Polusi
Plastik Merugikan Kita Semua
Walaupun
yang paling mencemari lautan dengan sampah plastik hanyalah segelintir negara, yang rugi adalah semua orang di planet
ini
 |
Gambar 1: Tumpukan sampah di Teluk Palu, Sulawesi Tengah pada 28 Januari 2017.
Sumber: Mohamad
Hamzah/Antara dari The Jakarta Post |
Sejak ditemukan pada awal abad ke-20, plastik telah menjadi
barang yang sangat lekat dengan keseharian kita. Popularitasnya kian menjadi
sejak Perang Dunia II ketika plastik digunakan untuk kebutuhan perang, seperti
parasut. Sekarang, plastik sudah ada di mana-mana dan digunakan untuk macam-macam
hal, seperti kemasan produk, tas belanja, bahan pakaian, bahan pembuat alat
tulis, dan wadah penyimpan makanan. Produksi plastik secara global terus
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Bahkan, pada tahun 2015, produksi plastik
global telah mencapai 381 juta ton (Ritchie & Roser, 2018).
 |
Gambar 2: Produksi plastik
global dari tahun 1950 s.d. 2015 Produksi plastik yang dimaksud adalah produksi
resin dan fiber plastik atau bahan plastik mentah, bukan produk plastik.
Sumber: Our World in Data |
Namun, ketergantungan kita terhadap plastik telah membuat
planet kita dipenuhi olehnya. Sekarang, partikel plastik sudah ditemukan di
darat, laut, udara, perairan tawar, makanan, minuman, dan dalam tubuh kita.
Permasalahan tersebut disebut dengan istilah polusi plastik. Polusi plastik adalah akumulasi produk
plastik di lingkungan sampai pada titik yang menimbulkan masalah bagi hewan liar
beserta habitat mereka dan populasi manusia (Moore, 2021). Partikel plastik
telah mencemari banyak ekosistem di dunia, seperti lautan yang beritanya sudah
tidak asing lagi. Yang perlu jadi perhatian ialah Indonesia menjadi negara
kedua setelah Tiongkok yang paling mencemari lautan dengan sampah plastik yang
banyaknya adalah 1,29 juta metrik ton secara tahunan (McCarthy,
2020).
Walaupun yang paling mencemari lautan dengan sampah plastik
hanyalah segelintir negara (dan Indonesia termasuk salah satunya), yang rugi
adalah semua orang di planet ini karena sampah plastik yang masuk ke laut itu
bisa terbawa jauh sekali dari wilayah laut negara pencemar tadi. Hal tersebut
dikenal dengan istilah eksternalitas dan itu bisa menyebabkan kegagalan pasar.
Apa itu eksternalitas dan kegagalan pasar? Eksternalitas adalah akibat dari
tindakan seseorang yang menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi pihak lain,
tapi orang itu tidak membayar biaya kompensasi ke pihak lain itu (ketika
menimbulkan kerugian) atau tidak menerima manfaat kompensasi dari pihak lain
itu (ketika menimbulkan keuntungan) (Gruber, 2016). Eksternalitas
negatif merupakan eksternalitas yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Eksternalitas
terjadi karena ada biaya-biaya
yang tidak dihitung oleh para pelaku pasar—produsen dan konsumen. Sementara
itu, kegagalan pasar adalah kondisi suatu pasar barang atau jasa yang
tidak memaksimalkan kesejahteraan produsen dan konsumennya karena pasar
tersebut tidak memaksimalkan efisiensi sehingga ada kerugian ekonomi di
dalamnya (Gruber, 2016).
 |
Gambar 3: Negara yang paling
mencemari lautan dengan sampah plastik pada tahun 2020. Diagram batang sebelah
kiri menunjukkan banyaknya sampah plastik yang tidak dikelola dengan benar dan diagram
lingkaran sebelah kanan menunjukkan jumlah sampah plastik yang bocor ke laut.
Sumber: Statista |
Pasar plastik menimbulkan eksternalitas negatif, baik dari
sisi produksi maupun pengelolaan sampahnya. Dari sisi produksi, plastik dan
produk plastik menghasilkan emisi tinggi yang berkontribusi pada pemanasan
global. Dari sisi pengelolaan sampah, sampah plastik yang tidak dikelola dengan
tepat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yang bisa memengaruhi
kehidupan orang lain dan menimbulkan kerugian ekonomi. Namun, orang yang memproduksi
dan mengonsumsi plastik tidak membayar kompensasi atas dampak negatif yang
timbul tersebut. Padahal, plastik dapat merusak ekosistem, mengancam keanekaragaman
hayati, mengancam ketahanan pangan, mengancam kesehatan manusia, sampai
mengganggu mata pencaharian orang lain. Berikut adalah beberapa dampak negatif
dari sampah plastik.
Kerusakan Ekosistem Laut
 |
Gambar 4: Great Pacific
Garbage Patch.
Sumber: The Ocean Cleanup dari the Forbes |
Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik sangat mungkin
untuk bocor ke laut. Dikutip dari National Geographic, diestimasikan ada sekitar 8,8 juta ton sampah plastik
yang bocor ke laut setiap tahunnya dari wilayah pesisir di dunia—itu hanya dari
wilayah pesisir, belum termasuk sumber lainnya (Parker, 2020). Di Samudra Pasifik
sana, ada yang namanya Great Pacific Garbage Patch ‘Pulau Sampah Pasifik Besar’ yang adalah kumpulan sampah di Samudra
Pasifik Utara yang terbawa arus laut dan bersirkulasi di sana (National
Geographic, n.d.).
Sampah di sana didominasi sampah plastik yang 80% berasal dari daratan, seperti
sampah dari wilayah pesisir, dan 20% dari lautan, seperti sampah dari aktivitas
penangkapan ikan. Bahkan, dengan tingkat membuang sampah plastik yang ada
sekarang ini, diestimasikan jumlah massa plastik di laut akan melampaui jumlah
massa ikan di laut pada tahun 2050 mendatang.
Sampah plastik yang mencemari lautan menimbulkan masalah bagi
kehidupan di laut. Hewan-hewan seperti ikan, penyu, burung laut, dan mamalia
laut sering tidak sengaja menelan sampah
plastik sebagai makanan mereka. Ada sekitar 40% mamalia laut dan 40%
burung laut di dunia yang terdampak masalah akibat plastik yang tertelan.
Sampah plastik yang tertelan hewan laut akan memblokir saluran pencernaan mereka dan akan membuat mereka kelaparan.
Mereka tidak bisa membedakan antara plastik dan mangsa sehingga salah memakan
plastik. Hewan-hewan laut tersebut akan kelaparan setelah memakan plastik
karena mereka merasa perut mereka sudah penuh, padahal itu adalah plastik,
bukan makanan. Bahkan, hewan-hewan tersebut bisa mati karenanya.
 |
Gambar 5: Bangkai paus yang
penuh sampah plastik terdampar di Maluku pada 10 Mei 2017.
Sumber: Borepanda/TribunKaltim.co |
Sampah plastik membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia
laut, penyu laut, dan banyak ikan setiap tahunnya (The Ocean
Conference United Nations, 2017). Penyu yang menelan
sampah plastik memiliki probabilitas lebih besar untuk mati (Wilcox, et al.,
2018). Sampah plastik di dalam sistem pencernaan para penyu dapat
menimbulkan gangguan pencernaan, seperti usus bocor dan penyumbatan tinja. Di
samping itu, ketika sampah plastik yang bocor ke laut semakin banyak, jumlah
burung laut yang menelan sampah plastik akan semakin banyak pula. Bahkan,
diperkirakan bahwa pada tahun 2050, plastik akan ditemukan di dalam saluran
pencernaan 99% dari seluruh spesies burung laut di dunia dan 95% individu dari
masing-masing spesies tersebut akan menelan plastik pada tahun yang sama (Wilcox, et al.,
2015). Selain penyu dan burung laut, paus juga adalah korban dari polusi
plastik di lautan. Ada banyak berita tentang bangkai paus yang dipenuhi sampah
plastik, seperti bangkai paus yang ditemukan di pantai Dusun Hulung, Maluku pada tanggal 10
Mei 2017 (Fitri, 2017). Padahal, paus
memiliki peran signifikan untuk melawan krisis iklim (Whale and
Dolphin Conversation, n.d.).
 |
Gambar 6: Seekor burung
albatros mati dengan perut penuh sampah plastik.
Sumber: U.S. Fish and
Wildlife Service/Pew |
Sampah plastik pun dapat meningkatkan risiko terjadinya wabah
penyakit di ekosistem terumbu karang (Lamb, et al., 2018). Sampah plastik
dapat menjadi sarang bagi mikroorganisme penyebab penyakit yang dapat
membahayakan hewan-hewan yang hidup di habitat terumbu karang. Risiko
terjadinya penyakit pada ekosistem terumbu karang yang ada sampah plastiknya
meningkat sangat drastis dibandingkan dengan ekosistem terumbu karang yang
tidak ada sampah plastiknya, yakni dari 4% menjadi 89%, dan semakin kompleks
struktur terumbu karangnya, risiko penyakitnya akan semakin besar. Yang lebih
mengkhawatirkan ialah diestimasikan akan ada 15,7 miliar sampah plastik di
ekosistem terumbu karang yang ada di Asia-Pasifik, dengan skenario bisnis
seperti biasa. Maka dari itu, polusi plastik di lautan
mengancam keanekaragaman hayati di lautan serta mengancam keselamatan
spesies-spesies laut langka dan terancam punah.
Produk Plastik Termasuk Intensif Energi dan
Emisi
Secara sederhana, intensitas energi adalah ukuran
seberapa efisien energi digunakan untuk menghasilkan atau melakukan sesuatu (U.S.
Department of Energy, n.d.). Semakin intensif
energi suatu proses produksi atau suatu aktivitas, itu artinya penggunaan
energi untuk memproduksi barang atau melakukan aktivitas tersebut semakin tidak
efisien, maka semakin besar pula emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan.
Intensitas energi memiliki satuan unit energi per unit PDB.
Sekitar 99% plastik di dunia berbahan dasar minyak bumi. Pada
tahun 2019, 4—8% konsumsi minyak global tahunan digunakan untuk memproduksi
plastik, menurut World Economic Forum (Bauman, 2019). Apabila tingkat
penggunaan plastik tidak berubah, pembuatan plastik akan mengonsumsi 20% minyak
global tahunan pada tahun 2050. Di sisi lain, produk plastik menyumbang 3,8%
emisi GRK global dalam siklus hidupnya. Jumlah tersebut setara dengan dua kali
lipat emisi dari sektor penerbangan dunia. Apabila pertumbuhan permintaan
plastik konsisten sebesar 4% per tahun, emisi dari produk plastik akan menjadi
15% secara global pada tahun 2050. Pada tahun 2019 saja, produksi dan
insinerasi (pembakaran sampah) plastik menghasilkan lebih dari 850 juta metrik
ton CO2 (salah satu jenis GRK), yang setera dengan emisi dari
pembangkit listrik batubara 189 megawatt (Hamilton,
et al., 2019).
Pengolahan minyak bumi menjadi plastik membutuhkan banyak
energi sehingga terbilang intensif energi dan menghasilkan banyak CO2. Sekitar 61% dari total emisi GRK
plastik berasal dari tahap ekstraksi dan transport minyak bumi. Hal itu dapat
menjadi lebih parah apabila dilakukan penebangan hutan untuk melakukan
penggalian minyaknya. Kemudian, berdasarkan sebuah laporan dari Centerfor International Environmental Law, tahap produksi bahan plastik,
yang tergolong intensif energi dan emisi, telah memproduksi sekitar 184,3—213,0
juta metrik ton CO2e secara global pada tahun 2015—setara dengan
emisi dari 45 juta kendaraan pribadi dalam setahun. Setelah itu, tahap pembuatan
produk plastik dari bahan plastik juga membutuhkan banyak energi dan
menghasilkan banyak emisi. Sebagai contoh, untuk memproduksi sekitar 9 lembar kantong
plastik berbahan HDPE (high-density polyethylene, bahan
kantong plastik pada umumnya), dibutuhkan energi setara dengan mengendarai mobil sejauh satu kilometer (Australian Bureau of
Statistics, 2004);
dan satu botol plastik berukuran 500 ml memiliki jejak karbon
sebesar 82,8 gram (Blue, 2018).
 |
Gambar 7: Pembakaran sampah menghasilkan emisi
CO2 yang sangat tinggi.
Sumber: Kumparan |
Setelah digunakan pun plastik masih dapat melepaskan CO2
lagi, tergantung dari cara mengolah limbahnya. Apabila plastik didaur ulang
atau ditimbun di tempat pembuangan, CO2 yang dilepaskan sedikit,
meskipun menimbun sampah plastik memiliki risikonya sendiri. Namun, apabila
plastik diinsinerasi atau dibakar, CO2 yang terlepas ke atmosfer
akan menjadi banyak sekali. Jumlah emisi CO2 dari pembakaran sampah
plastik di Amerika Serikat pada tahun 2015 adalah sekitar 5,9 juta metrik ton.
Sayangnya, sekitar 40% sampah di dunia dibakar di langit terbuka sehingga
melepaskan banyak karbon ke atmosfer. Oleh karena siklus hidupnya yang intensif
energi dan melepaskan banyak GRK, plastik memiliki kontribusi yang cukup tinggi
terhadap pemanasan global dan krisis iklim.
Mengganggu Ekosistem Daratan
Sampah plastik tidak hanya berdampak buruk bagi ekosistem
laut, tetapi juga ekosistem darat. Diestimasikan bahwa sepertiga dari plastik
yang diproduksi akan berakhir di tanah dan perairan tawar. Apalagi, tren
penggunaan plastik saat ini akan membuat jumlah sampah plastik yang ada
meningkat terus-menerus. Oleh karena itu, sampah plastik bisa memenuhi seluruh ruang di daratan.
Bahkan, telah diprediksi bahwa pada tahun 2040 planet kita akan dipenuhi
plastik (Novena, 2020).
 |
Gambar 8: Seekor beruang
mengira tempat sampah bekas sebagai makanan.
Sumber: Florida Fish and Wildlife/One Green Planet |
Selain memenuhi daratan, sampah plastik dapat mengganggu aktivitas hewan darat.
Sebagai contoh, ketika mencari makan, kepala hewan bisa terjebak di dalam
kantong plastik atau wadah makanan plastik sehingga mereka jadi kesulitan
bernapas. Hewan akan kesulitan melepaskan sampah plastik tersebut dari kepala
mereka, apalagi hewan yang tidak memiliki tangan. Kemudian, hewan darat pun
bisa tidak sengaja memakan sampah plastik seperti yang terjadi pada hewan laut.
Contohnya, telah ditemukan burung California
condor yang terdapat plastik di perutnya dan sapi-sapi India yang mengalami
penyumbatan saluran pencernaan akibat memakan plastik (Moore, 2021).
Bukan hanya hewan, polusi plastik di daratan juga bisa
memengaruhi tumbuh-tumbuhan. Menurut
sebuah penelitian, mikroplastik pada tanah dapat memengaruhi kualitas tanah dan
kinerja pertumbuhan tumbuhan (Machado, et al.,
2019). Penelitian tersebut
mengamati pengaruh beberapa jenis mikroplastik terhadap kualitas tanah dan
pertumbuhan tumbuhan bawang (Allium
fistulosum).
Hasilnya adalah keberadaan mikroplastik pada tanah memengaruhi kandungan air
pada tanah dan aktivitas mikroorganisme di dalamnya serta memengaruhi
pertumbuhan akar, umbi bawang, dan daun tumbuhan bawang baik dari segi ukuran,
biomassa[7],
dan lainnya. Meskipun begitu, dampak dari tiap jenis mikroplastik berbeda-beda
dan mungkin akan berbeda pula pada jenis tumbuhan lain.
 |
Gambar 9: Penggunaan mulsa plastik
untuk pertanian di Tiongkok.
Sumber: New Security Beat |
Penelitian lain juga menunjukkan
adanya dampak negatif plastik terhadap produktivitas tumbuh-tumbuhan dalam
jangka panjang. Penelitian tersebut meniliti dampak penggunaan mulsa[8]
terhadap kinerja tumbuhan pertanian di Tiongkok, negara yang banyak menggunakan
mulsa (Zhang, et al., 2020). Mulsa yang banyak digunakan para petani bisa
meningkatkan jumlah panen, tetapi dalam jangka panjang, mulsa menimbulkan
dampak negatif terhadap jumlah panen, tinggi tumbuhan, berat akar, serta
kualitas tanah. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa residu plastik di
dalam tanah pertanian di Tiongkok telah mengurangi jumlah panen tumbuhan kapas
di sana sekitar 6—10%. Sebenarnya, jika lembaran-lembaran mulsa dibuang setelah
panen, dampaknya dapat diminimalisir, tetapi sayangnya banyak petani yang tidak
melakukannya.
Keberadaan mikroplastik di dalam
tanah juga dapat mengganggu aktivitas cacing tanah yang akan memengaruhi
kualitas tanah (Forschungsverbund Berlin, 2018). Di samping itu, sampah
plastik di darat dapat melepaskan Bisphenol A (BPA), sebuah senyawa campuran
dalam produk plastik. Senyawa tersebut bisa berbahaya bagi mikroorganisme yang membantu kerja akar tumbuhan. Jadi,
bisa dibilang bahwa polusi plastik di daratan, terutama pada tanah pertanian,
berisiko mengurangi produktivitas sektor pertanian dan bisa membahayakan
ketahanan pangan di suatu wilayah.
Selain
itu, BPA tidak hanya berbahaya bagi mikroorganisme pembantu tumbuhan, tetapi
juga bagi hewan darat. BPA, phthalate,
dan polybrominated diphenyl ether (PBDE)
adalah zat campuran yang digunakan untuk membuat produk plastik dan ketiganya
dapat terlepas ke lingkungan ketika plastik dibuang. Apabila terkonsumsi,
ketiga zat tersebut dapat mengganggu sistem hormon manusia dan hewan darat
lainnya—baik hewan vertebrata maupun invertebrata. BPA dan phthalate dapat mengganggu kerja hormon pertumbuhan dan reproduksi
pada hewan vertebrata, terutama vertebrata akuatik, sehingga mengakibatkan
gangguan pertumbuhan, peningkatan risiko malfungsi reproduksi dan pengurangan
kesuburan, serta peningkatan kemungkinan terjadinya kecacatan pada keturunan (Mathieu-Denoncourt, et al., 2015).
Referensi
Australian Bureau of Statistics. (27
Februari 2004). How much energy is used to make a plastic bags?
Australian Bureau of Statistics. https://bit.ly/3vJjOMD
Bauman, B. (20
Agustus 2019). How plastic contribute to climate change. Yale Climate
Connections. https://yaleclimateconnections.org/2019/08/how-plastics-contribute-to-climate-change/
Beaumont, N.
J., Aanesen, M., Austen, M. C., Börger, T., Clark, J. R., Cole, M., . . .
Wyles, K. J. (2019). Global ecological, social and economic impacts of marine
plastic. Marine Pollution Bulletin, 189-195.
doi:https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2019.03.022
Blue, M.-L. (11
Juni 2018). What is the carbon footprint of a plastic bottle?
Sciencing.com.
https://sciencing.com/carbon-footprint-plastic-bottle-12307187.html
Fitri, A. (19
Mei 2017). Lihatlah paus plastik ini, mengingatkan kita betapa kian parahnya
pencemarah laut! TribunKaltim.co.
https://kaltim.tribunnews.com/2017/05/19/lihatlah-paus-plastik-ini-mengigatkan-kita-betapa-kian-parahnya-pencemaran-laut?page=1
Forschungsverbund
Berlin. (5 Februari 2018). An underestimated threat: Land-based pollution
with microplastic. Science Daily.
https://www.sciencedaily.com/releases/2018/02/180205125728.htm
Greentumble. (7
Mei 2018). The negative impact of shopping plastic bags on the environment.
Greentumble. https://greentumble.com/impact-of-plastic-bags-on-the-environment/
Gruber, J.
(2016). Public finance and public policy. New York: Worth Publisher.
Hamilton, L.
A., Feit, S., Muffet, C., Kelso, M., Rubright, S. M., Bernhardt, C., . . .
Labbé-Bellas, R. (2019). Plastic & climate: The hidden costs of a
plastic planet. Center for International Environmental Law.
International
Union of Conversation of Nature. (n.d.). Issues brief: Marine Plastic. Diambil
pada 17 Juli 2021, dari International Union of Conversation of Nature.
https://www.iucn.org/resources/issues-briefs/marine-plastics
Lamb, J. B.,
Willis, B. L., Fiorenza, E. A., Couch, C. S., Howard, R., Rader, D. N., . . .
Harvell, C. D. (2018). Plastic waste associated with disease on coral reefs. Science,
359(6374), 460-462. doi:10.1126/science.aar3320
Machado, A. A.,
Lau, C. W., Kloas, W., Bergmann, J., Bachelier, J. B., Faltin, E., . . .
Rillig, M. C. (2019). Microplastics can change soil properties and affect plant
performance. Environ. Sci. Technol., 53(10), 6044-6052. doi:https://doi.org/10.1021/acs.est.9b01339
Mathieu-Denoncourt,
J., Wallace, S. J., de Solla, S. R., & Langlois, V. S. (2015). Platicizer
endocrine disruption: Highlighting developmental and reproductive effects in
mammals and non-mammalian aquatic species. General and Comparative
Endocrinology, 219, 74-88. doi:https://doi.org/10.1016/j.ygcen.2014.11.003
McCarthy, N. (12
Februari 2020). The countries polluting the oceans the most. Statista.
https://www.statista.com/chart/12211/the-countries-polluting-the-oceans-the-most/
Moore, C. (18
Juni 2021). Plastic pollution. Encyclopedia Britannica.
https://www.britannica.com/science/plastic-pollution
National
Geographic. (n.d.). Great pacific garbage patch. Diambil pada 26 Juli
2021, dari National Geographic.
https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/great-pacific-garbage-patch/
Novena, M. (25
Juli 2020). Tahun 2040, 1,3 miliar ton sampah plastik akan tenggelamkan Bumi.
(S. W. Wibawa, Ed.) Kompas.com. https://bit.ly/3yftuPw
Parker, L. (7
Agustus 2020). Microplastics have moved into virtually every crevice on Earth. National
Geographic. https://on.natgeo.com/2UXNvLV
Reddy, S. (24
September 2019). Plastic pollution affects sea life throughout the ocean.
Pew.
https://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/articles/2018/09/24/plastic-pollution-affects-sea-life-throughout-the-ocean
Ritchie, H.,
& Roser, M. (September 2018). Plastic pollution. Our World in Data.
https://ourworldindata.org/plastic-pollution#which-sectors-produce-the-most-plastic
Science History
Institute. (n.d.). History and future of plastic. Diambil pada 25 Juli
2021, dari Science History Institute.
https://www.sciencehistory.org/the-history-and-future-of-plastics
The Ocean
Conference United Nations. (2017). Factsheet: Marine pollution. New
York: The Ocean Conference United Nations.
Thevenon, F.,
Carroll, C., & Sousa, J. (2014). Plastic debris in the ocean. Gland:
International Union for Conservation of Nature.
U.S. Department
of Energy. (n.d.). Energy Intensity Indicator. Diambil pada 17 Juli 2021,
dari U.S. Departent of Energy.
https://www.energy.gov/eere/analysis/energy-intensity-indicators
United Nations
Environment Programme. (3 April 2018). Plastic planet: How tiny plastic
particles are polluting our soil. UN Environment Programme.
https://www.unep.org/news-and-stories/story/plastic-planet-how-tiny-plastic-particles-are-polluting-our-soil
Whale and
Dolphin Conversation. (n.d.). Climate change is one of the biggest threats
facing whales and dolphins today. Diambil pada 17 Juli 2021, dari WDC.
https://uk.whales.org/our-4-goals/create-healthy-seas/climate-change/
Wilcox, C.,
Sebille, E. V., & Hardesty, B. D. (2015). Threat of plastic pollution to
seabirds is global, pervasive, and increasing. PNAS, 112(38).
doi:https://doi.org/10.1073/pnas.1502108112
Wilcox, C.,
Puckridge, M., Schuyler, Q. A., Townsend, K., & Hardesty, B. D. (2018). A
quantitave analysis linking sea turtle mortality and plastic debris ingestion. Sci
Rep, 8(12536). doi:https://doi.org/10.1038/s41598-018-30038-z
Wright, L. (12
Juni 2019). Emisi plastik lebih tinggi dari emisi penerbangan, ini cara membuat
plastik ramah lingkungan. The Conversation.
https://theconversation.com/emisi-plastik-lebih-tinggi-dari-emisi-penerbangan-ini-cara-membuat-plastik-ramah-lingkungan-117773
Zhang, D., Ng,
E. L., Hu, W., & Wang, H. (2020). Plastic pollution in croplands threatens
long-term food security. Global Change Biology, 26(6), 3356-3367.
doi:https://doi.org/10.1111/gcb.15043
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga
kelembapan tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat
tanaman tumbuh dengan baik. Mulsa dapat bersifat permanen, seperti serpihan
kayu, atau sementara, seperti mulsa plastik (Sumber: Wikipedia).
Komentar
Posting Komentar