A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Lontara: Fiksi Sejarah Bertemakan Mitologi Bugis yang Mengeksplorasi Spiritualitas dan Makna Cinta

Identitas Buku

Judul

:

Lontara

Penulis

:

Windy Joana

Penerbit

:

LoveRinz Publishing

Tahun terbit

:

2023

Cetakan

:

I

Tebal

:

327 halaman

Harga

:

Rp110.000

SBN

:

5712704230052

Genre

:

Drama romantis, fiksi sejarah, mitologis, supranatural

 

Tentang Penulis

Windy Joana adalah seorang penulis Indonesia yang berasal dari kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Wanita lulusan ilmu politik di salah satu universitas swasta di Makassar ini memang hobi membaca sejak kecil, serta berniat menekuni dunia sastra sejak SMA. Karir menulisnya secara profesional bermula ketika tulisannya di internet menarik perhatian sebuah penerbit.

Sekarang, Windy Joana telah menulis beberapa buku: Malang Untold Story (2021, yang berkolaborasi dengan penulis Tenderlova), Lovechitec (2021), Makassar: Mantra tentang Hujan (2022), dan Titik Nadir (2022). Meskipun buku-bukunya hanya bisa dibeli secara pre-order ‘prapesan’ yang hanya ada setahun sekali, ternyata ada banyak sekali peminat buku-bukunya. Novel terbarunya, Lontara juga mendulang popularitas dan apreseiasi di kalangan pembaca. Kalian dapat mengikuti update terbaru Windy Joana di Instagram-nya, @winjo_h.

 

Sinopsis

Dalam epos La Galigo yang ditulis menggunakan aksara lontara yang berasal dari suku Bugis, konon ada makhluk yang disebut to manurung. Mereka adalah manusia langit yang rupawan, suci, dan abadi yang diturunkan Dewata UsewaE (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menghentikan siandre bale ‘kekacauan di masyarakat’. Sesampainya di bumi, biasanya para to manurung dipercaya oleh masyarakat untuk mengambil alih takhta dan memimpin mereka. Sampai pada akhirnya, ketika sang to manurung menikahi manusia bumi atau wangsa tanah dan memiliki keturunan bersama dengannya, dia akan kehilangan keabadiannya dan menua, menyatu seutuhnya dengan wangsa tanah tersebut.

Konon, semua kerajaan di Sulawesi Selatan memiliki sistem pemerintahan to manurung ini. Mereka diperintah oleh manusia langit tersebut dan keturunannya. Semua kecuali Kerajaan Wajo. Sejak dahulu, Kerajaan Wajo dipimpin oleh keturunan wangsa tanah dan menerapkan sistem pemerintahan demokratis. Tidak pernah ada to manurung yang diturunkan ke tanah itu.

Namun, itu menurut sejarah yang dicatat. Bagaimana jika ternyata ada to manurung yang pernah diturunkan di tanah itu, yang terletak di dekat sebuah danau luas yang cantik? Bagaimana jika to manurung tersebut, alih-alih disambut baik oleh masyarakat, malah tidak diinginkan, diusir sehingga terhapus dari sejarah? Bagaimana jika, akibat tak pernah sepenuhnya menyatu dengan wangsa tanah dan menunaikan misinya, to manurung tersebut masih ada sampai sekarang, hidup abadi selama ratusan tahun?

To Manurung Mabello Riampulung—atau yang dikenal denan Mabello Cantika Kaliannga saat ini—telah menunggu sejak abad ke-15 untuk bisa menuntaskan tujuannya diturunkan Dewata UsewaE ke bumi. Kini, dia mendapatkan kesempatan itu lagi ketika orang-orang dari masa lalunya terlahir kembali pada masa sekarang, termasuk cintanya yang konon ditakdirkan untuknya. Akankah di masa ini, Mabello dapat menuntaskan tugasnya dan bersatu dengan cintanya, atau malah mengulang kembali nasib tragis di masa lalu itu?

 

Kelebihan

Tentu kelebihan pertama yang akan aku bicarakan adalah tema mitologi Bugisnya. Aku terkesan sekali dengan Kak Windy Joana karena terpikirkan untuk menulis cerita historical fiction ‘fiksi sejarah’ yang berbalut elemen mitologi Bugis ini. Aku sempat melihat di Instagram, Kak Windy Joana menulis Lontara karena sebelumnya suka sekali dengan buku Mada (2021) dan Renjana (2021), tapi lalu kecewa karena belum ada cerita sejenis yang berlatarkan kerajaan di Sulawesi Selatan, tempat asalnya.

Aku pribadi tidak tahu apa-apa soal mitologi Bugis dan epos La Galigo. Maka dari itu, buku ini sangat menarik bagiku. Ketika mengetahui akan ada buku berdasarkan mitologi Bugis, tentu aku langsung ingin membacanya, karena selalu ada tempat di hatiku untuk cerita bertemakan mitologi. Selain itu, Lontara menarik sekali karena menjadi penyegaran dari tema mitologi Jawa yang mainstream pada kebanyakan buku-buku fantasi Indonesia yang mengangkat budaya lokal. Boleh dibilang Lontara menjadi representasi keberagaman budaya Indonesia dari tanah Sulawesi Selatan. Berkat buku ini, aku jadi ingin lebih banyak belajar tentang mitologi Bugis. Oh iya, for your information, sebelumnya aku pernah baca Gelombang karya Dee Lestari yang sedikit mengangkat mitologi Batak, meski bukan sebagai tema utama ceritanya.

Kalian yang tidak tahu apa-apa soal mitologi dan kebudayaan Bugis tidak perlu khawatir tidak paham. Kak Windy Joana menjelaskannya dengan cara yang mudah dipahami dan indah. Bahkan, ada semacam glosarium istilah-istilah Bugis di dalamnya.

Kemudian, desain bukunya bagus banget. Sampulnya cantik dan sesuai dengan isinya, bertemakan budaya Bugis. The credit goes to Kak Fahrul Bintoro, sang desainer sampulnya. Kertas yang digunakan juga kualitas bagus, tebal dan halus, nyaman sekali dipegang. Aku apresiasi penerbitnya, LoveRinz Publishing. Oh iya, kebetulan, Lontara adalah buku pertama terbitan LoveRinz yang aku baca. Padahal LoveRinz adalah penerbit kecil, tetapi kualitas fisik bukunya lebih oke daripada buku terbitan penerbit besar—keren banget!

Baiklah, mari membahas ceritanya. Lontara ini adalah gabungan genre fiksi sejarah dan drama romantis yang menceritakan (spoiler alert) kisah cinta seorang to manurung yang hidup abadi sejak abad ke-15 sampai sekarang dengan seorang raja dan reinkarnasinya di masa kini. Akibat konflik di masyarakat serta dilema karena gengsi, cinta keduanya mengalami ujian sehingga sulit bersatu. Ada dua latar waktu dalam buku ini: abad ke-15, ketika Kerajaan Wajo belum ada, masih berupa kerajaan kecil yang disebut tanah Riampulung; dan tahun 2022, ketika orang-orang pada masa abad ke-15 bereinkarnasi dan bertemu kembali di kehidupan baru.

Alur maju mundurnya tersebut bisa dinarasikan dengan baik sehingga tidak membingungkan pembaca. Ada kalanya latar waktu abad ke-15 menjadi penjelasan atas keadaan di masa kini. Di sisi lain, ada kalanya juga latar waktu abad ke-15 tesebut terasa seperti alur utama dan latar masa kininya menjadi fase penyelesaian semata. Jadi, fokus ceritanya di kedua latar waktu tersebut. Pembaca tidak akan kebingungan dengan bolak-balik latar waktunya, malah akan excited karena kepingan-kepingannya merupakan rentetan sekuens yang dirajut dengan rapih.

Jalan ceritanya juga bagus sekali. Padahal ini cerita drama romantis, bukan misteri atau thriller, tapi aku deg-degan dan berdebar sewaktu membacanya. Kak Windy Joana pintar sekali untuk mengungkapkan kejadian di abad ke-15 dengan perlahan—pace-nya tepat. Sepanjang membaca, aku selalu berpikir “Ada apa sih di masa lalunya itu? Kok jadi begini sekarang?”. Aku merasa geregetan melihat tarik ulur hubungan Mabello dan Puang Riampulung, juga Abel dan Lendra. Pertanyaan yang terus memubuatku penasaran dengan cerita ini adalah “Mengapa Mabello dan Puang Riampulung gagal bersatu dahulu?” dan “Apa bisa keduanya mengubah takdir mereka di masa kini?”. Dan Kak Windy Joana menjawab kedua pertanyaanku dengan membawaku melewati dinamika yang penuh emosi dari kisah ini.

Gaya narasi Windy Joana juga terbilang berbeda. Gaya narasinya mengingatkanku pada buku Tere Liye karena suka menyelipkan kalimat-kalimat indah dan terkesan puitis—kalimat yang akan terlihat bagus menjadi quotes of the day. Namun, dia punya ciri khasnya sendiri, apalagi dia terkadang menggunakan kata yang jarang digunakan, seperti menggunakan “netra” sebagai pengganti “mata” dan “larung” sebagai pengganti “tenggelam”. Aku juga suka karena dia menggunakan gaya bahaya yang lebih santai untuk dialog sehingga tidak terkesan kaku. Cukup pada narasi saja yang kalimatnya puitis.

Tiap tokoh didesain dengan menarik dan memiliki karakter unik masing-masing. Aku suka dengan kedua tokoh utamanya. Puang Riampulung memiliki masa lalu yang kompleks dan gengsi yang tinggi sebagai pemimpin, tapi dia juga penyayang dan gombal. Walaupun agak menyebalkan pada beberapa kesempatan, pergulatan internalnya yang ingin mencinta dan ingin tetap berkuasa itu menarik. Kemudian, ada Mabello yang memiliki perkembangan karakter yang bagus. Dahulu dia sangat polos walau cerdas, tapi kini dia sudah lebih cerdik dan berani. Itu didapatkan melalui perjalanan hidup yang tidak mudah—berulang kali patah hati dan dikhianati. Aku tidak bisa membayangkan hidup menjadi dia, yang ingin mati karena telah kehilangan tujuan hidup, tapi malah terpaksa menjalani kehidupan yang penuh pengkhianatan dan penantian.

Selain mereka berdua, aku juga suka dengan tokoh Hamish Kaliangga, reinkarnasi the greatest La Galigo. Dia kocak dan bisa membawa warna yang lebih fun ke cerita ini. Dia scene stealer kalau menurutku. Di sisi lain, masa lalunya sebagai La Galigo itu punya perkembangan karakter yang menarik—(spoiler alert) bayangkan saja, dia berubah dari orang yang meyakini hidup ini bermakna menjadi orang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Itu perkembangan karkater yang depressing in interesting way. Tokhoh pendukung lain yang mencuri perhatianku (dan pasti semua pembaca) adalah Pallawa Ruka, atau dikenal sebagai Laut Aru di tahun 2022. Aduh, aku tidak perlu menjelaskan sepertinya. Kalian baca sendiri supaya tahu alasannya dia mencuri perhatian.

Ketika awal membaca buku ini, aku tidak berekspektasi macam-macam. Aku pikir ya ini sekadar cerita cinta lama yang bersemi kembali di kehidupan selanjutnya. Akan tetapi, aku dikejutkan dengan jalan ceritanya yang makin lama terasa makin dalam. Meskipun berpusar pada drama romantis, tetapi banyak insights penting di dalamnya. Misalnya, berulang kali dijelaskan tentang salah satu kelemahan manusia: sifat serakah. Itu disinggung berulang kali, bahwa manusia itu makhluk serakah dan itulah yang menimbulkan siandre bale atau kekacauan di masyarakat. Hal itu diperlihatkan dalam buku ini melalui pemerintahan yang korup, pengkhianatan dari seorang yang dipercaya, dan keegoisan untuk memiliki segalanya.

Cerita Lontara juga membahas pesan spiritual. Seakan ingin melawan narasi bahwa manusia makhluk egois dan serakah yang ingin menguasai segalanya, novel ini juga berulang kali mengatakan bahwa kekuatan langit lebih berkuasa daripada manusia. Kalau tidak salah, ada salah satu kalimat yang bilang bahwa takhta raja itu memang tinggi, tetapi masih ada langit yang lebih tinggi. Langit memiliki kuasa yang lebih besar daripada manusia, maka tidak seharusnya manusia egois dan serakah, merasa besar.

Kemudian, yang tidak aku duga-duga ialah cerita ini mengeksplorasi makna cinta dengan teramat dalam. Kisah Mabello dan Puang Riampulung, juga Abel dan Lendra menunjukkan betapa cinta itu kekuatan yang luar biasa. Cerita ini mampu menyampaikan betapa kompleksnya cinta—mulai dari sisi indahnya sampai sisi buruknya. Ada satu dialog antara Abel dan Hamish yang membuatku sampai menangis:

“Mish, you deserve to be loved. Cinta tidak setragis itu, cinta itu mengisi bukan mengosongkan, cinta itu saling mendampingi bukan berjalan sendiri. Maaf karena aku kamu jadi menganggap cinta serendah ini.”

Kalimat satu itu menyampaikan makna yang besar dan dalam tentang cinta, sampai membuatku menangis hanya membacanya.

Dan ketika membicarakan makna cinta pada buku ini, aku harus membicarakan akhir ceritanya—yang bisa menjadi spoiler besar bagi kalian, maka sebaiknya dilewati saja jika tidak mau membacanya. Akhir cerita ini mengingatkanku pada hubungan Rana dan Ferre dari novel Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Kisah Abel dan Lendra mirip dengan kisah Rana dan Ferre. Cinta mereka begitu menggebu-gebu, tetapi candu—indah sekaligus berbahaya bagi diri mereka.

Maka dari itu, aku pikir aku bisa mengerti alasan Lendra mengambil keputusan tersebut. Dia sadar bahwa mencintai Abel dan memiliki Abel adalah hal yang berbeda, dan jika dia mencintai dan memiliki Abel sekaligus, pada akhirnya itu akan menghancurkan dirinya ketika tiba saatnya Abel meninggalkannya. Tentu itu membuatku frustrasi, tetapi aku bisa mengerti (which doesn’t make it less frustrating). Cinta mereka mengikat dan mengekang, menghancurkan ketika tak lagi bersama, dan itu tidaklah baik.

Di sisi lain, cinta pria satu itu (mari sebut demikian agar tidak terlalu spoiler) membebaskan. Meski berat harus melihat wanita yang dia cinta bahagia karena orang lain, dia tetap mencintai wanita itu dengan sepenuh hatinya. Ketika wanita itu memilihnya bukan karena cinta, dia pun tetap mencintainya tanpa berkurang. Bahkan ketika kehilangan wanita itu, dia menggunakan kenangannya akan wanita itu sebagai kekuatan untuk terus melangkah ke depan. Dia tidak hancur dan kehilangan dirinya ketika cintanya pergi. Itu cinta yang membebaskan, cinta yang teramat besar yang hanya mungkin dimiliki orang berhati besar.

Maka dari itu aku bilang buku ini memperlihatkan cinta dari sisi buruk dan indahnya. Betapa emosionalnya perjalanan untuk melihat hal itu. Aku sampai menangis membacanya. Satu kalimat yang sangat romantis yang ada dalam buku ini:

“Aku sudah mengunjungi banyak tempat tetapi aku tidak pernah menemukan tempat yang terbaik selain di tempat ini (di sisimu).”

 

Kelemahan

Satu kelemahan besar buku ini: penulisannya. Bukan gaya narasi Windy Joana yang bermasalah, aku suka kok. Namun, ejaan dan tata kalimatnya banyak yang berantakan. Ada banyak typo yang kadang tidak masalah, tapi kadang menyebalkan. Kemudian, tata kalimatnya kadang tidak rapih. Ada kata yang diulang-ulang dalam kalimat yang sama sehingga agak risih saat dibaca. Ada beberapa kalimat yang susunan katanya terbalik sehingga sempat membuatku bingung sesaat. Sungguh geregetan rasanya melihat cerita sebagus ini tapi ejaan dan tata kalimatnya tidak rapih. Rasanya aku ingin meminta drafnya dan kuperbaiki sendiri, hahaha. Mungkin karena buku ini diterbitkan oleh penerbit indie sehingga tidak melewati proses penyuntingan, atau apa entahlah—tetapi melihat penulisan cerita ini akan membuatmu geregetan sendiri pasti, hahaha.

Sementara dari segi cerita, aku agak kecewa dengan peran Marcello. (Spoiler alert) dia adalah reinkarnasi dari biang keladi konflik di tanah Riampulung pada abad ke-15 masehi lampau, tetapi dia tidak berperan apa-apa pada masa sekarang. Dia masih memiliki karakter yang mirip, sama-sama serakah dan ingin berkuasa, maka seharusnya dia menjadi antagonis yang potensial, tetapi ternyata perannya hanya segitu. Setidak-tidaknya, kalaupun dia tidak ingin dijadikan musuh, aku ingin melihat penyelesaian antara dia dengan Abel dan Lendra, sebuah rekonsiliasi yang sepatutnya terjadi.

Kemudian, akhir cerita ini—aku sudah mengatakan bahwa akhirnya indah karena mengeksplorasi makna cinta, tetapi di sisi lain aku merasa akhirnya kurang pas juga. Oh iya, karena ini lagi-lagi akan spoiler besar, sebaiknya tidak kalian baca dan lewati saja kalau kalian tidak mau tahu. Oke, ketika biasanya aku terkena second lead syndrome, kali ini aku malah terkena main lead syndrome! Tega sekali Windy Joana.

Masalahnya adalah peran pria itu sebagai second lead baru mulai kuat di akhir-akhir, sedangkan sebelumnya dia seperti tokoh pendukung biasa—meskipun dirinya yang di abad ke-15 itu perannya kuat sih. Akibatnya, pembaca sudah terlalu terikat dengan pasangan main leads-nya sehingga agak susah menerima akhir seperti itu. Apalagi, fase romantis antara si main female lead dengan male second lead-nya sebentar sekali dan—kalau dijadikan film—terkesan seperti montase. Bagiku itu masih kurang untuk beralih kapal, hahaha. Ya, memang bukan akhir yang kuharapkan, tetapi mungkin itulah akhir terbaik bagi semuanya.

 

Kesimpulan

Lontara adalah novel yang pasti sangat menarik bagi kalian yang ingin mengeksplorasi cerita baru. Lontara menawarkan kebaruan dengan mengangkat tema mitologi Bugis, sehingga menjadikannya representasi keberagaman budaya Indonesia, melawan mainstream yang menggunakan budaya Jawa. Dengan bertemakan mitologi Bugis tersebut, novel ini menceritakan sebuah kisah cinta yang penuh lika-liku dan emosi. Alurnya akan membuatmu berdebar dan terus penasaran untuk mengetahui akhirnya. Walaupun latar waktunya ada dua: abad ke-15 dan tahun 2022, pembaca tidak akan terasa risih dengan pergantiannya yang bolak-balik. Bahkan, Windy Joana mampu merangkainya sehingga membuat jalan cerita terasa seru.

Akan tetapi, masih banyak sekali typo dan tata kalimat yang berantakan sehingga bisa membuat kalian risih ketika membacanya. Aku merasa geregetan sekali karena cerita sebagus ini penulisannya tidak rapih. Namun, kalau kalian bisa mengabaikan itu, kalian akan mendapatkan sebuah kisah cinta luar biasa. Ceritanya ini tidak sekadar tentang usaha dua orang untuk bersatu setelah gagal di kehidupan lampau. Lontara juga memberi kritik terhadap keserakahan manusia, memberi pesan spiritual, serta mengeksplorasi makna cinta yang lebih mendalam. Sebenarnya aku ingin memberikan skor yang lebih tinggi, tetapi karena penulisannya masih berantakan, saat ini kuberi 8,5/10. Buku ini patut dibaca siapapun, terutama yang suka dengan kisah-kisah romantis.

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!

Komentar