Identitas Buku
Judul
|
:
|
Hujan
|
Penulis
|
:
|
Tere
Liye
|
Penerbit
|
:
|
PT
Sabak Grip Nusantara
|
Tahun
terbit
|
:
|
2018
(versi sebelumnya terbit pertama kali pada 2016)
|
Cetakan
|
:
|
VI
|
Tebal
|
:
|
320
halaman
|
Harga
|
:
|
Rp76.500,-
|
ISBN
|
:
|
978239987879
|
Genre
|
:
|
Apokalips, coming of age, romantis, distopia,
fiksi ilmiah
|
Tentang Penulis
Tere Liye adalah seorang penulis novel ternama dari
Indonesia, dengan nama asli Darwis. Dia lahir di pedalaman Sumatera pada tanggal
21 Mei 1979. Dia adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tere Liye sudah melahirkan 50 buku, dan banyak
karyanya termasuk bestseller. Namun,
sebelumnya dia bekerja sebagai akuntan. Berkat hobinya membaca dan menulis,
Tere Liye akhirnya terjun ke dunia kepenulisan. Buku debutnya adalah Hafalan Shalat Delisa (2005). Buku-buku best-seller-nya yang lain adalah Moga Bunda Disayang Allah (2006), Bidadari-Bidadari Surga (2008),
dan Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci
Angin (2010). Beberapa judul tersebut bahkan telah diangkat ke layar lebar.
Selain itu, Tere Liye juga terkenal dengan buku
bertema dunia paralelnya yang kini sudah terdiri atas 14 sekuel. Hujan (2016) sendiri adalah salah satu
karyanya yang banyak mendapat review positif
dari pembaca.
Sinopsis
Pada tahun 2042, umat manusia dikejutkan dengan
bencana yang tak terpikirkan sebelumnya. Sebuah gunung berapi purba meletus.
Letusannya teramat kuat sampai menyebabkan gempa bumi dahsyat yang
meluluhlantahkan dua benua, menimbulkan tsunami yang menyapu banyak kota di
pesisir pantai di berbagai belahan dunia, dan memuntahkan abu yang menyelimuti
atmosfer dan menghalangi sinar matahari.
Pada saat kejadian itu, Lail sedang berada di
kereta bawah tanah. Anak perempuan 13 tahun itu sedang bersama ibunya, tetapi
malang sekali nasibnya, sang ibu tewas dalam musibah tersebut. Lail berhasil
selamat berkat ditolong anak laki-laki 15 tahun—namanya Esok. Sama sepertinya,
Esok juga kehilangan keempat kakaknya dalam bencana tersebut; hanya ibunya yang
selamat meski terluka parah.
 |
Sampul versi edisi 2016 |
Lail yang masih sangat kecil, yang terpaksa menjadi
yatim piatu, sangat sedih dan sulit menerima kenyataan itu. Di tempat
pengungsian, Esok selalu menemaninya serta berusaha menghiburnya. Dan Lail
selalu bersyukur dengan keberadaan Esok di sisinya.
Waktu berlalu, tahun berganti tahun, mereka yang
selamat berusaha bangkit dari keterpurukan. Waktu berlalu, tahun berganti
tahun, Lail dan Esok tumbuh menjadi remaja. Namun, perasaan Lail terhadap Esok
juga tumbuh semakin besar, bukan lagi perasaan seorang adik untuk kakaknya.
Lail ingin agar Esok menyadari perasaannya, dan melihatnya.
Kelebihan
Hujan
adalah novel yang brilian! Aku berani mengatakan
itu meski alasannya sangat subjektif, hahaha. Namun, dibandingkan beberapa
novel karya Tere Liye yang lain yang sudah kubaca (kebanyakan adalah serial BUMI), Hujan memiliki banyak keunikan dan daya tarik.
Pertama, buku ini sebenarnya bergenre coming of age-romantis. Namun, latar
tempatnya adalah dunia pascabencana, dunia tempat peradaban manusia luluh
lantah oleh kekuatan alam. Itu adalah pendekatan yang sangat unik dan menarik. Walau cerita apokalips sudah banyak, meski
kebanyakan adalah cerita petualangan-action,
belum pernah aku membaca (atau menonton) cerita coming of age-romantis dengan pendekatan bencana alam seperti itu.
Ada banyak sekali
insight bagus dari buku ini, tapi
sebelum aku masuk ke situ, aku ingin membicarakan tokoh utamanya terlebih
dahulu. Cerita ini utamanya adalah tentang Lail, tentang hidupnya pascabencana
mengerikan tersebut. Astaga, dia adalah tokoh yang sangat kasihan. (Spoiler alert) di usianya yang baru 13
tahun, dia harus mengalami peristiwa mengerikan tersebut, kehilangan ibunya
tepat di depan matanya. Dia juga harus kehilangan ayahnya pada hari yang sama.
Maka dari itu, bagian awal buku ini adalah tragedi demi tragedi bagi Lail.
Akan tetapi, dia berhasil bangkit dari keterpurukan
tersebut, berkat Esok yang senantiasa mendampinginya. Meski pada beberapa hari
pertama Lail hanya bersedih dan murung—yang sangat bisa dimaklumi—pada akhirnya
dia bisa berfokus pada hal-hal positif yang ada. Itu bukan proses mudah untuk
bisa menerima nasib seperti itu. Namun, yang lebih membanggakan lagi adalah
nantinya Lail tumbuh menjadi orang yang menyelamatkan ribuan nyawa, menjadi sosok
yang menginspirasi banyak orang di sepenjuru negeri. Itu adalah hal yang sangat
membanggakan.
Selain itu, hal
menarik tentang karakter Lail adalah bahwa sehebat apapun dirinya, ia tetap tak
berdaya kalau urusan cinta. Dia tetap saja menjadi gadis yang galau memikirkan
lelaki yang dia suka. Dia bingung apakah dia harus chat duluan atau tidak. Dia bingung apakah lelaki itu punya rasa
yang sama untuknya atau tidak. Rupanya, setelah tahun 2042, setelah dunia
hampir hancur oleh gunung meletus, hal-hal seperti itu masih saja dirisaukan
orang-orang—atau setidaknya oleh Lail, hahaha. Seperti apa kata buku ini:
“Bagi
orang-orang yang sedang menyimpan perasaan, ternyata bukan soal besok kiamat
saja yang bisa membuatnya panik, susah hati. Cukup hal kecil seperti jaringan
komunikasi terputus, genap sudah untuk membuatnya nelangsa.” (p. 212)
Maka dari itu, karakter Lail terasa manusiawi.
Seandainya setelah kehilangan yang ia alami, Lail digambarkan sebagai pahlawan
hebat yang sempurna, pasti karakternya tak akan terasa se-relate ini.
Bukan hanya Lail, ada beberapa tokoh pendukung yang
cukup menarik. Aku cukup menyukai karakter Ibu Suri si pengelola panti sosial.
Dia memang tidak banyak muncul, tetapi tiap kali dia muncul selalu ada kelucuan
yang bisa membuatku tersenyum. Berikutnya, tentu saja adalah Maryam, teman sekamar/sahabat
Lail. She is the best friend you could
ask! Dia kocak dan mengagumkan sekaligus. Dialog-dialognya itu selalu lucu,
tetapi dia juga cukup bijaksana ketika membantu Lail dengan segala kegalauannya.
Pasti kalian punya teman seperti Maryam yang bisa lebih rasional ketika
menanggapi curhat galau kalian soal cinta, ya kan?
Kemudian, aku suka dengan romance tipis-tipis antara Lail dan Esok. Buku ini memang tak
menunjukkan romance yang terang-terangan,
tetapi pembaca tetap bisa merasakannya. Aku begitu kagum pada Lail yang bisa
menghargai setiap detik momennya bersama Esok meski itu hanya satu jam dalam
setahun (orang yang LDR harus bisa belajar dari Lail!). Di antara semua momen
Lail dan Esok, aku paling suka (spoiler
alert) ketika Esok tiba-tiba datang ke acara kelulusan pelatihan Organisasi
Relawan. Aku sama terkejutnya dengan Lail dan turut merasakan kebahagiaan yang
Lail rasakan.
Selanjutnya, mari kita bicarakan tentang insights menarik yang sempat kusinggung
di atas. Pertama, buku ini memulai cerita dengan menyuguhkan isu ledakan
populasi
atau overpopulation
yang sebenarnya sudah menjadi masalah hari ini. Pertumbuhan populasi manusia di
planet ini memang begitu pesat hanya dalam beberapa ratus tahun terakhir. Dalam
buku Hujan ini, sempat disinggung
bahwa populasi berlebih tersebut dapat menimbulkan bahaya, salah satunya
kerusakan alam.
Kedua, meletuslah gunung purba tersebut,
menghancurkan peradaban manusia di dua benua. Bahkan, dengan kecanggihan
teknologi tahun 2042 sebagaimana yang tergambar dalam cerita tersebut sekalipun,
manusia masih terpuruk sekali oleh bencana alam. Itu adalah gambaran
pembangunan yang tidak memperhitungkan risiko bencana alam.
Oke, mungkin bencana seperti itu tidak akan kita
rasakan (semoga tidak), tetapi bencana alam dengan skala yang lebih kecil tetap
kita alami dan kerusakannya yang diakibatkannya tetap buruk. Dari yang aku
lihat di buku ini, pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan dan aspek
mitigasi bencana alam sangatlah penting. Kita tidak pernah tahu kapan bencana
alam datang, maka pembangunan yang kita lakukan harus bisa memitigasinya. Apalagi
di daerah-daerah yang rawan bencana, seperti Indonesia.
Ketiga, selain gunung meletus, (spoiler alert) bencana alam berikutnya
yang menyerang manusia adalah perubahan iklim.
Sekadar informasi, bumi sudah pernah menghadapi kepunahan massal
sebanyak lima kali dan salah satu akibat dari peristiwa kepunahan massal adalah
perubahan iklim global. Abu dari letusan gunung berapi memenuhi atmosfer,
menghalangi sinar matahari sehingga suhu bumi turun. Bahkan, daerah tropis pun berubah
menjadi dingin, apalagi daerah subtropis. Aku mengapresiasi Tere Liye yang
memperhatikan detail rantai konsekuensi tersebut.
Oh iya, yang lebih menariknya lagi, (spoiler alert) dalam buku ini, perubahan
iklim dipicu oleh tindakan manusia, tepatnya negara-negara subtropis yang kita
tahu kebanyakan adalah negara maju, lalu diikuti oleh negara-negara tropis yang
kebanyakan adalah negara berkembang. Itu “merepresentasikan” perubahan iklim
yang terjadi di dunia kita saat ini. Pemicu awalnya adalah penggunaan energi
fosil secara berlebihan oleh negara-negara maju, lalu kini negara-negara
berkembang pun sedang mengikuti jejak tersebut. Itu seperti sebuah sindiran
halus bagi siapapun yang membaca buku ini.
Perubahan iklim yang terjadi di novel Hujan mungkin agak berbeda dengan
perubahan iklim yang saat ini terjadi di dunia kita—yang satu pendinginan
global (global cooling) dan yang satu
pemanasan global (global warming). Akan
tetapi, pelajaran yang terkandung dalam cerita ini tetap relevan. Novel Hujan menunjukkan bahwa perubahan iklim
akan memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, mulai dari ketahanan pangan,
ekonomi, sosial, sampai politik dan pemerintahan.
Hal menarik lainnya dari buku ini terkait problem
tersebut adalah bahwa dibutuhkan cara berpikir yang berjangka panjang untuk
meresponsnya, bukan jangka pendek, sebagaimana yang sempat disinggung oleh
Esok. Selain itu, buku ini juga menyiratkan bahwa dibutuhkan keinginan politik
(political will) dari pihak yang
berkuasa untuk menyelesaikannya karena peran mereka sangat signifikan. Itu
dapat dimulai dengan mendengarkan pendapat para ahli dan akademisi. Kemudian, dibutuhkan
kerja sama semua pihak, mulai dari masyarakat kecil, akademisi, sampai pemerintah
dan orang-orang kaya untuk menyelesaikan ini. Menuruti ego dan kepentingan
sendiri malah bisa memperburuk keadaan.
Itulah insights menarik yang kudapat dari buku
ini. Walau bencana alam yang dialami Lail dan Esok berbeda dengan masalah kita
hari ini, insight yang disampaikan
tersebut sangat relevan jika kita masih ingin selamat. Aku menyukai sebuah
kutipan dari buku ini:
“Alam
menjaga keseimbangannya dengan caranya sendiri.” (p. 33)
Ya, kita tidak perlu risau menyelamatkan bumi
karena bumi akan memulihkan dirinya. Namun, bisa jadi caranya untuk kembali
pulih adalah dengan memusnahkan umat manusia. Maka dari itu, sejatinya peduli
pada kelestarian lingungan, peduli pada isu krisis iklim adalah peduli pada
kelestarian umat manusia sendiri.
Kelemahan
Kelemahan buku ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh.
Pertama, aku sedikit kurang setuju dengan penggambaran karakter Esok yang menyimpan
segalanya sendiri. Oke, (spoiler alert)
aku paham bahwa proyek yang Esok kerjakan adalah super rahasia; tetapi di
akhir, ketika dia telah membocorkan segalanya ke Lail, seharusnya dia bisa
berterus terang tentang perasaannya ke Lail, alih-alih dia hilang tanpa kabar
dan menimbulkan kesalahpahaman. Mengapa seakan Esok harus selalu merahasiakan
segalanya dari Lail? Terlebih lagi, dibandingkan dengan pendalaman karakter
Lail, pendalaman karakter Esok kalah jauh,
sehingga jomplang sekali.
Kedua, bagi kalian yang sudah membaca beberapa buku
Tere Liye, mungkin kalian akan merasakan kemiripan antara Lail, Esok, dan
Maryam dengan tokoh-tokoh novel Tere Liye yang lain. Aku pribadi, yang hanya
membaca serial BUMI dan Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010),
merasa ketiga tokoh utama novel ini mirip dengan tokoh-tokoh di buku-buku
tersebut. Itu membuatnya terasa generik dan mudah diprediksi.
Ketiga, ini adalah detail yang aku tidak setuju,
yaitu (spoiler alert) ketika Esok
“mencuri” mobil demi mengejar Lail di bagian akhir buku. Diceritakan bahwa Esok
memiliki “lisensi” yang memungkinkannya mengoperasikan mobil manapun. Ya, dia
punya lisensi untuk mencuri mobil orang hanya karena dia yang menciptakan
mesinnya. Yang Tere Liye lakukan pada bagian itu adalah oversimplification ‘penyederhanaan berlebihan’ agar masalah bisa
diselesaikan segera.
Keempat, bagian akhir buku ini terasa sedikit
kurang memuaskan. (Spoiler alert) di
detik-detik terakhir, Lail dapat menerima segala yang terjadi padanya,
mengubahnya menjadi memori indah. Proses penerimaan tersebut pasti sangat sulit
dan bisa jadi sangat indah. Namun, bagian itu tak diceritakan—kita hanya diberi
tahu akhirnya ketika Lail sudah berubah pikiran.
Alih-alih melihat Esok yang panik memaksa masuk, aku
merasa seharusnya Tere Liye fokus pada proses penerimaan yang terjadi dalam
pikiran Lail. Aku yakin proses tersebut, momen ketika Lail bisa menerima segala
yang terjadi dalam hidupnya sehingga mengubahnya menjadi memori indah, dapat
menjadi titik puncak perkembangan karakter Lail.
Kesimpulan
Hujan
adalah sebuah cerita coming of age-romantis yang memiliki pendekatan sangat menarik.
Dengan menyajikan peristiwa bencana alam skala global di awal, buku ini dibuka
dengan tragis. Namun, perjalanan hidup Lail setelahnya terasa begitu mengagumkan.
Apalagi, kisah cintanya dengan Esok yang begitu “halus” akan membuat pembaca
gemas dan senyum-senyum sendiri. Kemudian, Maryam sebagai tokoh pendamping pun
tak kalah menarik perhatian. Dia selalu bisa menghibur pembaca dengan kelakuan
konyolnya.
Namun, bagiku pribadi, daya tarik utama buku ini
adalah insight-nya mengenai isu
lingkungan. Buku ini secara tersirat mengingatkan pembaca bahwa jika
pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan aspek lingkungan, dalam jangka
panjang itu akan merugikan manusia sendiri. Oleh karena itu, aku memberi skor
9/10 untuk novel karya Tere Liye yang satu ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Kepunahan massal (mass extinction)
adalah penurunan keanekaragaman hayati yang luas dan cepat di Bumi. Peristiwa
tersebut ditandai dengan perubahan besar terhadap keanekaragaman dan
keberlimpahan organisme multiseluler (diterjemahkan dari Wikipedia).
Komentar
Posting Komentar