A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Hujan: Ketika Cinta Bersemi di Post-Apocalypse dan Krisis Iklim

Identitas Buku

Judul

:

Hujan

Penulis

:

Tere Liye

Penerbit

:

PT Sabak Grip Nusantara

Tahun terbit

:

2018 (versi sebelumnya terbit pertama kali pada 2016)

Cetakan

:

VI

Tebal

:

320 halaman

Harga

:

Rp76.500,-

ISBN

:

978239987879

Genre

:

Apokalips, coming of age, romantis, distopia, fiksi ilmiah

 

Tentang Penulis

Tere Liye adalah seorang penulis novel ternama dari Indonesia, dengan nama asli Darwis. Dia lahir di pedalaman Sumatera pada tanggal 21 Mei 1979. Dia adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Tere Liye sudah melahirkan 50 buku, dan banyak karyanya termasuk bestseller. Namun, sebelumnya dia bekerja sebagai akuntan. Berkat hobinya membaca dan menulis, Tere Liye akhirnya terjun ke dunia kepenulisan. Buku debutnya adalah Hafalan Shalat Delisa (2005). Buku-buku best-seller-nya yang lain adalah Moga Bunda Disayang Allah (2006), Bidadari-Bidadari Surga (2008)[1], dan Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010). Beberapa judul tersebut bahkan telah diangkat ke layar lebar.

Selain itu, Tere Liye juga terkenal dengan buku bertema dunia paralelnya yang kini sudah terdiri atas 14 sekuel. Hujan (2016) sendiri adalah salah satu karyanya yang banyak mendapat review positif dari pembaca.  

 

Sinopsis

Pada tahun 2042, umat manusia dikejutkan dengan bencana yang tak terpikirkan sebelumnya. Sebuah gunung berapi purba meletus. Letusannya teramat kuat sampai menyebabkan gempa bumi dahsyat yang meluluhlantahkan dua benua, menimbulkan tsunami yang menyapu banyak kota di pesisir pantai di berbagai belahan dunia, dan memuntahkan abu yang menyelimuti atmosfer dan menghalangi sinar matahari.

Pada saat kejadian itu, Lail sedang berada di kereta bawah tanah. Anak perempuan 13 tahun itu sedang bersama ibunya, tetapi malang sekali nasibnya, sang ibu tewas dalam musibah tersebut. Lail berhasil selamat berkat ditolong anak laki-laki 15 tahun—namanya Esok. Sama sepertinya, Esok juga kehilangan keempat kakaknya dalam bencana tersebut; hanya ibunya yang selamat meski terluka parah.

Sampul versi edisi 2016
Lail yang masih sangat kecil, yang terpaksa menjadi yatim piatu, sangat sedih dan sulit menerima kenyataan itu. Di tempat pengungsian, Esok selalu menemaninya serta berusaha menghiburnya. Dan Lail selalu bersyukur dengan keberadaan Esok di sisinya.

Waktu berlalu, tahun berganti tahun, mereka yang selamat berusaha bangkit dari keterpurukan. Waktu berlalu, tahun berganti tahun, Lail dan Esok tumbuh menjadi remaja. Namun, perasaan Lail terhadap Esok juga tumbuh semakin besar, bukan lagi perasaan seorang adik untuk kakaknya. Lail ingin agar Esok menyadari perasaannya, dan melihatnya.

 


Kelebihan

Hujan adalah novel yang brilian! Aku berani mengatakan itu meski alasannya sangat subjektif, hahaha. Namun, dibandingkan beberapa novel karya Tere Liye yang lain yang sudah kubaca (kebanyakan adalah serial BUMI), Hujan memiliki banyak keunikan dan daya tarik.

Pertama, buku ini sebenarnya bergenre coming of age-romantis. Namun, latar tempatnya adalah dunia pascabencana, dunia tempat peradaban manusia luluh lantah oleh kekuatan alam. Itu adalah pendekatan yang sangat unik dan menarik. Walau cerita apokalips sudah banyak, meski kebanyakan adalah cerita petualangan-action, belum pernah aku membaca (atau menonton) cerita coming of age-romantis dengan pendekatan bencana alam seperti itu.

Ada banyak sekali insight bagus dari buku ini, tapi sebelum aku masuk ke situ, aku ingin membicarakan tokoh utamanya terlebih dahulu. Cerita ini utamanya adalah tentang Lail, tentang hidupnya pascabencana mengerikan tersebut. Astaga, dia adalah tokoh yang sangat kasihan. (Spoiler alert) di usianya yang baru 13 tahun, dia harus mengalami peristiwa mengerikan tersebut, kehilangan ibunya tepat di depan matanya. Dia juga harus kehilangan ayahnya pada hari yang sama. Maka dari itu, bagian awal buku ini adalah tragedi demi tragedi bagi Lail.

Akan tetapi, dia berhasil bangkit dari keterpurukan tersebut, berkat Esok yang senantiasa mendampinginya. Meski pada beberapa hari pertama Lail hanya bersedih dan murung—yang sangat bisa dimaklumi—pada akhirnya dia bisa berfokus pada hal-hal positif yang ada. Itu bukan proses mudah untuk bisa menerima nasib seperti itu. Namun, yang lebih membanggakan lagi adalah nantinya Lail tumbuh menjadi orang yang menyelamatkan ribuan nyawa, menjadi sosok yang menginspirasi banyak orang di sepenjuru negeri. Itu adalah hal yang sangat membanggakan.

Selain itu, hal menarik tentang karakter Lail adalah bahwa sehebat apapun dirinya, ia tetap tak berdaya kalau urusan cinta. Dia tetap saja menjadi gadis yang galau memikirkan lelaki yang dia suka. Dia bingung apakah dia harus chat duluan atau tidak. Dia bingung apakah lelaki itu punya rasa yang sama untuknya atau tidak. Rupanya, setelah tahun 2042, setelah dunia hampir hancur oleh gunung meletus, hal-hal seperti itu masih saja dirisaukan orang-orang—atau setidaknya oleh Lail, hahaha. Seperti apa kata buku ini:

“Bagi orang-orang yang sedang menyimpan perasaan, ternyata bukan soal besok kiamat saja yang bisa membuatnya panik, susah hati. Cukup hal kecil seperti jaringan komunikasi terputus, genap sudah untuk membuatnya nelangsa.” (p. 212)

Maka dari itu, karakter Lail terasa manusiawi. Seandainya setelah kehilangan yang ia alami, Lail digambarkan sebagai pahlawan hebat yang sempurna, pasti karakternya tak akan terasa se-relate ini.

Bukan hanya Lail, ada beberapa tokoh pendukung yang cukup menarik. Aku cukup menyukai karakter Ibu Suri si pengelola panti sosial. Dia memang tidak banyak muncul, tetapi tiap kali dia muncul selalu ada kelucuan yang bisa membuatku tersenyum. Berikutnya, tentu saja adalah Maryam, teman sekamar/sahabat Lail. She is the best friend you could ask! Dia kocak dan mengagumkan sekaligus. Dialog-dialognya itu selalu lucu, tetapi dia juga cukup bijaksana ketika membantu Lail dengan segala kegalauannya. Pasti kalian punya teman seperti Maryam yang bisa lebih rasional ketika menanggapi curhat galau kalian soal cinta, ya kan?

Kemudian, aku suka dengan romance tipis-tipis antara Lail dan Esok. Buku ini memang tak menunjukkan romance yang terang-terangan, tetapi pembaca tetap bisa merasakannya. Aku begitu kagum pada Lail yang bisa menghargai setiap detik momennya bersama Esok meski itu hanya satu jam dalam setahun (orang yang LDR harus bisa belajar dari Lail!). Di antara semua momen Lail dan Esok, aku paling suka (spoiler alert) ketika Esok tiba-tiba datang ke acara kelulusan pelatihan Organisasi Relawan. Aku sama terkejutnya dengan Lail dan turut merasakan kebahagiaan yang Lail rasakan.

Selanjutnya, mari kita bicarakan tentang insights menarik yang sempat kusinggung di atas. Pertama, buku ini memulai cerita dengan menyuguhkan isu ledakan populasi[2] atau overpopulation yang sebenarnya sudah menjadi masalah hari ini. Pertumbuhan populasi manusia di planet ini memang begitu pesat hanya dalam beberapa ratus tahun terakhir. Dalam buku Hujan ini, sempat disinggung bahwa populasi berlebih tersebut dapat menimbulkan bahaya, salah satunya kerusakan alam.

Kedua, meletuslah gunung purba tersebut, menghancurkan peradaban manusia di dua benua. Bahkan, dengan kecanggihan teknologi tahun 2042 sebagaimana yang tergambar dalam cerita tersebut sekalipun, manusia masih terpuruk sekali oleh bencana alam. Itu adalah gambaran pembangunan yang tidak memperhitungkan risiko bencana alam.

Oke, mungkin bencana seperti itu tidak akan kita rasakan (semoga tidak), tetapi bencana alam dengan skala yang lebih kecil tetap kita alami dan kerusakannya yang diakibatkannya tetap buruk. Dari yang aku lihat di buku ini, pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan dan aspek mitigasi bencana alam sangatlah penting. Kita tidak pernah tahu kapan bencana alam datang, maka pembangunan yang kita lakukan harus bisa memitigasinya. Apalagi di daerah-daerah yang rawan bencana, seperti Indonesia.

Ketiga, selain gunung meletus, (spoiler alert) bencana alam berikutnya yang menyerang manusia adalah perubahan iklim. Sekadar informasi, bumi sudah pernah menghadapi kepunahan massal[3] sebanyak lima kali dan salah satu akibat dari peristiwa kepunahan massal adalah perubahan iklim global. Abu dari letusan gunung berapi memenuhi atmosfer, menghalangi sinar matahari sehingga suhu bumi turun. Bahkan, daerah tropis pun berubah menjadi dingin, apalagi daerah subtropis. Aku mengapresiasi Tere Liye yang memperhatikan detail rantai konsekuensi tersebut.

Oh iya, yang lebih menariknya lagi, (spoiler alert) dalam buku ini, perubahan iklim dipicu oleh tindakan manusia, tepatnya negara-negara subtropis yang kita tahu kebanyakan adalah negara maju, lalu diikuti oleh negara-negara tropis yang kebanyakan adalah negara berkembang. Itu “merepresentasikan” perubahan iklim yang terjadi di dunia kita saat ini. Pemicu awalnya adalah penggunaan energi fosil secara berlebihan oleh negara-negara maju, lalu kini negara-negara berkembang pun sedang mengikuti jejak tersebut. Itu seperti sebuah sindiran halus bagi siapapun yang membaca buku ini.

Perubahan iklim yang terjadi di novel Hujan mungkin agak berbeda dengan perubahan iklim yang saat ini terjadi di dunia kita—yang satu pendinginan global (global cooling) dan yang satu pemanasan global (global warming). Akan tetapi, pelajaran yang terkandung dalam cerita ini tetap relevan. Novel Hujan menunjukkan bahwa perubahan iklim akan memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, mulai dari ketahanan pangan, ekonomi, sosial, sampai politik dan pemerintahan.

Hal menarik lainnya dari buku ini terkait problem tersebut adalah bahwa dibutuhkan cara berpikir yang berjangka panjang untuk meresponsnya, bukan jangka pendek, sebagaimana yang sempat disinggung oleh Esok. Selain itu, buku ini juga menyiratkan bahwa dibutuhkan keinginan politik (political will) dari pihak yang berkuasa untuk menyelesaikannya karena peran mereka sangat signifikan. Itu dapat dimulai dengan mendengarkan pendapat para ahli dan akademisi. Kemudian, dibutuhkan kerja sama semua pihak, mulai dari masyarakat kecil, akademisi, sampai pemerintah dan orang-orang kaya untuk menyelesaikan ini. Menuruti ego dan kepentingan sendiri malah bisa memperburuk keadaan.

Itulah insights menarik yang kudapat dari buku ini. Walau bencana alam yang dialami Lail dan Esok berbeda dengan masalah kita hari ini, insight yang disampaikan tersebut sangat relevan jika kita masih ingin selamat. Aku menyukai sebuah kutipan dari buku ini:

“Alam menjaga keseimbangannya dengan caranya sendiri.” (p. 33)

Ya, kita tidak perlu risau menyelamatkan bumi karena bumi akan memulihkan dirinya. Namun, bisa jadi caranya untuk kembali pulih adalah dengan memusnahkan umat manusia. Maka dari itu, sejatinya peduli pada kelestarian lingungan, peduli pada isu krisis iklim adalah peduli pada kelestarian umat manusia sendiri.

 

Kelemahan

Kelemahan buku ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Pertama, aku sedikit kurang setuju dengan penggambaran karakter Esok yang menyimpan segalanya sendiri. Oke, (spoiler alert) aku paham bahwa proyek yang Esok kerjakan adalah super rahasia; tetapi di akhir, ketika dia telah membocorkan segalanya ke Lail, seharusnya dia bisa berterus terang tentang perasaannya ke Lail, alih-alih dia hilang tanpa kabar dan menimbulkan kesalahpahaman. Mengapa seakan Esok harus selalu merahasiakan segalanya dari Lail? Terlebih lagi, dibandingkan dengan pendalaman karakter Lail, pendalaman karakter Esok kalah jauh, sehingga jomplang sekali.

Kedua, bagi kalian yang sudah membaca beberapa buku Tere Liye, mungkin kalian akan merasakan kemiripan antara Lail, Esok, dan Maryam dengan tokoh-tokoh novel Tere Liye yang lain. Aku pribadi, yang hanya membaca serial BUMI dan Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010), merasa ketiga tokoh utama novel ini mirip dengan tokoh-tokoh di buku-buku tersebut. Itu membuatnya terasa generik dan mudah diprediksi.

Ketiga, ini adalah detail yang aku tidak setuju, yaitu (spoiler alert) ketika Esok “mencuri” mobil demi mengejar Lail di bagian akhir buku. Diceritakan bahwa Esok memiliki “lisensi” yang memungkinkannya mengoperasikan mobil manapun. Ya, dia punya lisensi untuk mencuri mobil orang hanya karena dia yang menciptakan mesinnya. Yang Tere Liye lakukan pada bagian itu adalah oversimplification ‘penyederhanaan berlebihan’ agar masalah bisa diselesaikan segera.

Keempat, bagian akhir buku ini terasa sedikit kurang memuaskan. (Spoiler alert) di detik-detik terakhir, Lail dapat menerima segala yang terjadi padanya, mengubahnya menjadi memori indah. Proses penerimaan tersebut pasti sangat sulit dan bisa jadi sangat indah. Namun, bagian itu tak diceritakan—kita hanya diberi tahu akhirnya ketika Lail sudah berubah pikiran.

Alih-alih melihat Esok yang panik memaksa masuk, aku merasa seharusnya Tere Liye fokus pada proses penerimaan yang terjadi dalam pikiran Lail. Aku yakin proses tersebut, momen ketika Lail bisa menerima segala yang terjadi dalam hidupnya sehingga mengubahnya menjadi memori indah, dapat menjadi titik puncak perkembangan karakter Lail.

 

Kesimpulan

Hujan adalah sebuah cerita coming of age-romantis yang memiliki pendekatan sangat menarik. Dengan menyajikan peristiwa bencana alam skala global di awal, buku ini dibuka dengan tragis. Namun, perjalanan hidup Lail setelahnya terasa begitu mengagumkan. Apalagi, kisah cintanya dengan Esok yang begitu “halus” akan membuat pembaca gemas dan senyum-senyum sendiri. Kemudian, Maryam sebagai tokoh pendamping pun tak kalah menarik perhatian. Dia selalu bisa menghibur pembaca dengan kelakuan konyolnya.

Namun, bagiku pribadi, daya tarik utama buku ini adalah insight-nya mengenai isu lingkungan. Buku ini secara tersirat mengingatkan pembaca bahwa jika pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan aspek lingkungan, dalam jangka panjang itu akan merugikan manusia sendiri. Oleh karena itu, aku memberi skor 9/10 untuk novel karya Tere Liye yang satu ini.

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!              


[1] Telah berganti judul menjadi Dia Adalak Kakakku.

[2] Ledakan populasi adalah konsep mengenai populasi manusia menjadi terlalu besar untuk bisa ditopang oleh lingkungannya atau sumber dayanya dalam jangka panjang (diterjemahkan dari Wikipedia).

[3] Kepunahan massal (mass extinction) adalah penurunan keanekaragaman hayati yang luas dan cepat di Bumi. Peristiwa tersebut ditandai dengan perubahan besar terhadap keanekaragaman dan keberlimpahan organisme multiseluler (diterjemahkan dari Wikipedia). 

Komentar