Kerugian
Kesehatan Akibat Polusi Udara dari Batubara di Indonesia
Orang-orang dengan pendapatan yang relatif rendah ialah orang-orang yang paling terbebani akibat polusi udara dari batubara
Di Indonesia, batubara adalah
bagian penting bagi kehidupan orang-orang. Indonesia adalah negara produsen batubara
terbesar kelima di dunia dan salah satu negara eksportir batubara terbesar di
dunia. Indonesia juga masih bergantung pada batubara sebagai sumber energi
listrik, tepatnya sekitar 59,7 persen listrik di Indonesia berasal dari
pembangkit listrik tenaga uap batubara (PLTU Batubara) pada tahun 2019 (Ritchie, n.d.). Jumlah tersebut
terus meningkat sejak tahun 1995 sampai sekarang dan diprediksi akan menjadi
dua kali lipatnya pada tahun 2027.
 |
Gambar 2 Tren Persentase Produksi Energi Listrik yang Bersumber
dari Batubara
Sumber: Our World inData |
Dikutip
dari Mongabay, Endcoal.org melaporkan setidaknya ada 171 PLTU Batubara dengan
total kapasitas 32.373 megawatt yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 2006
sampai 2020 (Syahni, 2020). Bahkan, di sekitar Jakarta saja terdapat 10
PLTU Batubara dan PLTU tersebut telah menyumbang sekitar 30 persen polusi udara
di Jakarta (CNN Indonesia, 2019). Bahkan, pemerintah
Indonesia masih berencana untuk membangun lebih banyak PLTU Batubara di masa
depan. Di dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 39
K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2019 sampai dengan Tahun 2028, atau
disebut RUPTL PT PLN (Persero) Tahun 2019 s.d. Tahun 2028, target bauran energi
Indonesia sampai dengan tahun 2025 masih akan didominasi energi batubara
sebesar 54,6 persen. Kemudian, pemerintah berencana membangun tambahan
kapasitas pembangkit listrik sebesar 56,6 GW dalam 10 tahun ke depan yang akan
didominasi oleh PLTU Batubara sebesar 27,1 GW atau 48,0 persen yang terdiri
atas PLTU Mulut Tambang sebesar 5,7 GW dan PLTU Pantai sebesar 21,4 GW.
Sementara
itu, batubara merupakan salah satu biang utama emisi gas rumah kaca dunia. Pada
tahun 2016 saja, sektor energi listrik dan panas di Indonesia telah
menghasilkan sekitar 170 juta ton CO2e (Dunne, 2019)
atau sekitar 32,07 persen dari 530 juta ton total emisi CO2 yang
dihasilkan Indonesia
pada tahun tersebut (Worldometers, n.d.). Hal itu menunjukkan
bahwa batubara berdampak sangat buruk terhadap lingkungan dan berkontribusi
terhadap krisis iklim.
Selain
berdampak buruk terhadap lingkungan, pembakaran batubara juga berdampak buruk
bagi kesehatan masyarakat. Di dalam laporan yang bertajuk “The Health Cost of
Coal in Indonesia”, International Institute for Sustainable Development (IISD)
memaparkan berbagai dampak buruk batubara terhadap kesehatan masyarakat
Indonesia serta biaya yang harus ditanggung karenanya. Pembakaran batubara
untuk energi listrik dan panas akan menghasilkan zat-zat yang sangat beracun
bagi manusia, seperti zat partikulat (particulate
matters, PM). Polusi udara karena batubara merupakan penyebab langsung dari
berbagai penyakit tidak menular (noncommunicable
diseases, NCDs) yang telah menyebabkan 1,3 juta kematian di Indonesia pada
tahun 2015.
Negara
lain yang sangat bergantung pada batubara sebagai sumber energi juga mengalami
hal serupa. Di Tiongkok, polusi udara akibat batubara diestimasikan telah
menyebabkan 241.000 kematian prematur pada tahun 2013. Sementara di India,
polusi akibat batubara diestimasikan telah menyebabkan 169.000 kematian
prematur pada tahun 2015. Di Indonesia sendiri, diestimasikan ada 7.500
kematian prematur akibat batubara dan diprediksi jumlah tersebut akan menjadi
25.000 kematian prematur pada tahun 2030 apabila tidak ada perubahan apa-apa.
Setelah
ini, akan dijelaskan lebih lanjut tentang berbagai dampak kesehatan batubara
dan biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat dan pemerintah akibat
batubara. Nilai kurs yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah kurs tanggal
11 Mei 2021, yaitu USD 1 sama dengan IDR 14.178,65.
Dampak Batubara terhadap Kesehatan Masyarakat Indonesia
Pembakaran
batubara berkontribusi terhadap polusi udara seperti halnya asap kendaraan
bermotor dan asap pabrik. Pembakaran batubara melepaskan partikel-partikel
beracun ke udara yang dapat terhirup oleh manusia. Polutan-polutan tersebut dapat
mengganggu sistem pernapasan, kardiovaskular, dan saraf dengan menyebabkan
berbagai penyakit tidak menular, seperti:
- penyakit arteri koroner (ischemic heart disease, IHD);
- penyakit paru obstruktif kronis (chronic obstructive pulmonary disease, COPD);
- infeksi saluran pernapasan (lower respiratory tract infection, LRI);
- penyakit kardiovaskular (cardiovascular disease, CVD);
- infeksi saluran pernapasan akut (acute lower respiratory infection, ALRI);
- asma; dan
- kanker paru-paru.
 |
Gambar 3 Jumlah Kematian Terkait Polusi Udara di
Indonesia Tahun 2012, per Jenis Penyakit
Sumber: IISD. (2018).
The Health Cost of Coal in Indonesia. |
Polutan
utama yang dihasilkan dari pembakaran batubara adalah nitrogen oksida (NOx),
sulfur dioksida (SO2), dan zat partikulat (particulate matter, PM). Di samping ketiga zat itu, ada juga
merkuri yang memengaruhi kesehatan manusia melalui konsumsi ikan sehingga merkuri
menjadi berbahaya bagi masyarakat yang mengonsumsi ikan sebagai sumber makanan
utama. Kemudian, ada juga nitrogen dioksida (NO2) yang dapat bereaksi
dengan atmosfer dan menjadi komponen utama kabut asap yang berbahaya bagi
kesehatan. Pembakaran batubara pun menghasilkan polutan berupa arsen, kadmium,
dan timbal yang merupakan zat karsinogen (penyebab kanker). Arsen, kadmium, dan
timbal sangat berbahaya bagi orang-orang yang mengonsumsi ikan, air, dan produk
pertanian yang terkontaminasi zat-zat tersebut. Tabel berikut menjelaskan lebih
rinci mengenai polutan yang dihasilkan pembakaran batubara serta dampaknya
terhadap kesehatan (di akhir tulisan, juga tersedia tabelnya dalam bentuk gambar).
Zat Kimia
|
Dampak terhadap Kesehatan
|
Penyakit Tidak Menular Terkait
|
Kelompok Populasi yang Paling
Terdampak
|
Ambang Batas yang Ditetapkan WHO
|
Nitrogen
oksida (NOx) dan Nitrogen dioksida (NO2)
|
Kontributor
besar terhadap pembentukan zat partikulat (particulate matter, PM) halus. NO2 merupakan
pengganggu paru-paru dan penyebab peradangan pada saluran pernapasan serta
dapat meningkatkan peluang penyakit respirasi dengan menurunkan daya tahan
terhadap infeksi. NO2 telah diasosiasikan dengan berat badan kecil
pada bayi yang baru lahir.
|
Asma,
bronkitis, dan peyakit lainnya terkait PM.
|
Orang-orang
dengan penyakit pernapasan, ibu hamil, dan janin.
|
NO2: 40 µg/m3
rata-rata tahunan dan 200 µg/m3 rata-rata per jam.
|
Sulfur
dioksida (SO2)
|
SO2
menyebabkan iritasi, refleks batuk, dan penyempitan saluran pernapasan
sehingga memengaruhi napas dan menyebabkan penyakit respirasi dan perubahan
pada daya tahan paru-paru. SO2 dapat memengaruhi pembentukan
embrio sebab zat tersebut diasosiasikan dengan masa kehamilan yang lebih
singkat dan berat badan yang lebih rendah pada bayi yang baru lahir. SOx
dapat bereaksi dengan zat lain di udara untuk membentuk PM.
|
Penyakit
yang berkaitan dengan PM: asma; penyakit paru obstruktif kronis (COPD),
khususnya bronkitis dan empisema; memperburuk penyakit kardiovaskular (CVD)
yang sudah ada; iritasi mata; persalinan obstetrik prematur (preterm birth); dan berat badan rendah
pada bayi yang baru lahir.
|
Janin,
anak-anak, orang lansia, orang-orang dengan asma, dan orang-orang dengan CVD.
|
20 µg/m3
rata-rata per 24 jam dan 500 µg/m3 rata-rata per 10 menit.
|
Merkuri
|
Dapat
diubah oleh bakteri menjadi metil merkuri yang menjadi sangat toksik dan bisa
berdampak pada sistem saraf, pencernaan, dan kekebalan tubuh serta pada
paru-paru, ginjal, kulit, dan mata—bahkan, dapat menjadi fatal. Paparan
terhadap merkuri merupakan ancaman terhadap pembentukan janin anak di rahim
dan perkembangan anak pada masa awal pertumbuhan.
|
Gangguan
kekebalan tubuh, neurologis, dan perilaku; pelemahan kognitif dan ingatan;
dan CVD seperti serangan jantung dan hipertensi.
|
Bayi
yang baru lahir dan balita, wanita hamil, dan populasi yang bergantung pada
ikan sebagai sumber makanan utama.
|
Di air: 1 µg/liter
untuk total merkuri.
Di udara: 1 µg/m3
rata-rata tahunan.
|
Zat
partikulat (PM2,5)
|
PM2,5
dapat masuk jauh ke dalam paru-paru, lalu ke pembuluh darah, dan sampai
ke organ-organ vital, seperti otak, paru-paru, jantung, pankreas, dan sistem
reproduksi, lalu menciptakan serangkaian repons fisiologis. PM memengaruhi
pembentukan janin. PM ultrahalus (ultrafine
PM) memiliki kemungkinan lebih besar untuk memasuki organ tubuh dan sel.
|
Penyakit
kardiovaskular dan pernapasan: penyakit arteri koroner (IHD), COPD, infeksi
saluran pernapasan (LRI), kanker paru-paru, asma, dan pelemahan fungsi
paru-paru.
|
Anak-anak,
orang lansia, dan orang-orang dengan penyakit bawaan.
|
10 µg/m3
rata-rata tahunan dan 25 µg/m3 rata-rata per 24 jam.
|
Arsen
|
Arsen
inorganik adalah zat karsinogen (penyebab kanker) dan merupakan salah satu
dari 10 zat kimia yang menjadi fokus WHO untuk kesehatan publik. Arsen
berdampak pada manusia melalui air minum.
|
Kanker
dan kulit lecet, penyakit kardiovaskular, dan diabetes.
|
Semua
populasi.
|
10 µg/liter.
|
Kadmium
|
Kadmium
berdampak toksik terhadap ginjal, kerangka tubuh, dan sistem respirasi serta
diklasifikasikan sebagai zat karsinogen.
|
Kanker
paru-paru dan asidosis tubulus renalis.
|
Semua
populasi.
|
5 ng/m3
rata-rata tahunan.
|
Timbal
|
Timbal
adalah zat toksik kumulatif yang memengaruhi berbagai sistem tubuh, termasuk
neurologis, hematologis, saluran pencernaan, kardiovaskular, dan ginjal serta
dapat menyebabkan disfungsi sistem reproduksi.
|
Kanker
dan disfungsi sistem saraf.
|
Semua
populasi, secara khusus anak-anak dan wanita yang sedang hamil.
|
0,5
µg/m3 per tahun.
|
Tabel 1 Polutan akibat Pembakaran Batubara
dan Dampaknya terhadap Kesehatan
Sumber: IISD. (2018). The Health Cost of Coal in Indonesia.
Sebelum melanjutkan, kita perlu tahu
lebih dulu apa itu PM2,5 karena zat tersebut jarang diketahui orang.
Particulate matters (PM) adalah zat halus
hasil pembakaran yang tidak sempurna yang terdiri atas condensed organic material, soot particle, dan fly ash (inorganik) (Dinda, 2020). PM terbagi menjadi
dua, yaitu PM10 dengan ukuran 2,5—10 mikrometer (µm) dan PM2,5
dengan ukuran lebih kecil dari 2,5 mikronmeter (µm). Kedua zat tersebut dapat
mengurangi jarak pandang dan membuat udara terlihat kotor. PM2,5 ini
memiliki ukuran yang lebih kecil daripada diameter rambut manusia sehingga
dapat masuk ke paru-paru ketika kita menghirup udara sebab dia tidak tersaring
oleh bulu hidung. Oleh karena ukurannya yang sangat kecil itu, PM2,5
dapat masuk ke pembuluh darah hingga ke berbagai organ tubuh. PM2,5
dapat menyebabkan berbagai penyakit mulai dari penyakit pernapasan sampai
kanker. Ambang batas rekomendasi WHO untuk konsentrasi PM2,5 di udara adalah 10
µg/m3 (tahunan) dan 25 µg/m3 (harian).
 |
Gambar 4 Perbandingan Ukuran Rambut Manusia dengan PM10
dan PM2,5
Sumber: Neutrogena |
Kadar polusi udara tersebut dapat
diukur dari indeks kualitas udara (air
quality index, AQI). Berdasarkan data dari situs IQAir, rata-rata indeks kualitas
udara Indonesia pada tahun 2020 adalah 114 dan tergolong buruk—kualitas udara
tersebut tidak sehat bagi kelompok sensitif. Rata-rata konsentrasi PM2,5
di Indonesia pada tahun 2020 adalah empat kali ambang batas rekomendasi WHO. Kota
dengan udara paling bersih pada tahun 2020 adalah Palangkaraya, Kalimantan
Tengah (AQI = 24), sedangkan kota dengan udara paling kotor adalah Tangerang
Selatan, Banten (AQI = 161).
Sementara di ibu kota Jakarta, kota
yang pernah menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, kualitas
udara juga tergolong tidak sehat bagi kelompok sensitif dengan AQI 133 (per 12
Mei 2021 pukul 12.00 WIB). Padahal polusi udara diklaim berkurang signifikan
seiring dengan berkurangnya aktivitas kendaraan bermotor. Polutan utamanya
adalah PM2,5 dengan konsentrasi 48,4 µg/m3 dan O3
(ozon)
dengan konsentrasi 186,3 µg/m3. Kualitas udara yang buruk tersebut
menyebabkan 5,5 juta kasus infeksi saluran pernapasan di Jakarta setiap
tahunnya atau sekitar 11 kasus per menit (Romadoni, 2020).
Tingginya konsentrasi PM2,5 beserta
polutan lainnya serta buruknya kualitas udara yang buruk di Indonesia tersebut
memperbesar peluang seseorang menderita penyakit akibat polusi udara dari
batubara. Peluang tersebut akan meningkatkan di masa depan seiring dengan dibangunnya
lebih banyak PLTU Batubara. Namun sayangnya, pengaturan standar emisi untuk
PLTU Batubara baru di Indonesia masih belum ketat. Standar minimum emisi untuk PLTU
Batubara baru di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara
lain, seperti Tiongkok dan India. Itu berarti pemerintah mengizinkan PLTU
Batubara baru yang akan dibangun untuk menghasilkan polusi udara yang tinggi,
sementara kualitas udara Indonesia saat ini saja sudah tergolong tidak sehat.
 |
Gambar 5 Standar Emisi untuk Beberapa Polutan Tertentu
untuk PLTU Batubara Baru di India, Tiongkok, dan Indonesia
Sumber: IISD. (2018).
The Health Cost of Coal in Indonesia. |
Dengan begitu, beban kesehatan yang
ditanggung Indonesia akibat penggunaan batubara akan bertambah signifikan ke
depannya, padahal saat ini saja beban kesehatan yang ditanggung Indonesia sudah
lebih besar dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Pada tahun 2011,
Indonesia mendata jumlah kematian akibat emisi batubara tertinggi daripada
negara-negara tetangganya. Diestimasikan ada 7.480 kematian per tahun akibat
pembakaran batubara di Indonesia. Jumlah tersebut sangat tinggi apabila
dibandingkan dengan Vietnam dengan hanya 4.250 kematian per tahun dan Thailand dengan
hanya 1.330 kematian per tahun. Pembangunan PLTU Batubara baru akan membuat etsimasi
kematian per tahun akibat pembakaran batubara naik menjadi 25.000 kematian per
tahun.
 |
Gambar 6 Jumlah Kematian terkait Batubara di Indonesia
per Jenis Penyakit Dibandingkan dengan Negara-Negara Tetangganya pada Tahun
2011
Sumber: IISD. (2018) The
Health Cost of Coal in Indonesia. |
Biaya Kesehatan Akibat Polusi Udara karena Batubara
Di samping menimbulkan kerugian kesahatan, polusi udara dari
batubara juga menimbulkan kerugian finansial karena biaya untuk mengobati
penyakit yang timbul akibat polusi udara dari batubara tidak murah. Penyakit
tidak menular akibat polusi dari batubara di Indonesia diperkirakan membebani
negara sampai dengan USD 805 miliar (IDR 11.413,80 triliun) pada tahun 2012
sampai 2030.
Beberapa penyakit, seperti asma, COPD, dan hipertensi adalah penyakit
kronis yang dapat diderita untuk jangka waktu yang lama dan membutuhkan penanganan
kesehatan seumur hidup. Penyakit asma
membutuhkan biaya rata-rata USD 54 (IDR 765.647) per bulan untuk perawatan
pasien rawat jalan. Biaya tersebut lebih dari setengah rata-rata pendapatan per
kapita bulanan untuk kelompok ekonomi menengah ke bawah (lower-middle income) di Indonesia. Kemudian, COPD membutuhkan biaya
rata-rata USD 1.125 (IDR 15,95 juta) per orang per tahun untuk terapi. Terlebih
lagi, COPD menghambat penderitanya untuk bekerja paling tidak selama dua bulan
setiap tahunnya karena cuti sakit dan istirahat ranjang (bed rest) sehingga
mengurangi penghasilan penderitanya (opportunity
cost karena tidak bisa pergi bekerja). Perusahaan tempat penderita COPD
tersebut juga akan merugi karena pekerjanya menjadi kurang produktif.
Sementara itu, walaupun beberapa tahun belakangan pertumbuhan
ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5 persen, berdasarkan data dari Asia
Development Bank, 9,8 persen populasi berada di bawah garis kemiskinan pada
tahun 2020. Kemudian, sekitar sepertiga
populasi di Indonesia tidak ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional (BPJS
Kesehatan). Itu berarti biaya akibat penyakit dari batubara ditanggung oleh orang-orang
yang paling tidak mampu untuk membayar biaya kesehatan ekstra.
 |
Gambar 7 Perbandingan antara Rata-Rata Pengeluaran Rumah
Tangga per Kelompok Pendapatan dengan Estimasi Biaya Perawatan untuk Beberapa
Penyakit Tidak Menular Akibat Batubara
Sumber: IISD. (2018).
The Health Cost of Coal in Indonesia. |
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa bagi kelompok pendapatan
rendah (lower income), lebih dari
separuh (bahkan hampir seluruhnya) pengeluaran mereka akan digunakan untuk
biaya perawatan penyakit akibat batubara. Sementara bagi kelompok pendapatan
menengah ke bawah (lower-middle income),
itu sekitar sepertiga rata-rata pengeluaran mereka. Itu artinya pengeluaran dua
kelompok dengan penghasilan paling rendah tersebut dihabiskan untuk biaya
pengobatan. Apabila mereka lebih memilih melakukan pengeluaran untuk kebutuhan
lain, mereka harus menanggung penyakit tersebut atau paling tidak, mereka
memperoleh perawatan yang tidak maksimal. Sementara itu, bagi kelompok
pendapatan menengah ke atas (higher-middle
income) dan pendapatan tinggi (higher
income), mereka punya cukup uang untuk membiayai pengobatan dan memenuhi
kebutuhan lainnya. Maka dari itu, orang-orang dengan pendapatan yang relatif
rendah ialah orang-orang yang paling terbebani akibat polusi udara dari
batubara tersebut.
Walaupun pembakaran batubara untuk pembangkit listrik
terbukti berdampak buruk bagi kesehatan, pemerintah Indonesia masih mendukung
penggunaannya melalui pemberian subsidi dengan tujuan agar harga listrik
terjangkau konsumen. Pada tahun 2013, pemerintah mengeluarkan anggaran sebesar
USD 946 juta (IDR 13,41 triliun) untuk subsidi batubara dan USD 10 miliar (IDR
141,79 triliun) untuk anggaran kesehatan. Bahkan, di Jakarta sendiri, Gubernur
Anies Baswedan mengatakan bahwa polusi udara di Jakarta menimbulkan biaya
kesehatan sampai IDR 60,8 triliun (Romadoni, 2020). Padahal, kalau
pemerintah berhenti memberikan subsidi batubara, pemerintah dapat menghemat
anggaran kesehatannya sebab kualitas kesehatan masyarakat akan meningkat.
Namun sayangnya, kebijakan pemerintah saat ini masih
mendukung batubara, seperti subsidi tadi dan rencana pembangunan beberapa PLTU
Batubara baru. Bahkan, pemerintah telah mengeluarkan limbah abu batubara dari
kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) melalui Peraturan Pemerintah (PP)
No. 22 Tahun 2021—yang merupakan turunan UU Cipta Kerja—yang menguntungkan para
pengusaha batubara (Agustinus, 2021).
Padahal, negara-negara lain sudah mulai beralih ke energi
terbarukan (renewable energy).
Indonesia sendiri memiliki target 23 persen bauran energi untuk energi baru dan
terbarukan (EBT) di tahun 2025 nanti. Akan tetapi, sumber energi yang terus
berkembang sejak tahun 2007 adalah batubara, sedangkan bauran energi EBT masih
hanya 16,95 persen pada tahun 2019 berdasarkan data dari OurWorld in Data. Bahkan, Indonesia adalah negara dengan skor terburuk
untuk upaya transisi ke energi terbarukan di Asia Tenggara (Adinda, 2020). Apabila pemerintah
ingin mengejar target bauran energi tersebut, diperlukan perubahan kebijakan
yang signifikan sesegera mungkin.
Saran untuk Masyarkat
Setelah melihat betapa berbahayanya dampak polusi udara dari
batubara terhadap kesehatan kita dan betapa besarnya biaya yang perlu
ditanggung sebagai akibatnya, tentu saja upaya pencehagan dapat menghindari
kita dari semua kerugian tersbut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
masyarakat. Pertama, masyarakat bisa mengurangi aktivitas di luar ruangan jika
udara di luar ruangan sedang tidak sehat. Masyarakat dapat memantau kondisi
kualitas udara di kota-kota tempat mereka tinggal melalui situs IQAir atau dengan
cara lainnya. Untuk masyarakat yang tinggal di kota dengan kualitas udara yang
tidak sehat, apabila kalian ingin beraktivitas di luar ruangan, sebaiknya
gunakan masker, terutama masker N95 karena masker tersebut lebih efektif
menyaring PM2,5. Kemudian bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta
dan sekitarnya, sebaiknya kurangi aktivitias luar ruangan pada dini dan pagi
hari karena jumlah polusi udara paling banyak pada saat-saat tersebut.
Kedua, masyarakat dapat menghemat konsumsi energi listrik di
rumah dan di tempat kerjanya, seperti dengan mematikan peralatan elektronik
ketika tidak digunakan atau diperlukan atau dengan menggunakan peralatan elektronik
yang lebih hemat energi. Penghematan energi akan mengurangi permintaan (demand) energi listrik yang akan
mengurangi penawarannya (supply)
juga. Pada akhirnya produksi energi listrik akan diturunkan dan pembakaran
batubara untuk energi listrik akan berkurang sehingga jumlah polusi udara juga
akan berkurang.
Ketiga, masyarakat, terutama yang berpendapatan tinggi, serta
perusahaan-perusahaan dapat beralih ke energi surya sebagai sumber energinya.
Masyarakat dan para pengusaha dapat memasang panel surya di rumah dan gedung
perkantoran mereka untuk memenuhi kebutuhan listrik. Dengan begitu, pembakaran
batubara untuk menghasilkan listrik dapat dikurangi.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Untuk dapat mengurangi kerugian kesehatan akibat polusi udara
dari batubara serta untuk mencapai target bauran energi EBT tepat waktu, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus
menghentikan subsidi batubara. Dengan menyubsidi batubara dan bahan bakar fosil
lainnya, itu sama saja pemerintah sedang menyubsidi faktor penyebab kematian masyarakat.
Apabila pemerintah melakukan perubahan dalam hal ini, itu akan sangat berdampak
baik bagi kesehatan masyarakat.
Kedua, pemerintah harus meningkatkan riset di bidang
kesehatan yang terkait dengan batubara. Pemerintah, terutama Kementerian
Kesehatan, harus meneliti polusi udara dari batubara dan dampak aktualnya
terhadap kesehatan. Upaya pengukuran kualitas udara di kota-kota besar di
Indonesia serta daerah-daerah sekitar PLTU Batubara juga perlu ditingkatkan. Pemerintah
harus mengukur parameter yang baku untuk polusi udara dari PLTU Batubara serta
menganalisis dampaknya untuk kesehatan.
Ketiga, pemerintah harus bertransisi ke energi terbarukan (renewable energy). Pemerintah harus
mengambil langkah tegas untuk mencapai target bauran energi 23 persen untuk
EBT. Untuk itu, pemerintah harus berhenti membangun PLTU Batubara baru dan
mulai berinvestasi ke energi terbarukan. Kalau pemerintah memperhitungkan
kerugian kesehatan yang timbul, batubara bukanlah opsi sumber energi yang murah
ketika dibandingkan dengan energi terbarukan. Apalagi, tren biaya untuk energi
terbarukan saat ini semakin menurun.
 |
Gambar 8 Tren Harga Listrik dari Pembangkit Listrik Baru
untuk Berbagai Sumber Energi
Sumber: Our World in Data |
Kesimpulan
Batubara
masih menjadi bagian penting bagi perekonomian dan kehidupan sosial di
Indonesia. Batubara masih menjadi sumber energi utama untuk menghasilkan
listrik dan panas. Akan tetapi, pembakaran batubara untuk menghasilkan listrik
dan panas telah menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan. Pembakaran
batubara menghasilkan zat toksik yang apabila terhirup manusia, dia akan
menimbulkan berbagai penyakit tidak menular. Bahkan, polusi udara dari batubara
diestimasikan menyebabkan 7.480 kematian per tahun.
Polusi
udara dari batubara dapat menyebabkan gangguan pada sistem respirasi,
kardiovaskular, dan saraf. Beberpa penyakit yang timbul sebagai akibat dari
pembakaran batubara antara lain adalah penyakit arteri koroner, penyakit paru
obstruktif kronis, infeksi saluran pernapasan, penyakit kardiovaskular, infeksi
saluran pernapasan akut, asma, dan kanker paru-paru. Yang lebih buruknya adalah
semua orang dapat terdampak oleh polusi tersebut, terutama wanita hamil, bayi
yang baru lahir, balita, anak-anak, orang lansia, serta orang-orang yang
memiliki penyakit pernapasan atau kardiovaskular bawaan.
Selain
kerugian kesehatan, pembakaran batubara pun menimbulkan kerugian finansial. Biaya
untuk mengobati penyakit akibat polusi udara tersebut tentu saja tidak murah.
Hal tersebut akan sangat membebani rumah tangga dari kelompok pendapatan rendah
(lower income) dan kelompok
pendapatan menengah ke bawah (lower-middle
income).
Namun
sayangnya, saat ini pemerintah masih terus bergantung dan mendukung penggunaan
batubara sebagai sumber energi. Di dalam RUPTL PT PLN (Persero) Tahun 2019 s.d.
Tahun 2028, pemerintah berencana membangun lebih banyak PLTU Batubara. Kemudian,
berdasarkan PP No. 22 Tahun 2021, pemerintah telah menghapus limbah abu
batubara dari kategori limbah B3. Selain itu, pemerintah pun terus memberikan
subsidi untuk penggunaan batubara sebagai sumber energi.
Agar
dapat menghindari dampak buruk kesehatan dari polusi udara karena batubara, masyarakat
sebaiknya mengurangi aktivitas luar ruangan dan mengenakan masker apabila harus
beraktivitas di luar ruangan. Kemudian, masyarakat sebaiknya menghemat konsumsi
energinya di rumah dan tempat kerja serta memasang panel surya untuk memenuhi
kebutuhan energinya.
Sementara
itu, pemerintah harus segera menghentikan subsidi batubara untuk mencegah
kerugian kesehatan yang lebih besar di masa depan. Di samping itu, Kementerian
Kesehatan perlu melakukan riset lebih lanjut mengenai berbagai dampak kesehatan
dari pembakaran batubara di Indonesia. Kemudian, pemerintah harus melakukan
tindakan serius dalam melakukan transisi ke energi terbarukan sebagai pengganti
energi batubara. Apabila pemerintah tidak melakukan apa-apa, jumlah kematian
akibat pembakaran batubara sebagai sumber energi akan semakin banyak di masa
depan.
***



***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
***
Referensi
Buku
dan Sumber Lainnya
Adinda, P. (24 September 2020). Terburuk se-Asia
Tenggara, Indonesia dapat skor F dalam sektor energi terbarukan. Asumsi.co.
https://asumsi.co/post/terburuk-se-asia-tenggara-indonesia-dapat-skor-f-dalam-sektor-ketenagalistrikan
Agustinus, M. (12 Maret 2021). Jokowi
coret abu batu bara PLTU dari daftar limbah berbahaya dan beracun. Kumparan.
https://kumparan.com/kumparanbisnis/jokowi-coret-abu-batu-bara-pltu-dari-daftar-limbah-berbahaya-dan-beracun-1vLACm7oGmz/full
Asian Development Bank. (n.d.). Poverty
data: Indonesia. Asia Development Bank. Dikutip pada 12 Mei 2021.
https://www.adb.org/countries/indonesia/poverty
CNN Indonesia. (17 Juli 2019). Walhi: 10
PLTU batu bara sumbang 30 persen polusi Jakarta. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190716161616-20-412627/walhi-10-pltu-batu-bara-sumbang-30-persen-polusi-jakarta
Dinda, A. A. (13 Juni 2020). Mengenal
'particulate matter', polutan berbahaya bagi pernapasan. IDN Times.
https://www.idntimes.com/science/discovery/anisa-anggi-dinda/mengenal-particulate-matter-polutan-berbahaya-bagi-pernafasan-c1c2/5
Dunne, D. (27 Maret 2019). The carbon
brief profile: Indonesia. Carbon Brief.
https://www.carbonbrief.org/the-carbon-brief-profile-indonesia
IQAir. (n.d.). Kualitas udara di
Indonesia. IQAir. Dukutip pada 12 Mei 2021. https://www.iqair.com/id/indonesia
IQAir. (n.d.). Kualitas udara di
Jakarta. IQAir. Dikutip pada 12 Mei 2021. https://www.iqair.com/id/indonesia/jakarta
Mulki. (26 Juni 2019). Memahami PM 2,5 dan
PM 10 yang jadi indikator tingkat polusi udara. Kumparan.
https://kumparan.com/kumparansains/memahami-pm-2-5-dan-pm-10-yang-jadi-indikator-tingkat-polusi-udara-1rLoUvBof0M/full
Ritchie, H. (n.d.). Electricity Mix.
Our World in Data. Dikutip pada 11 Mei 2021.
https://ourworldindata.org/electricity-mix#coal-what-share-of-electricity-comes-from-coal
Romadoni, A. (23 September 2020). Anies:
Polusi udara sumbang 5,5 juta kasus infeksi pernapasan di Jakarta. Kumparan.
https://bit.ly/3bqy7wG.
Roser, M. (1 Desember 2020). Why did
renewables become so cheap so fast? And what can we do to use this global
opportunity for green growth? Our World in Data. https://ourworldindata.org/cheap-renewables-growth
Sanchez, L., & Luan, B. (2018). The
health cost of coal in Indonesia. Winnipeg: International Institute for
Sustainable Development.
Syahni, D. (15 Maret 2020). Kala PLTU batu
bara picu perubahan iklim dan ancaman kesehatan masyarakat. Mongabay. https://bit.ly/3hq5fs0.
Worldometers. (n.d.). Indonesia CO2
emissions. Worldometers. Dikutip pada 11 Mei 2021. https://www.worldometers.info/co2-emissions/indonesia-co2-emissions/
Peraturan Perundang-undangan
Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 39 K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2019 sampai dengan Tahun
2028.
Komentar
Posting Komentar