Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Heartbreak Motel: Sebuah Novel Metropop-Coming of Age untuk Para Sinefil, tapi Konfliknya Terlalu Blur
Ika Natassa adalah seorang penulis asal Indonesia
yang lahir pada 25 Desember 1977. Sebelum berkarir sebagai penulis, dia adalah
seorang pegawai bank. Kini, Ika Natassa telah menulis 10 novel yang hampir
semuanya adalah best-seller di
Indonesia.
Novel debutnya adalah A Very Yuppy Wedding (2007). Berkat
novel tersebut, Ika Natassa menjadi nominasi dalam penghargaan Khatulistiwa
Literary Award pada tahun 2008 untuk kategori Penulis Muda Berbakat. Beberapa
novelnya yang lain adalah Antologi Rasa (2011),
Twivortiare (2012), Critical Eleven (2015), dan The Architecture of Love (2016).
Beberapa dari judul tersebut bahkan sudah diadaptasi menjadi film layer lebar,
dan film The Architecture of Love pun
akan segera tayang.
Prestasi lainnya yang diraih Ika
Natassa antara lain adalah menjadi delegasi Indonesia di Frankfurt Book Fair, meraih
penghargaan The Best Change Agent in Managerial Category di Bank Mandiri pada
tahun 2010, dan meraih penghargaan Women Icon Award oleh The Marketeers pada
tahun 2010.
Kemudian, pada tahun 2013, Ika
Natassa mendirikan perusahaan LitBox sebuah perusahaan start-up sastra yang bertujuan menyediakan buku-buku yang
direkomendasikan kepada pembaca, membantu penulis agar tulisan mereka dibaca
dan membantu memperkenalkan bakat baru.
Sinopsis
Ava Alessandra selalu menyukai pekerjaannya.
Bukan, dia mencintai pekerjaannya.
Dia adalah seorang aktris. Baginya, akting adalah caranya untuk menyalurkan
emosi yang terbendung dalam dirinya. Berkat kecintaannya pada profesinya
tersebut, Ava telah meraih kesuksesan besar sebagai seorang aktris.
Namun, tiap peran yang dia mainkan selalu
meninggalkan dampak yang besar pada dirinya. Itu sebabnya tiap selesai syuting
satu peran, Ava akan menyepi di kamar hotel yang dia sebut Heartbreak Motel. Pergi
menyepi di Heartbreak Motel adalah sebuah ritual penting baginya.
Akan tetapi, kali ini momen menyepinya terusik
oleh kenangan masa lalu yang mendadak merekah. Pria itu tidak berbuat banyak,
tetapi cukup untuk membuat Ava mengingat segala memori lama tentang mereka
berdua. Di sisi lain, ketika sedang menyepi di Heartbreak Motel, Ava bertemu
pria lain, pria yang membuatnya nyaman karena dia dapat melepas segala
embel-embel selebritasnya ketika bersama pria itu.
Kehadiran kedua pria itu menginterupsi masa
menyepinya serta menimbulkan berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam
benaknya. Apakah yang akan terjadi antara Ava dan kedua pria itu? Namun,
pertanyaan yang lebih penting bagi Ava: dampak apa yang kedua pria itu
tinggalkan pada dirinya?
Kelebihan
Sekadar informasi, ini adalah novel karya Ika
Natassa yang pertama kubaca. Sebelumnya aku belum pernah membaca novel
karyanya, walau aku tahu novel-novelnya sangat terkenal. Maka dari itu, aku
tidak bisa membandingkan cerita buku ini dengan buku-bukunya yang lain.
Baiklah, mari kita mulai reviunya ya.
Ika Natassa mengawali cerita ini dengan cara yang
tidak biasa. Aku sampai terkejut karena cerita di bab I tidak sesuai dengan blurb[1]yang ada di belakang buku. Nama tokoh utamanya saja berbeda. Namun, rupanya
itu caranya untuk menunjukkan bahwa tiap kali memainkan sebuah peran, Ava
menjadikan peran itu “dirinya.” Itu sebuah cara unik untuk mengawali
cerita—mengecoh pembaca—sekaligus cara unik untuk menggambarkan tokoh.
Untuk pendalaman karakter tokoh, Heartbreak Motel telah melaksanakannya
dengan baik. Buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama yang dinarasikan
langsung oleh Ava si tokoh utama. Ava kerap kali melontarkan segala isi pikiran
dan hatinya: kesedihannya, kebahagiaannya, kegelisahannya, keraguannya, dan
lain-lainnya. Semua itu tertulis dengan begitu jelas sampai aku bisa mengerti
dengan cukup baik mengenai perasaan tokoh tersebut. Kalimat-kalimat yang
dirangkai Ika Natassa juga sangat membantu agar kita memahami perasaan Ava.
Dalam menjelaskan pikiran
dan perasaan Ava, Ika Natassa kerap kali menyuguhkan berabgai potongan
informasi yang dapat dikaitkan dengan itu. Misalnya, ketika membahas tentang
ketersinggungan akibat komentar pedas warganet, ia menuliskan tentang konsep pemaknaan
atas suatu peristiwa dalam filsafat stoikisme, dan bahkan
mengkritiknya.
“Penganut
mahzab Stoicism mungkin akan bilang begini: ‘Agar bisa terjadi penghinaan,
harus ada yang merasa terhina.’ Meletakkan makna pada persepsi si penerima.
Sederhananya, jika komentar-komentar itu tidak membuatku merasa terhina, maka
ia bukan penghinaan. I get that, but I
also don’t get that. Adilnya, ketika kata-kata digunakan untuk komunikasi,
maknanya tidak hanya terletak pada persepsi, tapi juga intentsi. Jika ia
bermaksud menghina namun aku tidak merasa terhina, itu tetap penghinaan. Dan
jika ia tidak bermaksud menghina tapi aku merasa terhina, maka itu juga
penghinaan.” (p.95)
Itu cara yang cukup kreatif untuk memberikan
edukasi kepada pembaca—menyampaikan berbagai teori sains dan filsafat yang
relevan dengan kehidupan sehari-hari, lalu mengkritiknya untuk memberikan
perspektif berbeda. Itu menjadikan karkater Ava hidup, memiliki gagasannya
sendiri dan tidak sekadar tokoh yang dibuat-buat berdasarkan suatu teori.
Tidak hanya dengan
menggunakan teori filsafat dan sains, Ika Natassa terkadang menggunakan teori
tentang film dan akting serta berbagai referensi film sebagai contoh untuk
menggambarkan pikiran dan perasaan Ava. Diceritakan di buku ini bahwa selain
seorang aktris, Ava adalah seorang sinefil alias pecinta film. Referensi
tontonannya banyak sekali dan dia menggunakan referensi-referensi tersebut
untuk mendeskripsikan maksudnya. Misalkan saja:
“….
Anyway, here’s what I’m trying to say:
for the protagonist, romantic comedy is a journey of finding happiness despite
how chaotic and messy her life is. Despite how messy her love life is. Jules
di My Best Friend’s Wedding itu food critic ternama yang disegani
seantero jagat tapi langsung jadi bego dan nggak bisa berpikir jernih saat
berhadapan dengan urusan cinta. Akal sehatnya dibuang jauh-jauh tiap dia
mengambil keputusan demi keputusan sampai akhirnya dia sadar ini bukan perjuangan
yang bisa dia menangkan dan bahagianya dia sesederhana menerima bahwa Michael,
laki-laki yang dia cintai, bahagianya dengan perempuan lain, bukan dengan dia.
Andy (Anne Hathaway) di The Devil Wears
Prada harus jungkir balik mengurusi masalah pekerjaan dan percintaannya
sampai akhirnya dia melangkah penuh kemenangan dengan meninggalkan pekerjaan
yang diinginkan semua orang—'A million
girls would kill for this job’—dan mendapatkan pekerjaan yang sudah lama
dia impikan.” (p. 142)
Maka dari itu, bagi pecinta film, seperti aku,
membaca Heartbreak Motel seperti
sedang berdiskusi film dengan sesama pecinta film. Wajar saja banyak sekali
referensi film dalam novel ini sebab Ika Natassa sendiri seorang sinefil
rupanya. Dalam novel ini, pada beberapa kesempatan, dia seperti sedang mereviu
film—membicarakan berbagai teknis sinematografi, interpretasi makna dari
film-film, serta mengapresiasi aktor dan aktrisnya. Menariknya, Ika Natassa
menyebutkan beberapa judul film yang diadaptasi dari novelnya sendiri, seperti Critical Eleven (2017)—sebuah promosi
terselubung, hahaha.
Oh iya, sudah kah aku bilang bahwa membaca Heartbreak Motel seperti membaca buku
harian Ava Alessandra sendiri? Ya, kurang lebih seperti itulah rasanya. Pembaca
dapat meyelami pikiran dan perasaan Ava, termasuk yang tak dapat dia ungkapkan
ke orang-orang terdekatnya. Ketika membaca ini, rasanya seperti “mendengar”
(atau membaca) curhat Ava. Seakan, pembaca adalah orang yang cukup untuk
dipercaya Ava—ketika Ava sendiri bahkan tidak bisa percaya pada psikolog.
Ika Natassa dapat menggambarkan detail perasaan
Ava sampai aku bisa relate. There’re many moments which I can relate to
Ava. Misal, (spoiler alert)
ketika dia hanya ingin hubungannya dan Reza hanya untuk mereka berdua, tak
perlu jadi omongan publik. Atau ketika Ava muak saat hubungannya sudah menjadi
konsumsi publik dan berbagai komentar dari warganet membanjiri instagramnya.
Bahkan, aku juga bisa relate ketika
Ava ingin menyepi di hotel, tak ingin diganggu siapapun selama beberapa hari. Oh,
sungguh introvert sekali si Ava ini, hahaha.
Kemudian, hal lain yang aku rasa menarik dari
buku ini ialah adanya masalah tentang pelecehan seksual. (Spoiler alert) ada adegan dalam novel ini ketika Ava mengalami
pelecehan seksual saat dia sedang bekerja. Ika Natassa dengan sangat baik
menuliskan perasaan korban, betapa menderitanya korban pelecehan seksual.
Mereka menyalahkan diri sendiri, menganggap diri mereka menjijikkan, dan tidak
berani untuk menceritakannya. Aku harap dengan itu orang-orang bisa lebih
berempati kepada korban-korban pelecehan seksual di luar sana.
Sementara itu, untuk elemen romantisnya, tentu
aku suka sekali ketika Ava bersama Raga. Ika Natassa sepertinya sengaja
mendesain karakter Raga sebagai a real
gentleman. Aku suka cara Raga yang selalu menanyakan dan meminta izin Ava
ketika mau berpegangan tangan, mengajak pergi makan, dan lain-lainnya.
Kebanyakan orang menganggapnya awkward
ketika mau berpegangan tangan saat berkencan saja harus izin dulu. Namun, yang
Raga contohkan dalam cerita ini adalah edukasi bahwa consent is real—meminta izin seperti itu adalah bentuk penghormatan
atas hak seseorang terhadap tubuhnya.
Kemudian, di antara semua momen manis Ava dan
Raga, aku paling suka ketika mereka pertama kalinya makan bersama ke Nasi Uduk
Babe Rahman. That’s so sweet! Aku
suka sekali dengan segalanya tentang momen satu itu. Aku bisa turut merasakan
kebahagiaan Ava. Bahkan, aku sampai jadi ikut lapar dan ingin juga ke Kebon
Kacang cuman untuk makan nasi uduk, hahaha.
Oh iya, satu hal lagi yang aku ambil sebagai
pembelajaran dari hubungan Ava dan Raga: jangan memulai suatu hubungan dengan
dilandasi kebohongan. Ketika kamu memulai suatu hubungan dengan kebohongan,
kamu tidak menghormati pasanganmu yang mempercayakan dirinya ke kamu. Kamu
melecehkan ketulusannya. Menyembunyikan sepenggal informasi penting juga bisa
dianggap berbohong karena itu berarti kamu tidak jujur sepenuhnya. Hubungan
yang diawali dengan berbohong berarti hubungan itu sendiri adalah kebohongan.
Kelemahan
Sayangnya, kelemahan buku ini juga, seperti
kelebihannya, ada cukup banyak. Jujur saja, tema besar atau konflik utama buku
ini tidak begitu jelas. Seakan berubah terus seiring alur berjalan. Ya, memang
dalam hidup itu masalah terus bermunculan walau masalah yang sebelumnya belum
selesai. Akan tetapi, dalam menulis cerita, penting untuk membuat satu masalah
besar yang ingin diselesaikan agar cerita dapat fokus (kecuali mungkin kalau
ceita itu bergenre slice of life).
Dalam buku ini sebenarnya telah disinggung
tentang penderitaan orang kaya sebagai masalahnya. Sebuah penderitaan yang
sulit dimengerti orang-orang karena ada anggapan bahwa orang kaya tak punya
masalah, uang dapat menyelesaikan segala masalah. Sebuah penderitaan yang tidak
seharusnya dianggap penderitaan, begitu pikir Ava. Ava juga bilang bahwa
konflik seperti itu kurang konkret, tak dapat dimengerti penonton (juga
pembaca) Indonesia, sehingga jarang sekali Indonesia memproduksi film dengan
konflik seperti itu.
Akan tetapi, konflik buku ini memang tidak begitu
jelas, bukannya tak dapat dimengerti. (Spoiler
alert) awalnya memang tentang kisah cinta Ava dengan Reza dan Raga. Mulai
dari kenangan Ava dan Reza, lalu tentang dinamika hubungan Ava dan Raga. Namun
setelah itu, cerita menjadi tidak begitu jelas, (spoiler alert)terutama
ketika ceritanya banting setir menjadi tentang bapaknya Ava. Bahkan di akhir,
seakan ingin menegaskan tentang apa isi buku ini, Ika Natassa harus
terang-terangan menulis dalam sebuah dialog antara Ava dan Raga bahwa konflik
besarnya adalah tentang self-acceptance[2]‘penerimaan diri’ Ava.
Tidak hanya konfliknya yang kurang jelas,
penyelesaiannya juga sama saja. Sebenarnya, ketika cerita masih tentang love life Ava, buku ini masih menarik.
Namun, setelah berubah jadi tentang bapaknya Ava, aku pikir ceritanya hilag
arah sehingga penyelesaiannya pun seadanya. Sebuah penyelesaian yang tidak
jelas apakah bisa dibilang selesai—mengecewakan sekali. Aku tidak berharap
penyelesaiannya berupa grand gesture atau
adegan yang emosional, tetapi setidaknya aku yakin penyelesaian konfliknya bisa
lebih baik lagi daripada itu.
Berikutnya, yang kurang aku suka dari novel ini
adalah latar waktunya yang loncat-loncat. Aku tidak tahu apakah memang begini
gaya novel-novelnya Ika Natassa, tetapi pada beberapa bagian aku kesulitan
membaca novel ini. Terkadang, buku ini sedang menceritakan suatu momen, tapi
lalu berpindah ke momen lainnya, entah flashback
atau apa, lalu kembali ke momen awal tersebut. Aku paham bahwa cara buku
ini bercerita seperti sebuah buku harian sehingga terserah pada si yang empunya
cerita. Namun, aku sempat kebingungan di awal-awal buku (juga pada beberapa
bagian di pertengahan buku).
Terakhir, kelemahan laiannya adalah judulnya, Heartbreak Motel. Heartbreak Motel
sesungguhnya adalah salah satu latar tempat dalam cerita ini, sebuah hotel yang
selalu dipilih Ava sebagai tempatnya menyendiri dan memulihkan diri tiap kali
selesai memerankan suatu peran agar dia dapat menjadi dirinya lagi, lepas dari
peran yang ia mainkan. Akan tetapi, Heartbreak Motel tesebut hanya menjadi
latar tempat untuk babak pertama dari novel ini—babak kenangan Ava dan Reza. Setelah
itu, hanya muncul sesekali. Tentu agak ganjil ketika judulnya saja sudah Heartbreak Motel, tetapi latar
Heartbreak Motel-nya hanya ada di 150 halaman pertama.
Kesimpulan
Heartbreak
Motel adalah sebuah novel dengan
cerita drama romantis yang manis. Membacanya terasa seperti membaca buku harian
si tokoh utama sendiri. Pembaca dapat menyelami pikiran dan perasaan Ava
Alessandra dengan sangat baik, sampai-sampai bisa relate, berkat cara Ika Natassa merangkai kalimat dalam cerita ini.
Selain itu, berbagai filsafat, teori film dan akting, serta referensi-referensi
film yang disisipkan di sana-sini dalam novel ini sangat mendukung pendalaman
karakter tokoh utamanya, juga membantu pembaca untuk mengenal lebih akrab tokoh
utamanya. Oh iya, referensi-referensi film yang ada juga akan membuat para
sinefil betah membaca buku ini. Namun, latar waktunya yang loncat-loncat serta konflik
utama yang tidak jelas membuat cerita ini tidak bisa maksimal. Meski begitu, Heartbreak Motel bisa menjadi cerita
yang tidak hanya menghibur pembaca, tetapi juga mengedukasi pembaca. Oleh sebab
itu, aku memberi skor 7,8/10 untuk buku ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
[1]Blurb merupakan suatu penjelasan singkat
mengenai buku yang terletak di bagian belakang buku. Umumnya, blurb berisi kutipan, testimoni,
ringkasan cerita, atau poin-poin di dalam buku (sumber: kumparan).
[2] Penerimaaan
diri (self-acceptance) adalah upaya
untuk menerima dan memahami seluruh aspek yang ada dalam diri tanpa menolak
keberadaannya, atau juga penerimaan diri adalah menerima apa yang kita
miliki/tidak miliki, menerima apa yang kita mampu/tidak mampu, dan menerima apa
yang diyakini/tidak diyakini tentang diri kita sendiri (sumber: Wikipedia)
Komentar
Posting Komentar