Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
Glass Onion: A Knives Out Mystery: Belum Bisa Mengalahkan Film Pertamanya, tapi Tetap Misterius dan Asik
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas Film
Judul
:
Glass Onion: A Knives
Out Mystery
Sutradara
:
Rian Johnson
Produser
:
Ram Bergman, Rian
Johnson
Tanggal rilis
:
23 Desember 2022
Rumah produksi
:
T-Street
Penulis naskah
:
Rian Johnson
Durasi tayang
:
2 jam 19 menit
Pemeran
:
Daniel Craig, Edward
Norton, Kate Hudson, Dave Bautista, Janelle Monáe, Kathryn Hahn, Leslie Odom
Jr., Jessica Henwick, Madelyn Cline
Detektif Benoit Blanc (Daniel Craig), detektif
paling hebat di dunia menurut Google, diundang ke sebuah gathering yang diadakan oleh pengusaha ternama Miles Bron (Edward
Norton). Bron hendak mengadakan gathering
di pulau pribadinya di Yunani dan di sana mereka akan melakukan permainan
detektif untuk memecahkan misteri pembunuhan Bron. Namun, Bron hanya mengundang
teman-teman terdekatnya, dan itu tidak termasuk Blanc. Lantas, siapakah yang
mengundang Blanc dan untuk tujuan apa?
Kelebihan
Terus terang saja, Glass Onion belum bisa mengalahkan Knives Out (2019), tetapi itu bukan berarti Glass Onion adalah film yang jelek. Film ini memiliki daya tariknya
sendiri. Salah satunya, film ini tetap bisa menyuguhkan cerita misteri yang
asyik. Misteri dalam Glass Onion tetap dapat mengundang rasa
penasaran penonton.
Apalagi, metafora Glass Onion itu sendiri cocok dengan misteri di film ini, ada
banyak lapis yang menutupinya tapi sebenarnya terlihat sangat jelas. Bahkan, metafora
itu sudah dimunculkan sejak adegan pertama (spoiler
alert) ketika teman-teman Bron menerima undangan yang berupa kotak misteri.
Kotak tersebut menyimpan banyak permainan teka-teki yang berlapis-lapis yang
menyembunyikan isi sebenarnya, seperti Glass
Onion!
Ya, misteri di film ini sebetulnya dapat diduga
sedari awal, terutama bagi penggemar cerita detektif. Petunjuk sudah bertebaran
di mana-mana sejak awal dan motif pelaku juga dapat ditebak. Namun, tetap saja
misteri film ini penuh dengan kejutan plot
twist yang akan membuatmu berpikir “Oh, jadi begitu!”, walaupun harus
diakui belum semengejutkan plot twist film
pertamanya.
Selain metafora Glass Onion dan kotak misteri dengan banyak lapis-lapis teka-teki, ada
satu detail simbolis lainnya yang muncul dalam film ini, yakni lukisan Mona
Lisa. Lukisan tersebut memang terkenal akan misterinya, apakah sosok Mona Lisa dalam
lukisan tersebut sedang senyum atau bersedih. Itu menjadikan film ini sebagai
film detektif yang terasa artistik.
Hal lain yang membedakan film Glass Onion dari film sebelumnya adalah Glass Onion terasa lebih satir. Di film Knives Out, vibes-nya itu terasa dark
comedy banget, tetapi pada film ini justru terasa komedi satir. Perbedaan vibes tersebut menjadi sebuah ciri khas
bagi film ini, apalagi cocok juga dengan berbagai detail tersiratnya. Selain
itu, vibes satir yang terasa lebih
santai tersebut berhasil mengecoh perhatian penonton dari misteri sebenarnya sampai
akhirnya misteri tersebut mulai menguak ke permukaan.
Kelebihan lainnya dari film ini ialah
penokohannya yang sangat menarik. Miles Bron dan teman-temannya, yang menyebut
diri mereka sendiriThe Disruptors alias
para Pengganggu, tampak sebagai representasi satir untuk berbagai figur penting
di dunia. Misalnya saja, Miles Bron merepresentasikan pengusaha teknologi
miliarder yang nyentrik dan
egosentris—yang mengingatkanku pada Elon Musk. (Spoiler alert) dalam film ini, dia terlihat sangat egois dan
serakah karena ingin sekali mengembangkan dan menjual sumber energi baru atas
nama “inovasi”, meski terbukti berbahaya.
Selain Bron, ada Birdie Jay (Kate Hudson) yang
merepresentasikan selebritas terkenal yang penuh skandal dan berpengetahuan
dangkal. Ada Duke Cody (Dave Bautista) yang merepresentasikan influencer tidak laku dengan konten problematik
yang clickbait. Ada Claire Debella
(Kathryn Hahn) dan Lionel Toussaint (Leslie Odom Jr.) yang merepresentasikan
politikus dan ilmuwan yang disetir oleh “investornya” sehingga tidak bisa independen.
(Spoiler
alert) mereka semua, The Disruptors,
tampak bekerja sama untuk memuluskan agenda Bron, yang menjadikan mereka pion
milik Bron. Itu seperti sindiran bahwa pengusaha besar mampu untuk
mengendalikan orang-orang penting dalam masyarakat, seperti politikus, ilmuwan,
sampai selebritas dan influencer
untuk dapat memuluskan bisnisnya, sekalipun itu atas nama inovasi dan kemajuan
teknologi.
Kemudian, aku suka dengan cara film ini
menggunakan latar waktu di masa pandemi dan normal baru. Detail-detail tersebut
dimunculkan dengan smooth, tidak
terkesan ingin bilang “Ini sedang pandemi, loh.” Detail-detail tersebut dapat
dilihat mulai dari para tokohnya yang mengenakan masker serta suasana kota yang
sepi akibat kebijakan pembatasan sosial.
Kelemahan
Seperti yang aku katakan di awal, Glass Onion belum bisa mengalahkan Knives Out. Bahkan, film ini masih di
bawah Knives Out. Salah satu
permasalahan terbesarnya adalah adanya tokoh yang tak berperan. Pada film Knives Out, semua tokoh memiliki peran,
memiliki cerita yang dapat dihubungkan menjadi motif pembunuhan. Akan tetapi,
berbeda dengan film tersebut, Glass Onion
memiliki tokoh yang tidak penting. Tokoh tersebut adalah Peg (Jessica Henwick),
asistennya Birdie, dan Whiskey (Madelyn Cline), kekasihnya Duke. Peran mereka
tidak penting dalam cerita ini. Kalau mereka tidak ada pun cerita tetap
berjalan.
Kemudian, alurnya bisa dibilang terasa agak flat kalau dibandingkan dengan film
pertamanya. Tidak ada kejar-kejaran mobil, tidak ada konflik yang cukup seru
antara para tokohnya. Konflik terutama hanya antara Bron dan Andi (Janelle
Monáe). Pada film Knives Out, cerita
para terduga pembunuhan ditampilkan, tetapi pada film ini, cerita tersebut
hanya muncul dalam dialog. Oleh karenanya, itu seperti informasi sekadar lalu.
Penonton tidak dipermainkan sampai kebingungan sebagaimana di film pertamanya.
Sementara itu, untuk masalah plot twist, aku sudah bilang bahwa plot twist-nya tidak semengagetkan film pertamanya. Mungkin, itu
karena penonton sudah mengantisipasi atau mengekspektasikan plot twist sebelum menonton film ini
sehingga kejutannya berkurang. Atau mungkin karena dari skripnya tidak sebaik
film pertamanya. Apapun itu, itu menjadi kelemahan film ini sekalipun ceritanya
tetaplah seru.
Kesimpulan
Glass
Onion memanglah bukan sekuel yang
mampu menandingi kesuksesan film sebelumnya, tetapi ia tetaplah cerita yang
menyenangkan untuk ditonton. Walau terasa lebih komedi, misterinya tidak kalah
menarik karena ada berbagai plot twist yang
akan mengubah persepesi penonton sepanjang jalannya cerita. Kemudian,
penokohannya pun menarik sekali karena menjadi satir bagi berbagai figur
penting di dunia, tetapi meski diakui bahwa masih ada kekurangannya. Walaupun
begitu, aku suka sekali dengan metaforanya serta berbagai detail simbolisnya
yang menjadikannya film misteri yang terkesan artsy. Maka dari itu, skor film ini adalah 7,5/10.
Glass Onion: A Knives Out Mystery bisa ditonton di Netflix. Trailer filmnya dapat kalian tonton di bawah ini.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar