Sistem
Zonasi Sekolah itu Kebiajakan Gegabah
Omong-omong, sebelum mulai ke pembahasan, aku mau mengucapkan: Selamat hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74! Ayo rayakan kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif dan kontributif. Walaupun kita sudah tidak dijajah, jangan sampai perjuangan kita unutk merdeka menjadi kendur! Masih banyak teman-teman kita yang belum merasa merdeka dan sudah kewajiban kita untuk menolong mereka.
***
Beberapa
minggu lalu, tahun ajaran baru bagi peserta didik telah dimulai setelah
sebelumnya para peserta didik diseleksi melalui PPDB. Ada perubahan besar dalam
PPDB tahun ini, yakni sistem zonasi sekolah yang menuai pro-kontra di
masyarakat. Bahkan, di Surabaya terjadi aksi protes yang dilakukan
sekelompok ibu-ibu karena tidak puas dengan kebijakan tersebut. Banyak keluhan
terjadi di masyarakat, misalnya tidak adanya sekolah negeri yang dekat dengan
rumah calon peserta didik sehingga mereka terpaksa masuk sekolah swasta.
Kemudian, banyak orang tua mengaku tidak paham seberapa jauh jarak antara rumah
dengan sekolah agar mereka bisa mendaftarkan anak mereka ke sekolah tersebut.
Ditambah lagi, beberapa sekolah juga menerapkan selection tools yang
berbeda-beda, seperti nilai UN dan umur calon peserta didik, di luar jarak
rumah dengan sekolah sehingga membuat sistem zonasi semakin rumit.
Di
lain pihak, di samping penolakan yang terjadi dari kalangan orang tua, beberapa
golongan masyarakat menyambut baik kebijakan ini. “Semakin ditentang, sistem
ini semakin harus dipertahankan,” ucap Komisioner KPAI Retno Listyarti
sebagaimana dikutip Jawa Pos (Senin, 24/6). Oleh karena itu, seberapa
efektif kah kebijakan ini terhadap pencapaian cita-cita negara kita?
Untuk
dapat menilai hal tersebut, kita perlu melihat dulu permasalahan dari dunia
pendidikan kita. Kemudian, bicara soal dunia pendidikan Indonesia, pemerintah
kita masih punya banyak PR. Masalah paling utama dari dunia pendidikan kita
adalah kualitas pendidikan kita yang masih rendah. Bukan hanya kualitasnya yang rendah,
pendidikan kita juga belum merata baik kualitas maupun fasilitas. Itulah
masalah mendasar pendidikan di negara kita. Dari situ, masalah-masalah lain
bermunculan, seperti kualitas guru yang rendah, banyaknya jumlah anak yang buta
huruf, dan meningkatnya jumlah anak yang putus sekolah.
Padahal,
Indonesia telah menganggarkan 20% anggaran belanjanya di dalam APBN untuk dunia
pendidikan, dan bahkan pada tahun 2018 anggaran untuk pendidikan mencapai
Rp444T. Jika dibandingkan dengan Vietnam, kita sama-sama menganggarkan 20%
anggaran belanja untuk dunia pendidikan, tapi menurut hasil skor PISA,
Vietnam masih lebih unggul daripada Indonesia. Tidak heran kalau dikatakan
bahwa uang Rp444T tersebut belum dimanfaatkan dengan efektif.
Kembali
kepada kebijakan zonasi tadi. Setelah dijelaskan sedikit mengenai masalah
mendasar dunia pendidikan Indonesia, dapat kita cermati bahwa kurang jelas
bagaimana zonasi dapat mengatasi kualitas pendidikan kita yang rendah itu.
Jadi, ibaratnya kita mau bangun rumah, kita malah beli kursi duluan daripada
memikirkan fondasi rumah dan lokasinya.
Kemudian,
mengapa pemerintah memberlakukan kebijakan ini? Menurut Pa Muhadjir Effendy,
selaku Mendikud, sistem zonasi dimaksudkan untuk menghapus dikotomi sekolah
favorit atau unggulan dengan sekolah biasa. Beliau ingin agar zonasi ini
bisa menghapus persepsi sekolah unggulan agar pendidikan di Indonesia dapat
merata.
Keuntungan
langsung yang dapat kita rasakan dari sistem zonasi adalah kita dapat meghemat
beban transportasi karena semua peserta didik bersekolah di sekolah yang dekat
rumah mereka. Namun, sisi buruknya adalah berkurangnya persaingan antara
peserta didik untuk masuk ke sekolah tertentu sebab tidak ada lagi sekolah
unggulan yang sebelumnya menjadi rebutan. Persaingan berubah menjadi
persaingan mendapatkan bangku di sekolah yang ada di domisili mereka. Persaingan
memang masih ada, tapi selection tool-nya tidak jelas. Jika sebelumnya
NEM menjadi acuan untuk seleksi dalam PPDB, sekarang jarak antara sekolah
dengan rumah lah yang menentukan, yang mana kurang adil dan tidak ada
hubungannya dengan kualitas calon peserta didik.
Sekarang,
kita teliti apakah tujuan dari sistem zonasi yang telah disampaikan Pak
Muhadjir Effendy di berbagai media menyasar pada akar-akar permasalahan
pendidikan di dunia kita. Tujuan pertama adalah pemerataan pendidikan.
Dengan zonasi ini diharapkan tidak ada lagi sekolah unggulan atau favorit
sehingga semua sekolah menjadi sama. Namun bagaimana caranya kualitas pendidikan
dapat merata itu tidak jelas. Menghilangkan label sekolah unggulan tidak
menjadikan pendidikan merata.
Zonasi
memang memiliki nilai plus karena memberi kesempatan kepada anak-anak yang
kurang berprestasi untuk bersekolah di sekolah unggulan sehingga potensi mereka
bisa lebih dimaksimalkan. Namun, hal yang serupa juga berlaku bagi siswa yang
berprestasi atau memiliki potensi, tapi masuk di sekolah yang bukan unggulan
dan memiliki fasilitas tidak lengkap, hanya karena masalah jarak rumah dengan
sekolah yang relative dekat. Misalnya, ada anak dengan potensi di bidang IT,
tapi sekolahnya tidak memiliki komputer yang memadai, maka tersia-siakan
potensi anak tersebut. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah melakukan
pemerataan fasilitas sekolah dulu sebelum memulai zonasi ini.
Kemudian.
sistem zonasi memang betul telah menyebarkan peserta didik dengan cukup merata
di setiap daerah sehinga peserta didik-peserta didik yang berprestasi tidak
tertumpuk di satu sekolah tertentu. Akan tetapi, apakah kondisi tersebut bisa
meningkatkan kualitas pendidikan kita? Karena kenyatannya, guru lebih
berperan untuk meningkatkan kualitas pendidikan daripada murid. Maka dari
itu, untuk dapat memeratakan pendidikan yang berkualitas, pemerintah
seharusnya memastikan guru-guru yang berkualitas sudah didistribusikan di
seluruh sekolah hingga ke pelosok-pelosok dan memastikan ketersediaannya jumlah
guru di setiap sekolah, sebelum memberlakukan zonasi ini. Jangan sampai
pendidikan kita malah buruknya yang merata.
Tujuan
sistem zonasi yang kedua adalah menciptakan sekolah-sekolah unggulan baru. Tujuan
ini cukup kontradiktif sebab zonasi ini diharapkan menghapuskan sekolah
unggulan, lalu kenapa sekarang ditujukan untuk menciptakan sekolah unggulan
pula? Berdasarkan pengalaman, sekolah unggulan dan sekolah favorit adalah dua
hal yang berbeda. Sekolah unggulan adalah sekolah yang dari tahun ke tahun
selalu mencetak prestasi di berbagai bidang, seperti seni, olahraga, dan
akademik. Sementara itu, sekolah favorit merupakan sekolah yang banyak diminati
para peserta didik ketika PPDB berlangsung karena beberapa alasan, seperti
fasilaitas yang bagus, lingkungan sekolah yang aman, atau prestasinya juga.
Sekolah
unggulan mendapatkan julukannya karena pencapaiannya yang dinilai berhasil oleh
masyarakat untuk mencetak murid-murid berprestasi. Hal tersebut sangat
didominasi oleh peran guru-guru di sekolah tersebut. Oleh sebab itu, kalau
ingin menciptakan sekolah unggulan baru, yang dilakukan adalah menyediakan guru
berkualitas di sekolah-sekolah biasa dan mengganti guru-guru yang sudah tidak
lagi berkompeten, serta meningkatkan kualitas para guru itu sendiri. Salah
satu cara yang cukup efektif adalah dengan mengadakan kompetisi untuk para guru
sehingga mendorong mereka untuk terus mengembangkan diri, meng-update
pengetahuan mereka, dan meningkatkan motivasi mereka dalam bekerja.
Di
sisi lain, sekolah favorit mendapatkan julukanya karena diminati banyak calon
peserta didik yang terbukti dari banyaknya jumlah pendaftar di sekolah
tersebut. Maka, tidak heran apabila sekolah favorit terkenal akan sulitnya
persaingan untuk masuk ke sana. Karena persaingan yang ketat, murid-murid akan
terdorong untuk bisa menjadi unggul agar bisa masuk sekolah favorit tadi.
Persaingan tersebut mendorong mereka untuk meningkatkan kualitas (di mana
seharusnya hal serupa terjadi pada para guru). Akan tetapi, yang zonasi
lakukan adalah menghapuskan persaingan semacam itu karena diterima atau
tidaknya seorang calon peserta didik ditentukan dari jarak rumah mereka ke
sekolah, bukan dari nilai mereka.
Tujuan
ketiga dari zonasi sekolah adalah meningkatkan kualitas guru. Hal ini sudah
dijelaskan tadi bahwa tidak terlihat bagimana caranya zonasi dapat meningkatkan
kualitas guru. Padahal, kompetensi guru-guru di Indonesia masih terbilang
rendah berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilakukan oleh
Kemendikbud. Rata-rata hasil skor guru se-Indonesia adalah 53,02 dengan
kriteria ketuntansan minimum 55, yang artinya rata-rata kompetensi guru di
Indonesia masih di bawah standar. Bagaimana caranya zonasi dapat
meningkatkan skor tersebut?
Untuk
bisa meningkatkan kualitas guru, pemerintah seharusnya menciptakan kompetisi
yang memaksa para guru untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Bentuk
kompetisi ini dapat bermacam-macam dan tidak harus ada eliminasinya.
Dengan
adanya sistem zonasi, memang dapat dikatakan bahwa guru-guru di sekolah
unggulan dan favorit tidak lagi hanya mendapat peserta didik-peserta didik yang
pintar dan berprestasi. Mereka sekarang mendapat tantangan dengan kedapatan
murid-murid yang kurang berprestasi. Namun, apakah itu serta-merta membuat
para guru mau meningkatkan kualitas diri mereka agar dapat mengajar murid-murid
seperti itu? Sepertinya tidak, karena para murid pun juga dapat berjuang
sendiri. Kalau begitu, guru sudah makan gaji buta. Maka dari itu, tidak jelas
korelasi antara zonasi sekolah dengan peningkatan kualitas guru.
Pemerintah
perlu menciptakan insentif untuk para guru meningkatkan kualitas dan salah satu
caranya adalah kompetisi tadi. Pemerintah juga bisa mendorong para guru
untuk terus produktif, misalnya mewajibkan ikut pelatihan-pelatihan, ikut seminar-seminar,
ikut workshop, menghasilkan karya ilmiah, dan menambah wawasan mengenai
subjek yang mereka ajarkan. Pemerintah harus menciptakan sistem yang mendorong
para guru untuk terus meng-upgrade kualitas mereka sendiri agar dapat
juga menghasilkan murid-murid yang berkualitas.
Di
samping hal-hal tadi, sistem zonasi ini diklaim menjadi langkah awal untuk
pemetaan masalah-masalah yang ada di berbagai sekolah di daerah. Dengan
diberlakukannya zonasi ini, akan terlihat sekolah-sekolah mana saja yang masih
bermasalahan, seperti fasilitas yang kurang, guru yang tidak tersedia,
kekurangan murid, ruang kelas rusak, dan akses susah. Jadi, masalah-masalah
sekolah tadi yang semula tertimbun akan naik ke permukaan karena zonasi sekolah
ini sehingga dapat diatasi segera.
Akan
tetapi, seharusnya pemerintah melakukan pemetaan tersebut sebelum zonasi ini
diberlakukan, bukan justru sebaliknya. Pemetaan masalah tersebut dapat
dilakukan tanpa zonasi sekolah. Justru, dengan menggunakan zonasi untuk
pemetaan sekolah itu, pemerintah telah mengorbankan masa depan banyak anak
bangsa karena mereka terpaksa masuk ke sekolah-sekolah yang mungkin tidak cocok
dengan mereka. Anak dengan potensi IT tadi tidak bisa mengembangkan potensinya
karena masuk ke sekolah yang tidak ada komputernya. Murid yang belajar dengan
mendengarkan penjelasan guru bertemu dengan guru yang malas dan hanya
membacakan slide Powerpoint saja, dia akan kesulitan untuk mengembangkan
dirinya. Masalah-masalah seperti itu memang sepele, tapi bisa memengaruhi masa
depan mereka ke depannya dalam pendidikan mereka, bahkan karir.
Langkah
pertama yang seharusnya pemerintah lakukan bukanlah zonasi sekolah,
melainkan pemerataan fasilitas di seluruh sekolah, pembangunan sekolah di
seluruh daerah, dan pemerataan guru-guru yang berkualitas. Kalau itu semua
sudah terpenuhi, kebijakan zonasi dapat dilakukan dengan mudah karena di mata
para murid semua sekolah sama saja. Semua sekolah punya potensi untuk menajdi
unggulan sebab baik fasilitas maupun kualitas gurunya sama. Pada kondisi itu,
semua calon peserta didik pasti akan memilih sekolah yang dekat dengan rumah
mereka dengan sendirinya.
Ringkasnya,
implementasi dari sistem zonasi untuk sekarang ini terlalu gegabah . Yang
seharusnya pemerintah lakukan adalah meratakan fasilitas sekolah, meratakan
jumlah guru-guru berkualitas di seluruh sekolah, serta menciptakan sistem untuk
mendorong para guru mengembangkan kualitas mereka. Setelah itu semua, barulah zonasi
dapat diberlakukan.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
***
Di bawah ini, aku sertakan beberapa link yang menjadi refrensi:
aku:https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/15/18530531/tenyata-ini-3-tujuan-zonasi-selain-untuk-ppdb
https://nasional.kompas.com/read/2019/06/24/19413101/banyak-keluhan-soal-ppdb-sistem-zonasi-ini-pembelaan-mendikbud?page=all
https://geotimes.co.id/opini/zonasi-hanyalah-gerbang-pembuka/
Komentar
Posting Komentar