, itu benar-benar sedih sekali dan membuatku ingin menangis. Otto benar-benar pria bucin.

Selain itu, tokoh menarik lainnya adalah Marisol yang diperankan oleh Mariana Treviño. Karkaternya itu adalah sosok tetangga yang ribet dan cerewet, but in a good way. Dia mungkin tampak merepotkan di awal, tetapi lama-lama malah membuat kita menyukainya. Setiap kali dia mengetuk pintu Otto, aku bersyukur sekali karena dia menyelamatkan Otto. Cara dia berusaha mendekati Otto agar Otto dapat menjadi lebih terbuka pun menyenangkan. Apresiasi yang besar kepada Mariana Treviño yang telah berhasil membawakan sosok Marisol dengan sangat baik.

Kemudian, selain dari tokoh-tokohnya yang menarik, film ini juga bagus karena insight-nya. Seperti yang sudah kusebut di atas, karakter Otto itu menggambarkan sosok pria yang patah hati, kehilangan cinta, dan kesepian. Dia menunjukkan bahwa perasaan kesepian amatlah berbahaya karena dapat mendorong seseorang untuk bunuh diri.

Melalui karakter tetangga-tetangganya Otto, kita dapat belajar bahwa kehadiran kita bisa menolong mereka yang sedang merasa kesepian tersebut. Setiap kali Otto mencoba bunuh diri, ada yang mengetuk pintunya untuk minta tolong kepadanya. Ketika Otto menolong mereka, tanpa mereka sengaja, mereka juga menolong Otto. Jadi, bagi orang-orang yang kesepian, sekadar kehadiran orang lain di hidup mereka bisa menyelamatkan mereka. Itu bagian yang sangat indah dari film ini bagiku pribadi, karena rupanya berbuat baik kepada orang lain bisa dilakukan dengan sesederhana mengetuk pintu mereka.

Di samping itu, film ini juga menunjukkan bahwa kekuatan media sosial itu bisa digunakan untuk hal-hal baik. Bagian ini terutama terlihat di tahap penyelesaian masalahnya. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, memviralkan suatu masalah bisa sangat bermanfaat untuk membantu menyelesaikan masalah itu sendiri. Walaupun bukan solusi yang paling efektif, media sosial bisa menjadi alat ampuh untuk menolong orang menyelesaikan masalah mereka.

Terakhir, yang aku suka dari film ini adalah kritik tersiratnya terhadap komunitas yang tidak inklusif. (Spoiler alert) diceritakan bahwa Sonya, istrinya Otto, mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Namun, ketika Otto ingin memperjuangkan supaya otoritas lokal membuat lingkungan komunitas yang mampu mengakomodasi kebutuhan orang-orang disabilitas seperti Sonya, usulnya ditolak dan dia malah di-blacklist sehingga tidak bisa lagi ikut musyawarah. Padahal, sudah menjadi kewajiban otoritas untuk menyediakan lingkungan yang ramah terhadap kelompok disabilitas.

Kemudian, ada tokoh Malcolm (Mack Bayda) yang seorang transgender. Dia diusir oleh orang tuanya karena menjadi transgender. Itu memperlihatkan bahwa masyarakat di sana masih belum inklusif terhadap kelompok termarginalkan. Padahal, setiap anggota masyarakat—entah mereka penyandang disabilitas, transgender, berkulit berwarna, atau apapun—memiliki hak untuk hidup nyaman di lingkungan mereka. Ya walaupun konteksnya adalah di Amerika, kita bisa menjadikannya pelajaran untuk berefleksi terhadap keadaan masyarkat kita sendiri.


Kelemahan

Secara garis besar, film ini sangat bagus sehingga sulit untuk mencari kelemahannya. Namun, mungkin yang kurang dari film ini adalah bagian epilognya yang panjang. Jadi, setelah babak klimaks dan masalah selesai, ada bagian reorientasi dan epilog. Durasi bagian tersebut agak terlalu panjang sehingga sempat membuatku berpikir, “Kok belum selesai ya filmnya? Kirain tadi sudah akhir.”

Akan tetapi, itu bisa langsung terbayarkan karena adegan terakhirnya sangatlah indah dan menyentuh. Aku menangis sampai sesak saat menontonnya.

 

Kesimpulan

A Man Called Otto adalah sebuah film drama komedi yang begitu menyenangkan dan menghangatkan hati untuk ditonton. Ceritanya dinarasikan dengan indah dengan alur maju mundurnya yang disusun dengan baik. Adegan-adegan kilas baliknya sangat romantis, sedangkan adegan-adegan yang berlatar masa sekarang juga tak kalah indah. Film ini menunjukkan bahwa mengetuk pintu pun bisa menyelamatkan seseorang dari perasaan kesepian, bahkan menyelamatkan nyawa mereka. Selain itu, film ini juga mengingatkan kita untuk peduli terhadap kelompok termarginalkan, seperti penyandang disabilitas dan genderqueer[1], di sekitar kita.

Walaupun bagian penutupnya agak terlalu panjang, itu paid-off karena adegan akhirnya sangatlah menyentuh. Aku sampai menangis sesak menontonnya. Saranku, kalian siapkan tisu yang banyak ya kalau mau nonton ini. Oh iya, ada banyak adegan pecobaan bunuh diri dalam film ini sehingga terasa tidak nyaman atau triggering bagi beberapa orang. Skor untuk film ini adalah 9,7/10. Tinggi sekali ya? Hahaha.

A Man Called Otto bisa ditonton di Netflix, Apple TV, dan Catchplay+. Silakan tonton trailer-nya di bawah sini.


***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 


[1] Genderqueer (GQ), atau disebut juga nonbiner (NB), adalah kategori dari seluruh identitas-identitas gender yang tidak secara eksklusif atau khusus maskulin atau feminin saja—identitas yang berada di luar dari gender biner dan normativitas cis. Orang genderqueer dapat menunjukkan ekspresi maskulinitas, feminitas, keduanya, atau tidak sama sekali di dalam ekspresi gender mereka. Genderqueer mencakup orang-orang transgender, nonbiner, genderfluid, yang memiliki lebih dari satu gender, serta yang tidak memiliki gender (sumber: Wikipedia). 

Komentar

Posting Komentar