Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
1 Kakak 7 Ponakan: Satu Film, Beragam Rasa
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas Film
Judul
:
1 Kakak 7 Ponakan
Sutradara
:
Yandy Laurens
Produser
:
Lachman G. Samtani, Suryana Paramita, Manoj K. Samtani,
Deepak G. Samtani
Tanggal rilis
:
23 Januari 2025
Rumah produksi
:
Mandela Pictures,
Cerita Films, Legacy Pictures
Penulis naskah
:
Arswendo Atmowiloto, Yandy
Laurens
Durasi tayang
:
2 jam 9 menit
Pemeran
:
Chicco Kurniawan, Amanda
Rawles, Fatih Unru, Freya JKT48, Ahmad Nadif, Kawai Labiba, Ringgo Agus
Rahman, Niken Anjani, Maudy Koesnaedi, Kiki Narendra
Genre
:
Drama
Sinopsis
Ketika kakaknya meninggal tak
lama setelah suaminya, dunia Moko (Chicco Kurnaiwan) tiba-tiba berubah drastis.
Dia harus menanggung tanggung jawab besar merawat ketiga anak dan ponakan yang
ditinggalkan kakaknya: Woko (Fatih Unru), Nina (Freya JKT48), Ano (Ahmad
Nadif), dan Ima yang baru saja lahir. Padahal, Moko yang baru lulus kuliah
ingin melanjutkan studi ke universitas di luar negeri bersama pacarnya, Maurin
(Amanda Rawles), lalu bersama-sama mendirikan firma arsitektur sendiri.
Sayangnya, cita-cita tersebut harus ditunda oleh Moko demi merawat keponakan-keponakannya
yang bergantung padanya. Meskipun di dalam hatinya dia merasa lelah dan sedih,
Moko harus tegar dan bertahan demi mereka. Akan tetapi, sejauh apa Moko mampu
menanggung semua tanggung jawab itu sendirian?
Kelebihan
Film 1 Kakak 7 Ponakan merupakan
film yang menarik sekali untuk dibahas. Ada banyak hal yang bisa menjadi
kelebihan film ini. Pertama, aku suka dengan performa para pemerannya. Di film
ini, kalian akan bertemu dengan beberapa aktor yang sudah sering membintangi
film-film Indonesia, seperti Chicco Kurniawan, Amanda Rawles, dan Ringgo Agus
Rahman. Performa mereka tak perlu lagi diragukan ya. Selain mereka, kalian juga
akan bertemu dengan beberapa wajah segar di layar sinema Indonesia, seperti
Fatih Unru, Freya JKT48, Ahmad Nadif, dan Kawai Labiba. Yang membuatku terkejut
adalah akting mereka bagus banget dan terlihat natural dengan karakter mereka.
Mereka bisa mengimbangi akting para aktor yang lebih senior.
Kedua, banyak aspek teknis film
ini yang patut diapresiasi. Salah satunya, riasannya. Riasan wajah para
aktornya terlihat natural sekali, cocok dengan peran mereka. Bahkan, kostum
yang mereka kenakan juga cocok dengan karkater mereka. Poin plus untuk
pemilihan wardrobe-nya. By the way, bahkan itu termasuk si
Maurin, pacarnya Moko, yang berasal dari keluarga kaya dan berpenampilan bule.
Kemudian, latar tempatnya, yaitu rumahnya Moko, didesain sedemikian rupa supaya
tampak seperti rumah keluarga kelas menengah—no offense, ya. I mean,
look at that house! Rumahnya padat dengan barang-barang dan terlihat tak
beraturan, padahal sudah beraturan. Rumahku juga begitu, hahaha.
Ketiga, penokohannya sangat
menarik dan memorable. Untuk bagian ini, aku bisa bicara banyak, dan
akan kulakukan. Tokoh yang paling kusuka dulu: Maurin. Dia itu cewek green
flag. Hijaunya bahkan bukan hijau neon atau Stabilo, melainkan hijau
reboisasi—menyegarkan suasana! Aku salut banget dia bisa mendukung Moko sampai
seperti itu. Dia dapat mengerti keadaan Moko dan bersabar menunggunya. (Spoiler
alert) aku ikut patah hati banget waktu Maurin cuma bisa melihat Moko
tersiram air panas lewat Zoom meeting, tak bisa bantu apa-apa. Akan
tetapi, dia juga tidak diperlihatkan sebagai gadis yang selalu lembut. Ada
beberapa momen dia menjadi ketus dan marah. Jadi, masih manusiawilah.
Bagaimanapun itu, aku masih salut sekali dengan usahanya untuk Moko.
Aku juga senang dengan para
keponakannya Moko. Mereka semua menggemaskan dan lucu. Tidak mungkin tidak
sayang mereka. Interaksi mereka dengan Moko terasa hangat dan menyenangkan. Chemistry
mereka dengan Moko cocok banget. (Spoiler alert) aku sedih banget
waktu Ano terkena radang usus sehingga Moko tidak jadi beli laptop baru karena
uangnya untuk Ano berobat. Ano sampai bilang, “Besok-besok, kalau Ano sakit
lagi, Ano tahan aja. Ano tahan sekuat Ano. Supaya gak kasihan Kak Moko.” It
broke my heart, bro. Selain itu, aku juga sedih banget waktu (spoiler
alert) adegan Nina marah-marah mengungkapkan beban hatinya selama ini.
Dibandingkan keponakan-keponakan yang lain, Nina memang yang paling pintar
sehingga dia yang paling bisa mengutarakan perasaannya yang merasa membebani
Moko selama ini. Memang agak drama sih karena Nina pakai lari kabur segala,
tapi itu understandable karena dia pasti overwhelmed dengan semua
pikiran dan perasaannya selama ini. Sementara Woko, bisa dibilang dia yang
paling terlihat selow, tapi aku juga cukup sedih ketika melihat dia
mengorbankan kesempatan kuliahnya demi bekerja dan menjaga Ima si bontot.
Berikutnya, ada Ais (Kawai Labiba), yang adegan bersama Moko-nya yang paling
kusuka adalah (spoiler alert) sewaktu mereka berdua mengobrol di stand
Pop Ice. Di adegan tersebut, kita diajak menelusuri perasaan dan kegalauan
Ais. Anak seusia dia harus menghadapi masalah sebesar itu, kasihan sekali.
Bahkan, dia sampai bilang bahwa dirinya hanya merepotkan orang-orang di
sekelilingnya ke manapun dia pergi. Aku hanya bisa diam dan merasa terenyuh
menyaksikannya. Padahal, Ais tidak merepotkan siapa-siapa loh; dia membantu
Moko dan yang lain selama tinggal di rumah tersebut, bukan cuma menumpang gratis.
Setelah itu, tentu saja tokoh
Moko sendiri. Di usianya yang masih begitu muda, Moko harus menanggung beban
seberat itu—luar biasa banget. Secara mendadak, dunianya berubah
drastis—tiba-tiba, prioritasnya bukanlah mimpi dan cita-citanya lagi, tetapi
keponakan-keponakannya. Aku kagum karena dia mampu menghadapi itu semua dengan
hati besar. Tak pernah sekalipun dia marah kepada keponakan-keponakannya. Akan
tetapi, ada momen-momen dia menyendiri dan tampak kelelahan dan sedih. Aku tak
terbayang seberat apa beban yang ia pikul tersebut.
Di sisi lain, aku suka
karakternya yang pintar. Sejak awal, Moko memang dibilang sangat pintar, bahkan
ditegaskan berulang kali. Kepintarannya pun terlihat pada passion-nya
terhadap arsitektur maupun kecakapannya merawat Ima si bontot. Dalam mengasuh
Ima, Moko memperhatikan teori-teori parenting, yang tercermin dari tindakan-tindakannya
merawat Ima. Aku salut karena ceritanya mampu menjaga konsistensi karakter Moko
tersebut. Meskipun aku juga agak sedih sewaktu (spoiler alert) Kak Ocha
(Niken Anjani), kakak Moko yang kedua, bilang bahwa karena Moko yang paling
pintar di antara mereka, seharusnya Moko juga yang hidupnya paling bahagia.
Oh, sebenarnya ada satu tokoh
lagi yang menarik perhatian: Mas Eko (Ringgo Agus Rahman). (Spoiler alert)
Mas Eko adalah kakak iparnya Moko; ia menikahi Kak Ocha. Dia satu-satunya tokoh
buruk di film ini, yang mungkin malah terasa aneh karena seakan-akan
dimunculkan hanya supaya ada tokoh buruknya. Akan tetapi, menurutku pribadi,
keberadaan satu anggota keluarga yang berkelakuan buruk itu relatable.
Pasti di sebuah keluarga, tak semua anggotanya berkelakuan baik; ada yang buruk
walau itu hanya seorang. Dalam kasus film 1 Kakak 7 Ponakan ini, itu
adalah si Mas Eko. Bahkan, dia sudah mengutarakan prinsipnya, “Orang yang
sungkan itu akan bertemu dengan orang yang gak tahu malu.” Rupanya, dirinya
sendiri si gak tahu malu itu, hahaha. Pokoknya, satu bioskop berhasil dibuat
kesal dengan Mas Eko. Padahal, sebagian screentime dia cuma lewat suara
telepon, tak muncul orang.
Keempat, konflik filmnya agak
berbeda dari film-film genre serupa lainnya. Mirip dengan film Home Sweet
Loan, film ini juga memperlihatkan tokoh yang seorang generasi sandwich,
yaitu anak muda yang tergencet beban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya serta
kebutuhannya sendiri. Namun, berbeda dengan sosok Kaluna dari film Home
Sweet Loan yang menjadi generasi sandwich karena keluarganya memang tak
bertanggung jawab, Moko menjadi generasi sandwich karena keadaan yang
memaksanya demikian. Maka dari itu, aku merasa wajar Moko tak mampu mengeluh
karena tak ada yang bisa disalahkan. Meski demikian, aku tetap merasa iba
kepadanya. Apalagi waktu dia bilang, “Kok aku merasa bersalah ya tiap mikirin
hidup aku sendiri?” Jika kalian mengalami hal serupa dengan Moko, jangan
menyalahkan diri kalian sendiri ya. Memikirkan kehidupan sendiri tidak serta
merta berarti mengabaikan tanggung jawab kalian.
Kelima, jalan cerita atau
alurnya juga dikemas dengan baik. Dari awal sampai akhir, alur cerita ini akan
membuat perasaanmu campur aduk. Makin lama, hidup Moko makin terasa berat,
seperti ada saja cobaannya; tetapi di tengah-tengah cobaan itu, selalu ada
momen-momen bahagia yang menguatkannya untuk terus melangkah. Waktu di awal dia
harus menjadi figur kepala keluarga, itu terlihat banget dia kelelahan dan
sedih. Berkali-kali Moko diperlihatkan ingin menangis, tetapi dia menahan air
matanya, berusaha tegar. Hingga pada akhirnya, air mata itu jatuh juga di akhir
film. Perjalanan Moko begitu berat dan panjang, tetapi untung dia ditemani
orang-orang yang benar sayang kepadanya.
Mungkin, setelah melihat reviu
orang-orang, kalian mengira film ini pasti sedih banget dan banyak adegan yang
bikin nangis. Aku pun menyangka demikian, tetapi rupanya film ini tak sesimpel
itu. Maksudku, alur ceritanya tidak melulu memperlihatkan Moko dan keluarganya
yang diterpa cobaan tak henti-henti, yang seperti ingin memaksa penonton untuk
sedih dan nangis terus. Memang ada banyak cobaan yang dialami Moko, tetapi itu
tidak seperti dibuat-buat, tidak didramatisasi berlebihan. Selain itu, di
tengah-tengah momen susah tersebut, ada momen-momen penuh tawa sebagai
selingan. Bahkan, film ini dengan ciamik mampu menghadirkan kesan sedih dan
lucu sekaligus di beberapa adegannya.
Keenam, soundtrack filmnya
catchy dan cocok banget. Ada tiga lagu dari Sal Priadi yang menjadi soundtrack-nya,
yaitu Mesra-mesraannya kecil-kecilan dulu, Besok kita pergi makan,
dan Kita usahakan rumah itu. Yang aku suka adalah lagu-lagu tersebut relatable
dengan isi ceritanya serta ditempatkan pada adegan-adegan yang pas.
Seakan-akan, memang lagu-lagu tersebut menginspirasi sekuensnya.
Ketujuh, ada banyak adegan yang
kusukai. Salah satunya adalah (spoiler alert) waktu Nina marah-marah
mengungkapkan semua perasaannya. Nina mewakili perasaan para keponakannya Moko
bahwa mereka merasa tidak enak membebani Moko selama ini sampai-sampai Moko
merelakan hidup dan masa depannya. Namun omong-omong, pada adegan itu aku juga
tak bisa menahan tawa karena melihat Woko dan Ano ngos-ngosan lari, hahaha.
Film ini keren banget karena di adegan yang seharusnya emosional, bisa
menyisipkan sedikit candaan.
Selain itu, aku juga suka dengan
(spoiler alert) adegan ketika Moko dan Ais mengobrol berdua. Seperti
yang kubilang sebelumnya, adegan itu menunjukkan betapa berat hal yang Ais
alami; dan sedihnya ialah kejadian seperti itu pasti dialami orang lain juga. Tak
hanya itu, adegan tersebut juga memperdalam rasa rindu Moko kepada kakaknya
yang telah meninggal.
Di samping kedua adegan
tersebut, aku juga suka adegan sewaktu (spoiler alert) lagu Mesra-mesraannya
kecil-kecilan dulu diputar. Rasanya kasihan banget waktu mereka cuma bisa
lihat Bali lewat street view Google Maps. Aku jadi sedih melihatnya,
tetapi di saat yang sama aku juga merasa senang karena melihat mereka senang.
Walau mereka tak hidup bergelimang harta, mereka tetap bisa tersenyum dan
tertawa dengan hal-hal sekecil itu. Aneh rasanya mau sedih dan senang
sekaligus.
Kemudian, semua itu berpuncak
pada adegan favoritku selanjutnya: (spoiler alert) adegan ketika Moko
kumpul bersama para keponakannya dan Maurin di akhir. Ternyata sebegitu
besarnya rasa sayang Moko ke mereka, tetapi dia tak menyadari bahwa rasa sayang
mereka ke dirinya juga sama besarnya. Selama ini, Moko berpikir bahwa harus dia
yang berjuang untuk mereka, tetapi dia tersadar saat Maurin bilang: “Biarin aku
memperjuangkan kamu juga, Mo!” Rupanya, dia tidak harus berjuang sendiri;
mereka bisa berjuang sama-sama. “Berjuangnya bareng-bareng ya”, adalah ucapan
Maurin untuk Moko yang membuatku terenyuh. Di momen itulah air mata Moko
akhirnya jatuh setelah dia menahannya cukup lama.
Setelah itu, (spoiler alert)
adegan diikuti dengan sedikit kilas balik yang memperlihatkan momen ketika Moko
pertama kali pindah ke rumah tersebut. Kebaikan kakaknya dan sang suamilah yang
menginspirasi Moko untuk berbuat baik kepada keponakan-keponakannya, yang lalu
itu menginspirasi keponakan-keponakannya untuk berbuat baik juga kepadanya. Satu
kebaikan menginspirasi kebaikan lainnya.
Kemudian, adegan favoritku yang
terakhir, yang juga adalah adegan terakhir di film ini, merupakan adegan
penutupnya. (Spoiler alert) adegan tersebut amat sederhana, hanya Moko
yang tersenyum melihat semua orang yang paling ia sayangi kumpul di meja makan
rumahnya. Apalagi, itu diiringi dengan lagu Kita usahakan rumah itu-nya
Sal Priadi, yang cocok banget dengan adegannya. Di beberapa film atau serial
yang pernah kutonton, para pebisnis super tajir terkadang hanya ingin bisa
makan bareng keluarga mereka di satu meja; setelah semua harta yang mereka
miliki, makan bersama keluarga adalah hal yang paling mereka dambakan. Ketika
melihat adegan penutup film ini adalah makan bersama juga, aku jadi terpikir
bahwa mungkin kebahagiaan itu memang bisa sesederhana itu. Kebahagiaan mungkin
sesederhana kumpul makan di meja makan bersama mereka yang kita cinta.
Kelemahan
Film ini bagus banget, dan
kekurangannya yang kutemukan pun terasa remeh. Satu yang mengganjal bagiku
selama menonton film ini adalah nama tokohnya mirip sehingga agak sulit
dihafal. Beberapa tokoh memiliki nama mirip, seperti Moko dan Woko, yang
terkadang membuatku keliru mengenali mereka. Namun, aku juga agak sulit
menghapal nama-nama yang lain karena ada banyak tokohnya. Akan tetapi, itu tak
terlalu memengaruhi perasaan yang kurasakan dari film ini. Jadi, filmnya masih enjoyable
kok.
Kesimpulan
1 Kakak 7 Ponakan adalah sebuah film drama yang keren. Aku tidak
heran banyak orang yang sudah menobatkan film ini sebagia salah satu film
terbaik tahun ini walaupun sekarang masih awal tahun 2025. Memang filmnya
sebagus itu kok.
Kalian yang suka cerita drama
tentu akan menyukai film ini. Film yang terasa lekat ini memperlihatkan
realitas kehidupan generasi sandwich yang harus menanggung banyak anggota
keluarga dan merelakan masa depannya. Film ini pun akan membuatmu tertawa dan menangis
dengan alur ceritanya yang hangat dan haru. Kalian akan dibuat sayang pada
Moko, Maurin, dan para keponakan-keponakan Moko. Lebih daripada itu, film ini
ingin bilang bahwa kalian tak harus selalu berjuang sendiri dan kalian boleh
kok memikirkan kehidupan kalian sendiri. Tak hanya itu, film ini sepertinya
ingin mengingatkan bahwa kebahagiaan adalah sesederhana kumpul di meja makan
bersama orang-orang tersayang.
Kalian dapat menonton film ini
dengan siapapun, entah itu keluarga, teman, anak, pacar, suami/istri, atau
siapapun—kecuali selingkuhan ya. Atau boleh juga menontonnya sendirian. Yang
pasti, film ini cocok ditonton semua orang. Skor dariku untuk film ini adalah
9,5/10.
Kalau kalian ingin menonton film 1 Kakak 7 Ponakan, silakan tonton di bioskop-bioskop kesayangan kalian, khususnya kalau bioskop di kota kalian masih menayangkan filmnya. Sejauh ini, belum ada kabar film ini bisa ditonton di platform OTT apa, maka mari ditunggu ya. Kalian dapat menonton trailer-nya di bawah ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar