Identitas Buku
Judul
|
:
|
Daun
Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
|
Penulis
|
:
|
Tere
Liye
|
Penerbit
|
:
|
PT
Sabak Grip Nusantara
|
Tahun
terbit
|
:
|
2021
(versi sebelumnya terbit pertama kali pada 2010)
|
Cetakan
|
:
|
I
|
Tebal
|
:
|
264
halaman
|
Harga
|
:
|
Rp69.000,-
|
ISBN
|
:
|
9786020331607
|
Genre
|
:
|
Drama
romantis, coming of age
|
Tentang Penulis
Tere Liye adalah seorang penulis novel ternama dari
Indonesia, dengan nama asli Darwis. Dia lahir di pedalaman Sumatera pada
tanggal 21 Mei 1979. Dia adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tere Liye sudah melahirkan 50 buku, dan banyak
karyanya termasuk bestseller. Namun,
sebelumnya dia bekerja sebagai akuntan. Berkat hobinya membaca dan menulis,
Tere Liye akhirnya terjun ke dunia kepenulisan. Buku debutnya adalah Hafalan Shalat Delisa (2005). Buku-buku best-seller-nya yang lain adalah Moga Bunda Disayang Allah (2006), Bidadari-Bidadari Surga (2008),
dan Hujan (2016). Beberapa judul
tersebut bahkan telah diangkat ke layer lebar.
Selain itu, Tere Liye juga terkenal dengan buku
bertema dunia paralelnya yang kini sudah terdiri atas 14 sekuel. Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010)
sendiri adalah salah satu karyanya yang banyak mendapat review positif dari pembaca.
Sinopsis
Dia adalah
penolong keluargaku. Dia telah
menolong aku, adikku, dan ibuku keluar dari kemiskinan yang menyedihkan. Dia telah memberikan kami makan, pakaian,
tempat bernaung, sekolah, dan masa depan yang menjanjikan. Dia telah memberikan perhatian, kasih
sayang, dan teladan dengan tulus tanpa pamrih untuk keluarga kami. Dia adalah malaikat yang dikirimkan takdir
kepada keluarga kami.
Namun, semua kebaikan dan kasih sayang tulusnya itu
telah menumbuhkan perasaan ini di dalam diriku. Perasaan yang tak sepantasya
tumbuh terhadapnya yang telah berbuat banyak kepada kami, yang hanya
menganggapku tak lebih dari adiknya yang pencemburu dan banyak mau. Akan
tetapi, perasaan ini serta merta ada, tanpa pernah aku minta. Ibu, bagaimana
aku menyingkirkan perasaan ini?
.jpg) |
Versi sampul lama dari Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin: versi terbitan tahun 2010 (kiri), versi terbitan tahun 2016 (tengah), dan versi terbitan terjemahan bahasa Inggris tahun 2015 (kanan). |
Kelebihan
Sebelum mulai menjabarkan kelebihan buku ini, aku
ingin memberikan disclaimer bahwa Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin adalah
buku Tere Liye pertama selain serial Petualangan Dunia Paralel yang aku baca.
Oleh karena itu, membaca buku ini adalah sebuah pengalaman baru bagiku dalam
mengeksplorasi sastra Indonesia. Aku tahu Tere Liye telah menulis banyak buku
dengan genre drama, tetapi inilah yang pertama kubaca. Dan rupanya, aku cukup
terkesan.
Aku telah membaca seluruh buku Petualangan Dunia
Paralel karya Tere Liye dan aku merasa beberapa buku memiliki cerita yang
membosankan (meski tidak buruk). Itu memengeruhi prasangkaku terhadap buku ini.
Aku pikir buku ini akan klise dan hanya unggul berkat kata-kata puitis
saja—karena Tere Liye memang kerap menggunakan diksi seperti itu. Namun
rupanya, aku salah—Daun Yang Jatuh Tak
Pernah Membenci Angin sungguhan bagus.
Sejak halaman pertama, Tere Liye memulai cerita
dengan syahdu, (spoiler alert)
menghadirkan suasana hujan pada malam hari di kota sementara Tania, si tokoh
utama, sedang melamun di toko buku sambil menatapi suasana jalan. Bagi beberapa
orang, hujan memberikan kesan emosional, maka sebuah pilihan yang tepat untuk
memulai cerita drama romantis dengan cara tersebut. Aku yakin, banyak orang
yang langsung terhanyut ke dalam cerita hanya dari suasana hujannya.
Ditambah lagi, pemilihan kata dan kalimat yang
dirangkai Tere Liye terkesan puitis, tetapi tidak lebay. Tere Liye memang kerap
menggunakan diksi-diksi seperti itu dalam buku-bukunya, termasuk yang ini.
Namun, penggunaannya tidak berlebihan sehingga tetap mudah dipahami dan tidak cringe. Kalimat-kalimat puitis tersebut
beberapa kali mengena di hati, serta berhasil memberikan kesan suasana
romantis.
Sementara itu, konflik dalam buku ini bukan sekadar
(spoiler alert) cinta terhalang
perbedaan usia, tetapi lebih rumit dari itu. Hubungan kedua tokoh utamanya yang
sudah bagai keluarga membuat perasaan cinta tersebut teramat rumit. Itu
menjadikannya tidak klise, maka dapat dimengerti betapa sulitnya bagi Tania
untuk mengendalikan perasaan itu. Aku selalu setuju dengan Tania, perasaan
cinta memang tidak pernah diminta, itu tumbuh begitu saja tanpa memandang untuk
siapa perasaan tersebut.
Selain itu, kisah cinta Tania menggambarkan
fase-fase mencintai orang dalam diam: mulai dari kagum dan terpesona hingga
menyesal karena tak pernah berani mengungkapkan. Dalam fase-fase tersebut, ada
fase berusaha melupakan yang harus dilalui Tania. Dan aku suka sekali dengan
bagian itu—agar Tania dapat melupakan perasaannya, dia menyibukkan diri dengan
berbagai aktivitas, berusaha menjauhkan diri dari kehidupan lamanya yang dapat
mengingatkannya kembali pada cinta pertamanya tersebut. Namun pada akhirnya,
yang bisa benar-benar membuatnya lupa pada perasaan itu adalah ketika dia
justru pulang, kembali ke kehidupannya yang itu dan berdamai dengannya.
Aku juga suka dengan karkater Dede, adiknya Tania.
Kepolosannya membuat suasana lucu dalam buku ini. Dia menjadi sumber humor di
tengah cerita drama ini. Pokoknya, dia lucu banget, mulai dari sikapnya yang
polos dan keras kepala sampai username
chatting-nya yang berubah-ubah seperti anak alay, hahaha. Namun, siapa yang
menduga bahwa kutipan paling penting, kutipan yang paling kusuka dari buku ini
rupanya berasal dari dia (nanti aku akan tulis kutipannya).
Kemudian, bagian yang paling kusuka dari buku ini
adalah (spoiler alert) ketika ibunya
Tania dan Dede meninggal—itu bagian paling menyakitkan dari buku ini. Ibu
mereka merupakan sosok yang bijaksana dan penyayang, maka sangat menyakitkan
ketika dia harus meninggal. Ah, pokoknya itu bagian yang sedih banget sampai
aku menangis membacanya.
Setelah itu, Tere Liye
mengingatkan pembaca kembali pada kesedihan tersebut dengan membuat adegan
peringatan delapan tahun meninggalnya Ibu Tania dan Dede. Bagian itu membuat
mataku berkaca-kaca kembali. Dan pada bagian itulah ada kutipan paling kusuka
(yang tadi kubilang) dari buku ini:
"Bahwa
hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti...
pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak
peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah
meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan."
Kelemahan
Salah satu yang menjadi kelemahan buku
ini—setidaknya sebuah potensi kelemahan—ialah konfliknya itu sendiri. Konflik
buku ini adalah cinta yang terhalang perbedaan usia yang cukup jauh, bahkan
antara pria dewasa dengan gadis kecil di bawah umur. Tentu sesungguhnya ini
tidak mempromosikan pernikahan anak di bawah umur, apalagi pedofilia, tetapi
bisa saja ada orang menganggapnya demikian. Bisa saja ada orang yang menganggap
tidak pantas membuat kisah cinta seorang gadis di bawah umur terhadap pria
dewasa yang sudah dianggap keluarganya sendiri.
Kemudian, pendapatku pribadi, dialog Tania dan pria
itu di babak akhir buku terlalu lebay. Memang kata yang digunakannya puitis,
tetapi mengingat itu suasana yang penuh emosi—marah, sedih, dan bingung
bercampur aduk—tetapi aku rasa tidak mungkin Tania dapat terus mengontrol
kata-katanya tetap puitis. Jika di awal, mungkin iya, tetapi makin lama, lebih
wajar jika dia mulai mengumpat, apalagi dia memang kerap menghina orang-orang
(ceritanya panjang, silakan baca sendiri bukunya).
Terakhir, ini bukanlah kelemahan, melainkan bagian
yang tidak kusuka (namun bukan berarti bagian ini perlu disingkirkan ya). Aku
kecewa dengan keputusan si pria itu,
cinta pertama Tania. (Spoiler alert) keputusan yang diambilnya menyakiti
hati dua wanita penting dalam hidupnya, dan sampai titik terakhir pun dia tetap
saja tidak bisa memutuskan. Di awal, aku mengagumi sosoknya yang begitu baik
hati dan bijaksana, tetapi di akhir pendapattku tentangnya berubah—dia pengecut
dan indecisive. Dia laki-laki yang tega
menyakiti dua perempuan hanya karena tak mau mengakui perasaannya sendiri.
Kesimpulan
Daun
Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin merupakan
novel drama romantis yang ringan, tetapi berkesan. Buku ini dibuka dengan
suasana hujan yang syahdu, lalu ditutup dengan pembicaraan penuh emosi yang
mengungkap rahasia bertahun-tahun. Tidak akan terasa membaca buku setebal
200-an halaman ini berkat kata-katanya yang puitis dan alurnya yang mengalir
indah. Apalagi, konfliknya tidaklah klise: cinta yang terhalang perbedaan usia
yang cukup jauh, cinta seorang gadis kecil kepada pria dewasa. Akan tetapi,
konflik seperti itu tentu kontroversial bagi beberapa orang. Meskipun begitu, buku
ini berhasil menyampaikan pesan utamanya bahwa kita harus menjalani kehidupan seperti
daun yang jatuh yang tak pernah membenci angin. Skor untuk buku ini adalah
8/10.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Telah berganti judul menjadi Dia Adalah Kakakku.
Komentar
Posting Komentar