A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Madilog: Kerangka Berpikir Saintifik Versi Tan Malaka untuk Bangsa Indonesia

Identitas Buku

Judul

:

Madilog

Penulis

:

Tan Malaka

Penerbit

:

Narasi

Tahun terbit

:

2019

Cetakan

:

XV

Tebal

:

560 halaman

Harga

:

Rp110.000,-

ISBN

:

978-602-5792-40-3

Genre

:

Ilmu sosial, filsafat

 

Biografi Penulis

Tan Malaka memiliki nama asli Sutan Ibrahim. Nama Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang diperolehnya dari garis keturunan ibu—nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Dia lahir di Sumatera Barat dari ayah yang seorang karyawan pertanian dan ibunya yang seorang putri dari tokoh masyarakat di kampungnya. Sejak kecil, Tan Malaka adalah anak yang cerdas walaupun nakal. Tan Malaka hampir tidak dapat meneruskan pendidikannya karena keluarganya miskin, tetapi warga kampungnya mengumpulkan uang untuk membiayainya kuliah. Dia pun bisa berangkat ke Eropa untuk meneruskan pendidikan.

Di Eropa, Tan Malaka banyak membaca buku-buku karya kaum intelektual Eropa. Apalagi sejak Revolusi Rusia tahun 1917, dia menaruh minat pada pemikiran sosialisme dan komunisme dengan membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Selain itu, dia juga banyak terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran Friedrich Nietzche.

Saat kembali ke Indonesia, Tan Malaka ingin turut berjuang untuk kemerdekaan, tetapi dia terus-menerus dikejar oleh tantara Belanja sehingga dia harus hidup dalam pelarian. Dia berpindah-pindah ke berbagai negara dan menggunakan beragam nama samaran. Dalam pelariannya itulah Tan Malaka menuliskan karyanya yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia” (“Menuju Republik Indonesia”) pada 1924. Bukunya itu dibaca oleh banyak pejuang revolusi Indonesia lainnya dan menyulut semangat perjuangan mereka. Buku tersebut ibaratnya panduan untuk membentuk Negara Republik Indonesia yang merdeka.

Karya besarnya yang lain adalah buku berjudul “Madilog” yang dia tulis pada tahun 1943 saat dia tinggal di Batavia, bersembunyi dengan penyamarannya. Buku itu ditulis kurang lebih selama 8 bulan, lalu baru diterbitkan secara resmi pada tahun 1951. “Madilog” berisikan gagasan Tan Malaka untuk membentuk pola pikir bangsa Indonesia di tengah masyarakat modern. Dia terutama mengkritisi pola pikir bangsa Indonesia yang sangat bergantung pada takhayul dan kepercayaan—yang dia sebut logika mistika.

 

Sinopsis

“Madilog” merupakan akronim dari materialisme, dialektika, dan logika yang merupakan pokok bahasan yang dibicarakan Tan Malaka dalam bukunya. Melalui buku ini, Tan Malaka memperkenalkan thinking framework ‘kerangka berpikir’ yang berdasarkan ilmu bukti dan penalaran logis yang disebut Madilog.

Tan Malaka melihat banyak orang Indonesia yang masih berpikir dengan framework takhayul dan percaya alam ini dipengaruhi kekuatan-kekuatan gaib. Thinking framework seperti itu dia sebut logika mistika dan itu tidak akan membawa bangsa Indonesia menuju kemajuan yang dialami bangsa-bangsa besar lain di dunia. Maka dari itulah Tan Malaka menulis “Madilog.”

 

Kesan Membaca Buku Ini

Menurutku, buku “Madilog” ini sangat keren dengan berbagai gagasan-gagasannya. Aku yakin pada saat itu, gagasan-gagasan dalam buku ini termasuk revolusioner, mengingat saat itu hanya segelintir rakyat Indonesia yang berpendidikan. Buku ini memperkenalkan cara berpikir yang saintifik untuk memahami fenomena-fenomena di alam dan di masyarakat sebagai ganti cara berpikir yang berdasarkan kepercayaan. Tulisannya pun tidak terkesan menggurui dan juga tidak membicarakan teori-teori filsafat yang membingungkan sehingga cukup mudah dipahami. Bahkan, cara berpikir madilog ini cukup praktis. Dia juga menjelaskan argumen-argumen yang masuk akal dan sederhana untuk mengkritisi logika mistika. Ditambah lagi, isi bukunya disajikan dengan sistematis sekali, mulai dari definisi sampai akhirnya tentang framework madilog.

Salah satu poin yang aku ingat dari buku ini adalah kritiknya terhadap aliran filsafat idealisme[1]. Dia mengatakan filsuf-filsuf idealisme tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang percaya takhayul. Tan Malaka lalu mengkritiknya dengan gagasan materialisme[2]—tepatnya materialisme dialektis[3]—yang berargumen bahwa yang utama adalah bukti (evidence) yang bersifat material, bukan ide. Hal yang tampak benar dalam ide atau pikiran kita belum tentu secara nyata ada di realitas. Pemahaman tentang suatu bukti (evidence) mungkin dapat ditemukan kemudian hari, tetapi bukti (evidence) tersebut nyata adanya dan merupakan kebenaran objektif. Contohnya, Big Bang lebih dulu terjadi baru kemudian pemahaman tentangnya muncul.

Poin yang aku suka lainnya adalah penjelasannya tentang dialektika yang di salah satu bagiannya menjelaskan mengenai hubungan antara lingkungan hidup, teknologi, perekonomian, serta politik dan hukum dalam kelompok masyarakat. Dia mengatakan bahwa hubungan keempatnya bersifat dua arah. Kondisi lingkungan hidup akan memengaruhi potensi pencapaian teknologi yang bisa diwujudkan suatu kelompok masyarakat, lalu itu akan memengaruhi keadaan perekonomiannya, lalu memengaruhi arah kebijakan politik dan hukum pemerintah. Setelah itu, terjadi perlantunan, kata Tan Malaka, yakni kebijakan politik dan hukum yang diambil pemerintah akan memengaruhi perekonomian di suatu kelompok masyarakat tersebut, lalu itu akan memengaruhi perkembangan teknologinya, dan pada akhirnya akan memengaruhi kondisi lingkungan hidupnya. Gagasan tersebut, bagiku, sangat enlightening dan caranya menyampaikannya mudah dipahami. Gagasan tersebut sangat relatable dengan kondisi saat ini dan aku pikir cukup untuk menjadi thinking framework untuk peduli terhadap isu-isu environmentalism[4].

Namun, yang lebih aku suka adalah Tan Malaka selalu menekankan bahwa sains adalah upaya tak berkesudahan. Pengetahuan sebagai produk sains yang kita tahu hari ini sewaktu-waktu dapat berubah, bahkan bisa terbukti salah sama sekali, seiring ditemukannya bukti-bukti baru dan muncul gagasan-gagasan baru. Tan Malaka pun berkali-kali menyinggung bahwa pengetahuan yang ditulis di “Madilog” mungkin saja terbukti salah di masa depan. Dia juga bilang bahwa sains merupakan proses tak berkesudahan, bukan doktrin sakral yang tidak bisa dikritik. Dia mengatakan bahwa pengetahuan sains itu hasil dari tesis, antitesis, dan sintesis yang tiada berkesudahan.

Ketika membaca buku “Madilog”, mungkin beberapa orang akan menganggap buku ini mengajarkan ateisme, apalagi ide-ide materialisme memang lekat dengan itu. Dalam buku ini pun Tan Malaka mengkritik cara pandang orang-orang yang menyebutkan penciptaan alam serta fenoma-fenomena alam lainnya disebabkan oleh Tuhan. Tan Malaka justru mengatakan bahwa semua itu adalah akibat dari kerja hukum-hukum alam yang bersifat material.

Akan tetapi, kalau diperhatikan Tan Malaka sebenarnya tidak bermaksud mengajarkan ateisme. Ada beberapa kalimat di buku ini yang mengatakan agar kita memisahkan konteks iman dan ilmu. Jadi, ketika berbicara dalam konteks iman yang sifatnya privat, silakan saja mengatakan fenomena di alam ini adalah kuasa Tuhan; tetapi ketika berbicara dalam konteks ilmu, kita harus bicara berdasarkan bukti (evidence) dan ilmu pengetahuan yang ada, bukan kepercayaan. Tan Malaka pun menulis bahwa Tuhan, surga, neraka, roh, malaikat, akhirat, dan hal-hal supranatural dan gaib lainnya ada di luar konsep madilog. Dia ingin agar kita tidak mempertentangkan ranah iman yang berdasarkan kepercayaan dengan ranah ilmu yang berdasarkan bukti (evidence).

Selain itu, beberapa orang mungkin berpikir buku ini mengajarkan komunisme karena Tan Malaka banyak terinspirasi ide-ide Marx, Engels, dan Lenin. Namun, kalian tidak perlu khawatir karena buku ini tidak mengajarkan komunisme.[5] Memang ada beberapa hal dalam buku ini yang bernuansa sosialisme-komunisme, tetapi itu bukanlah intinya. Tan Malaka lebih banyak mengambil gagasan materialismenya Marx, Engels, dan Lenin daripada gagasan sosialisme-komunismenya.  

Menurutku pribadi, buku ini pastinya enlightening sekali pada saat itu dan isinya juga masih relevan untuk hari ini karena sekarang pun kita masih suka bertemu orang-orang yang mempersepsikan fenomena-fenomena alam dan sosial menggunakan thinking framework logika mistika, seperti menganggap suatu bencana sebagai azab. Kemudian, aku kagum pada Tan Malaka karena mau mengeluarkan effort untuk menulis buku ini ketika pejuang kemerdekaan lainnya sibuk berurusan dengan politik saat itu. Dia tampaknya sudah berpikir bahwa bangsa Indonesia waktu itu tidak akan bisa berdaya sekalipun sudah merdeka karena banyak yang belum terdidik dan terlalu percaya takhayul. Apalagi, Indonesia ini adalah negara demokratis sehingga partisipasi rakyat akan menjadi peran penting dan agar negara Indonesia dapat maju, dibutuhkan rakyat yang cerdas untuk berdemokrasi. Dia ingin agar framework berpikir madilog tidak hanya dipahami kaum terpelajar, melainkan semua warga Indonesia.

Walaupun isinya bagus, penulisannya terlalu jadul

Buku “Madilog” memiliki konten yang cemerlang, tetapi penulisannya sangat jadul sehingga agak sulit dipahami. Banyak banget istilah dan kosa kata bahasa Indonesia zaman dulu dalam buku ini sehingga agak membingungkan, apalagi kalau dibaca oleh orang-orang yang belum terbiasa dengan thinking framework saintifik. Sepertinya, buku ini langsung menyalin catatan asli Tan Malaka tanpa melewati penyuntingan (editing) sehingga selain bahasanya yang jadul, ada beberapa typo.

Aku harap buku ini dapat ditulis ulang menggunakan bahasa Indonesia saat ini agar lebih mudah dipahami. Istilah-istilah dan diksinya dapat diganti dengan yang ada dalam KBBI sekarang, lalu tata kalimatnya pun diperbaiki. Dengan begitu, buku ini akan jauh lebih mudah dipahami orang-orang zaman sekarang, termasuk dipahami orang biasa. Menurutku, effort tersebut perlu dilakukan agar tujuan Tan Malaka menuliskan buku ini dapat tercapai, agar framework berpikir madilog dapat sampai ke sebanyak mungkin orang.

Selain memperbaiki tata bahasanya, aku pikir akan lebih baik juga jika ditaruh footnote ‘catatan kaki’ di bagian-bagian yang menjelaskan suatu konsep atau teori sains. Aku menyadari ada beberapa informasi, pengetahuan, dan konsep sains di buku ini yang sudah outdated. Misalnya, ketika Tan Malaka membicarakan syarat terjadinya kehidupan adalah adanya oksigen. Padahal, pada masa awal kehidupan di Bumi terjadi, oksigen belum ada dan oksigen sendiri bersifat racun bagi makhluk hidup saat itu sehingga tanpa adanya oksigen, kehidupan dapat terjadi. Walaupun tujuan “Madilog” adalah mengajarkan framework berpikirnya, bukan pengetahuannya, penambahan footnote tadi bisa membantu sekali. Para pembaca zaman sekarang jadi tidak akan salah paham dan dapat mendapatkan pengetahuan yang lebih akurat tentang hal-hal yang disinggung Tan Malaka.

 

Kesimpulan

“Madilog” bukanlah buku yang mengajarkan ateisme atau komunisme. Ia adalah buku yang mengajarkan kita cara berpikir saintifik yang berdasarkan bukti (evidence) dan penalaran logis. Melalui buku ini, Tan Malaka ingin membentuk pola pikir bangsa Indonesia agar bisa menjadi bangsa yang cerdas dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Di dalam buku ini pun ada banyak sekali gagasan keren yang bisa membantu memperbaiki cara berpikir kita. Namun, penulisannya ada bagusnya disunting ulang agar lebih mudah dipahami orang-orang zaman sekarang. Biarpun begitu, buku ini tetaplah enlightening dan sebaiknya dibaca oleh semua orang.

***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

[1] Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas (sumber: Wikipedia).

[2] Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi (sumber: Wikipedia).

[3] Materialisme dialektis adalah sebuah filsafat ilmu dan alam, yang didasarkan pada tulisan-tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels. Materialisme dialektis mengadaptasi dialektika Hegel terhadap materialisme tradisional, yang menyelidiki hubungan antarsubjek di dunia di dalam lingkungan yang dinamis dan evolusioner, sementara materialisme metafisis menyelidiki dunia di dalam lingkungan yang statis dan terisolasi (sumber: Wikipedia).

[4] Pelestarian lingkungan hidup atau environmentalisme adalah filosofi, ideologi dan gerakan sosial yang luas mengenai masalah konservasi lingkungan dan peningkatan kesehatan lingkungan (sumber: Wikipedia).

[5] Lagipula, mempelajari ideologi sosialisme-komunisme bukanlah hal buruk. Itu tidak berbeda dengan mempelajari liberalisme, feminisme, naziisme, dan paham-paham pemikiran lainnya. Itu tidak sama dengan kalian menjadi seorang komunis, apalagi anggota PKI (Partai Komunisme Indonesia) yang sudah lama bubar. 

Komentar