Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1] (2017) yang lalu menjadi buku best-...
CODA: Sebuah Musik Indah untuk Mereka yang Tunarungu
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Identitas Film
Judul
:
CODA (Child of Deaf Adults)
Sutradara
:
Sian Heder
Produser
:
Fabrice Gianfermi, Philippe Rousselet, Jerôme
Seydoux, Patrick Whachsberger
Tanggal rilis
:
28 Januari 2021
(Sundance Film Festival), 13 Agustus 2021
Rumah produksi
:
Vendôme Pictures, Pathé
Films
Penulis naskah
:
Sian Heder
Durasi tayang
:
1 jam 51 menit
Pemeran
:
Emilia Jones, Marlee
Martin, Troy Kotsur, Daniel Durant
Ruby Rossi (Emilia Jones) adalah satu-satunya
orang yang tidak tunarungu di keluarganya. Ayah (Troy Kotsur), ibu (Marlee
Martin), dan kakak laki-lakinya (Daniel Durant), semua tunarungu sejak lahir. Maka
dari itu, keluarganya sangat bergantung padanya sebagai penerjemah mereka. Namun,
di sekolah Ruby seringkali di-bully karena
keluarganya tunarungu. Ruby juga terkadang lelah dengan keluarganya yang
terkadang tak bisa memahami keinginannya.
Ruby bergabung dengan kelompok paduan suara di
sekolahnya yang dibimbing oleh guru musiknya, Pak Bernardo “Mr. V” Villalobos
(Eugenio Derbez). Sang guru terkejut karena Ruby bisa bernyanyi dengan bagus,
walaupun berasal dari keluarga tunarungu. Dia lalu menawarkan Ruby kesempatan melanjutkan
kuliah ke Berklee College of Music.
Meskipun dirinya ingin sekali mengejar mimpinya
bermusik, Ruby tidak yakin keluarganya akan mendukungnya. Mereka membutuhkannya
untuk bekerja, maka pasti mereka tidak setuju Ruby pergi. Apalagi, keluarganya
tak mengerti musik seperti dia. Namun, akankah keluarganya bisa mengerti
keinginannya kali ini?
Kelebihan
CODA merupakan film yang diadaptasi dari film
tahun 2014 asal Perancis-Belgia yang berjudul “La Famille Bélier.” CODA pertama kali tayang pada 2021 di Sundance
Film Festival.
Sebenarnya, kalau diperhatikan, premis film ini
sama seperti kebanyakan film keluarga, yakni konflik antara anak yang punya
keinginannya sendiri dengan keluarganya—antara memenuhi ego dengan kewajiban
mengabdi kepada keluarga. Eh, walau aku bilang ego, itu tak bermaksud negatif
kok. Yang aku maksud itu hasrat individu, yang dalam film ini adalah keinginan
Ruby untuk bisa bergaul sebagaimana remaja lainnya serta mengejar impiannya
untuk belajar musik.
Yang menarik adalah walaupun premisnya terbilang
pasaran, film ini menghadirkan pendekatan yang berbeda dengan menghadirkan
keluarga tunarungu sebagai pusat ceritanya. Di keluaganya, hanya Ruby yang bisa
mendengar sehingga ada beban baginya sebagai penerjemah keluarganya. Penonton
bisa melihat orang tua Ruby berkali-kali meminta Ruby ikut mereka bekerja untuk
membantu mereka sebagai penerjemah, padahal Ruby punya latihan nyanyi. Dia sendiri
telah menjadi penerjemah bagi keluarganya hampir seumur hidupnya, maka tentu
ada rasa lelah baginya.
Meskipun keluarga Ruby itu tunarungu, keluarga
mereka tampak seperti keluarga pada umumnya. Penonton dapat melihat interaksi
keluarga yang biasanya ada di keluarga lain pada keluarga Ruby—tidak ada bedanya.
Misal, perbedaan pendapat orang tua dan anak serta pertengkaran kakak dan adik.
Itu semua normal terjadi pada keluarga lain, juga pada keluarga tunarungu
seperti keluarganya Ruby. Ditambah lagi, chemistry
mereka sebagai satu keluaga terasa nyata
banget, bagus banget, seakan-akan
mereka keluarga sungguhan.
Kemudian, film ini dapat dengan baik menggambarkan
keluarga Ruby bukan sebagai keluarga yang perlu dikasihani. Film ini tidak
menjadikan orang tunarungu sebagai sosok yang patut dikasihani dan kesulitan
dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, film ini menunjukkan bahwa orang
tunarungu bisa bekerja sebagaimana orang lainnya.
Penonton akan melihat keluarga Ruby pergi
menangkap ikan di laut seperti nelayan lainnya. Selain itu, ayahnya Ruby, Frank
Rossi, juga adalah sosok yang berani speak
up. Bahkan, (spoiler alert)
keluarga mereka pun membuat gebrakan bagi komunitas nelayan di lingkungan
mereka. Itu membuktikan bahwa orang tunarungu memiliki kapabilitas yang tidak
kalah dari orang lainnya. Oleh karena itu, menurutku CODA berhasil menyajikan
semangat inklusivitas di dalam ceritanya.
Berikutnya, hal menarik lainnya dari CODA adalah scoring-nya. Film ini memiliki scoring yang sedikit banget, dan hanya
ada di adegan-adegan tertentu. Ini sebuah usaha yang bagus mengingat film ini
ingin mengangkat citra orang-orang tunarungu yang tak bisa didengar. Jadi,
dengan membuat scoring pada film ini minim,
penonton diajak merasakan keheningan yang dialami para kaum tunarungu. Namun,
kalian jangan khawatir, tetap ada lagu-lagu soundtrack
yang muncul di film ini.Pilihan
lagu untuk soundtrack-nya pun tepat karena
mudah untuk dinikmati.
Selain itu, hal yang patut diapresiasi dari film
ini adalah aktingnya Emilia Jones sebagai Ruby Rossi. Aku sebelumnya pernah
menontonnya di serial “Locke & Key” (2019–on going), dan menurutku, aktingnya di
CODA lebih bagus. Dia dapat memerankan karakter Ruby Rossi dengan sangat baik yang tampak dari small gestures yang dia tunjukkan. Dia
juga telah belajar bahasa isyarat selama berbulan-bulan untuk perannya ini. Aku
apresiasi effort-nya itu karena
terbukti berhasil di film ini. Dia tampak mahir berbahasa isyarat ketika beradu
akting dengan aktor-aktris tunarungu yang menjadi lawan mainnya.
Aku pikir berakting dengan bahasa isyarat itu
agak sulit ya. Selain dari ekspresi wajah, emosi seseorang juga terasa di nada
dan intonasi bicaranya. Namun, di film ini, aktor-aktrisnya tunarungu sehingga
tidak mungkin penonton bisa mendengar nada dan intonasi bicara mereka. Meskipun
begitu, emosi mereka tetap terasa loh, entah itu senang, marah, ataupun sedih. Oh
iya, Emilia Jones yang bukan aktris tunarungu pun juga bisa berakting dengan bagus
menggunakan bahasa isyarat.
Salah satu adegan favoritku di film ini adalah (spoiler alert) sewaktu konser paduan
suaranya Ruby. Malam itu, keluarganya Ruby datang untuk menonton Ruby, tetapi
mereka tidak bisa mendengar Ruby bernyanyi. Mereka jadi celingak-celinguk melihat
penonton lain, sambil kebingungan. Ketika para penonton lainnya memberi tepuk
tangan kepada Ruby, keluarganya tak dapat mendengarnya bernyanyi sehingga
mereka ikut-ikutan tepuk tangan saja. Itu ironis banget, dan membuat hati
mencelus.
Apalagi, (spoiler
alert) ketika Ruby tampil duet dengan Miles (Ferdia Walsh-Peelo). Itu
adegan yang sudah ditunggu-tunggu banget karena kita melihat mereka latihan
berkali-kali. Namun, saat akhirnya mereka tampil, adegan berubah dengan
menunjukkan sudut pandang ayahnya Ruby yang tidak bisa mendengar apa-apa. Semua
suara dihilangkan sehingga penonton juga tidak bisa mendengar Ruby dan Miles
bernyanyi. Padahal, aku sudah penasaran sekali dengan penampilan duet mereka. Akan
tetapi, rupanya penonton diajak untuk mengerti perasaan keluarganya Ruby. Itu pasti
mengena sekali bagi penonton.
Kemudian, (spoiler
alert) ketika pulang, Ruby dan ayahnya duduk bersama, lalu ayahnya meminta
Ruby menyanyikan sekali lagi lagu yang tadi dia nyanyikan di konser. Ketika
Ruby bernyanyi, ayahnya menyentuh lehernya untuk merasakan getar pita suaranya.
Itulah caranya orang tunarungu menikmati musik, melalui getaran. Itu momen yang
sederhana, tapi terasa intim sekali. Di situlah ayahnya Ruby tahu bahwa anaknya
bisa bernyanyi dengan bagus dan dia ingin agar anaknya mengejar cita-citanya. Aku
menontonnya sampai berkaca-kaca.
(Spoiler
alert)puncaknya tentu ketika
Ruby audisi untuk masuk Berklee College of Music. Ketika Ruby menyanyikan lagu “Both Sides Now” dari Joni Mitchell
sambil menggunakan bahasa isyarat, itu indah
banget. Dia tahu dia ditonton keluarganya dan mereka tak bisa mendengarnya,
maka dia terjemahkan lagu itu dengan bahasa isyarat sambil bernyanyi. Dia ingin
agar lagunya juga tersampaikan kepada mereka yang tidak bisa mendengar
musiknya. Dia bahkan bernyanyi untuk keluarganya, bukan untuk para penilai—yang
tampak dari tatapan matanya. Itu keren banget. Aku sampai menangis menontonnya.
Kelemahan
Yang menjadi kelemahan film ini mungkin adalah
premisnya ya. Seperti yang aku bilang tadi, premis film ini biasa saja, seperti
film-film keluarga lainnya. Itu mungkin dapat membuat sebagian orang merasa
bosan sehingga kurang minat untuk menontonnya.
Kemudian, minimnya scoring pada film ini juga dapat menjadi pisau bermata ganda. Di
satu sisi, itu bagus untuk mengajak penonton ikut merasakan yang dirasakan kaum
tunarungu, tetapi di sisi lain, itu bisa membuat film ini terasa membosankan.
Premisnya pasaran, lalu audionya juga minim. Mungkin, banyak penonton yang
tidak bisa menikmati film ini.
Kesimpulan
CODA adalah sebuah film keluarga yang berhasil
merepresentasikan kaum tunarungu. Film ini tidak menghadirkan keluarga tunarungu
yang perlu dikasihani, melainkan keluarga tunarungu yang hebat dan bisa
berkarya. Kemudian, aku suka sekali dengan chemistry
para pemainnya sebagai satu keluarga serta aktingnya Emilia Jones, yang
sudah pasti mengeluarkan banyak effort.
CODA juga mengajak kita untuk mengerti seperti apa rasanya menjadi orang
tunarungu melalui scoring filmnya
yang sederhana. Oleh karena itu, aku memberi skor 9/10 untuk CODA. Meskipun
begitu, aku sadar bahwa film ini bukanlah film yang bisa dinikmati semua orang
karena pasti ada yang menganggapnya membosankan.
Kalian dapat menonton CODA di Apple TV. Kalian dapat menonton trailer filmnya di bawah sini.
***
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar