Identitas Buku
Judul
|
:
|
Perempuan
yang Menangis kepada Bulan Hitam
|
Penulis
|
:
|
Dian
Purnomo
|
Penerbit
|
:
|
Gramedia
Pustaka Utama
|
Tahun
terbit
|
:
|
2020
|
Cetakan
|
:
|
VI
|
Tebal
|
:
|
300
halaman
|
Harga
|
:
|
Rp99.000
|
ISBN
|
:
|
9786020648453
|
Genre
|
:
|
Fiksi kontemporer, fiksi
feminisme, drama
|
Tentang Penulis
Dian Purnomo lahir
dengan nama Dian Yuliarsi di Salatiga pada 19 Juli 1976. Dirinya telah serius
menulis sejak SMA, tetapi dia juga pernah bekerja di radio Prambors dan FeMale
Radio. Sepanjang kariernya, Dian Purnomo telah menerbitkan 9 novel dan antologi
cerpen.
Dian Purnomo adalah
alumni Kriminologi Universitas Indonesia, tempat ia belajar perlindungan anak
yang membuatnya banyak merenung dan menaruh perhatian pada isu-isu sosial
terkait perempuan dan anak-anak. Dia memiliki banyak pengalaman dalam
pergerakan aktivisme di bidang tersebut, di antaranya adalah mengerjakan isu
perempuan dan anak yang dipenjarakan di Pusaka PA dan Kriminologi UI; kekerasan
berbasis gender di Rutgers WPF Indonesia; pneumonia pada anak, disabilitas, dan
anak-anak yang tinggal di panti asuhan di Save the Children; migrasi aman,
kesehatan seksual reproduksi, dan lingkungan di OnTrack Media Indonesia.
Pengalaman-pengalamannya tersebut mengubah banyak tema karya-karyanya.
Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam menjadi karya comeback-nya setelah vakum menulis
selama enam tahun. Buku tersebut menjadi titik metamorfosis bagi karyanya yang
kini banyak bermuatan kritik sosial. Novel tersebut ditulisnya setelah
mendapatkan grant Residensi Penulis Indonesia 2019 selama enam minggu di
Sumba. Buku terbarunya yang berjudul Perempuan yang Menunggu di Lorong
Menuju Laut mengangkat kisah para perempuan di Sangihe yang melawan
industri tambang serta budaya patriarki yang menindas mereka.
Saat ini, Dian
Purnomo aktif menghidupkan Kelas Nulis di Taman, sebuah kelas menulis di ruang
terbuka yang bayarannya berupa mata uang kebaikan. Kalian dapat mengenal lebih
lanjut dan mengikuti kegiatan-kegiatan Dian Purnomo di media sosialnya, seperti
Instagram @dianpurnomo.
Sinopsis
Di Sumba, ada sebuah tradisi adat yang disebut kawin tangkap. Itu adalah
tradisi yang memungkinkan seorang laki-laki mengawini perempuan yang dia culik
dan tangkap agar menjadi istrinya. Meskipun sudah jarang sekali terjadi, di
zaman sekarang masih ada yang mempraktikkannya. Ketika hendak pergi melakukan
penyuluhan kepada petani di salah satu kampung di daerahnya, Magi Diela menjadi
korban kawin tangkap.
Magi ditangkap dan diculik seperti binatang oleh laki-laki hidung belang
yang usianya jauh lebih tua darinya. Sirna sudah impiannya untuk berkontribusi
membangun daerah asalnya. Keluarganya tak mampu menyelamatkannya karena itu
akan melawan adat yang begitu dijunjung tinggi masyarakatnya. Magi juga sudah
pasrah apakah Tuhan sekalipun dapat menolongnya. Kemudian, di tengah
keputusasaannya, Magi nekat berusaha mengakhiri hidupnya.
Di dalam cengkeraman budaya yang menindas kaum perempuan tersebut, Magi
berusaha melawan. Perlawanannya mewakili banyak pengalaman perempuan korban
kawin tangkap lainnya dan akan menginspirasi banyak perempuan lain di luar
sana. Dapatkah Magi membebaskan dirinya dari tradisi yang begitu tidak adil?
Kelebihan
Pertama-tama, aku akan sedikit menceritakan tradisi kawin tangkap ini
dulu berdasarkan yang diceritakan di buku. Kawin tangkap itu tradisi di wilayah
Sumba yang memungkinkan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang dia
tangkap dan culik agar menjadi istrinya. Tujuan tradisi ini adalah untuk
menyingkat rangkaian adat perkawinan yang rumit di masyarakat Sumba. Bagi yang
belum tahu, rangkaian adat perkawinan di banyak daerah di Indonesia itu rumit
dan mahal—itu tidak hanya di Sumba ya. Namun terkhusus di Sumba, kawin tangkap
ini bisa dibilang menjadi jalan pintas untuk memotong rangkaian adat tersebut.
Kemudian, kebanyakan kawin tangkap di zaman sekarang merupakan rekaan. Sebelum
kawin tangkap dilakukan, biasanya sudah ada kesepakatan antara laki-laki dengan
keluarga si perempuan, terutama ayahnya si perempuan. Meskipun begitu,
seringnya, si perempuan yang akan dikawini ini tidak tahu apa-apa soal
kesepakatan tersebut dan tidak dilibatkan sampai akhirnya dia ditangkap oleh si
laki-laki. Memang tradisi ini sudah makin jarang dipraktikkan, tetapi sekali
dua kali masih terjadi.
Saat membaca deskripsi tradisi kawin tangkap ini, aku merasa marah dan
sedih. Begitu tidak adilnya tradisi ini bagi kaum perempuan. Mereka diperlakukan
seperti objek yang tak memiliki nurani dan kehendak, seperti bukan manusia. Membaca
Magi ditangkap seperti binatang, bahkan kejadiannya pun digambarkan seakan
seperti kelompok berburu yang berhasil menangkap hewan buruan besar, membuatku
merasa sedih dan geram. Aku jadi tersadarkan bahwa penindasan terhadap
perempuan yang seperti itu ternyata masih ada. Aku lalu terpikir bahwa
penindasan yang demikian ternyata terjadi di sekitar kita. Di tempat berbeda,
berlaku adat yang berbeda, tetapi penindasan yang sama, hanya dalam bentuk yang
berbeda.
Oh iya, aku ingin tambahkan bahwa novel ini akan triggering bagi
beberapa orang karena adanya adegan-adegan percobaan bunuh diri, kekerasan, dan
pelecehan seksual, termasuk perkosaan. Pengalaman-pengalaman pahit Magi
tersebut terasa begitu jelas, vivid hingga membuat emosiku meluap-luap.
Aku mengumpat berulang kali saat membaca halaman demi halaman. Aku juga merasa
lelah dan sesak ketika harus melihat penderitaan Magi. Sebegitu singkat
kejadiannya, tetapi dampaknya menghancurkan seluruh jiwa Magi. Bahkan, hubungan
Magi dan orang tuanya pun jadi rusak oleh perbuatan bejat tersebut.
Penulis buku ini, Mba Dian Purnomo, menulis buku ini karena melihat
artikel tentang perempuan korban kawin tangkap beberapa tahun lalu. Dia lalu
ingin mengangkat pengalaman-pengalaman para perempuan korban kawin tangkap
tersebut agar didengar banyak orang. Aku pikir Mba Dian Purnomo berhasil
menyampaikan perasaan para korban tersebut kepada para pembaca. Emosi yang aku
rasakan begitu menggebu-gebu saat membaca buku ini. Biarpun ini fiksi, aku
sadar bahwa ini didasari pengalaman nyata banyak perempuan yang telah menjadi
korban, maka sulit untuk mengabaikannya bahkan setelah bukunya selesai dibaca.
Selain penggambaran pengalaman korban, Mba Dian Purnomo juga piawai
menggambarkan kehidupan dan budaya masyarakat Sumba yang menjadi latarnya.
Banyak dialog yang disampaikan dengan bahasa Sumba. Penjelasan tentang adat dan
kebudayaannya pun detail sehingga mampu memperkuat latarnya. Melalui deskripsi
tersebut, Mba Dian Purnomo juga turut menyisipkan permasalahan sosial
masyarakat di kampung-kampung di Sumba, seperti kemiskinan, pendidikan yang
masih rendah, sulitnya akses fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, buku ini juga dapat menjadi representasi sosial-budaya masyarakat
Sumba.
Itu juga merupakan penyegaran bagi cerita-cerita fiksi di Indonesia.
Jarang sekali aku membaca cerita fiksi Indonesia yang latarnya adalah
masyarakat kampung di Sumba. Biasanya yang kubaca itu remaja atau kelas pekerja
di Jabodetabek. Aku senang karena ada keberagaman dalam karya-karya fiksi
lokal.
Sementara itu, dari segi penokohan, tentu saja yang menjadi bintang utama
adalah Magi. Dia sosok yang begitu penuh harapan, kuat, dan tabah. Aku salut
melihat ketabahannya menghadapi itu semua. Dengan bantuan support system-nya,
tentu saja, Magi jadi kuat melalui cobaan dalam hidupnya tersebut. Dia pun jadi
berkembang dan tak lagi melihat situasinya dalam keputusasaan. (Spoiler
alert) perlawanannya membawa dirinya pergi jauh meninggalkan rumah, yang
lalu mempertemukannya dengan perempuan-perempuan lain yang juga penyintas
kekerasan seksual. Dari situ, Magi terinspirasi untuk melawan dengan cerdas,
yang pada akhirnya mungkin menginspirasi banyak pembaca perempuan juga. Magi
Diela adalah tokoh yang luar biasa, bahkan lebih daripada itu.
Tokoh lain yang menurutku menarik untuk dibahas adalah ayahnya Magi (maaf
aku lupa namanya siapa). Bisa dibilang, ayahnya Magi telah mengkhianati Magi
karena membiarkan Magi dikawini laki-laki hidung belang. Bahkan, setelah Magi
hampir mati bunuh diri, ayahnya tetap menyalahkan Magi. Magi dinilai membawa
malu karena melanggar adat.
Di zaman modern sekarang, ketika ilmu parenting sudah bisa kita
akses dengan mudah, tentu kita akan marah kepada ayahnya Magi. Akan tetapi, jika
mempertimbangkan konteks dan latar ceritanya, aku merasa bisa mengerti mengapa
ayahnya Magi malu digosipkan tetangga kampung mereka—maklum saja, populasi di
tiap kampung pasti sedikit sehingga gosip menyebar cepat, apalagi Magi telah
melawan adat yang begitu dijunjung tinggi masyarkat sana yang mengimaninya
sebagai kepercayaan. Namun, tetap saja aku tidak membenarkan sikap ayahnya Magi
tersebut, terutama (spoiler alert) ketika dia ingin memutus hubungan
dengan Magi yang memilih kabur dari rumah. Apa sebegitu pentingnya ego dan harga
diri ketimbang putrinya, darah dagingnya? Kita bisa memahami alasan seseorang
melakukan hal buruk atau salah, tetapi tidak lantas bisa membenarkannya atau
menjustifikasinya.
Terakhir, buku ini memiliki kritik sosial yang bagus. Tentu saja kritik
terhadap masyarakat patriarkinya begitu kuat. Melalui kebudayaan masyarakat
Sumba yang diangkat buku ini, kita meliaht bagaimana sistem masyarakat yang
patriarki memperlakukan perempuan secara tidak adil. Jangankan membenarkan
tindak kekerasan seksual, rumah adat Sumba saja memiliki beberapa pintu yang
dilarang dilewati perempuan. Ada beberapa pintu di rumah adat mereka yang hanya
boleh dilewati laki-laki. Sangat diskriminatif kan?
Di samping itu, buku ini pun menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang
patriarki, kekerasan menjadi bahasa laki-laki. Di dalam buku ini beberapa kali
disajikan para laki-laki yang sedikit-sedikit naik pitam dan langsung angkat
golok. “Kita selesaikan secara jantan” yang sama artinya dengan menyelesaikan
secara berkelahi kerap diromantisasi; padahal masyarkat yang berpendidikan dan
cerdas pasti menyelesaikan masalah dengan komunikasi yang baik dan tentu saja,
kepala dingin.
Akan tetapi, kritik sosial yang paling disorot adalah bahwa tidak semua
tradisi dan adat sebaiknya dilestarikan. Kita tentu sudah sering mendengar
ajakan melestarikan tradisi dan adat, tetapi kenyataannya, tidak semua tradisi
dan adat perlu dilestarikan. Ketika zaman berubah, kondisi sosial masyarakat
berubah, maka tradisi dan adat juga harus berubah menyesuaikan perkembangan
zaman. Yang berarti tidak semua tradisi dan adat harus dipertahankan, apalagi
jika itu bersifat diskriminatif dan tidak adil, contohnya tradisi kawin
tangkap. Jangan bersembunyi di balik kata “adat” ketika ingin melakukan tindak
kejahatan dan ketidakadilan, karena mau adat ataupun bukan, jika itu perbuatan
yang menyakiti orang lain, itu tetaplah perbuatan jahat.
Kelemahan
Aku akan bilang bahwa buku ini hampir tidak memiliki kelemahan. Buku ini
bagus—bagus banget malah. Aku menikmati ceritanya dari awal sampai
akhir.
Mungkin yang terasa agak kurang ada di akhir, di bagian penutup. Setelah
konflik selesai, ada sedikit adegan kehidupan Magi setelahnya. Masih ada
masalah lain yang harus Magi hadapi, tetapi itu hanya dimunculkan bagai tease.
Mba Dian Purnomo sepertinya tidak akan melanjutkan kisah Magi, tetapi karena
akhir bukunya seperti itu, aku merasa ceritanya seperti tanggung. Seharusnya
tidak usah ada tease tersebut. Namun selain dari itu, buku ini sudah oke
dan direkomendasikan sekali.
Kesimpulan
Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam
adalah sebuah karya fiksi yang patut dibaca semua orang, dari remaja sampai
dewasa. Melalui kisah Magi Diela, seorang perempuan korban kawin tangkap, kita
dapat melihat bagaimana patriarki menindas perempuan. Begitu berat cobaan yang
harus Magi hadapi, mulai dari kekerasan seksual, gosip tetangga dan fitnah,
sampai kekerasan fisik; tetapi itu tak menyurutkan semangatnya untuk berkembang
dan melawan. Benar-benar sosok perempuan yang luar baisa.
Novel ini pun mampu
memotret kondisi sosial budaya masyarakat Sumba dengan segala sistem
kepercayaan serta adatnya. Penggambaran latar budaya Sumba tersebut begitu kuat
dan jelas, sangat membantuku memahami konteks ceritanya. Selain itu, Mba Dian
Purnomo sebagai penulis juga mampu menyisipkan isu-isu sosial di Sumba dengan
sangat baik.
Buku ini juga
dengan sangat cerdas dan tegas serta penuh empati mengkritik tradisi-tradisi
yang bersifat menindas dan diskriminatif. Tidak semua tradisi patut
dilestarikan, terutama jika tradisi tersebut menimbulkan ketidakadilan. Itulah
kritik utama buku ini. Meskipun akhir ceritanya menggantung sedikit, cerita
buku ini begitu nagih. Emosimu pasti akan meluap-luap saat membaca kisah
Magi.
Oleh karena itu,
skor untuk buku ini adalah 9,6/10. Aku
merekomendasikan semua orang membaca buku ini. Namun, perlu diingatkan bahwa
ada adegan yang triggering di dalamnya, seperti percobaan bunuh diri,
pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan fisik.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar