Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Noktah Merah Perkawinan: Lebih Bagus (dan Bikin Stres) daripada Marriage Story!
Gilang (Oka Antara) dan Ambar
(Marsha Timothy) sudah menikah selama bertahun-tahun. Mereka juga telah
dikaruniai seorang putra dan seorang putri yang lucu-lucu. Sekilas, mereka
tampak sebagai keluarga bahagia.
Namun, sesungguhnya ada masalah
yang merundungi keluarga tersebut. Ambar dan Gilang sudah satu bulan perang
dingin. Ada masalah di antara mereka berdua, tetapi tiap kali Ambar mengajak
Gilang untuk membicarakannya, Gilang selalu menghindar. Makin lama,
perselisihan di antara keduanya makin kentara. Belum lagi kedatangan orang
ketiga di antara mereka, yakni Yuli (Sheila Dara Aisha) memperparah suasana.
Bisakah Ambar dan Gilang
mempertahankan rumah tangga mereka? Atau berpisah adalah jalan terbaik untuk
mereka menemukan kebahagiaan?
Kelebihan
Noktah Merah Perkawinan adalah
film drama Indonesia terbaik di 2022! Bagi yang belum tahu, Noktah Merah Perkawinan diadaptasi dari
sinetron lawas dengan judul yang sama. Film ini disajikan dengan begitu
brilian, juga dilengkapi dengan akting kualitas terbaik dari para pemerannya. Ceritanya
juga begitu bermakna dan menyentuh hati.
Dari segi kualitas akting, akting
Marsha Timothy, Oka Antara, dan Sheila Dara itu tidak akan mengecewakan. Mereka
adalah aktor-aktris papan atas Indonesia. Namun, aku ingin memberikan apresiasi
lebih kepada Marsha Timothy yang berhasil menunjukkan akting yang membuatku speechless. Emosi yang ia perlihatkan
sebagai Ambar, terutama ketika adegan bercekcok di dapur, itu lebih dari mengagumkan.
Adegan tersebut, adegan ketika
Ambar dan Gilang bertengkar hebat di dapur menjadi adegan favoritku di film
ini. Adegan itu mengingatkanku pada film Marriage
Story (2019), tetapi aku lebih suka yang ini. Di adegan tersebut, baik Oka
Antara dan Marsha Timothy berhasil memperlihatkan akting yang luar biasa
sekali. Aku sampai merinding melihatnya, lalu menangis karena terbawa suasana.
Kalian harus lihat sendiri ya!
Alurnya pun terbilang pelan atau
slow-burn. Di awal, penonton tak tahu
apa-apa, dibuat bertanya-tanya apa yang terjadi antara Ambar dan Gilang. Segala
emosi tertahan sampai akhirnya meledak dahsyat pada adegan pertengkaran di
dapur tersebut. Penonton yang belum menikah pasti akan stres melihatnya,
sementara penonton yang sudah menikah akan lebih stres lagi, bahkan mungkin
merasa relate.
Kemudian, walau konflik yang
disuguhkan film ini seperti konflik sinetron, konflik tersebut sesungguhnya lekat
dengan potret rumah tangga-rumah tangga di Indonesia. Misalnya saja, tentang
campur tangan orang luar dalam permasalahan rumah tangga seseorang. (Spoiler alert) di film ini, salah satuya
itu terlihat dari ibunya Gilang (Ratna Riantiarno) yang terlalu menyindir Ambar
sebagai istri yang kurang cekatan dan menuduh keluarga Ambar memanfaatkan
Gilang. Ada juga sahabatnya Ambar, Dina (Nazyra C. Noer) yang lancang
menceritakan masalah rumah tangga Ambar ke orang lain. Ketika semakin banyak
pihak luar yang ikut campur, masalah rumah tangga akan semakin runyam, bukannya
selesai.
Selain itu, film ini memberikan
perspektif menarik tentang orang ketiga dalam suatu hubungan. Alih-alih
menggambarkan Yuli sebagai wanita penggoda atau pelakor yang tipikal, film ini
malah bisa membuatku bersimpati pada Yuli. Film ini menunjukkan bahwa terkadang
orang ketiga dalam rumah tangga tidak ingin merusak hubungan, bahkan Yuli
berusaha membantu Ambar dan Gilang. Yuli hanya jatuh cinta pada orang yang
salah.
Bukan hanya Yuli, tokoh yang tak
disangka bisa mencuri perhatian adalah Bagas (Jaden Ocean), putra sulung Ambar
dan Gilang. Padahal dia masih kecil, tetapi aktingnya sudah cukup bagus.
Penonton bisa mengerti kegalauan Bagas akibat perselisihan kedua orang tuanya dari
ekspresinya.
Ada satu adegan yang membuatku
menyukai karakter Bagas, (spoiler alert)
yakni ketiga Bagas mengambil satenya Ambar. Di situ, terlihat sekali bahwa
Bagas sudah paham yang ibunya rasakan dan cukup dewasa untuk tahu harus
bersikap apa. Itu menyiratkan bahwa anak-anak dengan orang tua yang kurang akur
cenderung dewasa lebih cepat.
Selain itu, (spoiler alert) di film ini diceritakan
bahwa Bagas memiliki penyakit kulit di punggungnya yang tak kunjung sembuh. Bukannya
makin membaik, penyakit kulit tersebut makin parah seiring film berjalan. Kemudian,
ada satu kalimat yang diucapkan Gilang ketika sedang mengoleskan salep di
punggung Bagas (kalau tidak salah begini bunyinya), “Kamu jangan stres dong,
Mas, biar cepet sembuh.” Rupanya penyakit kulit Bagas adalah metafora untuk
beban pikiran Bagas akibat pertengkaran orang tuanya. Karena memang ketika kedua
orang tua bertengkar, anak yang menjadi korbannya.
Sebenarnya, masih ada banyak simbol
tersembunyi dalam film ini selain penyakit kulitnya Bagas. Contoh pertama, di
bagian awal film, (spoiler alert) ada
adegan Gilang membantu ibunya Ambar memasang kembali tanaman tanduk rusa yang
jatuh. Ibunya Ambar bilang bahwa tanaman ini adalah simbol keberuntungan dan
kebaikan, maka ia khawatir akan ada nasib buruk sebab tanaman tersebut malah
jatuh. Kemudian, langsung muncul Yuli mengantar anak-anaknya Gilang karena
Ambar sedang tidak bisa mengatar mereka. Itu menyiratkan bahwa kehadiran Yuli
adalah nasib buruk bagi rumah tangga Ambar dan Gilang.
Contoh kedua, ada satu adegan
yang disajikan dengan cantik sekali serta penuh makna. (Spoiler alert) dalam adegan tersebut, terlihat Ambar sedang asik
membentuk keramik, lalu muncul Gilang yang berbicara kepadanya. Namun, Ambar
menanggapinya dengan dingin, bahkan ketika Gilang hendak mengecup keningnya,
Ambar menghindar. Adegan tersebut ditampilkan dengan angle yang keren sekali—menyiratkan bahwa Ambar dan Gilang sedang
ada di dua “tempat” yang berbeda, dan Ambar belum bisa menerima Gilang untuk masuk
ke “tempatnya.”
Contoh ketiga adalah taman di
rumah Ambar dan Gilang. Sedari awal penonton diperlihatkan sketsa rancangan taman
tersebut serta progresnya yang sangat jauh dari rancangannya. Itu menyiratkan
bahwa dalam rumah tangga, apa yang direncanakan, diekspektasikan, atau diharapkan
bisa tidak sejalan dengan kenyataan. Seperti taman di rumah Ambar dan Gilang
yang diharapkan menjadi taman yang cantik, tetapi nyatanya kering dan layu.
Namun, simbol taman tersebut
juga sebenarnya menyindir sikap Gilang. Gilang bekerja sebagai arsitek lanskap
yang biasa mendesain taman dan kebun. (Spoiler
alert) dalam film ini, ia mengerjakan proyek taman café pacarnya Yuli—dan dari situlah Gilang dan Yuli menjadi dekat. Ketika
Gilang sibuk mengurusi taman orang lain, dia malah menelantarkan tamannya
sendiri. Ketika Gilang sibuk bersama Yuli, dia malah membiarkan masalahnya
dengan Ambar tak terselesaikan.
Contoh keempat, ada adegan
ketika Ambar tidak sengaja menghancurkan keramik yang sedang ia kerjakan. Kemudian
di akhir film, penonton melihat keramik tersebut sudah disatukan kembali
menjadi vas yang utuh dan cantik walau ada garis retakan di sana-sini. Itu
simbol yang kuat banget, yang menyiratkan suatu hubungan dapat diperbaiki,
meski tak akan lagi sama seperti sebelumnya atau sesuai harapan. Namun, ia
tetap bisa diperbaiki menjadi sesuatu yang utuh dan cantik.
Baiklah, sudah terlalu banyak simbol-simbol
dalam film ini yang aku bocorkan. Selain simbol-simbol, yang membuatku menyukai
film ini adalah insight penikahannya.
Dalam hubungan Ambar dan Gilang, penonton tahu bahwa masalahnya adalah Gilang
yang selalu menghindar dari masalah. Dia tak mau membicarakannya dan kabur
terus, menyalahkan Ambar yang katanya gampang sekali marah.
Hal yang seperti itu disebut silent treatment, yaitu bentuk penolakan untuk berkomunikasi secara
verbal dengan orang lain. Silent
treatment bisa menjadi bentuk kekerasan emosional.[1]
Gilang memang tidak memukul Ambar, tetapi sikapnya membuat Ambar terus tertekan
dan bingung. Dia tak mau menyelesaikan masalah, padahal masalah tersebut tak
akan selesai dengan sendirinya. Maka dari itu, sebaiknya masalah rumah tangga
segera diselesaikan sebelum meledak besar seperti bom. Menghindar bukanlah
solusi.
Insight pernikahan menarik lainnya
datang dari ucapan si konsultan pernikahan yang diperankan oleh Ayu Azhari. Oh
iya, omong-omong Ayu Azhari adalah pemeran Ambar di sinetron lawas Noktah Merah Perkawinan loh. Dia mengatakan
bahwa fungsi dia selaku konsultan pernikahan bukan menyelesaikan masalah Ambar
dan Gilang, malainkan hanya membantu keduanya menemukan kebahagiaan, walau bisa
jadi kebahagiaan itu ada di jalan yang terpisah bagi keduanya. Ucapannya itu
memberikan pesan bahwa terkadang bersama bukan berarti bahagia, dan berpisah
bukan berarti buruk. Mungkin saja, jalan agar para pihak dalam suatu hubungan
bisa bahagia adalah dengan berpisah jalan.
Kelamahan
Jujur saja, di awal aku sempat merasa
risih dengan film ini karena penonton tidak diberikan penjelasan terlebih
dahulu. Yang penonton tahu adalah bahwa Ambar dan Gilang ada dalam hubungan
yang agresif pasif[2],
tetapi penonton tak tahu apa yang terjadi. Memang itu bagus untuk memunculkan
tanda tanya dalam benak penonton, tetapi aku malah merasa agak risih. Apalagi, penonton
tidak diberitahukan seperti apa bahagianya hubungan Ambar dan Gilang sebelum
itu, supaya penonton bisa tahu betapa kontrasnya keadaan mereka sekarang.
Kemudian, aku kurang setuju
dengan karakter Gilang yang memang dibuat selalu menghindar seperti itu. Dengan
sikapnya yang begitu, wajar saja penonton akan bersimpati ke Ambar dan
menyalahkan Gilang. Jadi, terkesan berat sebelah. Padahal, bisa saja konflik
dibuat lebih kompleks daripada itu dengan menunjukkan keabu-abuan setiap tokoh.
Kesimpulan
Noktah Merah Perkawinan layak
disebut film drama Indonesia terbaik di tahun 2022. Film ini memberikan banyak insight pernikahan dan perspektif baru
tentang orang ketiga dalam hubungan. Selain itu, film ini disajikan dengan
sinematografi yang cantik serta simbol-simbol yang memberikan pesan tersirat di
sana-sini—sebuah desain produksi yang memukau. Film ini cocok ditonton
siapapun, terutama bagi yang sudah menikah—karena mungkin saja relate dengan permasalahannya—dan yang ingin
menikah—agar mematangkan diri dulu sebelum melangkah lebih jauh. Aku tidak mau
banyak bicara lagi, aku beri skor 9,3/10 untuk film ini. Kalau kalian mau
menontonnya, kalian harus siapkan tisu yang banyak ya!
Kalian bisa menonton Noktah Merah Perkawinan di Netflix. Kalau kalian tertarik dengan filmnya, silakan tonton dulu trailer-nya berikut ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
[2] Agresif
pasif (passive aggressive) adalah perilaku
penyingkapan perasaan negatif secara tersirat dan bukannya menyampaikan
langsung dengan terbuka. Perilaku pasif-agresif sering membuat orang lain
bingung dan berisiko merusak hubungan personal (sumber: sehatq.com).
Komentar
Posting Komentar