13 Bom di Jakarta: Apa Benar Film Action Indonesia Terbesar di Tahun 2023?

Identitas Film Judul : 13 Bom di Jakarta Sutradara : Angga Dwimas Sangsoko Produser : Taufan Adryan Tanggal rilis : 2 Desember 2023 (JAFF), 28 Desember 2023 (Indonesia) Rumah produksi : Visinema Pictures, Indodax, Legacy Pictures, Volix Pictures, Folkative, INFIA, Barunson E&A Penulis naskah : Angga Dwimas Sasongko, Mohammad Irfan Ramly Durasi tayang : 2 jam 23 menit Pemeran : Chicco Kurniawan, Ardhito Pramono, Rio Dewanto, Putri Ayudya, Ganindra Bimo, Lutesha, Muhammad Khan, Rukman Rosadi, Niken Anjani, Andri Mashadi Genre : Crime , thriller , action   Sinopsis Jakarta diserang kelompok teroris. Siang itu, ada serangan terhadap sebuah truk yang sedang membawa uang tunai, tetapi para pen

5 Kepunahan Massal part 3: Kepunahan Permian-Triassic

5 Kepunahan Massal: Kepunahan Permian-Triassic



Peristiwa kepunahan Permian-Triassic (Kepunahan P-Tr) merupakan peristiwa kepunahan paling dahsyat dan paling besar di antara kelima peristiwa kepunahan massal yang pernah terjadi di bumi. Sebutan lainnya adalah “Kematian Besar,” “Kepunahan Permian Akhir,” dan “Kepunahan Besar Permian.” Peristiwa ini terjadi sekitar 252 juta tahu lalu, di perbatasan era Permian dan Triassic sekaligus peralihan zaman Paleozoikum ke Mesozoikum. Lebih dari 96% organisme laut dan 70% spesies vertebrata darat punah. Perisitiwa ini juga merupakan peristiwa kepunahan seranggga karena sekitar 57% dari famili serangga dan 83% dari genus serangga punah. Peristiwa kepunahan Permian-Triassic memakan waktu paling lama dalam pemulihan ekosistem bumi.

Dampak

Kondisi organisme laut pada saat peristiwa tersebut terjadi sangat mengenaskan, sebab 286 genus dari 329 genus invertebrata air punah, termasuk Conodont dari era Permian. Kepunahan tersebut disebabkan oleh meningkatnya laju kepunahan dan menurunnya laju spesiasi. Yang paling merasakan dampak dari kepunahan P-Tr ialah organisme dengan kerangka CaCO3 (Kalsium karbonat atau zat kapur), terutama mereka yang bergantung terhadap kestabilan level CO2 untuk memproduksi kerangka mereka. Merekalah yang paling menderita karena pengasaman samudra akibat peningkatan karbon dioksida di atmosfer. Semakin berat pengapuran organisme tersebut, dan dengan apparatus kecil, semakin mereka menderita kepunahan paling besar.

Brachipoda berartikulasi (bersendi)

Organisme laut yang berhasil keluar sebagai penyintas adalah Brachipoda bersendi, Ceratitida (ordo Ammonoidea), dan Crinoida (lili laut) yang hampir punah. Kelompok yang memiliki tingkat bertahan hidup yang tinggi umumnya memiliki kendali yang kuat terhadap sirkulasi, pengembangan terhadap mekanisme pertukaran gas, dan kalsifikasi ringan. Dalam kasus Brachiopoda, paling tidak, tingkatan taxa yang selamat dulunya berjumlah sedikit dan langka dalam keanekaragaman.

Paleodictyopteroid
Sementara itu, invertebrata daratan mulanya didominasi serangga pada masa itu, bahkan ada serangga terbesar yang pernah ada. Kepunahan tersebut menyebabkan delapan atau sembilan ordo serangga punah dan sepuluh lainnya mengalami penurunan drastis dalam keberagaman. Palaeodictyopteroid (serangga dengan mulut penggigit dan penghisap) mulai berkurang saat pertengahan Permian karena perubahan flora. Hanya deposit Glosselytrodea, Miomoptera, dan Protorthoptera yang ditemukan setelah peristiwa tersebut. Spesies serangga berikutnya mengalami perubahan drastis dibandingkan sebelum peristiwa kepunahan tersebut terjadi.

Bagi tumbuh-tumbuhan, mereka relatif kebal terhadap kepunahan massal. Akan tetapi, penyusunan ulang besar-besaran terhadap ekosistem telah terjadi, dengan keberlimpahan dan distribusi tumbuh-tumbuhan berubah pula secara drastis serta hilangnya hutan sebenarnya. Flora paleozoik hampir tidak dapat selamat.

Hutan Gymnospermae di zaman Permian
Pada saat perbatasan P-Tr, kelompok flora yang dominan berubah secara tiba-tiba. Seperti, Cordaites (sejenis Gymnospermae) dan Glassopteris (sejenis tanaman Pteridospermatophyta). Sebelum peristiwa kepunahan tersebut, terdapat hutan Gymnospermae yang padat. Di saat yang sama dengan berkurangnya makrofauna lautan, hutan Gymnospermae tersebut lenyap. Mereka digantikan dengan tumbuhan terna (tumbuhan dengan batang lunak dan tidak berkayu), termasuk Lycopodiophyte: Selaginellales dan Isoetales. Nantinya, gymnospermae menjadi dominan kembali, tetapi menderita kematian lainnya. Hal tersebut terjadi seperti sebuah siklus yang mengindikasikan lingkungan stress kronis.

Sementara itu, kondisi vertebrata daratan pun juga memprihatinkan. Lebih dari dua per tiga famili amfibi Labyrinthodont (evolusi dari ikan lobe-finned di era Devonian), Sauropsida (sejenis reptil), dan therapsid (nenek moyang mamalia) mengalami kepunahan. Herbivora besarlah yang mengalami kepunahan paling parah. Semua reptil anapsid Permian mati, kecuali Procolophonida. Sedangkan, Pelucosaurus mati sebelum Permian akhir. Terlalu sedikit fosil diapsid (kelompok reptil yang merupakan nenek moyang dari kadal, ular, buaya, dan dinosaudurs [termasuk burung] berevolusi) dari zaman Permian yang ditemukan untuk mendukung kesimpulan tentang efek Kepunahan P-Tr terhadap diapsid.
Therapsid

Kelompok yang berhasil bertahan mengalami kehilangan yang sangat besar dalam jumlah spesies mereka, bahkan beberapa vertebrata darat sudah mendekati kepunahan pada saat akhir Permian. Beberapa kelompok yang bertahan tidak berhasil hidup untuk waktu yang lama, sementara yang lainnya berkembang menjadi berbagai jenis dan hidup panjang dengan keturunan yang terus bertahan. Membutuhkan 30 juta tahun bagi vertebrata darat untuk benar-benar pulih baik secara jumlah maupun ekologis.

Pada peralihan era Permian ke Triassic, terjadi kesenjangan batu bara. Tidak ada deposit batu bara dari era Triassic awal dan deposit batu bara yang berasal dari Triassic pertengahan pun tipis dan berkualitas rendah. Terdapat dua dugaan alasan atas kesenjangan tersebut. Pertama, fungi, serangga, dan vertebrata yang lebih agresif berevolusi dan membunuh sejumlah besar pohon-pohon. Akan tetapi, dekomposer (fungi dan serangga) tersebut juga menderita kepunahan. Kedua, tumbuhan penghasil batu bara punah saat peristiwa kepunahan P-Tr. Dibutuhkan waktu 10 juta tahun bagi kelompok tumbuhan baru untuk bertahan hidup.

Kesenjangan batu bara tersebut menjelaskan kelangkaan sedimentasi dari zaman Triassic. Ekosistem penghasil batu bara lebih seperti pindah ke tempat lain daripada menghilang, yakni pindah ke tempat yang tidak memiliki catatan sedimentasi dari era Triassic awal.

Sebuah analisis mengenai fosil laut dari tahap akhir Changsingian pada Permian akhir menemukan bahwa organisme laut dengan toleransi rendah terhadap hypercapnia memiliki laju kepunahan yang tinggi. Hypercapnia merupakan kondisi di mana terdapat konsentrasi karbon dioksida yang sangat tinggi. Organisme yang paling tak berdaya adalah: 1) organisme yang memproduksi bagian tubuh berkapur dan keras, 2) organisme yang memiliki laju metabolisme rendah, dan 3) organisme yang memiliki sistem pernapasan lemah. Contoh: sponge kapur, rugose, koral tabulata, brachiopoda pendeposit kapur, bryozoa, dan echinodermata – 81% genus mereka punah. Namun, sulit sekali menemukan pengaruh hypercapnia tersebut terhapdap binatang darat. Di samping itu, terdapat pula kesenjangan pada fosil serangga.

Penyebab

Penyebab peristiwa kepunahan ini sangat banyak dan kompleks, meskipun belum dapat dipastikan. Terdapat banyak peristiwa yang saling berantai yang menyebabkan kepunahan Permian-Triassic. Kejadian tersebut telah terjadi 250 juta tahun lalu sehingga sulit sekali mencari bukti-bukti penyebabnya. Ditambah lagi, bukti-bukti tersebut terkubur di dalam bumi dan lantai lautan selalu terdaur ulang setiap 200 juta tahun sekali.

Dugaan sebab pertama adalah tubrukan benda langit. Pada peristiwa kepunahan Creteaceus-Paleogine yang akan kita bahas nanti, salah satu penyebabnya adalah tubrukan benda langit. Oleh karena itu, diduga penyebab yang sama juga dialami oleh kepunahan Permian-Triassic. Buktinya adalah shocked quartz di Australia dan Antartika, tetapi hal tersebut belum cukup jelas. Tubrukan benda langit yang terjadi di lautlah yang paling mungkin. Namun, lantai lautan yang tertua saja berusia 200 juta tahun (lantai lautan selalu mengalami daur ulang setiap 200 juta tahun sekali karena penyebaran dan subduksi) sedangkan kepunahan P-Tr terjadi 250 juta tahu lalu.  Kawah-kawahnya pun mungkin sudah tertutup oleh banjir basal.

Area yang terkena Siberian Trap

Penyebab kedua adalah aktivitas vulkanik. Pada tahap akhir Permian, terjadi dua banjir basal: yang kecil ialah Emishian Traps dan yang besar ialah Siberian Traps. Banjir basal sendiri adalah peristiwa erupsi vulkanik besar atau serangkaian erupsi yang melapisi bentangan daratan yang besar atau lantai samudra dengan lava basal. Emishian traps dan Siberian traps menyebabkan awan debu dan aerosol asam yang menghalangi cahaya matahari sehingga mengganggu fotosintesis. Kemudian, rantai makanan pun hancur, serta terjadi hujan asam yang dapat membunuh tumbuhan dan moluska serta plankton dengan cangkang kapur. Erupsi tersebut juga menyumbang CO2 yang berakibat pada pemanasan global. Ketika seluruh awan debu dan aeorosol tersapu dari atmosfer, kelebihan CO2 akan tetap bertahan dan memanas tanpa mitigasi.

Siberian traps memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya semakin berbahaya. Banjir basal murni menghasilkan fluida, lava cair dan tidak melontarkan debris (puing) ke atmosfer. Namun, 20% dari keluaran Siberian traps adalah piroklastik yang meningkatkan efek pendinginan jangka pendek. Piroklastik adalah bebatuan klastik yang terbentuk dari material vulkanik. Ketika material vulkanik terlontar dan diolah kembali melalui proses mekanik, seperti oleh air dan angin, batuan tersebut disebuk vulkanistik. Piroklastik biasanya dibentuk dari abu vulkanik, lapilli, dan bom vulkanik dari gunung berapi.

Lava basal akan menjadi batuan karbonat dan sedimen yang dalam prosesnya membentuk lapisan besar batu bara, yang dapat mengemisikan CO2 berjumlah besar yang diikuti pemanasan global yang lebih kuat setelah awan debu dan aerosol selesai.

Penyebab ketiga adalah pembentukan gas hidrometana. Para ilmuwan menemukan bukti bahwa terjadi penurunan yang cepat, sekitar 1%, pada rasio isotop 13C/12C pada batuan karbonat dari era Permian akhir. Itulah rangkaian ekskursi positif dan negatif (penurunan dan peningkatan 13C/12C) pertama, terbesar, dan tercepat yang terus berlanjut sampai rasio isotop tiba-tiba stabil pada pertengahan Triassic, dan segera diikuti perbaikan pengapuran makhluk hidup.  Dengan mempertimbangkan dari penyertaan sedimentasi karbonat yang panas sekali, oleh aktivitas vulkanik, satu-satunya mekanisme yang menyebabkan penurunan 1% rasio tersebut adalah pelepasan metana dari hidrometana. Hidrometana sendiri adalah zat metana yang terkurung di dalam molekul air. Zat tersebut umumnya ditemukan terkubur di sedimen pada kedalaman 3.000 m, paling tidak.

Area yang terlapisi lava dari Siberian traps lebih dari yang semulanya dikira dan sebagian besar area tambahan tersebut ada di bawah perairan laut dangkal. Kemungkinan, lapisan (area) tersebut mengandung deposit hidrometana, lalu lava melepaskan metananya sehingga metana dalam jumlah besar terlepas ke angkasa. Jumlah besar metana tersebut mengakibatkan pemanasan global karena metana merupakan gas rumah kaca yang kuat.

Penyebab keempat adalah anoxia. Ditemukan bukti bahwa terjadi anoxia (penurunan konsentrasi oksigen) dan euxinia (penigkatan jumlah hidrogen sulfida) pada akhir Permian sampai awal Triassic. Salah satu buktinya adalah keberadaan bakteri sulfur hijau pada peristiwa tersebut. Bakteri sulfur hijau membutuhkan hidrogen sulfida dan sinar matahari untuk bisa bertahan hidup. Keberlimpahan mereka di sedimen-sedimen Permian-Triassic mengindikasikan adanya hidrogen sulfida di laut dangkal. Penyebaran zat beracun dan yang mengurangi oksigen tersebut merusak kehidupan laut dan membunuh banyak makhluk hidup.

Anoxia dan euxinia berasosiasi dengan hypercapnia (tingginya konsentrasi karbon dioksida) dan ketiganya dapat terjadi bersamaan sebagai mekanisme pembunuh massal. Anoxia terus berlanjut sampai awal Triassic sehingga diduga sebagai penyebab lambannya pemulihan makhluk hidup.

Pemicu anoxia tersebut adalah emisi karbon dioksida sebagai akibat dari erupsi Siberian traps. Emisi tersebut mengakibatkan pemanasan dan efek rumah kaca yang mengurangi kelarutan oksigen di air. Setelah itu, banyak oksigen yang lepas ke atmosfer.

Di samping itu, peningkatan aktivitas cuaca akibat pemanasan dan akselerasi daur air berakibat pada meningkatnya aliran fosfat ke laut. Fosfat dapat meningkatkan reproduksi mikroorganisme di laut atau algae blooming, ledakan populasi algae. Ledakapan populasi algae tersebut menurunkan konsentrasi oksigen di laut sehingga terjadilah anoxia.

Penyebab kelima adalah emisi hidrogen sulfida. Anoxia yang akut membuat bakteri pereduksi sulfur berkembang pesat sehingga banyak sekali jumlah hidrogen sulfida di lautan anoxia. Kemudian, hidrogen sulfida tersebut teremisikan ke udara sehingga meracuni hewan dan tumbuhan darat serta melemahkan lapisan ozon, yang mengakibatkan radiasi UV yang fatal.

Meskipun begitu, bakteri sulfur hijau, dari akhir Permian-awal Triassic, mengindikasikan hidrogen sulfida ada di laut dangkal karena bakteri tersebut ditemukan di zona fotik dan mereka menggunakan sulfur sebagai donor electron.

Penyebab keenam ialah pembentukan benua super Pangaea. Pada pertengahan Permian, lempengan-lempengan benua besar di bumi bergabung menjadi benua super Pangaea yang dikelilingi samudra super Panthalassa. Bersatunya benua-benua tersebut mengurangi jumlah habitat pantai dan laut dangkal sehingga mengurangi jumlah ogranisme yang tinggal di sana. Bahkan, tingkat penurunan populasi kehidupan laut setelah terbentuknya Pangaea meningkat hingga mendekati level bencana besar. Namun, penurunan populasi tersebut belum pernah sampai ke level “lima kepunasan massal.” Akan tetapi, pembentukan Pangaea tidak begitu memengaruhi kepunahan kehidupan daratan dan bahkan, efek pembentukan Pangaea terhadap kepunahan P-Tr masih belum jelas.

Methanosarcina sp.
Penyebab ketujuh adalah mikroba. Di tahun 2014, dipublikasikan sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa sebuah genus archaebacteria anaerob, dikenal dengan nama Methanosarcina bertanggung jawab terhadap kepunahan Permian-Triassic. Mikroba tersebut memiliki cara baru dalam metabolism, yaitu melalui transfer gen. Maka dari itu, mereka memetabolisme asetat menjadi metana. Hasilnya, jumlah metana dan karbon dioksida di bumi meningkat tajam, yang sejalan dengan catatan isotop 13C/12C. Aktivitas vulkanik pun memfasilitasinya dengan melepaskan banyak nikel, logam kofaktor untuk enzim yang terlibat dalam produksi metana.

Beberapa dari dugaan-dugaan penyebab tersebut memiliki kaitan. Kaitan tersebut bahkan dikatakan sebagai sebuah sekuens yang berkelanjutan. Artinya, penyebab-penyebab tersebut merupakan serangkaian peristiwa berantai yang saling terhubung. Berikut adalah skemanya:


Namun, terdapat kelemahan dalam sekuens tersebut, yakni ketidaksesuaian terhadap rasio isotop 13C/12C. Maka dari itu, skema tersebut belum bisa dipastikan sebagai penyebab kepunahan Permian-Triassic.

Pemulihan

Kemudian, bagaimana kehidupan di bumi memulihkan dirinya? Untuk organisme perintis, mereka tidak butuh waktu lama untuk bisa pulih kembali setelah kejadian tersebut. Namun, organisme lainnya butuh waktu hingga jutaan tahun agar dapat pulih kembali. Alasannya adalah temperatur lautan saat itu yang cukup tinggi, yakni 40⁰C, dan anoxia.

Pada era Triassic awal, biomassa tumbuhan tidak cukup untuk menghasilkan deposit batu bara yang artinya tidak ada cukup makanan bagi herbivora saat itu. Pola aliran sungai di Karoo (wilayah semidesert) berubah dari meandering (satu aliran tanpa cabang dan berkelok-kelok) menjadi braided (bercabang-cabang dan terpisah oleh daratan-daratan/pulau-pulau kecil). Perubahan pola aliran sungai tersebut merupakan tanda bahwa vegetasi di sana sangat jarang untuk waktu yang lama.

Tumbuhan dan hewan, lautan dan daratan, dari ekosistem Triassic awal didominasi oleh sekelomopok genus kecil yang muncul di mana-mana. Contohnya adalah hewan therapsid herbivora Lystrosaurus (yang tercatat ada sekitar 90% dari vertebrata darat di awal Triassic) serta Bivalvia Claraia, Eumorphotis, Unionites, dan Promylina. Padahal, ekosistem yang sehat seharusnya dihuni macam-macam genus di habitat yang mereka kira cocok. Biarpun begitu, taxa yang terkena dampak besar mengambil keuntungan dari ekosistem yang hancur dan mengalami ledakan populasi di teritori mereka.

Untuk ekosistem laut sendiri, terjadi perubahan besar. Sebelum kepunahan P-Tr, sekitar dua per tiga hewan laut adalah hewan sesil, yang tidak bergerak aktif dan melekat pada suatu substrat (dasar laut). Saat mesozoikum, hanya sekitar setengah hewan laut yang sesil, sedangkan sisanya motil, yang bergerak aktif. Analisis terhadap fosil hewan laut menunjukkan bahwa terjadi penurunan terhadap jumlah hewan penyaring makanan, seperti brachiopoda dan lili laut, dan peningkatan jumlah hewan motil yang lebih kompleks, seperti siput, bulu babi, dan kepiting. Padahal, sebelum kepunahan P-Tr, baik organisme sederhana maupun organisme kompleks memiliki jumlah yang setara. Setelah pemulihan dari kepunahan massal tersebut, jumlah organisme kompleks di laut mengungguli jumlah organisme sederhana dengan perbandingan 3:1. Ditambah lagi, adanya peningkatan tekanan dari para pemangsa mendorong Revolusi Laut Mesozoikum.

Bivalvia mulanya langka sebelum kejadian kepunahan Permian-Triassic, tetapi menjadi banyak dan beragam jenisnya di Triassic. Bahkan, kelompok rudist clam menjadi pembentuk karang yang utama. Di lain pihak, Crinoida (lili laut) menderita kepunahan selektif sehingga mengalami kehilangan dalam keberagaman jenis karena hanya jenis-jenis tertentu yang mati. Namun, radiasi adaptif mereka berikutnya tajam dan menghasilkan bentuk dengan lengan fleksibel yang lebar, motil, dan sebagai respon terhadap pemangsa. Bentuk lengan baru tersebut menjadi umum di kalangan lili laut yang bertahan hidup. 

Archosaurus
Sementara itu, kehidupan vertebrata darat pun mengalami perubahan. Lystrosaurus, hewan herbivora, memiliki jumlah populasi 90% dari keseluruhan populasi vertebrata darat saat itu. Selain itu, cynodont therapsid yang merupakan karnivora dengan tubuh lebih kecil serta nenek moyang mamalia juga berhasil bertahan. Archosaurus (nenek moyang dinosaurus dan buaya) lebih langka daripada therapsid. Mereka mulai menggantikan para therapsid di era pertengahan Triassic. Di akhir pertengahan Triassic, satu kelompok Archosaurus berevolusi menjadi dinosaurus, dan mendominasi ekosistem daratan selama era Jurassic-Cretaceus. Hal ini mungkin juga berkontribusi terhadap evolusi mamalia dengan mendorong paksa therapsid dan kerabat mamalia mereka untuk bertahan hidup. Kerabat mamalia therapsid saat itu adalah insektivora nocturnal sehingga diduga dari sanalah asal mula mamalia memiliki rambut dan laju metabolisme yang tinggi sebagai hewan nocturnal, sementara kehilangan reseptor retina yang sensitif terhadap warna-warni yang dimiliki para reptil dan burung.

Beberapa amfibi temnospondyl mengalami pemulihan yang relatif cepat, kendatipun mereka sudah mendekati kepunahan. Mestodonsaurus dan Trematosaurian adalah predator akuatik dan semiakuatik yang utama di masa itu (Triassic). Sebagian memburu therapsid dan sebagian lainnya memburu ikan.

Vertebrata darat mengambil waktu lama sekali untuk memulihkan diri dari kepunahan Permian-Triassic. Seorang palanteolog, Michael Benton, mengestimasikan pemulihan tersebut belum selesai hingga 30 juta tahun setelah bencana kepunahan tersebut, tidak hingga Triassic akhir, di mana dinosaurus, pterosaurus, buaya, archosaurus, amfibi, dan kerabat mamalia berlimpah dan beragam.

Selanjutnya

***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar