Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Suzume no Tojimari: Kisah tentang Perjalanan, Kehilangan, dan Pendewasaan
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas Film
Judul
:
Suzume no Tojimari
Sutradara
:
Makoto
Shinkai
Produser
:
Kōichirō Itō, Genki Kawamura
Tanggal rilis
:
11 November 2022 (Jepang), 8 Maret 2023
(Indonesia)
Sejak bertemu lelaki misterius yang tampan itu, Suzume
Iwato (Nanoka Hara) terseret dalam petualangan penting melintasi berbagai
wilayah di Jepang. Lelaki itu, Souta Munakata (Hokuto Matsumura) membawa Suzume
dalam perjalanan untuk menemukan pintu-pintu ajaib yang dapat menjadi Gerbang
ke dunia lain tempat makhluk Cacing raksasa hidup. Cacing raksasa tersebut
berusaha menyeberang ke dunia manusia melalui pintu-pintu tersebut, tetapi tiap
kali Cacing tersebut datang ke dunia manusia, dia menyebabkan gempa bumi yang
merusak segalanya.
Suzume dan Souta pergi untuk menutup kembali
pintu-pintu tersebut demi menghalang sang Cacing. Mereka harus menemukan
kembali seekor kucing yang sesungguhnya adalah jelmaan dewa yang bertugas
menahan Cacing tersebut memasuki dunia manusia.
Kelebihan
Seperti dua film terakhirnya, Makoto Shinkai
kembali memukau penonton dengan filmnya kali ini. Beberapa orang memuji film
ini, bahkan di Jepang, film ini teramat populer; tetapi beberapa orang kurang
menyukai film ini dibandingkan kedua film pendahulunya, Kimi no Na wa (2016)[1]
dan Weathering with You (2019).[2] Salah
satu argumen dari mereka yang kurang suka terhadap film ini adalah karena film
ini seperti mengulang kedua film sebelumnya tersebut, yakni tentang cinta dan
bencana alam.
Akan tetapi, aku tidak setuju jika Suzume no Tojimari dibilang mengulang
konsep Kimi no Na wa dan Weathering with You. Ya, idenya mungkin
mirip karena sama-sama tentang cinta dan bencana, tetapi pada Suzume no Tojimari, Makoto Shinkai
menerapkan beberapa treatment berbeda
yang tidak ada di kedua film sebelumnya. Bahkan, Makoto Shinkai terasa lebih
bereksperimen dengan hal baru dalam film ini.
Film ini mengusung format road movie atau film tentang perjalanan. Suzume dan Souta
berpergian ke berbagai tempat di Jepang untuk menutup pintu-pintu ajaib tempat
makhluk Cacing akan melintas. Maka dari itu, Suzume no Tojimari terasa sekali sebagai film petualangan. Ditambah
lagi, sepanjang perjalanan, Suzume bertemu orang-orang lokal dengan berbagai
dialek yang berbeda sehingga menguatkan vibes
perjalanannya.
Selain itu, hal yang berbeda pada film Suzume no Tojimari adalah keberadaan
makhluk-makhluk fantasinya. Dalam film ini ada makhuk Cacing raksasa yang mampu
menyebabkan gempa bumi ketika bergerak dan ada kucing bernama Daijin yang
sebenarnya adalah jelmaan dewa yang menjaga Cacing tersebut agar tak bisa
melintas ke dunia manusia. Makhluk Cacing tersebut rupanya terinspirasi dari
mitologi Jepang tentang Namazu,
makhluk berwujud Ikan Lele raksasa yang berada di bawah daratan Jepang.
Diyakini bahwa ketika Namazu si Ikan Lele bergerak, dia akan mengguncangkan
bumi sehingga terjadi gempa.
Makoto Shinkai memodifikasi mitos tersebut dengan
mengubah Namazu menjadi Mimizu yang berarti Cacing. Uniknya adalah mitos yang
dimodifikasi Makoto Shinkai malah mirip dengan mitos Mesir Kuno. Dalam mitologi
Mesir Kuno, Dewi Kucing Bast ditugasi Dewa Matahari Ra untuk mencegah Dewa
Kekacauan Apophis, yang berwujud monster ular, menghancurkan dunia. Itu mirip
dengan Daijin yang berwujud kucing yang mencegah makhluk Cacing (yang mirip
dengan ular) menghancurkan dunia dengan gempa bumi.
Selain menggunakan mitos Jepang asli, Makoto
Shinkai juga merujuk pada peristiwa-peristiwa gempa besar di Jepang sebagai
referensi dalam memilih lokasi-lokasi ceritanya. Dikatakan bahwa pintu-pintu
ajaib tersebut terbuka di tempat-tempat reruntuhan yang terlupakan. Rupanya,
kota-kota dan reruntuhan-reruntuhan yang didatangi Suzume dan Souta merupakan lokasi-lokasi gempa bumi besar di Jepang selama 100 tahun terakhir. Dalam suatu
artikel, aku membaca bahwa Makoto Shinkai terinspirasi dari peristiwa gempa dan
tsunami di Tōhoku pada 11 Maret 2011 silam sehingga membuat film ini.
Makoto Shinkai sepertinya ingin menjadikan film
ini sebagai momen untuk mengajak orang-orang merenung bahwa manusia tak berdaya
di hadapan kekuatan alam. Dalam film ini, Suzume dan Souta mendatangi
reruntuhan sisa gempa bumi, mulai dari kawasan perkotaan, bangunan sekolah
unggulan, sampai taman bermain yang menyenangkan. Namun, semua hanya tinggal
kenangan manis dalam ingatan, menjadi pengingat bahwa tak ada yang abadi, bahwa
segalanya akan kembali ke alam. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Souta dalam
jampi-jampinya tiap kali dia ingin menyegel pintu-pintu ajaib tersebut.
Bagi orang-orang Jepang, film ini pasti sangat
membekas karena mengingatkan mereka kembali pada peristiwa-peristiwa kelam
tersebut. (Spoiler alert) dalam satu
adegan, ketika makhluk Cacing tersebut muncul di Tokyo—sesaat sebelum Cacing
tersebut jatuh ke bumi, diperlihatkan montase aktivitas penduduk Tokyo pada
saat itu. Mereka tampak clueless bahwa
nyawa mereka dalam bahaya. Itu menyadarkanku bahwa gempa bumi memang seperti
itu, bisa tiba-tiba muncul dan merenggut nyawa banyak orang di saat paling
tidak kita prediksikan. Itu membuatku merinding ketika menontonnya.
Akan tetapi, rupanya Makoto Shinkai inging
membahas lebih dari gempa saja dalam film ini. Dia juga ingin membahas trauma sebagai
dampak psikologis yang dirasakan para penyintas gempa. (Spoiler alert) Suzume sendiri sebagai seorang penyintas bencana
gempa bumi juga memiliki trauma. Akibat bencana tersebut dia harus kehilangan
ibunya ketika dia masih anak-anak, lalu dia pun dirawat oleh tantenya.
Traumanya tersebut tampaknya menyebabkan hubungan
tak baik dengan tantenya. Di luar mereka tampak baik-baik saja, tetapi sikap overprotective tantenya membuat Suzume
merasa dikekang. Maka dari itu, ketika pertama kalinya dia pergi tanpa
tantenya, segala gejolak yang lama ia simpan dalam hatinya pun meledak keluar. Ketika
keduanya bertengkar, itu sedih banget. Keduanya saling menyakiti dengan kata-kata
yang tidak mereka maksudkan. Oleh karena itu, ketika keduanya berbaikan, aku
merasa terharu.
Apalagi, momennya pas sekali, yaitu ketika Suzume
kembali ke kampung halamannya, kembali ke titik awal traumanya dimulai. Salah
satu cara menyembuhkan trauma adalah kembali ke titik awal, ke peristiwa yang
menjadi penyebab trauma itu sendiri. Kepulangannya itu pun rupanya
mengungkapkan suatu fakta soal masa lalu Suzume.
Kemudian, di adegan
terakhir, ketika Suzume bertemu seorang anak tersesat yang sedang ketakutan, dia
menyampaikan sesuatu yang begitu indah. Kurang lebih seperti ini:
“Sesedih
apapun kamu saat ini, kamu akan tumbuh besar. Kamu akan bertemu orang-orang
yang kamu sayangi. Dan kamu akan bertemu orang-orang yang akan menyayangimu.”
Kelemahan
Treatment
baru lainnya yang digunakan Makoto Shinkai
dalam film ini adalah tidak menggunakan lagu berlirik sebagai soundtrack yang mengiringi
adegan-adegannya. Pada film Kimi no Na wa,
ada adegan yang begitu mendebarkan ketika Mitsuha berjuang memperingatkan
penduduk Desa Itomori bahwa pecahan komet akan jatuh di sana, yang diiringi
lagu Sparkle oleh RADWIMPS. Pada film
Weathering with You, ada adegan romantis
ketika Hodaka menjemput Hina untuk kabur dari langit dan kembali ke dunia, yang
diiringi lagu Grand Escape oleh
RADWIMPS feat Toko Miura. Akan
tetapi, hal serupa tak ada di Suzume no
Tojimari.
Dalam film ini hanya ada scoringbiasa yang menghidupkan suasana adegan-adegannya. Akan tetapi, itu sangat
disayangkan sebab lagu-lagu dalam soundtrack
film ini tidak kalah enak didengar. Sebut saja, ada lagu Suzume(oleh RADWIMPS feat Toaka) dan KANATA HALUKA(oleh RADWIMPS)
yang bagus sekali. Lagu-lagu tersebut pasti bisa menyempurkan adegan-adegan
tertentu dalam film ini seandainya saja diputar sebagai pengiring adegan.
Kemdian, agak berbeda dari kedua film sebelumnya,
romansa dalam Suzume no Tojimari tak
sekuat itu. Kimi no Na wa dan Weathering with You memang fokus pada
romansa remaja, tetapi Suzume no Tojimari
berfokus pada petualangan mencegah bencana. Maka dari itu, romasa adalah hal
sampingan dalam film ini. Akan tetapi, itu malah membuat romansa antara Suzume
dan Souta terasa kurang mulus. Mereka baru bertemu beberapa hari, tetapi
perasaan Suzume cepat sekali berubah dari kagum menjadi cinta.
Selain itu, motivasi Suzume untuk turut
bertualang bersama Souta kurang kuat, bahkan bisa dibilang kurang jelas. Aku
pikir Suzume turut membantu Souta karena dia merasa bersalah telah melepaskan
Batu Kunci yang menjadi penahan pintu ajaib di Kyushu. Namun, sepanjang perjalanan
itu dia tidak terlihat bersalah. Malahan, sepertinya motivasi dia adalah
perasaannya kepada Souta—yang terasa terlalu dipaksakan dalam cerita. Maka dari
itu, motivasinya sebagai protagonis tidak terlalu jelas.
Kesimpulan
Suzume
no Tojimari adalah satu lagi karya besar
dari Makoto Shinkai. Ceritanya pun terkesan berbeda dari film-film Makoto
Shinkai yang lain, karena ada beberapa treatment
baru yang digunakan. Dengan mengusung konsep road movie, film ini mengajak penonton bersama Suzume dan Souta
pergi ke tempat-tempat gempa bumi besar pernah terjadi di Jepang untuk
mengenang peristiwa kelam tersebut. Seakan-akan, Makoto Shinkai ingin
mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi dan semua akan kembali ke alam.
Akan tetapi, sangat disayangkan lagu-lagu indah
dalam soundtrack-nya tidak diputar untuk
mengiringi adegan-adegan dalam filmnya. Padahal, itu bisa menyempurnakan
adegan-adegan tertentu. Selain itu, romansa serta motivasi protagonisnya kurang
kuat dalam film ini. Namun, lebih daripada itu, Suzume no Tojimari juga mengangkat masalah trauma dan pendewasaan. Film
ini juga ingin mengatakan kepada penonton bahwa menjadi dewasa itu tidak
menakutkan. Aku memberikan skor 8,5/10 untuk Suzume no Tojimari.
Jika kalian tertarik dengan filmnya, kalian bisa tonton trailer-nya di bawah ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar