Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Fear Street Trilogy: Slasher Horror yang Menguak Kutukan Kota Shadyside
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas
Film
Judul: Fear
Street Trilogy
Sutradara: Leigh Janiak
Tanggal
rilis: 2 Juli 2021
(part one), 9 Juli 2021 (part two), 16 Juli 2021 (part three)
Rumah
produksi: Chernin
Entertainment
Penulis
naskah: Phil Graziadei (screenplay), Leigh Janiak (screenplay), Kyle Killen (story)
Durasi
tayang: 1 jam 47
menit (part one), 1 jam 49 menit (part two), 1 jam 54 menit (part three)
Pemeran: Kiena Madeira,
Olivia Scott Welch, Benjamin Flores Jr., Julia Rehwald, David W. Thompson,
Sadie Sink, Emily Rudd, Ryan Simpkins, McCabe Slye, Ashley Zukerman, Gillian
Jacobs
Genre : Film jagal, supranatural, misteri, drama, komedi
Sinopsis
“Fear
Street” adalah sebuah trilogi film yang diadaptasi dari buku karya R. L. Stine,
seorang penulis yang terkenal di era ’90-an dengan karyanya, yaitu “Fear
Street” dan “Goosebumps.” Film ini terdiri atas tiga bagian yaitu, “part one:
1994”, “part two: 1978”, dan “part three: 1666.” Walaupun ada tiga bagian,
semua bagiannya adalah satu kesatuan cerita, tetapi disajikan dalam tiga film.
Fear
Street Part One: 1994
Trilogi
“Fear Street” mengisahkan sekelompok remaja yang tinggal di sebuah kota
Shadyside yang suram. Kota ini amat terkenal karena banyak kasus pembunuhan
massal terjadi di sana. Kontras sekali dengan kota sebelahnya, yakni Sunnyvale
yang nyaman dan tidak pernah ada kejahatan. Akibatnya, ada perbedaan menyolok antara
kedua kota yang bertetangga itu—penduduk Shadyside hidup dalam kepasrahan dan hopelessness, sedangkan penduduk
Sunnyvale hidup di dalam rumah mereka yang mewah dan besar.
Ada urban legend yang mengatakan bahwa
dahulu, pada tahun 1666, ada seorang penyihir bernama Sarah Fier yang dihukum
gantung oleh penduduk Shadyside. Penyihir itu lalu mengutuk penduduk Shadyside
bahwa dia akan kembali dan membuat orang-orang Shadyside menjadi pengikutnya.
Maka dari itu, orang-orang yakin bahwa Shadyside dan penduduknya dikutuk.
Buktinya adalah ada banyak sekali kasus pembunuhan massal oleh orang yang
awalnya tampak normal. Para pelaku pembunuhan itu diyakini telah dirasuki sang
penyihir hingga membunuh orang-orang.
Meskipun
begitu, orang-orang hanya menganggap cerita Sarah Fier sebagai cerita belaka.
Deena (Kiana Madeira) tidak percaya sama sekali dengan urban legend tersebut, tetapi adiknya, yang bernama Josh (Benjamin
Flores Jr.) berkata lain. Dia sangat yakin itu semua adalah ulah sang penyihir.
Pada akhirnya, Deena harus percaya pada kutukan itu karena kini kutukan sang
penyihir mengincar nyawa kekasihnya, Sam (Olivia Scott Welch). Deena, Josh, dan
Sam bersama teman-teman mereka yang lain harus bertahan hidup dari amarah sang
penyihir yang menginginkan mereka.
Fear
Street Part Two: 1978
Deena,
Josh, dan Sam pergi menemui C. Berman (Gillian Jacobs) yang merupakan
satu-satunya penyintas teror kutukan sang penyihir di tahun 1978. Mereka ingin
meminta bantuannya dan informasi apapun yang ia ketahui tentang kutukan
tersebut. Kemudian, C. Berman pun menceritakan hari ketika kejadian yang
traumatis itu terjadi. Itu adalah tahun 1978, ketika dia dan kakaknya beserta
anak-anak Shadyside dan Sunnyvale lainnya pergi ke perkemahan musim panas. Hanya
dalam semalam, semuanya berubah dan C. Berman harus kehilangan saudaranya.
Fear
Street Part Three: 1666
Deena,
Josh, dan Sam sudah sangat dekat untuk mematahkan kutukan sang penyihir. Namun,
Deena menemukan kebenaran lain. Dia kembali ke waktu ketika Sarah Fier hidup di
tahun 1666, ketika Shadyside dan Sunnyvale masih berupa desa kecil bernama
Union. Dengan melihat kehidupan Sarah Fier, Deena menemukan cara bagaimana
membebaskan Shadyside dari kutukan sang penyihir untuk selama-lamanya.
Kelebihan
Trilogi
“Fear Street” bergenre horor jagal atau slasher
horror, yaitu subgenre film horor yang memiliki plot klise mengenai
sekumpulan remaja dan sosok pembunuh psikopat yang membunuh dengan kejam
menggunakan senjata tajam. Trilogi “Fear Street” ini mengambil banyak referensi
dari film-film horor segenre dan memiliki kemiripan dengan mereka. Misalnya, di
part one, adegan pertamanya mirip
dengan film “Scream” dan kostum pembunuhnya juga mirip. Kemudian, di part two, suasananya mirip dengan film
“Friday the 13th” yang berlatar perkemahan. Di part two juga terdapat adegan yang meniru film horor “The Shining.”
Kalau kalian film horor, terutama slasher
horror, kalian akan menyadari kemiripan-kemiripan yang ada di film ini. Itu
menjadi daya tarik tersendiri bagi trilogi film ini.
Selain
mirip dengan beberapa film horor terkenal, aku merasa film ini cukup mirip dengan
cerita Scooby Doo, terutama yang part
one: 1994. Deena, Josh, Sam, dan yang lainnya mencoba memecahkan misteri
kutukan di Shadyside dan berusaha mematahkannya. Mereka berkali-kali dikejar
para pembunuh suruhan penyihir. Mereka mencoba membuat jebakan untuk
memerangkap para pembunuh tersebut. Di tengah jalan, mereka harus melakukan
improvisasi atas rencana mereka akibat situasi tidak terduga. Itu semua mirip
sekali dengan cerita-cerita Scooby Doo, tetapi yang ini lebih sadis dan
berdarah-darah.
Kalau
dari sisi horor dan sadisnya, film part
two pemenangnya. Di part one,
kesadisan cerita baru ada di akhir-akhir film, sedangkan di part two, lebih dari setengah film ini
mengandung kesadisan. Ada lebih banyak korban tewas dan adegan berdarah di part two yang mengisahakan pengalaman C.
Berman menghadapi teror si penyihir. Tentu saja, yang part two lebih mendebarkan dan membuat kita bertanya-tanya siapa
saja yang akan survive.
Kemudian,
alur cerita trilogi ini dipenuhi dengan twist
yang tidak terpikirkan. Di part two, twist di akhir itu cukup membuat aku
terkejut. Namun, twists yang ada di part three itu jauh lebih mind-blowing. Cerita part three membongkar apa yang
sebetulnya terjadi di tahun 1666 ketika Sarah Fier dihukum gantung. Pada saat
itulah pertanyaan-pertanyaan di part one
dan part two terjawab. Menurutku,
itulah kelebihan part three selain plot twist-nya, yaitu menjawab semua
rasa penasaran kita. Oh iya, selain plot
twist, di sepanjang film—baik part
one, part two, ataupun part three—terdapat
petunjuk yang menunjukkan siapa musuh sebetulnya, tetapi petunjuk tersebut begitu
tersirat hingga sulit disadari.
Sebelumnya,
maaf kalau ini spoiler. Ada insight menarik di part three, yaitu tentang pemburuan penyihir atau witch hunting. Pemburuan penyihir adalah
peristiwa yang cukup terkenal di sejarah Eropa. Pada saat itu banyak perempuan
ditangkap dan dihukum karena dianggap penyihir yang menyembah setan. Namun,
perempuan-perempuan yang dituduh penyihir itu tidak betul-betul terbukti
menyembah setan atau mempraktikkan sihir. Sama seperti Sarah Fier, mereka
dituduh sebagai penyihir karena mereka menyimpang dari norma sosial (yang
didominasi nilai-nilai Kristiani) atau berbeda dari (peran gender) perempuan
pada lazimnya. Jadi, perempuan zaman dulu itu memiliki posisi yang sulit karena
ketika mereka tidak sesuai dengan norma yang ada. Mereka bisa dutuduh sebagai
penyihir dan dihukum gantung; sementara laki-laki yang hidupnya hanya
mabuk-mabuk dan bikin onar tidak dihukum apa-apa.
Kelemahan
Kelemahan
pertama dari trilogi ini ialah plotnya yang klise dan diulang. Memang itu
adalah ciri khas genrenya, tetapi di part
three: 1666, itu terlalu mengulang dua part
sebelumnya. Menurutku, menghadirkan cast
yang sama untuk memerankan tokoh yang berbeda itu sebetulnya menarik,
tetapi kalau masalah yang dihadapi tokohnya juga mirip, itu terlalu berlebihan.
Kiana Madeira yang berperan sebagai Deena dan Olivia Scott Welch yang berperan
sebagai Sam, keduanya memerankan tokoh berbeda di part three: 1666. Di part
three tersebut, Kiana menjadi Sarah Fier dan Olivia menjadi Hannah Miller.
Walaupun
kedua aktris tersebut memerankan peran berbeda, tokoh yang mereka perankan
memiliki kesamaan, yaitu pasangan lesbian. Saat tahu bahwa mereka adalah
pasangan lesbian, aku langsung merasa itu terlalu mengulang yang sudah ada di part one. Untuk Sarah bisa dituduh
sebagai penyihir itu tidak harus menjadi seorang lesbian—bisa dengan bentuk
penyimpangan norma yang lain. Secara pribadi, itu pun membuatku berpikir
mengapa harus menjadi pasangan lesbian, padahal Sarah dan Deena hidup di
generasi yang berbeda jauh. Semuanya terkesan hanya mengulang yang ada di parts sebelumnya.
Kemudian,
soundtrack yang diputar di part one itu rasanya hanya sekadar untuk
menambahkan suasana tahun ’90-an. Soundtrack-nya
tidak begitu masuk ke adegan, maka rasanya tidak lebih sebagai aksesoris saja, tidak
ada pun tidak begitu masalah. Kemudian, di part
one itu ada hal yang tidak masuk akal, yaitu para tokohnya sempat melakukan
aktivitas seksual ketika mereka sedang dikejar-kejar para pembunuh. Aku paham
mereka itu remaja yang masih penuh gairah, tetapi apa tidak ada waktu lain
untuk melakukan itu?
Aku
juga kurang bisa bersimpati terhadap Deena dan Sam. Aku bukan homophobic, tetapi aku pribadi kurang
suka dengan pasangan tersebut. Di awal kita tahu bahwa mereka ada masalah dan
sedang kesal terhadap satu sama lain, tetapi alasan pertikaian mereka itu
kurang jelas. Aneh sekali kalau mereka bertengkar hanya karena Sam pindah ke
Sunnyvale karena itu berarti Deena sangat egois. Keegoisan mereka pun semakin
terlihat karena Deena lebih mengutamakan Sam ketika teman-temannya mati-matian
melawan para pembunuh suruhan penyihir. Pokoknya, aku merasa Deena itu egois
sekali.
Kelemahan
lainnya yang ada di trilogi ini adalah di bagian akhir, di epilog yang ada di part three. Sebelumnya aku minta maaf
kalau ini spoiler ya. Di bagian
epilog, kita diperlihatkan bahwa Serif Goode menjadi tersangka pembunuhan berantai,
tetapi tidak jelas bagaimana bisa demikian. Padahal, Serif Goode sudah tewas di
dalam gua di bawah tanah—tidak ada barang bukti yang bisa menjadikan dia
pembunuh di sepanjang cerita.
Kemudian,
kita tahu bahwa di akhir itu Deena dan Sam tiba di sebuah rumah mewah di
Sunnyvale yang tampaknya itu rumahnya Serif Goode. Mereka datang berlumuran
darah dan babak belur. Maka, seharusnya yang dituduh sebagai pembunuh adalah
mereka. Namun, tidak ada apa-apa yang terjadi pada mereka dan mereka bisa
meneruskan hidup dengan bahagia. Itu terasa aneh saja, menurutku.
Kesimpulan
Trilogi
“Fear Street” adalah film bergenre horor jagal yang cukup menarik dan
menghibur. Dia memiliki vibes yang
sama dengan Goosebumps dan Scooby Doo, tetapi dengan lebih banyak kesadisan dan
adegnan pembunuhan. Film ini masih diselingi beberapa komedi dan drama khas
remaja sehingga tidak melulu tentang pembunuh atau kutukan. Ceritanya juga penuh
twist sehingga penonton akan terus
dibuat penasaran. Dari ketiga part
yang ada, yang paling seru adalah part
two: 1978. Aku memberi skor 7/10 untuk keseluruhan trilogi ini.
Kalian bisa melihat cuplikan filmya di bawah ini.
***
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar