Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Thor: Love and Thunder: Cerita Sudah Cukup Oke, tapi Kebanyakan Melawak
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas Film
Judul
:
Thor: Love and Thunder
Sutradara
:
Taika Waititi
Produser
:
Kevin Feige, Brad Winderbaum
Tanggal rilis
:
6 Juli 2022
(Indonesia), 8 Juli 2022 (Amerika Serikat)
Rumah produksi
:
Marvel Studios
Penulis naskah
:
Taika Wititi (story by), Jennifer Kaytin Robinson,
Stan Lee (comic version)
Durasi tayang
:
1 jam 59 menit
Pemeran
:
Chris Hemsworth,
Natalie Portman, Tessa Thompson, Christian Bale, Taika Waititi
Setelah pertempuran besar melawan Thanos (tonton “Avengers: Endgame”), Thor Odinson
(Chris Hemsworth) bersama The Guardians of the Galaxy pergi mengelilingi luar
angkasa untuk melawan kejahatan di berbagai planet. Mereka kemudian mendapat
pesan dari Sif (Jaimie Alexander), salah satu teman lama Thor, bahwa Asgard
dalam bahaya. Ada orang bernama Gorr sang Penjagal Dewa (Christian Bale) yang
membunuh dewa-dewi di semesta, dan Asgard adalah target selanjutnya.
Setelah mendengar itu, Thor bersama Korg (Taika
Waititi) berpisah dengan The Guardians of the Galaxy dan kembali ke Asgard Baru
yang ada di Bumi. Sesampainya di sana, Gorr sedang menyerang Asgard. Namun,
yang lebih mengejutkan Thor adalah keberadaan Jane Foster (Natalie Portman)
yang bertarung bersama bangsa Asgard dengan palu Mjolnir, senjata lamanya. Sebuah
reuni yang tak pernah terbayangkan, yang membawa memori dengan emosi campur
aduk kembali.
Namun, pertemuan dengan mantan pacar tidak lebih
penting daripada Gorr sang Penjagal Dewa, apalagi ketika dia menculik anak-anak
Asgardian. Mampukah Thor, Jane, dan yang lainnya menyelematkan anak-anak yang
diculik itu dan menghentikan Gorr sebelum dia membantai habis semua dewa di
alam semesta?
Kelebihan
Secara pribadi, Thor: Love and Thunder bisa dibilang film Thor yang paling aku suka
dari seluruh film Thor yang pernah kutonton. Aku suka sekali dengan
cerita-cerita mitologi dan film ini dapat menghadirkan itu dengan dibalut sentuhan
khas Marvel Cinematic Universe-nya (MCU). Film ini memperluas semesta MCU
dengan mendatangkan sosok dewa-dewi baru, termasuk Zeus (Russel Crowe) sang
Dewa Petir dari mitologi Yunani. Kemudian, ada juga pedang Necrosword yang
digunakan Gorr untuk membunuh dewa-dewi. Film ini juga mengadopsi sosok asli
Thor dalam mitologi Nordik yang memiliki dua ekor kambing untuk menarik kereta
perangnya. Hal-hal semacam itu sangat khas genre fantasi dan aku suka itu.
Di samping itu, alur cerita Thor: Love and Thunder juga terasa seperti cerita petualangan
dengan premis cerita yang termasuk ringan. Mungkin, terasa seperti ketika kita
membaca kisah-kisah dewa-dewi—hanya saja ini dikemas dengan gaya khas MCU. Itu
cocok dengan suasana filmnya yang penuh komedi.
Kemudian, aku suka beberapa adegan flashback yang diceritakan dengan narasi
oleh Korg. (Spoiler alert) terutama
adegan ketika Korg menceritakan kisah cinta Thor dan Jane. Adegan tersebut
sangat bagus, lucu, dan manis serta dapat merangkum hubungan Thor dan Jane
dengan baik. Itu dapat membantu penonton me-refresh
hubungan mereka berdua.
Omong-omong soal Jane, akhirnya dia muncul lagi
di film MCU setelah sekian lama. Terakhir kali dia muncul itu di film “Thor: The Dark World” (2013). Kemunculannya
kembali di film ini bisa dibilang sukses banget. Karakter Jane Foster kembali
dengan peran yang dapat mencuri perhatian penonton. Dia muncul bukan sekadar
untuk membawa kembali atmosfer romantis pada film Thor karena Jane sendiri juga
memiliki masalahnya sendiri yang (spoiler
alert) berkutat dengan penyakit kanker stadium akhir.
Selain itu,
kembalinya Jane juga berbarengan dengan kembalinya Mjolnir. Itu membuat film
ini seperti sebuah sitcom dengan tema
mantan pacar yang kembali. Aksinya sebagai Mighty Thor juga oke. Selain itu,
aku senang karena kembalinya dia di film ini dapat memberikan closure yang baik untuk karakternya. Oleh
karena itu, jika dibandingkan dengan film-film sebelumnya, peran Jane di Thor: Love and Thunder terasa lebih signifikan
untuk cerita.
Berikutnya, selain Jane, karakter Gorr sang
Penjagal Dewa pun menarik perhatian. Dia salah satu penjahat super di film MCU
yang terbaik, selain Thanos. Motifnya berbuat jahat tidak bisa sepenuhnya
disalahkan; ada latar belakang yang menjadi sebabnya, yang muncul dalam prolog
film. Latar belakangnya Gorr itu menyinggung soal krisis kepercayaan yang
diceritakan dengan baik. Aku juga suka dengan treatment horor yang digunakan ketika Gorr muncul. Akting Christian
Bale sebagai Gorr juga patut diapresiasi. Oleh karena itu, karkater Gorr bisa
mencuri simpati penonton.
Kelebihan lainnya dari film ini adalah treatment yang digunakan untuk bagian
ketika Thor, Jane, dan Valkyrie melawan Gorr di Shadow Realm. Di situ, (spoiler
alert) film berubah jadi tidak berwarna, seperti film hitam putih, tetapi
sesekali ada warna yang muncul dari petir Thor. Itu menarik banget—sebuah
pendekatan visual yang belum pernah aku lihat di film-film MCU sebelumnya.
Di sisi lain, pada beberapa adegan, visual film
ini menjadi cantik berkat warna-warninya. Bahkan, kostum Thor dalam film ini
juga dibuat lebih heboh serta berwarna-warni. Dibandingkan dengan dua film Thor
yang pertama, aku suka sekali dengan visual Thor:
Love and Thunder. Efek CGI-nya juga keren—ya memang tidak perlu diragukan
lagi sih, namanya juga film MCU.
Oh iya, (spoiler
alert) beberapa orang mungkin berharap di film ini ada elemen
multisemestanya atau ada koneksi dengan Avengers lainnya, tetapi aku suka
dengan tidak adanya itu semua. Kalau ada multisemesta di film ini, itu akan
membuat elemen multisemesta membosankan karena terlalu sering digunakan.
Kemudian, dengan tidak adanya koneksi dengan Avengers lain, film ini terasa
lebih otentik dan fokus pada Thor dan Jane.
Kelemahan
Kalau kalian suka dengan “Thor: Ragnarok” (2017), mungkin kalian akan tidak setuju dengan
pendapatku ini. Aku kurang suka dengan candaan film ini pada beberapa bagian.
Ada beberapa adegan yang diselipkan lelucon, tetapi itu tidak pada tempatnya
sehingga membuat komedi film ini too much.
Misal, (spoiler alert) ketika Thor
menyelamatkan Sif, ada dialog yang lucu, padahal saat itu Sif sedang sekarat dan sudah lama sekali penonton tidak
melihat Sif. Bahkan, kita tidak tahu pasti apakah Sif mati atau masih hidup
selama ini. Namun, kemunculannya yang sebentar itu malah dibuat candaan.
Kemudian, sosok Thor lagi-lagi dibuat begitu
lawak. Kalau kalian menonton Film “Avengers:
Infinity War” (2018) dan “Avengers:
Endgame” (2019), kalian pasti mengerti perbedaan Thor di kedua film
tersebut dengan Thor di film ini dan “Thor:
Ragnarok.” Di kedua film Avengers tersebut, Thor terasa lebih serius dan
berwibawa, tetapi tetap ada momen-momen dia lawak. Namun, di film ini,
kewibawaan tersebut tidak ada. Bahkan, ketika momen-momen Thor serius pun diselipkan
lawakan. Akibatnya, vibes urgensi dari
aksi gila Gorr tidak terasa karena kalah sama komedinya.
Selain itu, aku merasa peran Valkyrie (Tessa
Thompson) di film ini seperti tidak diperlukan. Tidak ada dia pun cerita tetap
berjalan. Padahal sebelumnya, Valkyrie telah menjadi partner bagi Thor di “Thor: Ragnarok”, tetapi kali ini dia
tidak memiliki peran yang signifikan. Dia bahkan tidak mengalami perkembangan
karakter atau memiliki momen epik.
Kelemahan selanjutnya adalah (spoiler alert) pertarungan akhir Thor
dan Jane melawan Gorr. Pertarungannya itu cepat banget selesainya, padahal Gorr
sosok musuh yang kuat, yang telah mengalahkan banyak dewa. Namun, aku tidak
melihat itu di film ini. Mungkin karena durasi filmnya cuma dua jam dan sudah
banyak habis untuk sekuens-sekuens sebelumnya, adegan pertarungan akhir tersebut
jadi dipercepa. Namun, aku merasa kurang puas karena Gorr kalah begitu saja.
Selanjutnya, aku juga tidak melihat keistimewaan
dari Thunderbolt milik Dewa Zeus. (Spoiler alert) Thor dan teman-temannya
sampai menyusup ke kota dewa-dewi demi mendapatkan Thunderbolt tersebut. Namun, aku tidak melihat keistimewaannya
dibandingkan Mjolnir dan Stormbreaker.
Selain itu, kemunculan kembali Sif di MCU juga
ganjil. Berbeda dengan Jane yang diceritakan ke mana perginya selama ini, Sif
tidak seperti itu. Dia tidak muncul di “Thor:
Ragnarok”, tetapi dia tiba-tiba muncul kembali di film ini dan sedang ada di suatu planet. Ke mana
saja dia selama ini? Setidaknya, kita harus mendapat penjelasan itu.
Kesimpulan
Thor:
Love and Thunder merupakan film Thor yang
menarik karena dapat memberikan vibes film
fantasi dalam ceritanya. Di film ini, kita dapat bertemu kembali dengan Jane
Foster serta Mjolnir—mantan Thor yang kembali muncul. Selain itu, sosok antagonisnya, Gorr sang Penjagal Dewa, dapat
menarik perhatian berkat akting Christian Bale yang memukau. Akan tetapi,
lawakan pada film ini terasa berlebihan pada beberapa bagian. Meskipun begitu, Thor: Love and Thunder adalah film Thor
yang paling kusuka. Oleh karena itu, skor yang aku berikan adalah 8/10.
Kalian dapat menonton Thor: Love and Thunder di Disney+ Hotstar. Kalian bisa menonton trailer-nya di bawah ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar