Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Dear David: Film Drama Remaja yang Berani, tapi Banyak Kontroversi
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas Film
Judul
:
Dear David
Sutradara
:
Lucky
Kuswandi
Produser
:
Meiske Taurisia, Muhammad Zaidy
Tanggal rilis
:
9 Februari 2023
Rumah produksi
:
Palari Films, Netflix Studios
Penulis naskah
:
Winnie Benjamin, Daud Sumolang, Muhammad
Zaidy
Durasi tayang
:
1 jam 58 menit
Pengisi suara
:
Shenina Cinnamon, Emir Mahira, Caitlin
North Lewis
Laras (Shenina Cinnamon) hanyalah gadis remaja
biasa dengan segudang prestasi yang memungkinnya mendapat beasiswa. Dia
menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahnya. Dia juga disenangi guru-guru.
Sekilas, dia tampak mengagumkan, walau sebenarnya diam-diam Laras menyembunyikan
rahasia. Dia menaruh hati pada teman sekolahnya, David (Emir Mahira). Akan
tetapi, Laras menyalurkan rasa sukanya kepada David dengan menulis cerita-cerita
erotis tentang dirinya dan David di blog pribadinya.
Namun, akibat kecerobohannya, cerita erotis Laras
ketahuan oleh seseorang dan disebarkan ke komunitas daring sekolahnya. Kini,
semua orang membaca cerita tersebut, tetapi belum ada yang tahu bahwa Laras-lah
penulisnya, meski itu persoalan waktu saja. Laras harus menyembunyikan semuanya,
karena jika sampai ia ketahuan, tidak hanya pertemanannya dengan David akan
rusak, beasiswanya juga bisa dicabut.
Kelebihan
Sejujurnya, Dear
David memberikan kesan yang bercampur bagiku. Meski isunya menarik dan
penting, penyajiannya penuh kontroversi. Namun, aku akan membicarakan kelebihan
film ini dulu.
Dear
David termasuk film Indonesia yang
cukup berani karena mengangkat isu remaja yang sensitif. Film ini menampilkan
Laras, sesosok remaja yang sedang mengeksplorasi seksualitasnya. Memang remaja
seusia Laras biasanya mulai mengeksplorasi seksualitas mereka dan itu normal, meskipun
budaya di Indonesia menganggapnya bertentangan dengan moral. Oleh karena itu,
film ini termasuk berani menentang budaya tersebut dan menunjukkan bahwa tak
ada yang salah dari mengeksplorasi seksualitas di masa remaja. Malahan justru
seharusnya mereka diberikan pendidikan seks yang tepat agar tidak kebablasan.
Walaupun dibuka dengan suasana cerita yang lucu
dan lawak, tak disangka ternyata Dear
David memiliki konflik yang serius dan mendalam. Ketiga tokoh utamanya
memiliki masalah masing-msaing yang lekat bagi kalangan remaja. Mulai dari
masalah persahabatan, trauma, penerimaan diri, hubungan orang tua dengan anak, spritualitas,
sampai orientasi seksual. Semua masalah itu bisa dikemas dan diselesaikan dengan
baik, diatur dengan porsi yang tepat sehingga tidak terkesan terlalu banyak
mengangkat isu.
Dengan konflik yang menarik tersebut, penokohan
film ini juga didesain dengan sangat baik. Tidak hanya ketiga tokoh utamanya,
para tokoh pendukungnya juga merepresentasikan keadaan sekolah dengan cukup
realistis, mulai dari guru-guru sampai murid-murid dengan berbagai karakter—semua
menghidupkan suasana latar sekolahnya. Sementara untuk ketiga tokoh utamanya,
tidak sulit untuk menyukai mereka. Mereka sangat remaja, sangat natural—tidak
didesain menjadi remaja sok bijak atau terlalu nakal, masih believable. Apalagi, meski di sekolah
mereka tampak tangguh, rupanya mereka sangat rapuh.
Di antara ketiga tokoh utamanya, aku paling suka
dengan Dilla (Caitlin North Lewis). Dia menampilkan remaja yang rebel dan kompleks. Dia sebenarnya
memiliki kepribadian yang baik, hanya saja gayanya bertentangan dengan norma
sosial yang ada sehingga dia tidak disukai orang-orang. Namun, yang terlihat
justru orang-orang di sekitarnya, yang tidak menyukainya, malah berbuat tercela
dan bertentangan moral. Mereka melabeli Dilla sebagai jalang dan bahkan, tampak
beberapa murid melecehkannya—pelakunya pun baik laki-laki maupun perempuan. Ketika
orang-orang memperlakukan Dilla seakan dia manusia paling buruk, sesungguhnya
merekalah yang amat buruk tapi tidak sadar—dan itu sangat berbahaya.
Sementara itu, dua tokoh utama lainnya, Laras dan
David juga tidak kalah menarik. Mereka berdua sebagai pasangan utama di cerita
ini menambah warna pada film. Film ini menjadi paket lengkap—mengangkat isu serius,
juga menyuguhkan momen menggemaskan dan lawak. Tetap terasa film drama remaja,
tapi sarat kritik sosial. Momen favorit Laras-David yang menjadi favoritku
adalah waktu cerita tentang sang Penulis dan sang Pemain Bola—it’s just so sweet.
Tidak hanya tentang hubungan asmara remaja, momen
berkesan lain dari film ini adalah antara Laras dan ibunya. Relasi orang tua-anak
mereka tampak natural, tampak realistis. Yang lebih penting, ibunya Laras memperlihatkan
sosok orang tua yang suportif dan bijaksana, yang selalu mendukung anaknya
tetapi tidak dengan cara yang toksik. Meski ibunya mendorong Laras untuk
memohon ampun dengan pendekatan keagamaan, dia tidak serta-merta meremehkan
masalah Laras. Dia tetap mencoba memahami masalah putrinya tersebut, tetap
mencoba mendengarkan.
Selanjutnya, membicarakan isu sosial yang
diangkat film ini, salah satu yang paling kuat ialah tentang pelecehan seksual.
Dalam film ini, (spoiler alert) Dilla
dan David beberapa kali mengalami pelecehan seksual di sekolah, yang pelakunya
bisa laki-laki ataupun perempuan, bisa murid dan bahkan guru. Bentuk
pelecehannya pun mulai dari yang fisik sampai yang verbal, yang tampak harmless meski sesungguhnya harmful. Pelecehan-pelecehan seperti itu
nyatanya kerap terjadi di sekolah, tak perlu disebutkan ada berapa kasus karena
pasti masih banyak kasus yang tak terekspos di media. Namun, seperti yang
terjadi di film ini, sekolah sepertinya kurang tertarik untuk mengambil sikap,
memberikan keadilan atas kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan
sekolah.
Di sisi lain, isu pelecehan seksual ini menjadi
poin yang sangat kontroversial mengenai film ini karena banyak diperdebatkan
warganet di medsos. Apakah Laras melecehkan David? Tidak. Laras bebas
mengimajinasikan siapapun dan menuliskannya bagaimanapun sebab tidak ada yang
bisa mengatur isi pikiran seseorang—itu ranah privatnya. Apa yang ada
dipikirannya adalah miliknya seorang, dan apa yang ditulisnya adalah miliknya
seorang selama tidak dia publikasikan. Di dalam film ini ditegaskan bahwa Laras
menuliskan cerita-cerita erotisnya di akun yang terkunci sehingga hanya dia
yang bisa membacanya, maka tidak bisa disimpulkan bahwa dia melecehkan David.
Akan tetapi, bukan berarti Laras tidak salah.
Kesalahannya adalah ceroboh sampai cerita tersebut bisa tersebar. Namun, dalam
kasus seperti itu, pihak yang menyebarkannya juga sama bersalahnya dengan Laras
yang telah ceroboh tersebut. Bagaimanapun, dialah yang menyebarluaskan konten
erotis tersebut sampai bisa diakses publik. Tidak hanya melanggar privasi
digital seseorang, ia juga menyebarkan konten porno yang bertentangan dengan
hukum. Maka sudah sewajarnya yang menyebarkan juga harus dihukum. Akan tetapi, seringnya
yang terjadi di dunia kita adalah sama dengan yang terjadi di film ini: yang
menyebarkan tidak mendapat sanksi seperti yang membuat konten, bahkan acap kali
yang menyebarkan hilang dari sorotan media dan massa.
Kemudian, beberapa warganet berkomentar bahwa
aneh sekali David malah tidak benci ke Laras yang sudah menjadikannya fantasi
seksual. Well, di dunia ini sungguh
ada kok orang seperti David yang tidak masalah mengetahui dirinya dijadikan
fantasi seksual orang lain. Bahkan, ada orang yang justru tersanjung. Jadi,
apabila kamu merasa pasti benci pada Laras seandainya ada di posisi David,
bukan berarti David juga seharusnya begitu
ya. Apalagi, Laras pun langsung minta maaf setelah cerita itu tersebar.
Isu sosial terakhir dari film Dear David adalah bahwa sekolah sebagai
institusi pedidikan kerap gagal memberikan perlindungan terhadap ranah privat
murid-muridnya dan berbuat adil. Di film ini, sekolah tidak berbuat apa-apa
ketika David dan Dilla dilecehkan. Bahkan dalam kasusnya Dilla, pihak sekolah
malah menyalahkan gaya berpakaian Dilla di luar sekolah, seakan sekolah berwenang
mengatur ranah privat muridnya. Pihak sekolah juga malah hanya memberi tekanan
dan sanksi kepada Laras dan membiarkan saja yang menyebarkan konten erotis tersebut
bebas tanpa sanksi. Ironisnya, kebanyakan sekolah memang bersikap seperti itu. Mengutip
kata Laras, “Di sekolah ini ranah privasi cuma tahi kucing!”
Kelemahan
Hal pertama yang menjadi kekurangan film ini
adalah porsi cerita David yang tidak banyak. Dibandingkan dengan Laras dan
Dilla, porsi cerita David lebih sedikit sehingga pengembangan masalahnya
terbatas. Untung saja bisa diselesaikan dengan baik.
Kemudian, ini sebenarnya adalah preferensiku saja,
aku merasa pada beberapa adegan, akting Shenina Cinnamon mirip dengan
peran-peran dia sebelumnya. Sebelumnya, dia bermain di film Penyalin Cahaya (2021) yang perannya
mirip-mirip dengan perannya sebagai Laras di Dear David ini. Mungkin karena sudah sering melihat Shenina
Cinnamon berperan sebagai remaja problematik, aku jadi merasa peran dia selalu
mirip. Semoga saja Shenina Cinnamon tidak terjebak dalam peran tersebut, bisa
memerankan peran dengan karkater yang sama sekali baru—romcom mungkin?
Namun, problem yang lebih utama adalah cara film
ini menampilkan jokes yang sampai
keliru sekali. Pada beberapa adegan, tampak David dilecehkan secara seksual
oleh orang-orang di sekolah. Ada beberapa adegan pelecehan itu yang dibawakan
secara serius seakan ingin menegaskan bahwa itu masalah penting. Namun, lebih
banyak lagi adegan pelecehan seksual terhadap David yang dijadikan candaan
biasa, seakan itu adalah hiburan.
(Spoiler
alert) setelah cerita erotis Laras viral di sekolah mereka, banyak murid
perempuan yang menjadi penggemar David. Pada beberapa kesempatan, berkali-kali
mereka menatap David dengan tatapan yang penuh nafsu dan mengucapkan komentar
seperti “David buka baju dong”, bahkan gurunya pun menatap David seperti itu. Meski
disajikan sebagai sekadar lucu-lucuan, sebetulnya itu sudah pelecehan seksual.
Namun, film ini malah membuat seakan pelecehan yang dilakukan perempuan ke
laki-laki tersebut adalah hal biasa, lucu-lucuan, bahkan membanggakan. Seandainya
gendernya dibalik, tentu akan memunculkan reaksi yang berbeda.
Kesimpulan
Dear
David merupakan film yang berani
mengangkat isu remaja yang sensitif dan kompleks, mulai dari persahabatan, trauma,
hubungan orang tua dan anak, spiritualitas, sampai orientasi seksual. Meski
begitu, tetap ada momen lucu dan menggemaskan dalam film ini sehingga tetap
terasa menyenangkan. Selain itu, terdapat kritik sosial penting dalam film ini
seperti tentang pelecehan seksual dan perlindungan privasi oleh sekolah sebagai
institusi pendidikan. Akan tetapi, pada beberapa adegan, film ini
mengobjektifikasi laki-laki dengan cara yang terlalu berlebihan, bertentangan
sekali dengan kritik sosial yang dibawakan. Maka dari itu, aku hanya memberi
skor 6,8/10 untuk film ini, meskipun sebetulnya film ini bisa lebih baik
daripada ini.
Kalian bisa menonton Dear David di Netflix. Kalau kalian tertarik dengan filmnya, kalian bisa menonton trailer-nya di bawah ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar