Identitas
Buku
Judul
|
:
|
Madilog
|
Penulis
|
:
|
Tan Malaka
|
Penerbit
|
:
|
Narasi
|
Tahun terbit
|
:
|
2019
|
Cetakan
|
:
|
XV
|
Tebal
|
:
|
560 halaman
|
Harga
|
:
|
Rp110.000,-
|
ISBN
|
:
|
978-602-5792-40-3
|
Genre
|
:
|
Ilmu sosial, filsafat
|
Biografi Penulis
Tan
Malaka memiliki nama asli Sutan Ibrahim. Nama Tan Malaka adalah nama
semi-bangsawan yang diperolehnya dari garis keturunan ibu—nama lengkapnya
adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Dia lahir di Sumatera Barat dari
ayah yang seorang karyawan pertanian dan ibunya yang seorang putri dari tokoh
masyarakat di kampungnya. Sejak kecil, Tan Malaka adalah anak yang cerdas
walaupun nakal. Tan Malaka hampir tidak dapat meneruskan pendidikannya karena
keluarganya miskin, tetapi warga kampungnya mengumpulkan uang untuk
membiayainya kuliah. Dia pun bisa berangkat ke Eropa untuk meneruskan
pendidikan.
Di
Eropa, Tan Malaka banyak membaca buku-buku karya kaum intelektual Eropa.
Apalagi sejak Revolusi Rusia tahun 1917, dia menaruh minat pada pemikiran
sosialisme dan komunisme dengan membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich
Engels, dan Vladimir Lenin. Selain itu, dia juga banyak terinspirasi oleh
pemikiran-pemikiran Friedrich Nietzche.
Saat
kembali ke Indonesia, Tan Malaka ingin turut berjuang untuk kemerdekaan, tetapi
dia terus-menerus dikejar oleh tantara Belanja sehingga dia harus hidup dalam
pelarian. Dia berpindah-pindah ke berbagai negara dan menggunakan beragam nama
samaran. Dalam pelariannya itulah Tan Malaka menuliskan karyanya yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia” (“Menuju
Republik Indonesia”) pada 1924. Bukunya itu dibaca oleh banyak pejuang revolusi
Indonesia lainnya dan menyulut semangat perjuangan mereka. Buku tersebut
ibaratnya panduan untuk membentuk Negara Republik Indonesia yang merdeka.
Karya
besarnya yang lain adalah buku berjudul “Madilog” yang dia tulis pada tahun
1943 saat dia tinggal di Batavia, bersembunyi dengan penyamarannya. Buku itu ditulis
kurang lebih selama 8 bulan, lalu baru diterbitkan secara resmi pada tahun
1951. “Madilog” berisikan gagasan Tan Malaka untuk membentuk pola pikir bangsa
Indonesia di tengah masyarakat modern. Dia terutama mengkritisi pola pikir
bangsa Indonesia yang sangat bergantung pada takhayul dan kepercayaan—yang dia
sebut logika mistika.
Sinopsis
“Madilog”
merupakan akronim dari materialisme, dialektika, dan logika yang merupakan
pokok bahasan yang dibicarakan Tan Malaka dalam bukunya. Melalui buku ini, Tan
Malaka memperkenalkan thinking framework ‘kerangka
berpikir’ yang berdasarkan ilmu bukti dan penalaran logis yang disebut Madilog.
Tan
Malaka melihat banyak orang Indonesia yang masih berpikir dengan framework takhayul dan percaya alam ini
dipengaruhi kekuatan-kekuatan gaib. Thinking
framework seperti itu dia sebut logika mistika dan itu tidak akan membawa
bangsa Indonesia menuju kemajuan yang dialami bangsa-bangsa besar lain di
dunia. Maka dari itulah Tan Malaka menulis “Madilog.”
Kesan Membaca Buku Ini
Menurutku,
buku “Madilog” ini sangat keren dengan berbagai gagasan-gagasannya. Aku yakin
pada saat itu, gagasan-gagasan dalam buku ini termasuk revolusioner, mengingat
saat itu hanya segelintir rakyat Indonesia yang berpendidikan. Buku ini
memperkenalkan cara berpikir yang saintifik untuk memahami fenomena-fenomena di
alam dan di masyarakat sebagai ganti cara berpikir yang berdasarkan
kepercayaan. Tulisannya pun tidak terkesan menggurui dan juga tidak
membicarakan teori-teori filsafat yang membingungkan sehingga cukup mudah
dipahami. Bahkan, cara berpikir madilog ini cukup praktis. Dia juga menjelaskan
argumen-argumen yang masuk akal dan sederhana untuk mengkritisi logika mistika.
Ditambah lagi, isi bukunya disajikan dengan sistematis sekali, mulai dari
definisi sampai akhirnya tentang framework
madilog.
Salah
satu poin yang aku ingat dari buku ini adalah kritiknya terhadap aliran
filsafat idealisme.
Dia mengatakan filsuf-filsuf idealisme tidak jauh berbeda dengan orang-orang
yang percaya takhayul. Tan Malaka lalu mengkritiknya dengan gagasan
materialisme—tepatnya
materialisme dialektis—yang
berargumen bahwa yang utama adalah bukti (evidence)
yang bersifat material, bukan ide. Hal yang tampak benar dalam ide atau pikiran
kita belum tentu secara nyata ada di realitas. Pemahaman tentang suatu bukti (evidence) mungkin dapat ditemukan
kemudian hari, tetapi bukti (evidence) tersebut nyata adanya dan merupakan kebenaran
objektif. Contohnya, Big Bang lebih
dulu terjadi baru kemudian pemahaman tentangnya muncul.
Poin
yang aku suka lainnya adalah penjelasannya tentang dialektika yang di salah
satu bagiannya menjelaskan mengenai hubungan antara lingkungan hidup,
teknologi, perekonomian, serta politik dan hukum dalam kelompok masyarakat. Dia
mengatakan bahwa hubungan keempatnya bersifat dua arah. Kondisi lingkungan
hidup akan memengaruhi potensi pencapaian teknologi yang bisa diwujudkan suatu
kelompok masyarakat, lalu itu akan memengaruhi keadaan perekonomiannya, lalu
memengaruhi arah kebijakan politik dan hukum pemerintah. Setelah itu, terjadi
perlantunan, kata Tan Malaka, yakni kebijakan politik dan hukum yang diambil
pemerintah akan memengaruhi perekonomian di suatu kelompok masyarakat tersebut,
lalu itu akan memengaruhi perkembangan teknologinya, dan pada akhirnya akan
memengaruhi kondisi lingkungan hidupnya. Gagasan tersebut, bagiku, sangat enlightening dan caranya menyampaikannya
mudah dipahami. Gagasan tersebut sangat relatable
dengan kondisi saat ini dan aku pikir cukup untuk menjadi thinking framework untuk peduli terhadap
isu-isu environmentalism.
Namun,
yang lebih aku suka adalah Tan Malaka selalu menekankan bahwa sains adalah
upaya tak berkesudahan. Pengetahuan sebagai produk sains yang kita tahu hari
ini sewaktu-waktu dapat berubah, bahkan bisa terbukti salah sama sekali,
seiring ditemukannya bukti-bukti baru dan muncul gagasan-gagasan baru. Tan
Malaka pun berkali-kali menyinggung bahwa pengetahuan yang ditulis di “Madilog”
mungkin saja terbukti salah di masa depan. Dia juga bilang bahwa sains merupakan
proses tak berkesudahan, bukan doktrin sakral yang tidak bisa dikritik. Dia
mengatakan bahwa pengetahuan sains itu hasil dari tesis, antitesis, dan
sintesis yang tiada berkesudahan.
Ketika
membaca buku “Madilog”, mungkin beberapa orang akan menganggap buku ini
mengajarkan ateisme, apalagi ide-ide materialisme memang lekat dengan itu.
Dalam buku ini pun Tan Malaka mengkritik cara pandang orang-orang yang
menyebutkan penciptaan alam serta fenoma-fenomena alam lainnya disebabkan oleh
Tuhan. Tan Malaka justru mengatakan bahwa semua itu adalah akibat dari kerja hukum-hukum
alam yang bersifat material.
Akan tetapi, kalau diperhatikan Tan Malaka sebenarnya tidak
bermaksud mengajarkan ateisme. Ada beberapa kalimat di buku ini yang mengatakan
agar kita memisahkan konteks iman dan ilmu. Jadi, ketika berbicara dalam
konteks iman yang sifatnya privat, silakan saja mengatakan fenomena di alam ini
adalah kuasa Tuhan; tetapi ketika berbicara dalam konteks ilmu, kita harus
bicara berdasarkan bukti (evidence) dan ilmu pengetahuan yang ada, bukan
kepercayaan. Tan Malaka pun menulis bahwa Tuhan, surga, neraka, roh, malaikat,
akhirat, dan hal-hal supranatural dan gaib lainnya ada di luar konsep madilog. Dia
ingin agar kita tidak mempertentangkan ranah iman yang berdasarkan kepercayaan
dengan ranah ilmu yang berdasarkan bukti (evidence).
Selain itu, beberapa orang mungkin berpikir buku ini
mengajarkan komunisme karena Tan Malaka banyak terinspirasi ide-ide Marx,
Engels, dan Lenin. Namun, kalian tidak perlu khawatir karena buku ini tidak
mengajarkan komunisme.
Memang ada beberapa hal dalam buku ini yang bernuansa sosialisme-komunisme,
tetapi itu bukanlah intinya. Tan Malaka lebih banyak mengambil gagasan
materialismenya Marx, Engels, dan Lenin daripada gagasan
sosialisme-komunismenya.
Menurutku pribadi, buku ini pastinya enlightening sekali pada saat itu dan isinya juga masih relevan
untuk hari ini karena sekarang pun kita masih suka bertemu orang-orang yang mempersepsikan
fenomena-fenomena alam dan sosial menggunakan thinking framework logika mistika, seperti menganggap suatu bencana
sebagai azab. Kemudian, aku kagum pada Tan Malaka karena mau mengeluarkan effort untuk menulis buku ini ketika
pejuang kemerdekaan lainnya sibuk berurusan dengan politik saat itu. Dia
tampaknya sudah berpikir bahwa bangsa Indonesia waktu itu tidak akan bisa
berdaya sekalipun sudah merdeka karena banyak yang belum terdidik dan terlalu
percaya takhayul. Apalagi, Indonesia ini adalah negara demokratis sehingga
partisipasi rakyat akan menjadi peran penting dan agar negara Indonesia dapat
maju, dibutuhkan rakyat yang cerdas untuk berdemokrasi. Dia ingin agar framework berpikir madilog tidak hanya
dipahami kaum terpelajar, melainkan semua
warga Indonesia.
Walaupun isinya bagus,
penulisannya terlalu jadul
Buku
“Madilog” memiliki konten yang cemerlang, tetapi penulisannya sangat jadul
sehingga agak sulit dipahami. Banyak banget istilah dan kosa kata bahasa
Indonesia zaman dulu dalam buku ini sehingga agak membingungkan, apalagi kalau
dibaca oleh orang-orang yang belum terbiasa dengan thinking framework saintifik. Sepertinya, buku ini langsung
menyalin catatan asli Tan Malaka tanpa melewati penyuntingan (editing) sehingga selain bahasanya yang
jadul, ada beberapa typo.
Aku
harap buku ini dapat ditulis ulang menggunakan bahasa Indonesia saat ini agar
lebih mudah dipahami. Istilah-istilah dan diksinya dapat diganti dengan yang
ada dalam KBBI sekarang, lalu tata kalimatnya pun diperbaiki. Dengan begitu,
buku ini akan jauh lebih mudah dipahami orang-orang zaman sekarang, termasuk
dipahami orang biasa. Menurutku, effort tersebut
perlu dilakukan agar tujuan Tan Malaka menuliskan buku ini dapat tercapai, agar
framework berpikir madilog dapat
sampai ke sebanyak mungkin orang.
Selain
memperbaiki tata bahasanya, aku pikir akan lebih baik juga jika ditaruh footnote ‘catatan kaki’ di bagian-bagian
yang menjelaskan suatu konsep atau teori sains. Aku menyadari ada beberapa informasi,
pengetahuan, dan konsep sains di buku ini yang sudah outdated. Misalnya, ketika Tan Malaka membicarakan syarat
terjadinya kehidupan adalah adanya oksigen. Padahal, pada masa awal kehidupan
di Bumi terjadi, oksigen belum ada dan oksigen sendiri bersifat racun bagi
makhluk hidup saat itu sehingga tanpa adanya oksigen, kehidupan dapat terjadi. Walaupun
tujuan “Madilog” adalah mengajarkan framework
berpikirnya, bukan pengetahuannya, penambahan footnote tadi bisa membantu sekali. Para pembaca zaman sekarang
jadi tidak akan salah paham dan dapat mendapatkan pengetahuan yang lebih akurat
tentang hal-hal yang disinggung Tan Malaka.
Kesimpulan
“Madilog”
bukanlah buku yang mengajarkan ateisme atau komunisme. Ia adalah buku yang
mengajarkan kita cara berpikir saintifik yang berdasarkan bukti (evidence) dan penalaran logis. Melalui
buku ini, Tan Malaka ingin membentuk pola pikir bangsa Indonesia agar bisa
menjadi bangsa yang cerdas dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di
dunia. Di dalam buku ini pun ada banyak sekali gagasan keren yang bisa membantu
memperbaiki cara berpikir kita. Namun, penulisannya ada bagusnya disunting
ulang agar lebih mudah dipahami orang-orang zaman sekarang. Biarpun begitu, buku
ini tetaplah enlightening dan
sebaiknya dibaca oleh semua orang.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Lagipula, mempelajari ideologi sosialisme-komunisme bukanlah hal buruk. Itu
tidak berbeda dengan mempelajari liberalisme, feminisme, naziisme, dan
paham-paham pemikiran lainnya. Itu tidak sama dengan kalian menjadi seorang
komunis, apalagi anggota PKI (Partai Komunisme Indonesia) yang sudah lama
bubar.
Komentar
Posting Komentar