A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

The Batman: Film Batman sang Detektif yang Anti-Mainstream

 

Identitas Film

Judul

:

The Batman

Sutradara

:

Matt Reeves

Produser

:

Dylan Clark, Matt Reeves

Tanggal rilis

:

4 Maret 2022 (Amerika Serikat), 2 Maret 2022 (Indonesia)

Rumah produksi

:

DC Films, 6th & Idaho, Dylan Clark Productions

Penulis naskah

:

Matt Reeves, Peter Craig

Durasi tayang

:

2 jam 55 menit

Pemeran

:

Robert Pattinson, Zoë Kravitz, Jeffrey Wright, Paul Dano, Colin Farrell, John Turturo

Genre

:

Superhero, misteri, action, thriller, crime

 

Sinopsis

Menjelang pemilihan wali kota baru kota Gotham, Wali Kota Don Mitchell (Rupert Penry-Jones)—salah seorang calon wali kota yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan—ditemukan tewas dibunuh di rumahnya. Batman (Robert Pattinson) dan Letnan James “Jim” Gordon (Jeffrey Wright) menyelidiki kasus itu. Sang Batman ikut terlibat dalam urusan kepolisian tersebut karena sang pembunuh meninggalkan pesan untuknya yang berupa sebuah teka-teki yang bisa menuntun Batman kepada sang pembunuh, Riddler. Batman harus bisa memecahkan teka-teki Riddler untuk mengerti rencana besar Riddler sebelum ada lebih banyak korban berjatuhan dan Gotham menjadi semakin kacau.


Kelebihan

Kalau kamu sudah membaca reviu-reviu The Batman lainnya yang mengatakan bahwa film ini terasa berbeda daripada film-film Batman sebelumnya, reviu-reviu tersebut benar. Film The Batman memang terasa sangat berbeda dibandingkan film-film Batman yang pernah ada—atau setidaknya berbeda daripada film-film Batman yang pernah aku tonton. Film ini tidak terasa seperti film superhero, apalagi seperti film-filmnya Marvel Cinematic Universe (MCU). The Batman lebih mirip cerita detektif alias film genre misteri. Dalam film ini, plot utamanya adalah tentang memecahkan teka-teki Riddler serta konspirasi yang ditutup-tutupi oleh para pejabat kota Gotham. Sepanjang film, penonton diajak untuk mengikuti penyelidikan dan memecahkan teka-tekinya. Selalu ada kejutan atau twist di setiap teka-teki, bahkan ada teka-teki di balik teka-teki, yang akan membuatmu terus menyimak film. Yang lebih menarik ialah Batman dibantu oleh Jim Gordon dan Selina Kyle (Zoë Kravitz)—yang nantinya menjadi Catwoman—dalam penyelidikan ini.

Bagiku pribadi, itu seperti sebuah kejutan karena aku sudah berekspektasi untuk melihat film Batman yang seperti “Batman, The Dark Knight” (2008), “Batman, The Dark Knight Rises” (2012), dan “Batman V Superman: Dawn of Justice” (2016). Itu membuat film ini mempunyai vibes yang sangat berbeda sehingga menjadi menarik untuk ditonton.

Yang berbeda dalam film Batman yang satu ini bukan hanya vibes-nya, tetapi juga karakter Batman-nya. Batman versi Robert Pattinson kali ini terlihat mempunyai karakter yang agak lain. Dia tampak penuh rasa marah dan benci. Sepertinya, hampir tidak ada tampangnya tersenyum di film ini. Bahkan, ketika pulang ke Batcave[1] pun dia tetap cemberut, termasuk ketika berbicara dengan Alfred Pennyworth (Andy Serkis), asistennya. Padahal, di film-film Batman lain, Batman alias Bruce Wayne selalu terlihat santai di Batcave serta waktu berbicara dengan Alfred.

Namun, itu sungguh menarik. Karakternya seperti itu mungkin karena Batman di film ini masih muda, bukan pahlawan super yang penuh strategi dan perhitungan, yang sekaligus seorang pengusaha miliarder yang agak narsis dan playboy. Di dalam film ini pun dia terlihat seperti sedang dalam proses pencarian jati diri untuk menjadi sosok Batman yang sebagaimana ada di film-film Batman lainnya. Itu terlihat dari cara penarasian cerita di awal dan akhir film yang diisi dengan refleksi diri seorang Batman. Maka dari itu, kalau ada yang bilang film ini juga terasa seperti film coming of age-nya Batman, aku setuju dengan itu.

Batman dalam film ini juga digambarkan lebih “manusiawai” dalam arti, dia tak terlihat seperti manusia super karena dia memang bukan. Dia terlihat masih bisa diserang dan dihajar, walaupun dia ahli bela diri. Film ini juga menunjukkan adegan ketika Batman terkesiap waktu mau loncat dari gedung sehingga memberi kesan kepada kita bahwa Batman juga punya rasa takut. Dia pun tampak tidak memiliki gawai-gawai (gadgets) super canggih. Meskipun demikian, Batman juga masih terlihat brutal dan sadis terhadap para penjahat, seperti biasanya.

Selain itu semua, yang menarik dari film ini adalah penggambaran kota Gotham-nya. Kota Gotham digambarkan apa adanya, yaitu bobrok, mempunyai kriminalitas tinggi, dan penuh korupsi. Lain dengan film Batman terakhir, yakni “Batman V Superman: Dawn of Justice” (2016) dan “Justice League” (2017), yang tidak menaruh perhatian pada Gotham sama sekali, film ini menunjukkan Gotham dengan detail. Kota tersebut digambarkan dengan memberikan kesan suram, gelap, kotor, lembap, dan jorok—sama sekali tidak di-sugarcoating.[2] Penggambaran seperti itu cocok sekali dengan tujuan Riddler yang ingin membongkar semua kobobrokan dan konspirasi para pejabat tinggi kota Gotham.

Oh iya, omong-omong soal Riddler, sebelumnya sudah ada film Batman yang menampilkan Riddler sebagai penjahat super, yakni “Batman Forever” (1995). Akan tetapi, sosok Riddler di The Batman lebih menarik karena lebih jahat, gila, dan dark. Dia bukan sekadar penjahat gila yang ketawa-tawa dan menyebarkan teka-teki. Riddler dalam The Batman adalah psikopat yang memiliki ambisi besar, yang tidak tega sedikit pun untuk membunuh dan menyiksa, serta gila perhatian. Sosoknya tersebut membuat film ini seperti film detektif yang menyelidiki pembunuhan berantai.

Kemudian, dari segi teknisnya pun film ini juga unggul. Teknisnya bagus banget. Color grading-nya, scoring-nya, dan shots-nya—itu semua terasa keren dan sangat mendukung suasana. Dia menggunakan color grading yang terkesan gelap sehingga membangun suasana mencekam yang mendukung suasana kota Gotham yang corrupted. Scoring-nya pun pas sekali dengan film ini. Bahkan, agak memorable bagi beberapa orang. Kemudian, untuk shot-nya, aku suka sekali yang waktu (spoiler alert) adegan kejar-kejaran mobil antara Batman dengan Penguin (Colin Farrel). Shot di adegan tersebut terasa intens dan menegangkan karena fokus ke ekspresi wajah mereka berdua, lalu ditutup dengan adegan jalan iconic-nya Batman, yang ada di trailer-nya. Teknik penyajian adegan tersebut terasa anti-mainstream karena biasanya, adegan kejar-kejaran mobil lebih fokus memperlihatkan mobilnya daripada pengemudinya. Itu menarik banget bagiku.


Kelemahan

Film ini memang menarik karena memperlihatkan Batman, Jim Gordon, dan Selina Kyle yang bekerja sama memecahkan teka-teki Riddler. Akan tetapi, aku merasa ada yang kurang pada film ini karena screentime Alfred terlalu sedikit. Alfred adalah asisten Batman yang amat setia, yang selalu menemani dan membantunya. Kalau kamu pernah menonton film-film Batman lain, kamu pasti melihat bahwa Alfred senantiasa banyak dilibatkan dalam urusan-urusan Batman, tetapi di The Batman, kita tidak melihatnya. Di awal, mungkin Alfred tampak berperan, tetapi setelah itu, ya kalian bisa tonton sendiri, dia jarang sekali muncul.

Sosok Bruce Wayne alias Batman pun terasa berbeda. Seperti yang aku katakan sebelumnya, film ini menampilkan Batman yang penuh amarah, termasuk ketika dia melepas topengnya dan menjadi Bruce Wayne. Menurutku, itu agak aneh karena Bruce Wayne yang aku kenal itu adalah sosok pengusaha yang tersohor dan murah senyum, juga seorang playboy—miriplah dengan Tony Stark/Iron Man dari MCU. Namun, Bruce Wayne yang aku dapatkan di sini tidak seperti itu, dan screentime-nya sedikit.

Kemudian, klimaks film ini juga kurang heboh. Klimaksnya sebetulnya mirip dengan film “Batman, The Dark Knight” (2008) dan “Batman, The Dark Knight Rises” (2012), tetapi rasanya tidak seseru yang ada di kedua film tersebut. Kalau alasannya adalah karena sosok Riddler bukan penjahat yang pakai otot tapi otak, aku kurang setuju karena Joker di “Batman, The Dark Knight” juga bukan pakai otot tapi otak. Klimaks film ini terasa lebih seperti film drama ketimbang film action. Padahal, di momen inilah seharusnya Matt Reeves memasukkan action yang keren untuk menyuguhkan vibes film superhero-nya.


Kesimpulan

The Batman adalah film Batman yang unik. Film ini tampaknya ingin keluar dari film superhero yang mainstream dengan menyuguhi penonton cerita yang seperti genre misteri dan coming of age. Film ini memiliki teknis yang bagus sekali, yang menguatkan suasana gelap kota Gotham. Mungkin bagi beberapa orang, film ini membosankan karena tidak seperti film superhero biasanya, tetapi bagiku itu bukan masalah dan aku harga preferensi mereka. Maka dari itu, aku akan memberi skor 8,7/10.

Robert Pattinson pernah bilang bahwa kalau film The Batman gagal, dia akan membuat film porno. Namun, sepertinya dia tidak akan melakukannya. 

Kalian dapat menonton The Batman di HBO Go dan Catchplay. Cek trailer-nya di bawah ini ya!

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!


[1] Batcave adalah sebutan untuk gua tempat markas Batman berada.

[2] Membuat sesuatu secara sepintas terkesan menarik atau dapat diterima (sumber: Oxford Languages).

Komentar