Mengenai
Wabah Corona: Pandemi COVID-19 dan Masyarakat Indonesia
 |
sumber: Tempo.co English |
Sampai pada hari ini, 22 Maret
2020, penyakit covid-19 masih menjadi momok bagi dunia. Ini sudah memasuki
pekan ketiga sejak penyakit itu masuk ke Indonesia. Sampai saat ini, masih
banyak negara bertarung melawan penyakit ini. Banyak dokter dan tenaga medis
mengambil risiko untuk bertarung di garis depan. Perang melawan virus adalah
perang para tenga medis, begitulah kiranya.
Sudah ada 318.228 kasus positif
covid-19 di seluruh dunia per tanggal 22 Maret 2020 pukul 21.04 WIB, dengan
jumlah pasien yang meninggal 13.671 dan yang sembuh 96.010. Sekitar 30,17%
pasien di seluruh dunia sudah dinyatakan sembuh, sekitar 4,30% pasien
meninggal, dan sisanya, 65,53% masih dalam perawatan.
Ada kabar baik dan kabar buruk
mengenai wabah ini. Kabar baiknya adalah di Cina, tempat wabah ini pertama kali
merebak, sudah tidak ditemukan lagi pasien yang berasal dari penularan lokal (local
transmission). Bahkan, di Wuhan sendiri sudah dinyatakan bahwa semua pasien
covid-19 telah sembuh. Kabar buruknya adalah pusat covid-19 berpindah ke Eropa,
yakni Italia. Di sana, ada 53.578 kasus dengan jumlah pasien yang meinggal 4.825
orang – melebihi Cina yang memiliki jumlah kematian karena covid-19 sebanyak
3.261.
Di samping itu semua, Indonesia
juga tengah bertarung melawan covid-19. Per tanggal 22 Maret 2020 pukul 21.09
WIB, jumlah kasus yang ada adalah 514 dengan jumlah pasien sembuh 29 orang (5,64%)
dan pasien yang meninggal 48 orang (9,33%). Persentase kematian karena covid-19
lebih besar dibanding dengan persentase pasien yang meninggal di seluruh dunia
(4,30%). Tidak kah itu membuat kalian khawatir?
Perlu sekali kita sadari bahwa
penyakit ini sama sekali baru dan belum ditemukan obatnya. Untuk itu,
pencegahan adalah pilihan terbaik. Kita, sebagai masyarakat sipil perlu tahu
beberapa hal dan pengaruh penyakit ini terhadap masyarakat. Karena sudah tiga
pekan penyakit ini menjangkiti Indonesia, pasti beberapa dari kalian sudah
terang-terangan melihat dampaknya terhadap masyarakat. Mari kita mulai membahas
beberapa hal penting soal wabah yang dibawa oleh SARS-CoV-2 ini.
***
Aku
menunjukkan gejala-gejala covid-19, aku harus apa?
Gejala covid-19 merupakan gejala
umum dari penyakit flu. Oleh sebab itu, penyakit ini sering disalahkenali
masyarakat awam dan diremehkan. Gejala ringannya: demam, batuk kering, sesak
napas, serta kelelahan. Adapun gejala beratnya: pneumonia, gangguan saluran
pernapasan, gagal ginjal, sampai kematian.
Apabila kalian mengalami
gejala-gejala tersebut, kalian tidak perlu panik. Yang kalian perlu lakukan
adalah segera telpon hotline penanganan covid-19 di Indonesia ke nomor 119
ekstensi 9. Selain nomor itu, kalian bisa menghubungi nomor 021-521-0411
atau 0812-1212-3119.
Kalian akan ditanyai beberapa
hal oleh operator seperti gejala yang kalian alami dan riwayat bepergian
kalian. Nanti, apabila kalian dirasa mengidap covid-19, kalian akan disarankan
untuk memeriksakan diri ke rumah sakit rujukan. Daftar rumah sakit rujukan
untuk perawatan pasien covid-19 dapat dilihat di sini.
Di sana, dokter akan menangani
kalian, dimulai dengan melakukan profiling mengenai data diri, riwayat
bepergian, aktivitas kalian belakangan ini, gejala yang dialami, serta riwayat
kesehatan kalian. Berikutnya, kalian akan dites darah dan rontgen. Hasil tes
akan keluar sesegera mungkin, dan sambil menunggu itu, kalian akan disuruh
untuk mengisolasi diri dulu di rumah. Sampai di sini, status kalian menjadi PDP
(pasien dalam pengawasan).
Oke, ada istilah ODP dan PDP,
yang tentu membingungkan bagi banyak orang. ODP atua Orang Dalam Pemantauan
adalah orang-orang yang baru pulang dari negara-negara yang telah melaporkan
adanya kasus covid-19, seperti Cina, Korea, Italia, dan Iran. Di sisi lain, PDP
atau Pasien Dalam Pengawasan adalah orang-orang yang memiliki gejala
covid-19 seperti di atas dan orang-orang yang diduga kuat memiliki kontak
dengan pasien positif covid-19. Sementara itu, suspek adalah sebutan
lain dari PDP.
Setelah kalian melakukan tes
darah dan rontgen, lalu sudah mengisolasi diri di rumah, kalian akan dikabari
oleh pihak rumah sakit apabila kalian positif covid-19. Jika positif, kalian
harus diisolasi di rumah sakit rujukan di kota terdekat untuk dilakukan
perawatan sampai sembuh. Kira-kira masa perawatannya adalah 14 hari. Semoga
lekas sembuh untuk kalian 😊
Covid-19
sudah masuk ke Indonesia, bagaimana caranya pertama kali kasus ini terjadi di
sini?
Pada tanggal 02 Maret 2020,
Presiden Joko Widodo menyampaikan berita yang tidak menyenangkan. Beliau menyampaikan
bahwa ada dua WNI yang positif dinyatakan oleh dokter tertular covid-19 dan
berada di Indonesia.
Tentu saja itu menjadi breaking
news di seluruh media dan jejaring media sosial. Apalagi, sebelumnya negara
kita sempat membanggakan diri dengan mengatakan kebal corona dan menentang
riset Havard yang mengatakan kita tidak bisa mendeteksi penyakit ini. Well,
selamat Indonesia karena rupanya Havard salah, tetapi petaka baru saja dimulai.
Kedua pasien pertama tersebut
disebut pasien 01 dan pasien 02. Bagaimana mereka bisa tertular penyakit baru
ini? Pasien 01, pada 14 Februari, bertemu dengan seorang warga negara Jepang
di sebuah acara dansa di Jakarta. Kebetulan, profesi pasien 01 adalah pelatih
tari dansa.
WN Jepang tersebut pulang ke
Malaysia, tempat dia tinggal. Di sana, si WN Jepang mulai merasakan
gejala-gejala penyakit covid-19 dan memeriksakan diri ke dokter. Rupanya, dia
memang positif dan langsung mengabari pasien 01.
Sementara itu, pasien 01 dan 02
(ibunya) sudah merasakan gejala-gejalanya. Begitu mendapat kabar dari si WN
Jepang, mereka berdua dengan inisiatif langsung ke dokter pada 28 Februari. Kemudian,
pada 02 Maret, Pak Presiden mengumumkan keduanya positif covid-19.
Setelah hari itu, jumlah pasien
covid-19 di Indonesia terus bertambah. Mereka yang tertular dari pasien 01 dan
02 disebut dengan istilah Klaster Jakarta. Mereka dilacak karena
memiliki kontak dengan pasien 01. Kemudian, ada lagi Subklaster-Subklaster dari
Klaster Jakarta ini, yakni orang-orang yang tertular dari mereka yang tertular
oleh pasien 01.
Lucunya, berdasarkan keterangan
tetangga pasien di acara Mata Najwa (04 Maret), kedua pasien pun baru tahu
mereka positif juga dari pemberitaan Pak Jokowi, bukan dari dokter yang
menangani mereka – mereka sama terkejutnya dengan kita semua saat itu.
Namun, sangat disayangkan sikap
Pemerintah Kota Depok, kota domisili kedua pasien, justru menimbulkan
keresahan. Menurut keterangan tetangga pasien dalam acara Mata Najwa episode
tersebut, Walikota Depok sendiri yang membeberkan data pribadi pasien ke media,
lengkap sekali. Bahkan, TVOne meliput kediaman pasien sampai mengenakan masker
besar yang menutupi wajah reporternya. Lucunya lagi, rumah kedua pasien dikasih
garis polisi, selayaknya TKP. Memangnya, virus tahu batas garis polisi?
Itu adalah kelucuan pahit
sebab pemerintah daerah dan media justru menimbulkan kepanikan tidak berguna di
masyarakat. Dengan data pribadi kedua pasien diungkap ke media, kedua
pasien menjadi depresi. Banyak hoax berseliweran, bahkan ada hoax yang bilang
bahwa pasien 01 itu adalah penari sewaan yang disewa si WN Jepang.
Pasien 01 kemudian berusaha
mengklarifikasi semua informasi salah tersebut. Pekerjaannya adalah penari
dansa dan WN Jepang yang ia temui itu perempuan. Namun, semua sudah terlanjur
dan pasien malah depresi. Padahal, yang sepatutnya kita semua lakukan adalah
memberi mereka dukungan dan doa agar mereka lekas sembuh (Omong-omong,
alhamdulillah mereka sudah sembuh!).
Memang yang mengerikan
mengenai wabah covid-19 ini bukanlah kematiannya, melainkan kepanikan dan
keegoisan orang-orang yang dapat membahayakan orang lain.
Bagaimana
dengan fenomena panic buying?
 |
sumber: The Jakarta Post |
Selain
menyebarkan informasi salah, yang dilakukan masyarakat kita adalah panic
buying. Dalam beberapa jam saja, bahkan kurang dari 5 jam, semua masker dan
hand sanitizer habis di pasaran. Saat itu, aku sedang pergi ke mall
untuk makan siang dan nonton film, aku membaca berita pengumuman Pak Jokowi
sebelum nonton dan setelah film selesai teman-temanku mengabari bahwa masker
dan hand sanitizer sudah ludes.
Padahal aku dan teman-teman ku
tinggal di kota yang berbeda, tetapi fenomenanya sama. Aku tinggal di Jakarta,
dan aku pikir hanya Jakarta yang mengalami ini. Akan tetapi, nyatanya tidak –
temanku yang di Malang, Tangerang, dan Solo mengabarkan hal yang sama.
Masyarakat langsung panik
mendengar kabar covid-19 sudah sampai di Indonesia dan langsung menyerbu toko
dan apotek. Dengan didorong rasa panik, mereka memborong masker, hand
sanitizer, kebutuhan sehari-hari, sampai bahan jamu untuk meningkatkan imun
tubuh. Kepanikan terjadi lantaran mereka cemas kalau nanti tidak bisa keluar
rumah. Akan tetapi, mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu
membuat barang-barang tersebut langka sehingga harganya naik.
Panic buying tidak hanya
terjadi di negara kita, tetapi juga di sejumlah negara lain yang telah
melaporkan adanya kasus covid-19. Di Amerika Serikat, barang-barang yang diborong
adalah hand sanitizer, tisu toilet, dan alat pembersih. “Pola yang kami
lihat lebih sesuai dengan apa yang dilihat saat orang bersiap menghadapi badai
besar di mana kategori tertentu, seperti persediaan pembersih, akan banyak
diminati,” kata juru bicara Walmart, yang dikutip dari CNN Indonesia (8/3).
Bagaimana fenoma panic buying
ini memengaruhi ekonomi? Akibat dari panic buying adalah
kelangkaan barang-barang, apalagi yang diborong bukan hanya masker dan hand
sanitizer, tetapi juga kebutuhan pokok. Dengan meningkatnya permintaan (demand)
sementara penawaran (supply) tetap, harga barang menjadi naik.
 |
Kapan waktu yang tepat memakai masker |
Kenaikan harga barang
menyebabkan pengeluaran semua orang bertambah. Untuk mengimbangi
pengeluaran yang meningkat, orang-orang akan meningkatkan pemasukan mereka. Caranya
adalah, bagi pedangang, menaikkan harga barang yang mereka jual,
meskipun itu bukan masker dan hand sanitizer. Ketika semua pedagang
menaikkan harga dagangannya, harga barang secara keseluruhan naik, atau
disebut inflasi.
Saat inflasi terjadi, siapa
lagi yang paling merugi kalau bukan orang-orang kelas ekonomi menengah ke
bawah? Mereka yang berduit tidak akan begitu terpengaruh oleh kenaikan
harga tersebut. Namun, untuk mereka yang mencari uang untuk makan sehari-hari
saja susah, kenaikan harga tersebut hanya bisa dihadapi dengan mengelus dada.
Terus, solusinya apa? Penjatahan
atau pembatasan belanja. Sebagian besar apotek dan toko melakukan
pembatasan belanja untuk pembelian masker dan hand sanitizer. Selain
kedua barang tersebut, bahan pangan serta makanan lainnya juga dibatasi. Bareskim
POLRI sudah mengeluarkan surat imbauan dengan nomor
B/1872/III/Res.2.1/2020/Bareskim kepada Aprindo, Puskoppas, APPSI, APDI, dan
INKOPAS.
Pembatasan belanja tersebut
dilakukan untuk memastikan semua orang bisa membeli barang-barang tersebut.
Dengan begitu, kelangkaan barang dapat dicegah dan kenaikan harga bisa lebih
terkendali. Kemudian, pembatasan belanja juga bisa mencegah upaya penimbunan
masker dan hand sanitizer.
Oh iya,
apa penimbun masker dan hand sanitizer bisa dipidana?
Para penimbun masker adalah
oknum-oknum yang membeli masker dalam jumlah banyak, lalu menjualnya kembali
dengan harga sangat tinggi. Mereka memanfaatkan permintaan pasar yang tinggi
untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Pada dasarnya, praktik seperti itu tidak
masalah, tetapi situasi sekarang itu berbeda – hajat hidup orang banyak
membutuhkan baik masker dan hand sanitizer. Bayangkan saja, masker yang
biasanya seharga Rp30.000/kotak, dijual dengan harga paling kecil
Rp300.000/kotak.
Para penimbun masker dan hand
sanitizer tersebut dapat dijerat hukum karena telah melanggar UU No. 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan pasal 29. Bunyi ayat (1) pasal tersebut:
Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting
dalam jumlah dan waktu tertentu saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga,
dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Dalam kasus yang saat ini terjadi, masker
serta hand sanitizer termasuk barang kebutuhan pokok. Atas dasar hukum
tersebut lah polisi melakukan razia dan penggerebekan oknum-oknum penimbun
masker.
 |
sumber: Tempo.co |
Sanksi apabila melanggar
pasal tersebut ada di UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdaganan pasal 107.
Bunyinya adalah: Pelaku Usaha yang menyimpan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau
Barang Penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan
barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
Selain melanggar hukum, dari
sisi moralitas, upaya penimbunan masker dan hand sanitizer adalah
tindakan tidak bermoral. Di tengah wabah penyakit yang belum ada obatnya
ini, ada orang-orang licik yang memanfaatkan situasi untuk memperoleh profit. Mereka
menyebabkan masker dan hand sanitizer menjadi langka dan harga barang
naik.
Secara tidak langsung mereka
menyiksa orang-orang tidak berduit yang harus kesulitan untuk menjaga diri
mereka dari covid-19. Akibat ulah mereka, hanya orang berduit lah yang mampu
membeli masker dan hand sanitizer, hanya mereka yang punya kesempatan
untuk melindungi diri dari penyakit baru ini. Kesenjangan sosial dan ekonomi
semakin terlihat.
Padahal di luar sana, banyak
orang yang memerlukan masker tersebut. Ada para tenaga medis yang berjuang
di garis depan. Ada orang-orang sakit yang memang membutuhkan masker. Bahkan,
sekitar tanggal 03 dan 04 Maret kemarin, ketika Gunung Merapi erupsi dan
memuntahkan abu vulkanik, saudara-saudara kita di Solo, Klaten, dan daerah
lainnya yang terkena abu vulkanik sangat membutuhkan masker tersebut. Mereka
butuh masker untuk melindungi organ pernapasan mereka dari abu vulkanik yang
lebih berbahaya daripada covid-19 (apalagi mengingat pada waktu itu kasus
covid-19 belum sampai 10 pasien dan semuanya masih berlokasi di Jakarta). Tidak
kah kalian lihat keegoisan manusia lebih berbahaya daripada penyakit itu
sendiri?
Tapi,
apa Covid-19 ini bisa disembuhkan?
Syukurlah jawabannya adalah iya.
Covid-19 dapat disembuhkan dan bahkan tingkat kesembuhannya lebih besar dari
pada tingkat kematiannya. Namun, kesembuhan penyakit ini bukan karena sudah
ada obatnya. Belum ditemukan vaksin untuk covid-19, walau pengembangan
terhadap vaksin tersebut sedang dilakukan beberapa negara.
Kesembuhan penyakit ini
ditentukan oleh beberapa hal. Dalam skala individu, kesembuhan penyakit ini
tergantung pada imunitas tubuh pasien. Mereka yang imunitasnya rendah
kemungkinan tidak bertahan melawannya. Hal itu terlihat dari fakta bahwa kebanyakan
pasien yang meninggal adalah orang tua dan orang dengan pre-existing disease
(penyakit bawaan atau yang sudah ada sebelumnya, semacam komplikasi).
Dalam skala populasi, di samping
kesehatan masyarakatnya, kesigapan pemerintah dalam mengambil keputusan
juga menentukan tingkat kesembuhan covid-19 di negara tersebut. Kita akan
melihat contoh tetangga kita, Vietnam. Mengutip data dari Asumsi.co (3/3), pada
Sabtu, 29 Februari lalu, seluruh pasien covid-19, yang berjumlah 16 orang,
sudah boleh pulang.
“Jika bertarung melawan covid-19
adalah perang, maka kami telah memenangkan ronde pertama tetapi bukan seluruh
perang karena situasi dapat menjadi tidak dapat diprediksi,” ujar Deputi
Perdana Menteri Vu Duc Dam.
Menurut WHO, kunci keberhasilan
Vietnam adalah respons cepat di tahap awal. Vietnam langsung melakukan
isolasi di Son Loi begitu ada 6 kasus positif di negaranya.
Nah, jadi apa yang bisa kita
lakukan? Sesuai apa kata Pak Menteri Kesehatan Indonesia, Pak Terawan, kita
harus meningkatkan imunitas tubuh. Tujuannya bukan untuk mengobati,
melainkan untuk mencegah. Ingat, mencegah lebih baik daripada mengobati,
terutama ketika obatnya belum ada.
Bukankah
terlalu reduksionis untuk mengatakan bahwa yang meninggal adalah orang tua dan
orang dengan penyakit bawaan?
Iya, tentu saja itu reduksionis.
Narasi dengan mengatakan bahwa yang meninggal oleh covid-19 adalah orang tua
dan orang dengan penyakit bawaan biasanya disampaikan untuk menenangkan mereka
yang tidak termasuk keduanya. Ketika ada yang meninggal oleh covid-19, dengan
entengnya kita dapat bilang, “Ah itu dia memang orang sudah tua. Memang
kebanyakan yang meninggal adalah orang tua.”
Memang faktanya begitu, tetapi
dibalik angka-angka kematian tersebut ada manusia. Walaupun mereka sudah
tua dan memiliki penyakit bawaan, mereka tetaplah manusia. Mereka bukan sekadar
angka untuk membuat statistik yang dapat menenangkan diri kita.
Pasien covid-19 yang
meninggal itu, walau mereka orang tua dan memiliki penyakit bawaan, mereka
memiliki keluarga. Keluarga mereka berdoa dan berusaha demi kesembuhan
mereka. Bayangkan apabila itu terjadi pada orang tua kalian, apakah kalian
masih bisa dengan enteng meremehkan penyakit ini?
Apakah
masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran mengenai covid-19 ini?
Banyak masyarakat Indonesia yang
sudah sadar (aware) mengenai covid-19 ini. Namun, kesaradaran
tersebut belum merata. Kebanyakan orang yang mengerti bahaya pandemi ini
adalah mereka yang tinggal di kota-kota besar, sementara masyarakat di daerah
masih bisa dikatakan menyepelekan masalah ini.
Aku punya teman yang tinggal di
Temanggung, dan kebetulan dia kemarin ada di Jakarta. Dia mengatakan bahwa
perilaku masyarakat di Jakarta dan Temanggung beda sekali. Orang-orang di
Temanggung masih berkumpul ramai-ramai ketika orang-orang Jakarta sudah
mengkarantina diri di rumah. Bahkan, di lingkungan tempatnya tinggal masih akan
mengadakan acara yang mengundang banyak orang. Padahal, sudah ada imbauan dari
pemerintah setempat untuk tidak mengadakan acara yang ramai.
Meskipun begitu, rupanya bukan
hanya di daerah saja yang seperti itu. Masyarakat kota, seperti di Jakarta
juga masih ada yang tidak mengerti pentingnya tidak keluar rumah ini. Sejak
Senin lalu (16/3), Pemda DKI Jakarta meliburkan sekolah untuk mencegah penyebaran
virus SARS-CoV-2. Akan tetapi, banyak orang malah memanfaatkan libur itu untuk
berwisata. Bahkan sudah ada istilah di media, yakni “Liburan Corona.”
Masih banyak orang di luar sana yang
tidak tahu bahaya penyakit yang dibawa virus corona ini. Masih banyak orang
yang sudah tahu, tetapi malah berpikir bahwa itu bukan masalahnya, itu masalah
orang-orang lain. Masih banyak orang yang berpikir itu hanya penyakit, nanti
juga sembuh. Masih banyak yang berpikir untuk apa takut dengan penyakit.
Perlu kalian ketahui, berdasarkan
data dari Science Alert yang dikutip dari Kompas.com (14/3), fungsi
paru-paru para pasien yang sembuh dari covid-19 menurun hingga 20% - 30%. Memang
fungsi paru-paru tersebut masih bisa ditingkatkan dengan olahraga dan masih
terlalu dini untuk menyimpulkan efek jangka panjang penyakit ini. Namun, hal
itu tidak mengecilkan kenyataan bahwa sekali terkena penyakit ini, paru-paru
kalian bisa rusak selama-lamanya.
Lebih baik mencegah sebelum terlambat.
Caranya mudah banget: jangan keluar rumah kecuali urusan genting. Sekarang,
pusat covid-19 sudah tidak lagi di Cina, tetapi Italia. Keadaan di sana sangat
kacau. Kalau mau tahu, kalian bisa cari video dan tulisannya di internet soal
keadaan mereka.
Di fase awal wabah tersebut,
mereka meremehkannya – mereka menganggap covid-19 tidak lebih dari flu
biasa. Namun lihat sekarang, mereka sampai me-lockdown negaranya dan
keadaan belum terlihat akan membaik.
Meremehkan, itulah yang masih
dilakukan beberapa orang di Indonesia. Pikiran bahwa penyakit ini dapat disembuhkan
adalah buaian manis di awal. Mungkin sampai hari ini jumlah kasus positif di
Indonesia masih belum menyentuh angka 1.000, tetapi apa kita mau menunggu
sampai sebanyak itu dulu baru waspada?
Mungkin kita bukan tenaga medis
atau ahli soal virus, tapi kita tetap bisa membantu. Caranya itu tadi, #dirumahaja.
Jangan keluar rumah kecuali memang ada keperluan mendesak. Kerjakan semua
pekerjaan di dalam rumah, kecuali memang harus di luar. Kumpul dengan
teman-teman bisa via video call. Kalau bosan, lakukan hobi kalian, entah
itu main musik, nonton film, baca buku, atau menulis. Olahraga juga bisa di
rumah dulu. Intinya, kita kurangi interaksi dengan orang-orang.
Mungkin kalian merasa
sehat-sehat saja dan pergi keluar rumah. Kalian berkumpul dengan temen-temen
kalian atau pergi mengikuti acara yang positif. Jangan senang dulu – sekalipun
kalian tidak menimbulkan gejala apa-apa, bukan berarti kalian tidak positif
covid-19. Kalian bisa saja adalah pembawa atau carrier, kalian tidak
sakit tetapi membawa penyakitnya.
Kalian tetap bisa menularkan itu
ke orang-orang. Seandainya kalian adalah carrier, lalu kalian keluar
rumah hanya karena kalian bosan. Kalain tidak sadar itu, dan merasa sehat-sehat
saja. Kalian pergi bertemu dengan teman-teman kalian di sebuah coffee shop
dengan naik ojek daring. Kalian dapat menularkan itu ke supir ojek tersebut,
padahal dia keluar rumah untuk mencari nafkah, membeli makan untuk anak
istrinya di rumah; kalian hanya butuh hiburan. Kalian juga bisa menularkan itu
ke teman-teman kalian, dan kemudian mereka bisa menularkannya ke keluarga
mereka. Hanya karena butuh hiburan, kalian bisa merugikan orang lain.
Tetap di rumah, jangan ke
mana-mana – itu penting sekali. Dengan jumlah kasus yang belum menyentuh angka
1.000 saja rumah sakit kita sudah kewalahan. Sudah ada tenaga medis yang
tertular, bahkan meninggal karena covid-19. Apa kita mau menambah repot
pekerjaan mereka?
Hargai mereka, para dokter dan
perawat serta ahli kesehatan, yang keluar rumah, kerja di rumah sakit demi
kesembuhan saudara-saudara kita. Kita cukup diam di rumah, tidak berkumpul
dalam keramaian. Mudah bukan?
Komentar
Posting Komentar