A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam: Kisah Pilu Seorang Gadis yang Menjadi Korban Ketidakadilan Sebuah Tradisi

Identitas Buku

Judul

:

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Penulis

:

Dian Purnomo

Penerbit

:

Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit

:

2020

Cetakan

:

VI

Tebal

:

300 halaman

Harga

:

Rp99.000

ISBN

:

9786020648453

Genre

:

Fiksi kontemporer, fiksi feminisme, drama

 

Tentang Penulis

Dian Purnomo lahir dengan nama Dian Yuliarsi di Salatiga pada 19 Juli 1976. Dirinya telah serius menulis sejak SMA, tetapi dia juga pernah bekerja di radio Prambors dan FeMale Radio. Sepanjang kariernya, Dian Purnomo telah menerbitkan 9 novel dan antologi cerpen.

Dian Purnomo adalah alumni Kriminologi Universitas Indonesia, tempat ia belajar perlindungan anak yang membuatnya banyak merenung dan menaruh perhatian pada isu-isu sosial terkait perempuan dan anak-anak. Dia memiliki banyak pengalaman dalam pergerakan aktivisme di bidang tersebut, di antaranya adalah mengerjakan isu perempuan dan anak yang dipenjarakan di Pusaka PA dan Kriminologi UI; kekerasan berbasis gender di Rutgers WPF Indonesia; pneumonia pada anak, disabilitas, dan anak-anak yang tinggal di panti asuhan di Save the Children; migrasi aman, kesehatan seksual reproduksi, dan lingkungan di OnTrack Media Indonesia. Pengalaman-pengalamannya tersebut mengubah banyak  tema karya-karyanya.

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam menjadi karya comeback-nya setelah vakum menulis selama enam tahun. Buku tersebut menjadi titik metamorfosis bagi karyanya yang kini banyak bermuatan kritik sosial. Novel tersebut ditulisnya setelah mendapatkan grant Residensi Penulis Indonesia 2019 selama enam minggu di Sumba. Buku terbarunya yang berjudul Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut mengangkat kisah para perempuan di Sangihe yang melawan industri tambang serta budaya patriarki yang menindas mereka.

Saat ini, Dian Purnomo aktif menghidupkan Kelas Nulis di Taman, sebuah kelas menulis di ruang terbuka yang bayarannya berupa mata uang kebaikan. Kalian dapat mengenal lebih lanjut dan mengikuti kegiatan-kegiatan Dian Purnomo di media sosialnya, seperti Instagram @dianpurnomo.

 

Sinopsis

Di Sumba, ada sebuah tradisi adat yang disebut kawin tangkap. Itu adalah tradisi yang memungkinkan seorang laki-laki mengawini perempuan yang dia culik dan tangkap agar menjadi istrinya. Meskipun sudah jarang sekali terjadi, di zaman sekarang masih ada yang mempraktikkannya. Ketika hendak pergi melakukan penyuluhan kepada petani di salah satu kampung di daerahnya, Magi Diela menjadi korban kawin tangkap.

Magi ditangkap dan diculik seperti binatang oleh laki-laki hidung belang yang usianya jauh lebih tua darinya. Sirna sudah impiannya untuk berkontribusi membangun daerah asalnya. Keluarganya tak mampu menyelamatkannya karena itu akan melawan adat yang begitu dijunjung tinggi masyarakatnya. Magi juga sudah pasrah apakah Tuhan sekalipun dapat menolongnya. Kemudian, di tengah keputusasaannya, Magi nekat berusaha mengakhiri hidupnya.

Di dalam cengkeraman budaya yang menindas kaum perempuan tersebut, Magi berusaha melawan. Perlawanannya mewakili banyak pengalaman perempuan korban kawin tangkap lainnya dan akan menginspirasi banyak perempuan lain di luar sana. Dapatkah Magi membebaskan dirinya dari tradisi yang begitu tidak adil?

 

Kelebihan

Pertama-tama, aku akan sedikit menceritakan tradisi kawin tangkap ini dulu berdasarkan yang diceritakan di buku. Kawin tangkap itu tradisi di wilayah Sumba yang memungkinkan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang dia tangkap dan culik agar menjadi istrinya. Tujuan tradisi ini adalah untuk menyingkat rangkaian adat perkawinan yang rumit di masyarakat Sumba. Bagi yang belum tahu, rangkaian adat perkawinan di banyak daerah di Indonesia itu rumit dan mahal—itu tidak hanya di Sumba ya. Namun terkhusus di Sumba, kawin tangkap ini bisa dibilang menjadi jalan pintas untuk memotong rangkaian adat tersebut. Kemudian, kebanyakan kawin tangkap di zaman sekarang merupakan rekaan. Sebelum kawin tangkap dilakukan, biasanya sudah ada kesepakatan antara laki-laki dengan keluarga si perempuan, terutama ayahnya si perempuan. Meskipun begitu, seringnya, si perempuan yang akan dikawini ini tidak tahu apa-apa soal kesepakatan tersebut dan tidak dilibatkan sampai akhirnya dia ditangkap oleh si laki-laki. Memang tradisi ini sudah makin jarang dipraktikkan, tetapi sekali dua kali masih terjadi.

Saat membaca deskripsi tradisi kawin tangkap ini, aku merasa marah dan sedih. Begitu tidak adilnya tradisi ini bagi kaum perempuan. Mereka diperlakukan seperti objek yang tak memiliki nurani dan kehendak, seperti bukan manusia. Membaca Magi ditangkap seperti binatang, bahkan kejadiannya pun digambarkan seakan seperti kelompok berburu yang berhasil menangkap hewan buruan besar, membuatku merasa sedih dan geram. Aku jadi tersadarkan bahwa penindasan terhadap perempuan yang seperti itu ternyata masih ada. Aku lalu terpikir bahwa penindasan yang demikian ternyata terjadi di sekitar kita. Di tempat berbeda, berlaku adat yang berbeda, tetapi penindasan yang sama, hanya dalam bentuk yang berbeda.

Oh iya, aku ingin tambahkan bahwa novel ini akan triggering bagi beberapa orang karena adanya adegan-adegan percobaan bunuh diri, kekerasan, dan pelecehan seksual, termasuk perkosaan. Pengalaman-pengalaman pahit Magi tersebut terasa begitu jelas, vivid hingga membuat emosiku meluap-luap. Aku mengumpat berulang kali saat membaca halaman demi halaman. Aku juga merasa lelah dan sesak ketika harus melihat penderitaan Magi. Sebegitu singkat kejadiannya, tetapi dampaknya menghancurkan seluruh jiwa Magi. Bahkan, hubungan Magi dan orang tuanya pun jadi rusak oleh perbuatan bejat tersebut.

Penulis buku ini, Mba Dian Purnomo, menulis buku ini karena melihat artikel tentang perempuan korban kawin tangkap beberapa tahun lalu. Dia lalu ingin mengangkat pengalaman-pengalaman para perempuan korban kawin tangkap tersebut agar didengar banyak orang. Aku pikir Mba Dian Purnomo berhasil menyampaikan perasaan para korban tersebut kepada para pembaca. Emosi yang aku rasakan begitu menggebu-gebu saat membaca buku ini. Biarpun ini fiksi, aku sadar bahwa ini didasari pengalaman nyata banyak perempuan yang telah menjadi korban, maka sulit untuk mengabaikannya bahkan setelah bukunya selesai dibaca.

Selain penggambaran pengalaman korban, Mba Dian Purnomo juga piawai menggambarkan kehidupan dan budaya masyarakat Sumba yang menjadi latarnya. Banyak dialog yang disampaikan dengan bahasa Sumba. Penjelasan tentang adat dan kebudayaannya pun detail sehingga mampu memperkuat latarnya. Melalui deskripsi tersebut, Mba Dian Purnomo juga turut menyisipkan permasalahan sosial masyarakat di kampung-kampung di Sumba, seperti kemiskinan, pendidikan yang masih rendah, sulitnya akses fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, buku ini juga dapat menjadi representasi sosial-budaya masyarakat Sumba.

Itu juga merupakan penyegaran bagi cerita-cerita fiksi di Indonesia. Jarang sekali aku membaca cerita fiksi Indonesia yang latarnya adalah masyarakat kampung di Sumba. Biasanya yang kubaca itu remaja atau kelas pekerja di Jabodetabek. Aku senang karena ada keberagaman dalam karya-karya fiksi lokal.

Sementara itu, dari segi penokohan, tentu saja yang menjadi bintang utama adalah Magi. Dia sosok yang begitu penuh harapan, kuat, dan tabah. Aku salut melihat ketabahannya menghadapi itu semua. Dengan bantuan support system-nya, tentu saja, Magi jadi kuat melalui cobaan dalam hidupnya tersebut. Dia pun jadi berkembang dan tak lagi melihat situasinya dalam keputusasaan. (Spoiler alert) perlawanannya membawa dirinya pergi jauh meninggalkan rumah, yang lalu mempertemukannya dengan perempuan-perempuan lain yang juga penyintas kekerasan seksual. Dari situ, Magi terinspirasi untuk melawan dengan cerdas, yang pada akhirnya mungkin menginspirasi banyak pembaca perempuan juga. Magi Diela adalah tokoh yang luar biasa, bahkan lebih daripada itu.

Tokoh lain yang menurutku menarik untuk dibahas adalah ayahnya Magi (maaf aku lupa namanya siapa). Bisa dibilang, ayahnya Magi telah mengkhianati Magi karena membiarkan Magi dikawini laki-laki hidung belang. Bahkan, setelah Magi hampir mati bunuh diri, ayahnya tetap menyalahkan Magi. Magi dinilai membawa malu karena melanggar adat.

Di zaman modern sekarang, ketika ilmu parenting sudah bisa kita akses dengan mudah, tentu kita akan marah kepada ayahnya Magi. Akan tetapi, jika mempertimbangkan konteks dan latar ceritanya, aku merasa bisa mengerti mengapa ayahnya Magi malu digosipkan tetangga kampung mereka—maklum saja, populasi di tiap kampung pasti sedikit sehingga gosip menyebar cepat, apalagi Magi telah melawan adat yang begitu dijunjung tinggi masyarkat sana yang mengimaninya sebagai kepercayaan. Namun, tetap saja aku tidak membenarkan sikap ayahnya Magi tersebut, terutama (spoiler alert) ketika dia ingin memutus hubungan dengan Magi yang memilih kabur dari rumah. Apa sebegitu pentingnya ego dan harga diri ketimbang putrinya, darah dagingnya? Kita bisa memahami alasan seseorang melakukan hal buruk atau salah, tetapi tidak lantas bisa membenarkannya atau menjustifikasinya.

Terakhir, buku ini memiliki kritik sosial yang bagus. Tentu saja kritik terhadap masyarakat patriarkinya begitu kuat. Melalui kebudayaan masyarakat Sumba yang diangkat buku ini, kita meliaht bagaimana sistem masyarakat yang patriarki memperlakukan perempuan secara tidak adil. Jangankan membenarkan tindak kekerasan seksual, rumah adat Sumba saja memiliki beberapa pintu yang dilarang dilewati perempuan. Ada beberapa pintu di rumah adat mereka yang hanya boleh dilewati laki-laki. Sangat diskriminatif kan?

Di samping itu, buku ini pun menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang patriarki, kekerasan menjadi bahasa laki-laki. Di dalam buku ini beberapa kali disajikan para laki-laki yang sedikit-sedikit naik pitam dan langsung angkat golok. “Kita selesaikan secara jantan” yang sama artinya dengan menyelesaikan secara berkelahi kerap diromantisasi; padahal masyarkat yang berpendidikan dan cerdas pasti menyelesaikan masalah dengan komunikasi yang baik dan tentu saja, kepala dingin.

Akan tetapi, kritik sosial yang paling disorot adalah bahwa tidak semua tradisi dan adat sebaiknya dilestarikan. Kita tentu sudah sering mendengar ajakan melestarikan tradisi dan adat, tetapi kenyataannya, tidak semua tradisi dan adat perlu dilestarikan. Ketika zaman berubah, kondisi sosial masyarakat berubah, maka tradisi dan adat juga harus berubah menyesuaikan perkembangan zaman. Yang berarti tidak semua tradisi dan adat harus dipertahankan, apalagi jika itu bersifat diskriminatif dan tidak adil, contohnya tradisi kawin tangkap. Jangan bersembunyi di balik kata “adat” ketika ingin melakukan tindak kejahatan dan ketidakadilan, karena mau adat ataupun bukan, jika itu perbuatan yang menyakiti orang lain, itu tetaplah perbuatan jahat.

 

Kelemahan

Aku akan bilang bahwa buku ini hampir tidak memiliki kelemahan. Buku ini bagus—bagus banget malah. Aku menikmati ceritanya dari awal sampai akhir.

Mungkin yang terasa agak kurang ada di akhir, di bagian penutup. Setelah konflik selesai, ada sedikit adegan kehidupan Magi setelahnya. Masih ada masalah lain yang harus Magi hadapi, tetapi itu hanya dimunculkan bagai tease. Mba Dian Purnomo sepertinya tidak akan melanjutkan kisah Magi, tetapi karena akhir bukunya seperti itu, aku merasa ceritanya seperti tanggung. Seharusnya tidak usah ada tease tersebut. Namun selain dari itu, buku ini sudah oke dan direkomendasikan sekali.

 

Kesimpulan

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam adalah sebuah karya fiksi yang patut dibaca semua orang, dari remaja sampai dewasa. Melalui kisah Magi Diela, seorang perempuan korban kawin tangkap, kita dapat melihat bagaimana patriarki menindas perempuan. Begitu berat cobaan yang harus Magi hadapi, mulai dari kekerasan seksual, gosip tetangga dan fitnah, sampai kekerasan fisik; tetapi itu tak menyurutkan semangatnya untuk berkembang dan melawan. Benar-benar sosok perempuan yang luar baisa.

Novel ini pun mampu memotret kondisi sosial budaya masyarakat Sumba dengan segala sistem kepercayaan serta adatnya. Penggambaran latar budaya Sumba tersebut begitu kuat dan jelas, sangat membantuku memahami konteks ceritanya. Selain itu, Mba Dian Purnomo sebagai penulis juga mampu menyisipkan isu-isu sosial di Sumba dengan sangat baik.

Buku ini juga dengan sangat cerdas dan tegas serta penuh empati mengkritik tradisi-tradisi yang bersifat menindas dan diskriminatif. Tidak semua tradisi patut dilestarikan, terutama jika tradisi tersebut menimbulkan ketidakadilan. Itulah kritik utama buku ini. Meskipun akhir ceritanya menggantung sedikit, cerita buku ini begitu nagih. Emosimu pasti akan meluap-luap saat membaca kisah Magi.

Oleh karena itu, skor untuk buku ini adalah 9,6/10.  Aku merekomendasikan semua orang membaca buku ini. Namun, perlu diingatkan bahwa ada adegan yang triggering di dalamnya, seperti percobaan bunuh diri, pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan fisik. 

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!

Komentar