A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Polusi Plastik Merugikan Kita Semua (part 1)

Polusi Plastik Merugikan Kita Semua

Walaupun yang paling mencemari lautan dengan sampah plastik hanyalah segelintir negara, yang rugi adalah semua orang di planet ini

Gambar 1: Tumpukan sampah di Teluk Palu, Sulawesi Tengah pada 28 Januari 2017.

Sumber: Mohamad Hamzah/Antara dari The Jakarta Post

Sejak ditemukan pada awal abad ke-20, plastik telah menjadi barang yang sangat lekat dengan keseharian kita. Popularitasnya kian menjadi sejak Perang Dunia II ketika plastik digunakan untuk kebutuhan perang, seperti parasut. Sekarang, plastik sudah ada di mana-mana dan digunakan untuk macam-macam hal, seperti kemasan produk, tas belanja, bahan pakaian, bahan pembuat alat tulis, dan wadah penyimpan makanan. Produksi plastik secara global terus mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Bahkan, pada tahun 2015, produksi plastik global telah mencapai 381 juta ton (Ritchie & Roser, 2018).

Gambar 2: Produksi plastik global dari tahun 1950 s.d. 2015 Produksi plastik yang dimaksud adalah produksi resin dan fiber plastik atau bahan plastik mentah, bukan produk plastik.
Sumber: Our World in Data

Namun, ketergantungan kita terhadap plastik telah membuat planet kita dipenuhi olehnya. Sekarang, partikel plastik sudah ditemukan di darat, laut, udara, perairan tawar, makanan, minuman, dan dalam tubuh kita. Permasalahan tersebut disebut dengan istilah polusi plastik. Polusi plastik adalah akumulasi produk plastik di lingkungan sampai pada titik yang menimbulkan masalah bagi hewan liar beserta habitat mereka dan populasi manusia (Moore, 2021). Partikel plastik telah mencemari banyak ekosistem di dunia, seperti lautan yang beritanya sudah tidak asing lagi. Yang perlu jadi perhatian ialah Indonesia menjadi negara kedua setelah Tiongkok yang paling mencemari lautan dengan sampah plastik yang banyaknya adalah 1,29 juta metrik ton secara tahunan (McCarthy, 2020).

Walaupun yang paling mencemari lautan dengan sampah plastik hanyalah segelintir negara (dan Indonesia termasuk salah satunya), yang rugi adalah semua orang di planet ini karena sampah plastik yang masuk ke laut itu bisa terbawa jauh sekali dari wilayah laut negara pencemar tadi. Hal tersebut dikenal dengan istilah eksternalitas dan itu bisa menyebabkan kegagalan pasar. Apa itu eksternalitas dan kegagalan pasar? Eksternalitas adalah akibat dari tindakan seseorang yang menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi pihak lain, tapi orang itu tidak membayar biaya kompensasi ke pihak lain itu (ketika menimbulkan kerugian) atau tidak menerima manfaat kompensasi dari pihak lain itu (ketika menimbulkan keuntungan) (Gruber, 2016). Eksternalitas negatif merupakan eksternalitas yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Eksternalitas terjadi karena ada biaya-biaya[1] yang tidak dihitung oleh para pelaku pasar—produsen dan konsumen. Sementara itu, kegagalan pasar adalah kondisi suatu pasar barang atau jasa yang tidak memaksimalkan kesejahteraan produsen dan konsumennya karena pasar tersebut tidak memaksimalkan efisiensi sehingga ada kerugian ekonomi di dalamnya (Gruber, 2016).

Gambar 3: Negara yang paling mencemari lautan dengan sampah plastik pada tahun 2020. Diagram batang sebelah kiri menunjukkan banyaknya sampah plastik yang tidak dikelola dengan benar dan diagram lingkaran sebelah kanan menunjukkan jumlah sampah plastik yang bocor ke laut.
Sumber:
Statista

Pasar plastik menimbulkan eksternalitas negatif, baik dari sisi produksi maupun pengelolaan sampahnya. Dari sisi produksi, plastik dan produk plastik menghasilkan emisi tinggi yang berkontribusi pada pemanasan global. Dari sisi pengelolaan sampah, sampah plastik yang tidak dikelola dengan tepat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yang bisa memengaruhi kehidupan orang lain dan menimbulkan kerugian ekonomi. Namun, orang yang memproduksi dan mengonsumsi plastik tidak membayar kompensasi atas dampak negatif yang timbul tersebut. Padahal, plastik dapat merusak ekosistem, mengancam keanekaragaman hayati, mengancam ketahanan pangan, mengancam kesehatan manusia, sampai mengganggu mata pencaharian orang lain. Berikut adalah beberapa dampak negatif dari sampah plastik.

Kerusakan Ekosistem Laut

Gambar 4: Great Pacific Garbage Patch.
Sumber: The Ocean Cleanup dari
the Forbes

Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik sangat mungkin untuk bocor ke laut. Dikutip dari National Geographic, diestimasikan ada sekitar 8,8 juta ton sampah plastik yang bocor ke laut setiap tahunnya dari wilayah pesisir di dunia—itu hanya dari wilayah pesisir, belum termasuk sumber lainnya (Parker, 2020). Di Samudra Pasifik sana, ada yang namanya Great Pacific Garbage Patch ‘Pulau Sampah Pasifik Besar’ yang adalah kumpulan sampah di Samudra Pasifik Utara yang terbawa arus laut dan bersirkulasi di sana (National Geographic, n.d.). Sampah di sana didominasi sampah plastik yang 80% berasal dari daratan, seperti sampah dari wilayah pesisir, dan 20% dari lautan, seperti sampah dari aktivitas penangkapan ikan. Bahkan, dengan tingkat membuang sampah plastik yang ada sekarang ini, diestimasikan jumlah massa plastik di laut akan melampaui jumlah massa ikan di laut pada tahun 2050 mendatang. 

Sampah plastik yang mencemari lautan menimbulkan masalah bagi kehidupan di laut. Hewan-hewan seperti ikan, penyu, burung laut, dan mamalia laut sering tidak sengaja menelan sampah plastik sebagai makanan mereka. Ada sekitar 40% mamalia laut dan 40% burung laut di dunia yang terdampak masalah akibat plastik yang tertelan. Sampah plastik yang tertelan hewan laut akan memblokir saluran pencernaan mereka dan akan membuat mereka kelaparan. Mereka tidak bisa membedakan antara plastik dan mangsa sehingga salah memakan plastik. Hewan-hewan laut tersebut akan kelaparan setelah memakan plastik karena mereka merasa perut mereka sudah penuh, padahal itu adalah plastik, bukan makanan. Bahkan, hewan-hewan tersebut bisa mati karenanya.

Gambar 5: Bangkai paus yang penuh sampah plastik terdampar di Maluku pada 10 Mei 2017.
Sumber: Borepanda/
TribunKaltim.co

Sampah plastik membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, penyu laut, dan banyak ikan setiap tahunnya (The Ocean Conference United Nations, 2017). Penyu yang menelan sampah plastik memiliki probabilitas lebih besar untuk mati (Wilcox, et al., 2018). Sampah plastik di dalam sistem pencernaan para penyu dapat menimbulkan gangguan pencernaan, seperti usus bocor dan penyumbatan tinja. Di samping itu, ketika sampah plastik yang bocor ke laut semakin banyak, jumlah burung laut yang menelan sampah plastik akan semakin banyak pula. Bahkan, diperkirakan bahwa pada tahun 2050, plastik akan ditemukan di dalam saluran pencernaan 99% dari seluruh spesies burung laut di dunia dan 95% individu dari masing-masing spesies tersebut akan menelan plastik pada tahun yang sama (Wilcox, et al., 2015). Selain penyu dan burung laut, paus juga adalah korban dari polusi plastik di lautan. Ada banyak berita tentang bangkai paus yang dipenuhi sampah plastik, seperti bangkai paus yang ditemukan di pantai Dusun Hulung, Maluku pada tanggal 10 Mei 2017 (Fitri, 2017). Padahal, paus memiliki peran signifikan untuk melawan krisis iklim[2] (Whale and Dolphin Conversation, n.d.).

Gambar 6: Seekor burung albatros mati dengan perut penuh sampah plastik.
Sumber: U.S. Fish and Wildlife Service/Pew

Sampah plastik pun dapat meningkatkan risiko terjadinya wabah penyakit di ekosistem terumbu karang (Lamb, et al., 2018). Sampah plastik dapat menjadi sarang bagi mikroorganisme penyebab penyakit yang dapat membahayakan hewan-hewan yang hidup di habitat terumbu karang. Risiko terjadinya penyakit pada ekosistem terumbu karang yang ada sampah plastiknya meningkat sangat drastis dibandingkan dengan ekosistem terumbu karang yang tidak ada sampah plastiknya, yakni dari 4% menjadi 89%, dan semakin kompleks struktur terumbu karangnya, risiko penyakitnya akan semakin besar. Yang lebih mengkhawatirkan ialah diestimasikan akan ada 15,7 miliar sampah plastik di ekosistem terumbu karang yang ada di Asia-Pasifik, dengan skenario bisnis seperti biasa[3].  Maka dari itu, polusi plastik di lautan mengancam keanekaragaman hayati di lautan serta mengancam keselamatan spesies-spesies laut langka dan terancam punah.

Produk Plastik Termasuk Intensif Energi dan Emisi

Secara sederhana, intensitas energi adalah ukuran seberapa efisien energi digunakan untuk menghasilkan atau melakukan sesuatu (U.S. Department of Energy, n.d.). Semakin intensif energi suatu proses produksi atau suatu aktivitas, itu artinya penggunaan energi untuk memproduksi barang atau melakukan aktivitas tersebut semakin tidak efisien, maka semakin besar pula emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan. Intensitas energi memiliki satuan unit energi per unit PDB[4].

Sekitar 99% plastik di dunia berbahan dasar minyak bumi. Pada tahun 2019, 4—8% konsumsi minyak global tahunan digunakan untuk memproduksi plastik, menurut World Economic Forum (Bauman, 2019). Apabila tingkat penggunaan plastik tidak berubah, pembuatan plastik akan mengonsumsi 20% minyak global tahunan pada tahun 2050. Di sisi lain, produk plastik menyumbang 3,8% emisi GRK global dalam siklus hidupnya. Jumlah tersebut setara dengan dua kali lipat emisi dari sektor penerbangan dunia. Apabila pertumbuhan permintaan plastik konsisten sebesar 4% per tahun, emisi dari produk plastik akan menjadi 15% secara global pada tahun 2050. Pada tahun 2019 saja, produksi dan insinerasi (pembakaran sampah) plastik menghasilkan lebih dari 850 juta metrik ton CO2 (salah satu jenis GRK), yang setera dengan emisi dari pembangkit listrik batubara 189 megawatt (Hamilton, et al., 2019).

Pengolahan minyak bumi menjadi plastik membutuhkan banyak energi sehingga terbilang intensif energi dan menghasilkan banyak CO2. Sekitar 61% dari total emisi GRK plastik berasal dari tahap ekstraksi dan transport minyak bumi. Hal itu dapat menjadi lebih parah apabila dilakukan penebangan hutan untuk melakukan penggalian minyaknya. Kemudian, berdasarkan sebuah laporan dari Centerfor International Environmental Law, tahap produksi bahan plastik, yang tergolong intensif energi dan emisi, telah memproduksi sekitar 184,3—213,0 juta metrik ton CO2e secara global pada tahun 2015—setara dengan emisi dari 45 juta kendaraan pribadi dalam setahun. Setelah itu, tahap pembuatan produk plastik dari bahan plastik juga membutuhkan banyak energi dan menghasilkan banyak emisi. Sebagai contoh, untuk memproduksi sekitar 9 lembar kantong plastik berbahan HDPE (high-density polyethylene, bahan kantong plastik pada umumnya), dibutuhkan energi setara dengan mengendarai mobil sejauh satu kilometer (Australian Bureau of Statistics, 2004); dan satu botol plastik berukuran 500 ml memiliki jejak karbon[5] sebesar 82,8 gram (Blue, 2018).  

Gambar 7: Pembakaran sampah menghasilkan emisi CO2 yang sangat tinggi.
Sumber: Kumparan

Setelah digunakan pun plastik masih dapat melepaskan CO2 lagi, tergantung dari cara mengolah limbahnya. Apabila plastik didaur ulang atau ditimbun di tempat pembuangan, CO2 yang dilepaskan sedikit, meskipun menimbun sampah plastik memiliki risikonya sendiri. Namun, apabila plastik diinsinerasi atau dibakar, CO2 yang terlepas ke atmosfer akan menjadi banyak sekali. Jumlah emisi CO2 dari pembakaran sampah plastik di Amerika Serikat pada tahun 2015 adalah sekitar 5,9 juta metrik ton. Sayangnya, sekitar 40% sampah di dunia dibakar di langit terbuka sehingga melepaskan banyak karbon ke atmosfer. Oleh karena siklus hidupnya yang intensif energi dan melepaskan banyak GRK, plastik memiliki kontribusi yang cukup tinggi terhadap pemanasan global dan krisis iklim.

Mengganggu Ekosistem Daratan

Sampah plastik tidak hanya berdampak buruk bagi ekosistem laut, tetapi juga ekosistem darat. Diestimasikan bahwa sepertiga dari plastik yang diproduksi akan berakhir di tanah dan perairan tawar. Apalagi, tren penggunaan plastik saat ini akan membuat jumlah sampah plastik yang ada meningkat terus-menerus. Oleh karena itu, sampah plastik bisa memenuhi seluruh ruang di daratan. Bahkan, telah diprediksi bahwa pada tahun 2040 planet kita akan dipenuhi plastik (Novena, 2020).

Gambar 8: Seekor beruang mengira tempat sampah bekas sebagai makanan.
Sumber: Florida Fish and Wildlife/
One Green Planet

Selain memenuhi daratan, sampah plastik dapat mengganggu aktivitas hewan darat. Sebagai contoh, ketika mencari makan, kepala hewan bisa terjebak di dalam kantong plastik atau wadah makanan plastik sehingga mereka jadi kesulitan bernapas. Hewan akan kesulitan melepaskan sampah plastik tersebut dari kepala mereka, apalagi hewan yang tidak memiliki tangan. Kemudian, hewan darat pun bisa tidak sengaja memakan sampah plastik seperti yang terjadi pada hewan laut. Contohnya, telah ditemukan burung California condor yang terdapat plastik di perutnya dan sapi-sapi India yang mengalami penyumbatan saluran pencernaan akibat memakan plastik (Moore, 2021).

Bukan hanya hewan, polusi plastik di daratan juga bisa memengaruhi tumbuh-tumbuhan. Menurut sebuah penelitian, mikroplastik pada tanah dapat memengaruhi kualitas tanah dan kinerja pertumbuhan tumbuhan (Machado, et al., 2019). Penelitian tersebut mengamati pengaruh beberapa jenis mikroplastik terhadap kualitas tanah dan pertumbuhan tumbuhan bawang (Allium fistulosum).[6] Hasilnya adalah keberadaan mikroplastik pada tanah memengaruhi kandungan air pada tanah dan aktivitas mikroorganisme di dalamnya serta memengaruhi pertumbuhan akar, umbi bawang, dan daun tumbuhan bawang baik dari segi ukuran, biomassa[7], dan lainnya. Meskipun begitu, dampak dari tiap jenis mikroplastik berbeda-beda dan mungkin akan berbeda pula pada jenis tumbuhan lain.

Gambar 9: Penggunaan mulsa plastik untuk pertanian di Tiongkok.
Sumber:
New Security Beat

Penelitian lain juga menunjukkan adanya dampak negatif plastik terhadap produktivitas tumbuh-tumbuhan dalam jangka panjang. Penelitian tersebut meniliti dampak penggunaan mulsa[8] terhadap kinerja tumbuhan pertanian di Tiongkok, negara yang banyak menggunakan mulsa (Zhang, et al., 2020). Mulsa yang banyak digunakan para petani bisa meningkatkan jumlah panen, tetapi dalam jangka panjang, mulsa menimbulkan dampak negatif terhadap jumlah panen, tinggi tumbuhan, berat akar, serta kualitas tanah. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa residu plastik di dalam tanah pertanian di Tiongkok telah mengurangi jumlah panen tumbuhan kapas di sana sekitar 6—10%. Sebenarnya, jika lembaran-lembaran mulsa dibuang setelah panen, dampaknya dapat diminimalisir, tetapi sayangnya banyak petani yang tidak melakukannya.

Keberadaan mikroplastik di dalam tanah juga dapat mengganggu aktivitas cacing tanah yang akan memengaruhi kualitas tanah (Forschungsverbund Berlin, 2018). Di samping itu, sampah plastik di darat dapat melepaskan Bisphenol A (BPA), sebuah senyawa campuran dalam produk plastik. Senyawa tersebut bisa berbahaya bagi mikroorganisme yang membantu kerja akar tumbuhan. Jadi, bisa dibilang bahwa polusi plastik di daratan, terutama pada tanah pertanian, berisiko mengurangi produktivitas sektor pertanian dan bisa membahayakan ketahanan pangan di suatu wilayah.

Selain itu, BPA tidak hanya berbahaya bagi mikroorganisme pembantu tumbuhan, tetapi juga bagi hewan darat. BPA, phthalate, dan polybrominated diphenyl ether (PBDE) adalah zat campuran yang digunakan untuk membuat produk plastik dan ketiganya dapat terlepas ke lingkungan ketika plastik dibuang. Apabila terkonsumsi, ketiga zat tersebut dapat mengganggu sistem hormon manusia dan hewan darat lainnya—baik hewan vertebrata maupun invertebrata. BPA dan phthalate dapat mengganggu kerja hormon pertumbuhan dan reproduksi pada hewan vertebrata, terutama vertebrata akuatik, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan, peningkatan risiko malfungsi reproduksi dan pengurangan kesuburan, serta peningkatan kemungkinan terjadinya kecacatan pada keturunan (Mathieu-Denoncourt, et al., 2015).


Referensi

Australian Bureau of Statistics. (27 Februari 2004). How much energy is used to make a plastic bags? Australian Bureau of Statistics. https://bit.ly/3vJjOMD

Bauman, B. (20 Agustus 2019). How plastic contribute to climate change. Yale Climate Connections. https://yaleclimateconnections.org/2019/08/how-plastics-contribute-to-climate-change/

Beaumont, N. J., Aanesen, M., Austen, M. C., Börger, T., Clark, J. R., Cole, M., . . . Wyles, K. J. (2019). Global ecological, social and economic impacts of marine plastic. Marine Pollution Bulletin, 189-195. doi:https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2019.03.022

Blue, M.-L. (11 Juni 2018). What is the carbon footprint of a plastic bottle? Sciencing.com. https://sciencing.com/carbon-footprint-plastic-bottle-12307187.html

Fitri, A. (19 Mei 2017). Lihatlah paus plastik ini, mengingatkan kita betapa kian parahnya pencemarah laut! TribunKaltim.co. https://kaltim.tribunnews.com/2017/05/19/lihatlah-paus-plastik-ini-mengigatkan-kita-betapa-kian-parahnya-pencemaran-laut?page=1

Forschungsverbund Berlin. (5 Februari 2018). An underestimated threat: Land-based pollution with microplastic. Science Daily. https://www.sciencedaily.com/releases/2018/02/180205125728.htm

Greentumble. (7 Mei 2018). The negative impact of shopping plastic bags on the environment. Greentumble. https://greentumble.com/impact-of-plastic-bags-on-the-environment/

Gruber, J. (2016). Public finance and public policy. New York: Worth Publisher.

Hamilton, L. A., Feit, S., Muffet, C., Kelso, M., Rubright, S. M., Bernhardt, C., . . . Labbé-Bellas, R. (2019). Plastic & climate: The hidden costs of a plastic planet. Center for International Environmental Law.

International Union of Conversation of Nature. (n.d.). Issues brief: Marine Plastic. Diambil pada 17 Juli 2021, dari International Union of Conversation of Nature. https://www.iucn.org/resources/issues-briefs/marine-plastics

Lamb, J. B., Willis, B. L., Fiorenza, E. A., Couch, C. S., Howard, R., Rader, D. N., . . . Harvell, C. D. (2018). Plastic waste associated with disease on coral reefs. Science, 359(6374), 460-462. doi:10.1126/science.aar3320

Machado, A. A., Lau, C. W., Kloas, W., Bergmann, J., Bachelier, J. B., Faltin, E., . . . Rillig, M. C. (2019). Microplastics can change soil properties and affect plant performance. Environ. Sci. Technol., 53(10), 6044-6052. doi:https://doi.org/10.1021/acs.est.9b01339

Mathieu-Denoncourt, J., Wallace, S. J., de Solla, S. R., & Langlois, V. S. (2015). Platicizer endocrine disruption: Highlighting developmental and reproductive effects in mammals and non-mammalian aquatic species. General and Comparative Endocrinology, 219, 74-88. doi:https://doi.org/10.1016/j.ygcen.2014.11.003

McCarthy, N. (12 Februari 2020). The countries polluting the oceans the most. Statista. https://www.statista.com/chart/12211/the-countries-polluting-the-oceans-the-most/

Moore, C. (18 Juni 2021). Plastic pollution. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/science/plastic-pollution

National Geographic. (n.d.). Great pacific garbage patch. Diambil pada 26 Juli 2021, dari National Geographic. https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/great-pacific-garbage-patch/

Novena, M. (25 Juli 2020). Tahun 2040, 1,3 miliar ton sampah plastik akan tenggelamkan Bumi. (S. W. Wibawa, Ed.) Kompas.com. https://bit.ly/3yftuPw

Parker, L. (7 Agustus 2020). Microplastics have moved into virtually every crevice on Earth. National Geographic. https://on.natgeo.com/2UXNvLV

Reddy, S. (24 September 2019). Plastic pollution affects sea life throughout the ocean. Pew. https://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/articles/2018/09/24/plastic-pollution-affects-sea-life-throughout-the-ocean

Ritchie, H., & Roser, M. (September 2018). Plastic pollution. Our World in Data. https://ourworldindata.org/plastic-pollution#which-sectors-produce-the-most-plastic

Science History Institute. (n.d.). History and future of plastic. Diambil pada 25 Juli 2021, dari Science History Institute. https://www.sciencehistory.org/the-history-and-future-of-plastics

The Ocean Conference United Nations. (2017). Factsheet: Marine pollution. New York: The Ocean Conference United Nations.

Thevenon, F., Carroll, C., & Sousa, J. (2014). Plastic debris in the ocean. Gland: International Union for Conservation of Nature.

U.S. Department of Energy. (n.d.). Energy Intensity Indicator. Diambil pada 17 Juli 2021, dari U.S. Departent of Energy. https://www.energy.gov/eere/analysis/energy-intensity-indicators

United Nations Environment Programme. (3 April 2018). Plastic planet: How tiny plastic particles are polluting our soil. UN Environment Programme. https://www.unep.org/news-and-stories/story/plastic-planet-how-tiny-plastic-particles-are-polluting-our-soil

Whale and Dolphin Conversation. (n.d.). Climate change is one of the biggest threats facing whales and dolphins today. Diambil pada 17 Juli 2021, dari WDC. https://uk.whales.org/our-4-goals/create-healthy-seas/climate-change/

Wilcox, C., Sebille, E. V., & Hardesty, B. D. (2015). Threat of plastic pollution to seabirds is global, pervasive, and increasing. PNAS, 112(38). doi:https://doi.org/10.1073/pnas.1502108112

Wilcox, C., Puckridge, M., Schuyler, Q. A., Townsend, K., & Hardesty, B. D. (2018). A quantitave analysis linking sea turtle mortality and plastic debris ingestion. Sci Rep, 8(12536). doi:https://doi.org/10.1038/s41598-018-30038-z

Wright, L. (12 Juni 2019). Emisi plastik lebih tinggi dari emisi penerbangan, ini cara membuat plastik ramah lingkungan. The Conversation. https://theconversation.com/emisi-plastik-lebih-tinggi-dari-emisi-penerbangan-ini-cara-membuat-plastik-ramah-lingkungan-117773

Zhang, D., Ng, E. L., Hu, W., & Wang, H. (2020). Plastic pollution in croplands threatens long-term food security. Global Change Biology, 26(6), 3356-3367. doi:https://doi.org/10.1111/gcb.15043

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

[1] Dalam ekonomi, biaya itu tidak hanya berupa uang, tetapi sumber daya apapun yang dikorbankan. Itu bisa berupa uang, energi, waktu, ruang, emosi dan lain sebagainya.

[2] Istilah krisis iklim (climate crisis) digunakan untuk menggantikan istilah perubahan iklim (climate change).

[3] Ketiadaan perubahan keadaan terlepas dari adanya masalah dan gangguan.

[4] Produk domestik bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) adalah salah satu ukuran kinerja perekonomian. PDB mengukur output aktivitas perekonomian di suatu wilayah atau negara.

[5] Jejak karbon adalah total karbon atau emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia pada kurun waktu tertentu. (Sumber: Zerowaste.id).

[6] Penelitian tersebut hanya menggunakan tumbuhan bawang (Allium fistulosum) sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak mikroplastik terhadap tumbuhan jenis lainnya.

[7] Biomassa (ekologi) adalah massa organisme biologis yang hidup di suatu wilayah pada suatu waktu. Biomassa dalam ranah ekologi berbeda dengan sumber energi biomassa (Sumber: Wikipedia).

[8] Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembapan tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tumbuh dengan baik. Mulsa dapat bersifat permanen, seperti serpihan kayu, atau sementara, seperti mulsa plastik (Sumber: Wikipedia). 

Komentar