Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Purple Hearts: Ketika Cewek SJW dan Cowok Berseragam Pura-Pura Menikah
Cassandra “Cassie” Salazar (Sofia Carson) adalah
anak imigran. Dia bekerja sebagai musisi bersama band-nya, the Loyal, di sebuah bar sambil merangkap sebagai pelayan
di sana. Dia mengidap diabetes tipe 1, tetapi kesulitan mendapatkan insulin
karena tidak ditanggung oleh asuransinya. Dia tidak bisa membelinya sendiri karena
penghasilannya saja sudah pas-pasan untuk biaya hidupnya.
Luke Morrow (Nicholas Galitzine) adalah anak
seorang mantan polisi militer. Dia sendiri juga kini menjadi tentara dan akan
segera berangkat ke Iraq untuk bertugas. Namun, dulunya Luke seorang pecandu
narkoba dan memiliki serangkaian masa lalu buruk dengan keluarganya. Dengan
menjadi tentara, dia berharap dapat memperoleh kembali rasa hormat dari
ayahnya.
Keduanya bertemu di sebuah bar dan langsung
bercekcok. Luke dan teman-teman tentaranya punya kecenderungan untuk
membanggakan diri berlebihan, sedangkan Cassie, sebagai seorang social justice warrior atau SJW, sangat
membenci itu.
Namun, keduanya membuat kesepakatan diam-diam.
Cassie butuh insulin untuk bertahan hidup, sedangkan Luke butuh uang untuk
melunasi utangnya kepada mantan bandar narkobanya. Keduanya lalu sepakat untuk
menikah, tanpa ada cinta di antara mereka, karena istri seorang tentara akan
mendapatkan asuransi kesehatan penuh, sementara tentara yang menikah juga mendapatkan
transfer uang dari pemerintah. Sebuah solusi yang bagus, tetapi jika mereka
ketahuan, semua akan berakhir.
Kelebihan
Purple
Hearts sebenarnya bukanlah film yang
istimewa. Ceritanya standar, seperti FTV, tetapi penyajiannya yang membuatku betah
menontonnya. Film ini memiliki sinematografi yang oke banget, mulai dari sudut
kameranya, komposisi shot-nya, color tone-nya, dan lain sebagainya. Maka
dari itu, film ini dapat mudah dinikmati.
Yang menarik mungkin adalah perbedaan karakter
Cassie dan Luke yang membuat mereka kerap bertengkar. Namun, perseteruan mereka
perlahan bertransformasi menjadi cinta. Cekcok argumen menjadi pujian
berafeksi, tatapan melotot menjadi tatapan penuh cinta—hubungan yang berawal
dari benci, lalu perlahan-lahan menjadi sayang selalu memiliki daya tarik
tersendiri bagi pecinta cerita romantis. Selalu terasa menggemaskan untuk
melihat pasangan yang awalnya tak akur berubah menjadi saling peduli. Dalam
film ini, momen tersebut terjadi ketika (spoiler
alert) Cassie menolong Luke yang dalam tahap pemulihan pascatugas dari
Iraq, dan ketika Luke menolong keluarga Cassie yang rumahnya dibobol orang
asing.
Perkembangan hubungan keduanya juga menarik
ditonton. Mereka berkenalan singkat, lalu langsung menikah. Pernikahan tanpa
cinta itu langsung menjadi hubungan jarak jauh. Cassie dan Luke lucu banget
waktu LDR—tidak disangka mereka justru malah makin dekat ketika sedang terpisah
jarak seperti itu. Apalagi, chemistry kedua
pemeran utamanya cukup bagus.
Kemudian, film ini secara tersirat memperlihatkan
susahnya bagi para imigran dan keturunan mereka untuk memperoleh pelayanan
kesehatan. Misal, Cassie yang asuransinya tak mampu menanggung insulin yang dia
butuhkan, padahal tanpa insulin tersebut, dia bisa mati kapanpun. Namun, (spoiler alert) setelah menikah dengan
Luke, Cassie tidak perlu memikirkan soal itu lagi sehingga dia dapat fokus pada
karirnya bermusik. Bahkan, dia dapat membuat band-nya menjadi tenar dan mengeluarkan lagu-lagu hits.
Coba kalian bayangkan di luar sana ada banyak
bakat-bakat terpendam seperti Cassie, tetapi terhalang kemiskinan sehingga
mereka tidak dapat mengembangkan bakat mereka. Seandainya hidup mereka dapat
dijamin pemerintah, mereka juga dapat fokus mengembangkan bakat mereka dan
melahirkan karya-karya luar biasa. Jika perlindungan sosial dari pemerintah
dapat menjangkau mereka, mungkin bakat-bakat terpendam tersebut dapat bersinar.
Selain itu, aku suka banget dengan soundtrack-nya. Ada beberapa soundtrack yang langsung dinyanyikan
dalam film ini oleh Cassie. Omong-omong, pemeran Cassie, yakni Sofia Carson
memang seorang penyanyi, maka tidak heran kalau lagu yang dia nyanyikan enak
banget. Yang paling aku suka adalah “Come Back Home” karena
lagunya pas banget untuk menggambarkan proses mengenal antara Cassie dan Luke.
Kelemahan
Tentu saja yang menjadi kekurangan film ini
adalah storyline-nya. Film seperti
ini memiliki akhir yang mudah ditebak sehingga tidak ada tantangan bagi
penonton. Kalian jangan mengharapkan adanya plot
twist atau adegan mendebarkan lainnya. Tahap resolusinya juga biasa saja. Oleh
karena itu, film ini kurang cocok bagi beberapa orang.
Kemudian, akting kedua tokoh utamanya bisa
dibilang biasa saja. Mereka tidak menunjukkan performa lebih dalam film
ini—mungkin karena memang tidak ada adegan yang menuntut itu. Memang, sebatas
film untuk hiburan di tengah kesibukan sehari-hari.
Kesimpulan
Purple
Hearts merupakan film yang cocok bagi
kalian yang suka cerita romantis yang berawal dari benci jadi sayang. Ceritanya
mirip FTV, tidak peristiwa yang “luar biasa” sepanjang alurnya. Namun,
penyajian teknisnya, soundtrack,
serta chemistry kedua pemerannya
dapat memaksimalkan atmosfer romantis film ini. Kalian pasti dapat menikmati
perkembangan hubungan keduanya dari awal film hingga akhir. Maka dari itu, aku
beri skor 6,7/10 untuk Purple Hearts.
Kalian bisa menonton Purple Hearts di Netflix. Kalau kalian penasaran dengan filmnya, kalian bisa menonton trailer-nya dulu di sini.
Komentar
Posting Komentar