A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Everything Everywhere All at Once: Ini Baru yang Namanya Multiverse of Madness!

Identitas Film

Judul

:

Everything Everywhere All at Once

Sutradara

:

Dan Kwan, Daniel Scheinert

Produser

:

Joe Russo, Anthony Russo, Mike Larocca, Daniel Kwan,Daniel Scheinert, Jonathan Wang

Tanggal rilis

:

13 Mei 2022 (Britania Raya), 25 Mei 2022 (Amerika Serikat), 22 Juni 2022 (Indonesia)

Rumah produksi

:

A24, IAC Films, Gozie AGBO, Year of the Rat, Ley Line Entertainment

Penulis naskah

:

Dan Kwan, Daniel Scheinert

Durasi tayang

:

2 jam 19 menit

Pemeran

:

Michelle Yeoh, Ke Huy Quan, Stephanie Hsu, James Hong, Jamie Lee Curtis

Genre

:

Fiksi ilmiah, fantasi kontemporer, dark comedy, action, bela diri, drama, fiksi absurd, fiksi filosofis

 

Sinopsis

Evelyne Wang (Michelle Yeoh) lelah dengan kehidupannya. Dia memiliki suami yang tampak konyol, Waymond Wang (Ke Huy Quan), dan seorang putri yang tidak akur dengannya, Joy Wang (Stephanie Hsu). Bisnis penatunya[1] sedang tidak berjalan baik karena akan diaudit oleh kantor perpajakan.

Ketika sedang di kantor pajak, Evelyne terseret ke dalam konflik multisemesta yang tak terbatas setelah tubuh suaminya diambil alih oleh versi alternatifnya dari semesta lain. Versi alternatif Waymond tersebut menjelaskan bahwa Evelyne adalah harapan untuk menghentikan sosok jahat yang ingin menghancurkan multisemesta, Jobu Tupaki.

Oke, urusan pajak bisnisnya sudah rumit, belum lagi ditambah masalah keluarganya yang tak harmonis, lalu kini dia juga harus menyelamatkan multisemesta? Apakah Evelyne, seorang wanita paruh baya dan pengusaha penatu yang terancam ditutup itu, dapat melakukannya?

 

Kelebihan

Everything Everywhere All at Once merupakan film yang luar biasa absurd. Film ini dipenuhi berbagai keabsurdan yang kocak banget. Sepanjang film, penonton akan dibuat terus tertawa dengan berbagai lelucon gelapnya (dark jokes) serta adegan-adegan absurd lainnya. Salah satu yang paling aku suka adalah (spoiler alert) lelucon Raccacouinnie yang terinspirasi dari film “Ratatouillie” (2007). Siapa yang terpikirkan untuk membuat lelucon seperti itu dalam film?

Berikutnya, (spoiler alert) dalam film ini ada yang namanya lompatan semesta (verse-jumping), yaitu aksi untuk mengakses segala hal tentang versi alternatif diri kita—baik itu skill, memori, emosi, pengalaman, dan lainnya—dari semesta lain agar dapat kita gunakan di versi diri kita yang ini. Dengan lompatan semesta ini, Evelyne dapat menggunakan kemampuan yang dimiliki versi dirinya di semesta lain. Namun, untuk menggunakan lompatan semesta, seseorang harus melakukan hal-hal konyol dan absurd dulu sebagai syarat. Seriously, itu kocak-kocak banget dan pasti membuat kalian tertawa karena benar-benar absurd, contohnya (spoiler alert) harus mengungkapkan cinta ke musuh—itu aneh tapi kocak banget, hahaha.

Namun, yang menarik adalah keabsurdan film ini tidak hanya ditunjukkan ketika elemen multisemestanya sudah masuk. Bahkan, di awal film, sebelum elemen multisemestanya masuk pun sudah ada momen-momen absurdnya. Ketika Evelyne dan keluarganya ada di penatu, itu sudah dipenuhi adegan-adegan absurd sederhana yang membuat penonton tertawa. Namun, ironisnya adalah pada saat itu Evelyne sedang bad mood. Aku melihatnya sebagai insight bahwa hidup itu dipenuhi kejadian-kejadian absurd yang bisa kita respons dengan jutek (seperti Evelyne) atau tertawa (seperti penonton).

Kemudian, adegan laga dalam film ini harus banget dipuji karena memang keren. Adegan Waymond, suami Evelyne, bertarung menggunakan waist bag-nya itu seperti sedang bertarung dengan nunchaku—mengingatkanku pada film-film Kung Fu. Gaya bertarungnya Evelyne juga bagus banget dengan gerakan Kung Fu-nya. Namun, tetap saja ada momen kocak yang terselip di adegan pertarungannya, seperti (spoiler alert) ketika Evelyne menggunakan kekuatan kelingkingnya. Itu kocak banget, hahaha.

Selain itu, film ini juga mengangkat masalah drama keluarga yang menjadi inti utamanya. Iya, film ini sebenarnya adalah tentang Evelyne dan keluarganya yang dikemas dalam cerita multisemesta yang absurd dan lucu. Premis konflik keluarganya itu sederhana banget dan sudah dipakai di film-film lain, tetapi penyajiannya yang menggunakan cerita multisemesta membuatnya keren. Itulah sesuatu yang tidak kusangka dan kuapresiasi sekali.

Di film ini, Evelyne menghadapi berbagai masalah yang diperparah dengan konflik multisemesta, tetapi ternyata itu semua menjadi jalan baginya untuk berbaikan dengan keluarganya. (Spoiler alert) proses yang dialami Evelyne sampai dia dapat mengembalikan hubungannya dengan keluarganya, setelah segala kekacauan multisemesta yang terjadi, itu terbayarkan atau paid-off.

Selanjutnya, kelebihan yang tidak boleh sampai terlewatkan sudah pasti adalah elemen multisemestanya. Kalau kalian sudah menonton “Doctor Strange in the Multiverse of Madness” (2022), kalian pasti akan lebih suka Everything Everywhere All at Once karena elemen multisemestanya lebih gila lagi! Multisemestanya sangat imajinatif dan unexpected. (Spoiler alert) ada semesta tempat Evelyne hanya menjadi pinata, batu, atau manusia berjari sosis. Itu absurd banget! Namun, kreatif banget juga.

Kemudian, di semesta tempat Evelyne hanya berupa batu, itu treatment adegannya kocak banget. (Spoiler alert) tidak ada suara, tetapi tetap ada dialog berupa subtitle. Itu wah… sesuatu yang baru sekali dan belum pernah kulihat di film-film lain. Kreatif banget pokoknya.

Di film “Doctor Strange in the Multiverse of Madness” kan kita tidak tahu ada semesta apa saja, sedangkan di Everything Everywhere All at Once kita dijelaskan tentang itu meskipun singkat saja. Setiap semesta yang disorot dalam film ini dijelaskan penyebabnya bisa terjadi, (spoiler alert) seperti semesta tempat Evelyne menjadi aktris besar. Semesta-semesta yang dipilih juga nantinya dijelaskan apa pengaruhnya ke Evelyne yang tokoh utama. Jadi, semesta-semesta yang disorot itu tidak asal-asalan ditampilkan cuma demi memperlihatkan luasnya multisemesta, tetapi tiap semesta tersebut akan ada fungsinya nanti untuk alur cerita.

Dengan ada banyaknya semesta di film ini, acting range yang diperlihatkan para pemeran film ini juga luas. Aktor-aktris di film ini harus mampu memainkan karakter mereka dalam berbagai versi dan itu tantangan banget, tetapi berhasil dieksekusi. Misal, aktingnya Ke Huy Quan sebagai Waymond itu keren karena dapat memainkan dua versi Waymond yang terlihat jelas perbedaannya. Michelle Yeoh sebagai Evelyne juga keren banget karena memerankan berbagai versi Evelyne dengan adegan-adegan yang bervariasi.

Di samping itu semua, film ini memiliki muatan filosofis, di antaranya tentang eksistensialisme[2] dan nihilisme.[3] Sosok Evelyne di film ini tampak mengalami krisis eksistensial. Bisnisnya terancam ditutup, hubungannya dengan suami dan anaknya tidak baik, dan cita-citanya gagal. Di usianya yang tidak muda tersebut dia mulai mempertanyakan makna hidupnya tersebut. Kemudian, dia terseret dalam konflik multisemesta yang makin membuatnya mempertanyakan eksistensinya.

Di sisi lain, tokoh antagonis film ini, yakni Jobu Tupaki, merepresentasikan pemikiran nihilisme bahwa segala sesuatu di dunia tidak ada artinya. Salah satu dialognya yang membekas sekali adalah “Nothing matters.” Dengan segala keabsurdan yang sudah terjadi sepanjang film ini dan segala macam semesta yang ada, memang tampaknya tidak ada hal yang berarti karena semua sama saja.

Namun, yang membuatku kagum ialah ucapan Waymond. (Spoiler alert) dia berkata bahwa dunia memang penuh dengan kejadian-kejadian yang bisa membuat takut, tetapi kita selalu bisa memilih berbuat baik. Itu pemikiran nihilisme optimis bahwa kalau dunia diisi oleh hal-hal tidak bermakna, satu-satunya hal yang bermakna adalah hal yang kita pilih sebagai hal yang bermakna—artinya, yang penting adalah apa yang kita pilih. Walaupun dunia dipenuhi kejadian-kejadian absurd yang acak dan tidak bermakna, yang membuat kita takut dan bingung, kita tetap bisa memilih meresponsnya dengan kebaikan.

Film ini menyampaikan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih caranya memaknai kehidupan, apakah hidup ini buruk atau baik. Jika tidak ada hal yang berarti di dunia ini, itu berarti kita bebas memaknainya seperti apa. Kita punya kebebasan untuk memilih intepretasi, pemaknaan, dan persepsi kita terhadap suatu hal. Dalam eksistensialisme, ada ajaran bahwa eksistensi mendahului esensi—pemaknaan kita atas diri kita sendiri yang didasari kebebasan dan kesadaran diri (eksistensi) itu lebih utama daripada pemaknaan orang lain terhadap kita (esensi). Itu berarti definisi tentang diri kita yang kita pilih sendiri lebih penting daripada definisi yang orang lain berikan kepada kita.

Pada akhirnya, Evelyne belajar untuk melihat dunianya dari perspektif nihilisme optimis dan eksistensialisme tersebut. Puncak perkembangan karakternya adalah ketika dia bilang ini kepada anaknya, “Of all the places I could be, I choose here to be with you.” Dia bisa menjadi aktris hebat atau juru masak yang handal, tetapi dia memilih menjadi ibu dari anaknya karena itu yang penting baginya.

 

Kelemahan

Yang menjadi kelemahan film ini terletak di bagian awal film ketika elemen multisemestanya mulai dimasukkan. Kalau kalian kurang fokus, kalian pasti akan kebingungan. Apalagi, di bagian itu alurnya terasa cepat sekali, padahal ada banyak informasi penting yang mau disampaikan.

Kemudian, mungkin tema ceritanya dapat menjadi kelemahannya. Isi filmnya begitu absurd sehingga bagi beberapa orang mungkin tidak jelas. Apalagi, ada muatan filsafatnya yang bagi banyak orang mungkin terlalu mengawang-awang. Wajar saja apabila beberapa orang tidak menyukai film ini.

 

Kesimpulan

Everything Everywhere All at Once adalah sebuah film yang sangat sangat imajinatif dan kreatif. Elemen multisemesta yang disajikannya lebih baik dan well-delivered dibandingkan “Doctor Starange in the Multiverse of Madness.” Muatan ceritanya pun berbobot sekali dengan menyinggung eksistensialisme dan nihilisme. Dilengkapi dengan adegan-adegan action khas film-film Kung Fu dan lelucon absurd di sana-sini, Everything Everywhere All at Once sangat recommended untuk kalian. Skornya adalah 9,3/10.

Kalian dapat menonton Everything Everywhere All at Once di HBO Go. Berikut adalah trailer filmnya.


***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!



[1] Usaha atau orang yang bergerak di bidang pencucian (penyetrikaan) pakaian; dobi; benara (sumber: KBBI).

[2] Eksistensialisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang terutama diasosiasikan dengan beberapa filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20 yang sepaham (meskipun banyak perbedaan doktrinal yang mendalam) bahwa pemikiran filsafat bermula dengan subjek manusia—bukan hanya subjek manusia yang berpikir, tetapi juga individu manusia yang melakukan, yang merasa, dan yang hidup (sumber: Wikipedia).

[3] Nihilisme adalah pandangan filosofi, aliran, atau mazhab dalam filsafat yang menolak aspek umum dan fundamental dari eksistensi manusia, seperti kebenaran objektif, pengetahuan, moralitas, nilai, atau makna kehidupan (sumber: Wikipedia). 

Komentar