Identitas
Buku
Judul
|
:
|
Lontara
|
Penulis
|
:
|
Windy
Joana
|
Penerbit
|
:
|
LoveRinz
Publishing
|
Tahun
terbit
|
:
|
2023
|
Cetakan
|
:
|
I
|
Tebal
|
:
|
327
halaman
|
Harga
|
:
|
Rp110.000
|
SBN
|
:
|
5712704230052
|
Genre
|
:
|
Drama romantis, fiksi sejarah, mitologis, supranatural
|
Tentang
Penulis
Windy Joana adalah seorang penulis Indonesia yang
berasal dari kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Wanita lulusan ilmu politik di
salah satu universitas swasta di Makassar ini memang hobi membaca sejak kecil,
serta berniat menekuni dunia sastra sejak SMA. Karir menulisnya secara
profesional bermula ketika tulisannya di internet menarik perhatian sebuah
penerbit.
Sekarang, Windy Joana telah menulis beberapa
buku: Malang Untold Story (2021, yang
berkolaborasi dengan penulis Tenderlova), Lovechitec
(2021), Makassar: Mantra tentang Hujan
(2022), dan Titik Nadir (2022).
Meskipun buku-bukunya hanya bisa dibeli secara pre-order ‘prapesan’ yang
hanya ada setahun sekali, ternyata ada banyak sekali peminat buku-bukunya. Novel
terbarunya, Lontara juga mendulang
popularitas dan apreseiasi di kalangan pembaca. Kalian dapat mengikuti update terbaru Windy Joana di
Instagram-nya, @winjo_h.
Sinopsis
Dalam epos La Galigo
yang ditulis menggunakan aksara lontara yang berasal dari suku Bugis, konon ada
makhluk yang disebut to manurung.
Mereka adalah manusia langit yang rupawan, suci, dan abadi yang diturunkan
Dewata UsewaE (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menghentikan siandre bale ‘kekacauan di masyarakat’. Sesampainya di bumi, biasanya
para to manurung dipercaya oleh
masyarakat untuk mengambil alih takhta dan memimpin mereka. Sampai pada
akhirnya, ketika sang to manurung
menikahi manusia bumi atau wangsa tanah
dan memiliki keturunan bersama dengannya, dia akan kehilangan keabadiannya dan
menua, menyatu seutuhnya dengan wangsa tanah
tersebut.
Konon, semua kerajaan di Sulawesi Selatan
memiliki sistem pemerintahan to manurung ini.
Mereka diperintah oleh manusia langit tersebut dan keturunannya. Semua kecuali Kerajaan Wajo. Sejak dahulu, Kerajaan Wajo dipimpin oleh keturunan wangsa tanah dan menerapkan sistem
pemerintahan demokratis. Tidak pernah ada to
manurung yang diturunkan ke tanah itu.
Namun, itu menurut sejarah yang dicatat.
Bagaimana jika ternyata ada to manurung yang
pernah diturunkan di tanah itu, yang terletak di dekat sebuah danau luas yang
cantik? Bagaimana jika to manurung tersebut,
alih-alih disambut baik oleh masyarakat, malah tidak diinginkan, diusir
sehingga terhapus dari sejarah? Bagaimana jika, akibat tak pernah sepenuhnya
menyatu dengan wangsa tanah dan
menunaikan misinya, to manurung tersebut
masih ada sampai sekarang, hidup abadi selama ratusan tahun?
To Manurung Mabello Riampulung—atau yang dikenal
denan Mabello Cantika Kaliannga saat ini—telah menunggu sejak abad ke-15 untuk
bisa menuntaskan tujuannya diturunkan Dewata UsewaE ke bumi. Kini, dia
mendapatkan kesempatan itu lagi ketika orang-orang dari masa lalunya terlahir
kembali pada masa sekarang, termasuk cintanya yang konon ditakdirkan untuknya. Akankah
di masa ini, Mabello dapat menuntaskan tugasnya dan bersatu dengan cintanya,
atau malah mengulang kembali nasib tragis di masa lalu itu?
Kelebihan
Tentu kelebihan pertama yang akan aku bicarakan
adalah tema mitologi Bugisnya. Aku terkesan sekali dengan Kak Windy Joana
karena terpikirkan untuk menulis cerita historical
fiction ‘fiksi sejarah’ yang berbalut elemen mitologi Bugis ini. Aku sempat
melihat di Instagram, Kak Windy Joana menulis Lontara karena sebelumnya suka sekali dengan buku Mada (2021) dan Renjana (2021), tapi lalu kecewa karena belum
ada cerita sejenis yang berlatarkan kerajaan di Sulawesi Selatan, tempat
asalnya.
Aku pribadi tidak tahu apa-apa soal mitologi
Bugis dan epos La Galigo. Maka dari itu, buku ini sangat menarik bagiku. Ketika
mengetahui akan ada buku berdasarkan mitologi Bugis, tentu aku langsung ingin
membacanya, karena selalu ada tempat di hatiku untuk cerita bertemakan
mitologi. Selain itu, Lontara menarik
sekali karena menjadi penyegaran dari tema mitologi Jawa yang mainstream pada kebanyakan buku-buku fantasi
Indonesia yang mengangkat budaya lokal. Boleh dibilang Lontara menjadi representasi keberagaman budaya Indonesia dari
tanah Sulawesi Selatan. Berkat buku ini, aku jadi ingin lebih banyak belajar
tentang mitologi Bugis. Oh iya, for your
information, sebelumnya aku pernah baca Gelombang
karya Dee Lestari yang sedikit mengangkat mitologi Batak, meski bukan
sebagai tema utama ceritanya.
Kalian yang tidak tahu apa-apa soal mitologi dan
kebudayaan Bugis tidak perlu khawatir tidak paham. Kak Windy Joana
menjelaskannya dengan cara yang mudah dipahami dan indah. Bahkan, ada semacam
glosarium istilah-istilah Bugis di dalamnya.
Kemudian, desain bukunya bagus banget. Sampulnya cantik
dan sesuai dengan isinya, bertemakan budaya Bugis. The credit goes to Kak Fahrul Bintoro, sang desainer sampulnya.
Kertas yang digunakan juga kualitas bagus, tebal dan halus, nyaman sekali
dipegang. Aku apresiasi penerbitnya, LoveRinz Publishing. Oh iya, kebetulan, Lontara adalah buku pertama terbitan
LoveRinz yang aku baca. Padahal LoveRinz adalah penerbit kecil, tetapi kualitas
fisik bukunya lebih oke daripada buku terbitan penerbit besar—keren banget!
Baiklah, mari membahas ceritanya. Lontara ini adalah gabungan genre fiksi
sejarah dan drama romantis yang menceritakan (spoiler alert) kisah cinta seorang to manurung yang hidup abadi sejak abad ke-15 sampai sekarang
dengan seorang raja dan reinkarnasinya di masa kini. Akibat konflik di masyarakat
serta dilema karena gengsi, cinta keduanya mengalami ujian sehingga sulit
bersatu. Ada dua latar waktu dalam buku ini: abad ke-15, ketika Kerajaan Wajo
belum ada, masih berupa kerajaan kecil yang disebut tanah Riampulung; dan tahun
2022, ketika orang-orang pada masa abad ke-15 bereinkarnasi dan bertemu kembali
di kehidupan baru.
Alur maju mundurnya tersebut bisa dinarasikan
dengan baik sehingga tidak membingungkan pembaca. Ada kalanya latar waktu abad
ke-15 menjadi penjelasan atas keadaan di masa kini. Di sisi lain, ada kalanya juga
latar waktu abad ke-15 tesebut terasa seperti alur utama dan latar masa kininya
menjadi fase penyelesaian semata. Jadi, fokus ceritanya di kedua latar waktu
tersebut. Pembaca tidak akan kebingungan dengan bolak-balik latar waktunya,
malah akan excited karena
kepingan-kepingannya merupakan rentetan sekuens yang dirajut dengan rapih.
Jalan ceritanya juga bagus sekali. Padahal ini
cerita drama romantis, bukan misteri atau thriller,
tapi aku deg-degan dan berdebar sewaktu membacanya. Kak Windy Joana pintar
sekali untuk mengungkapkan kejadian di abad ke-15 dengan perlahan—pace-nya tepat. Sepanjang membaca, aku
selalu berpikir “Ada apa sih di masa lalunya itu? Kok jadi begini sekarang?”. Aku
merasa geregetan melihat tarik ulur hubungan Mabello dan Puang Riampulung, juga Abel dan Lendra. Pertanyaan yang terus
memubuatku penasaran dengan cerita ini adalah “Mengapa Mabello dan Puang Riampulung gagal bersatu dahulu?”
dan “Apa bisa keduanya mengubah takdir mereka di masa kini?”. Dan Kak Windy
Joana menjawab kedua pertanyaanku dengan membawaku melewati dinamika yang penuh
emosi dari kisah ini.
Gaya narasi Windy Joana juga terbilang berbeda.
Gaya narasinya mengingatkanku pada buku Tere Liye karena suka menyelipkan
kalimat-kalimat indah dan terkesan puitis—kalimat yang akan terlihat bagus
menjadi quotes of the day. Namun, dia
punya ciri khasnya sendiri, apalagi dia terkadang menggunakan kata yang jarang
digunakan, seperti menggunakan “netra” sebagai pengganti “mata” dan “larung”
sebagai pengganti “tenggelam”. Aku juga suka karena dia menggunakan gaya bahaya
yang lebih santai untuk dialog sehingga tidak terkesan kaku. Cukup pada narasi
saja yang kalimatnya puitis.
Tiap tokoh didesain dengan menarik dan memiliki
karakter unik masing-masing. Aku suka dengan kedua tokoh utamanya. Puang Riampulung memiliki masa lalu yang
kompleks dan gengsi yang tinggi sebagai pemimpin, tapi dia juga penyayang dan
gombal. Walaupun agak menyebalkan pada beberapa kesempatan, pergulatan internalnya
yang ingin mencinta dan ingin tetap berkuasa itu menarik. Kemudian, ada Mabello
yang memiliki perkembangan karakter yang bagus.
Dahulu dia sangat polos walau cerdas, tapi kini dia sudah lebih cerdik dan
berani. Itu didapatkan melalui perjalanan hidup yang tidak mudah—berulang kali
patah hati dan dikhianati. Aku tidak bisa membayangkan hidup menjadi dia, yang
ingin mati karena telah kehilangan tujuan hidup, tapi malah terpaksa menjalani
kehidupan yang penuh pengkhianatan dan penantian.
Selain mereka berdua, aku juga suka dengan tokoh
Hamish Kaliangga, reinkarnasi the
greatest La Galigo. Dia kocak dan bisa membawa warna yang lebih fun ke cerita ini. Dia scene stealer kalau menurutku. Di sisi
lain, masa lalunya sebagai La Galigo itu punya perkembangan karakter yang
menarik—(spoiler alert) bayangkan
saja, dia berubah dari orang yang meyakini hidup ini bermakna menjadi orang
yang mengakhiri hidupnya sendiri. Itu perkembangan karkater yang depressing in interesting way. Tokhoh
pendukung lain yang mencuri perhatianku (dan pasti semua pembaca) adalah
Pallawa Ruka, atau dikenal sebagai Laut Aru di tahun 2022. Aduh, aku tidak
perlu menjelaskan sepertinya. Kalian baca sendiri supaya tahu alasannya dia
mencuri perhatian.
Ketika awal membaca buku ini, aku tidak
berekspektasi macam-macam. Aku pikir ya ini sekadar cerita cinta lama yang
bersemi kembali di kehidupan selanjutnya. Akan tetapi, aku dikejutkan dengan
jalan ceritanya yang makin lama terasa makin dalam. Meskipun berpusar pada
drama romantis, tetapi banyak insights
penting di dalamnya. Misalnya, berulang kali dijelaskan tentang salah satu
kelemahan manusia: sifat serakah. Itu disinggung berulang kali, bahwa manusia
itu makhluk serakah dan itulah yang menimbulkan siandre bale atau kekacauan di masyarakat. Hal itu diperlihatkan dalam
buku ini melalui pemerintahan yang korup, pengkhianatan dari seorang yang
dipercaya, dan keegoisan untuk memiliki segalanya.
Cerita Lontara
juga membahas pesan spiritual. Seakan ingin melawan narasi bahwa manusia
makhluk egois dan serakah yang ingin menguasai segalanya, novel ini juga
berulang kali mengatakan bahwa kekuatan langit lebih berkuasa daripada manusia.
Kalau tidak salah, ada salah satu kalimat yang bilang bahwa takhta raja itu
memang tinggi, tetapi masih ada langit yang lebih tinggi. Langit memiliki kuasa
yang lebih besar daripada manusia, maka tidak seharusnya manusia egois dan serakah,
merasa besar.
Kemudian, yang tidak aku
duga-duga ialah cerita ini mengeksplorasi makna cinta dengan teramat dalam. Kisah
Mabello dan Puang Riampulung, juga
Abel dan Lendra menunjukkan betapa cinta itu kekuatan yang luar biasa. Cerita
ini mampu menyampaikan betapa kompleksnya cinta—mulai dari sisi indahnya sampai
sisi buruknya. Ada satu dialog antara Abel dan Hamish yang membuatku sampai
menangis:
“Mish,
you deserve to be loved. Cinta tidak
setragis itu, cinta itu mengisi bukan mengosongkan, cinta itu saling
mendampingi bukan berjalan sendiri. Maaf karena aku kamu jadi menganggap cinta
serendah ini.”
Kalimat satu itu menyampaikan makna yang besar dan
dalam tentang cinta, sampai membuatku menangis hanya membacanya.
Dan ketika membicarakan makna cinta pada buku
ini, aku harus membicarakan akhir ceritanya—yang bisa menjadi spoiler besar
bagi kalian, maka sebaiknya dilewati saja jika tidak mau membacanya. Akhir
cerita ini mengingatkanku pada hubungan Rana dan Ferre dari novel Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Kisah
Abel dan Lendra mirip dengan kisah Rana dan Ferre. Cinta mereka begitu
menggebu-gebu, tetapi candu—indah sekaligus berbahaya bagi diri mereka.
Maka dari itu, aku pikir aku bisa mengerti alasan
Lendra mengambil keputusan tersebut. Dia sadar bahwa mencintai Abel dan
memiliki Abel adalah hal yang berbeda, dan jika dia mencintai dan memiliki Abel
sekaligus, pada akhirnya itu akan menghancurkan dirinya ketika tiba saatnya
Abel meninggalkannya. Tentu itu membuatku frustrasi, tetapi aku bisa mengerti (which doesn’t make it less frustrating).
Cinta mereka mengikat dan mengekang, menghancurkan ketika tak lagi bersama, dan
itu tidaklah baik.
Di sisi lain, cinta pria satu itu (mari sebut
demikian agar tidak terlalu spoiler)
membebaskan. Meski berat harus melihat wanita yang dia cinta bahagia karena
orang lain, dia tetap mencintai wanita itu dengan sepenuh hatinya. Ketika wanita
itu memilihnya bukan karena cinta, dia pun tetap mencintainya tanpa berkurang.
Bahkan ketika kehilangan wanita itu, dia menggunakan kenangannya akan wanita
itu sebagai kekuatan untuk terus melangkah ke depan. Dia tidak hancur dan
kehilangan dirinya ketika cintanya pergi. Itu cinta yang membebaskan, cinta
yang teramat besar yang hanya mungkin dimiliki orang berhati besar.
Maka dari itu aku bilang
buku ini memperlihatkan cinta dari sisi buruk dan indahnya. Betapa emosionalnya
perjalanan untuk melihat hal itu. Aku sampai menangis membacanya. Satu kalimat
yang sangat romantis yang ada dalam buku ini:
“Aku
sudah mengunjungi banyak tempat tetapi aku tidak pernah menemukan tempat yang
terbaik selain di tempat ini (di sisimu).”
Kelemahan
Satu kelemahan besar buku ini: penulisannya.
Bukan gaya narasi Windy Joana yang bermasalah, aku suka kok. Namun, ejaan dan
tata kalimatnya banyak yang berantakan. Ada banyak typo yang kadang tidak masalah, tapi kadang menyebalkan. Kemudian,
tata kalimatnya kadang tidak rapih. Ada kata yang diulang-ulang dalam kalimat
yang sama sehingga agak risih saat dibaca. Ada beberapa kalimat yang susunan
katanya terbalik sehingga sempat membuatku bingung sesaat. Sungguh geregetan
rasanya melihat cerita sebagus ini tapi ejaan dan tata kalimatnya tidak rapih.
Rasanya aku ingin meminta drafnya dan kuperbaiki sendiri, hahaha. Mungkin
karena buku ini diterbitkan oleh penerbit indie
sehingga tidak melewati proses penyuntingan, atau apa entahlah—tetapi
melihat penulisan cerita ini akan membuatmu geregetan sendiri pasti, hahaha.
Sementara dari segi cerita, aku agak kecewa
dengan peran Marcello. (Spoiler alert)
dia adalah reinkarnasi dari biang keladi konflik di tanah Riampulung pada abad
ke-15 masehi lampau, tetapi dia tidak berperan apa-apa pada masa sekarang. Dia
masih memiliki karakter yang mirip, sama-sama serakah dan ingin berkuasa, maka
seharusnya dia menjadi antagonis yang potensial, tetapi ternyata perannya hanya
segitu. Setidak-tidaknya, kalaupun dia tidak ingin dijadikan musuh, aku ingin
melihat penyelesaian antara dia dengan Abel dan Lendra, sebuah rekonsiliasi
yang sepatutnya terjadi.
Kemudian, akhir cerita ini—aku sudah mengatakan
bahwa akhirnya indah karena mengeksplorasi makna cinta, tetapi di sisi lain aku
merasa akhirnya kurang pas juga. Oh iya,
karena ini lagi-lagi akan spoiler besar,
sebaiknya tidak kalian baca dan lewati saja kalau kalian tidak mau tahu.
Oke, ketika biasanya aku terkena second
lead syndrome, kali ini aku malah terkena main lead syndrome! Tega sekali Windy Joana.
Masalahnya adalah peran pria itu sebagai second lead baru mulai kuat di
akhir-akhir, sedangkan sebelumnya dia seperti tokoh pendukung biasa—meskipun
dirinya yang di abad ke-15 itu perannya kuat sih. Akibatnya, pembaca sudah
terlalu terikat dengan pasangan main
leads-nya sehingga agak susah
menerima akhir seperti itu. Apalagi, fase romantis antara si main female
lead dengan male second lead-nya
sebentar sekali dan—kalau dijadikan film—terkesan seperti montase. Bagiku itu
masih kurang untuk beralih kapal, hahaha. Ya, memang bukan akhir yang
kuharapkan, tetapi mungkin itulah akhir terbaik bagi semuanya.
Kesimpulan
Lontara
adalah novel yang pasti sangat menarik bagi
kalian yang ingin mengeksplorasi cerita baru. Lontara menawarkan kebaruan dengan mengangkat tema mitologi Bugis,
sehingga menjadikannya representasi keberagaman budaya Indonesia, melawan mainstream yang menggunakan budaya Jawa.
Dengan bertemakan mitologi Bugis tersebut, novel ini menceritakan sebuah kisah
cinta yang penuh lika-liku dan emosi. Alurnya akan membuatmu berdebar dan terus
penasaran untuk mengetahui akhirnya. Walaupun latar waktunya ada dua: abad
ke-15 dan tahun 2022, pembaca tidak akan terasa risih dengan pergantiannya yang
bolak-balik. Bahkan, Windy Joana mampu merangkainya sehingga membuat jalan
cerita terasa seru.
Akan tetapi, masih banyak sekali typo dan tata kalimat yang berantakan
sehingga bisa membuat kalian risih ketika membacanya. Aku merasa geregetan
sekali karena cerita sebagus ini penulisannya tidak rapih. Namun, kalau kalian
bisa mengabaikan itu, kalian akan mendapatkan sebuah kisah cinta luar biasa.
Ceritanya ini tidak sekadar tentang usaha dua orang untuk bersatu setelah gagal
di kehidupan lampau. Lontara juga
memberi kritik terhadap keserakahan manusia, memberi pesan spiritual, serta
mengeksplorasi makna cinta yang lebih mendalam. Sebenarnya aku ingin memberikan
skor yang lebih tinggi, tetapi karena penulisannya masih berantakan, saat ini
kuberi 8,5/10. Buku ini patut dibaca siapapun, terutama yang suka dengan
kisah-kisah romantis.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar