A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

The Platform: Sebuah Penjara dengan Metafora Kesenjangan Sosial

Halo pembaca semua! Apa kabar? Semoga kalian dan keluarga kalian sehat ya. Aku tahu kalau media sangat gencar dengan segala informasi mengenai covid-19 dan banyak dari kalian bosan dengan hal tersebut. Untuk itu, aku tidak akan mengunggah tulisan-tulisan mengenai covid-19 dalam waktu dekat, atau bahkan tidak akan lagi. Sebagai gantinya, aku akan tulis lebih banyak reviu film dan reviu buku, yang mungkin saja bisa membantu kalian untuk mengisi waktu luang selama di rumah aja saat ini. Selamat membaca!

***



Identitas Film

Judul                              : The Platform
Sutradara                       : Galder Gaztelu-Urrutia
Tanggal rilis                    : 20 Maret 2020
Rumah produksi             : Basque Films, Mr. Miyagi Films, Plataforma La Pelicula A.I.E
Penulis naskah               : David Desola
Durasi tayang                 : 94 menit
Pemeran                         : Ivan Massague, Zorion Eguileor, Antonia San Juan, Emilio Buale, Alexdandra Masangkay

Sinopsis

The Platform merupakan film Spanyol yang menceritakan cerita tentang sebuah fasilitas penjara yang sel tahanannya disusun secara vertikal – penjara tersebut menyerupai menara. Seorang pria bernama Goreng (Ivan Massague) secara sukarela masuk ke penjara tersebut untuk beberapa bulan dengan imbalan dia mendapatkan gelar diploma setelah dia keluar.

Teman satu selnya bernama Trimagasi (Zorion Eguileor). Ia menjelaskan pada Goreng bahwa nomor sel di penjara itu menunjukkan lantai mereka berada, dan sel mereka adalah 48, yang mana merupakan suatu keberuntungan. Kok begitu? Sebab sel 48 masih sempat mendapat makanan.

Setiap sel memiliki lubang di tengah ruangan yang menghubungkan semua lantai, mulai dari lantai 0 di paling atas sampai jauh sekali ke lantai paling bawah yang mana tidak ada yang tahu lantai berapa itu. Makanan mereka akan dibawakan melalui sebuah platform (semacam meja batu) yang akan turun ke setiap lantai.

Platform akan dimulai dari lantai 0 lalu turun ke lantai 1 dan akan berhenti untuk sementara waktu di sana. Pada kesempatan itu, penghuni sel tahanan lantai 1 boleh memakan apapun yang ada di atas platform, tapi mereka tidak boleh menyimpannya. Jika mereka menyimpan makanan, sel tahanan mereka akan menjadi panas sampai mereka mati terbakar atau menjadi dingin sampai mereka mati membeku.


Sisa makanan dari lantai 1 akan turun ke lantai 2, dan begitu seterusnya. Artinya semakin ke bawah, jumlah makanan yang ada untuk dimakan semakin sedikit. Bahkan, seringkali sel tahanan yang jauh di bawah tidak mendapat makanan.

Kemudian, sel tahanan merepa tidak akan tetap sel 48. Setiap bulannya, mereka akan dipindahkan ke sel tahanan lainnya. Mereka dipindahkan secara acak, bisa saja lantai mereka naik atau turun. Yang menentukan itu adalah keberuntungan mereka. Akan tetapi, teman satu sel mereka akan selalu tetap, kecuali dia mati atau masa tahanannya sudah habis.

Film ini akan menceritakan bagaimana Goreng akan bertahan hidup selama berbulan-bulan di dalam penjara tersebut, bagaimana Goreng menjaga agar dirinya tetap waras dan bisa keluar dengan gelar diplomanya.

Kelebihan

Sebetulnya, tidak banyak yang bisa diceritakan soal film ini. Yang aku suka pertama adalah ide ceritanya yang totally out of the box. Benar-benar gak pernah kepikiran untuk membuat cerita seperti itu. Sejujurnya, film dengan open ending (akhir cerita yang multitafsir gitu) bukan lah film favorit aku, tapi aku cukup suka dengan film ini.

Yang sungguh menarik adalah bagaimana film ini merupakan metafora atau alegori dari kesenjangan sosial. Well, aku pikir semua orang mengetahui kesenjangan sosial itu nyata adanya, tetapi tidak sedikit orang yang menyadari bagaimana kesenjangan sosial itu.

Film ini menjadikan lantai sel tahanan sebagai penentu “strata sosial,” yang mana di dunia nyata hal tersebut ditentukan oleh kekayaan, jabatan, ketenaran, dan lainnya. Terlihat bahwa orang-orang yang di atas sana memiliki hak-hak istimewa, atau biasa orang-orang sebut privilege, berupa akses terhadap sumber daya yang lebih mudah, misalnya makanan. Mereka bebas memiliki makanan apa yang mereka mau dan sebanyak apapun yang mereka mau.

Meskipun orang-orang di sel tahanan sepuluh teratas mungkin pernah tinggal di sel yang sangat jauh di bawah, mereka tidak peduli. Mereka tidak peduli terhadap penghuni sel lain yang ada di bawahnya. Mereka dikendalikan dengan kerakusan mereka. Rasa lapar mendahului sense of humanity mereka. Bukankah begitu kenyataannya dengan realita kita?


Padahal, makanan yang disediakan di atas platform itu cukup untuk semua penghuni penjara tersebut, asalkan mereka makan sesuai kebutuhan meraka saja. Namun, nafsu lapar jelas lebih mendominasi pikiran daripada rasa kemanusiaan. Alhasil, mereka yang ada di bawah sana kebingungan setengah mati bagaimana bertahan hidup dengan makanan yang sangat sedikit, bahkan tidak ada.

Dan di tengah kelaparan yang tak tertahankan tersebut, para penghuni sel tahanan yang jauh di bawah cenderung nekat melakukan tindakan tidak manusiawi. Tidak sedikit dari mereka yang membunuh teman satu selnya dan memakan daging mereka.

Bukankah itu menyerupai kenyataan? Orang-orang miskin yang kesusahan mencari makan cenderung berbuat tindakan kriminal demi memenuhi rasa laparnya. Padahal, jika semua orang menyadari kesenjangan yang ada itu, makanan yang ada tentu akan cukup untuk semua orang.

Selanjutnya, aku suka dengan pengambilan sudut pandang cerita ini. Kita melihat cerita ini dari sudut pandang Goreng saja. Goreng sendiri adalah seorang tokoh yang menarik karena dia masuk penjara tersebut sukarela, sedangkan teman satu selnya, Trimagasi, masuk ke situ karena tuduhan pembunuhan.

Yang menarik adalah kita melihat cerita yang mengerikan ini dari sudut pandang pria baik-baik. Kita akan melihat bagaimana respons pria baik hati terhadap kesenjangan yang ada. Kemudian bagaimana dirinya tetap menjaga kewarasannya dan memegang teguh rasa kemanusiaannya dalam situasi yang mendorong dia bertahan hidup. Ada pergolakan batin antara dorongan bertahan hidup atau tetap menjadi orang baik.

Kelemahan

Hal yang paling kurang aku suka dari film ini adalah banyak detil yang tidak terjelaskan dengan baik. Pertama, kita diperlihatkan dengan adegan di mana para chef dimarahi oleh seorang pria tentang panna cotta. Sebenarnya, ada apa dengan panna cotta itu? Dan apa maksud dari adegan tersebut?

Kedua, aku gak paham kenapa pesan yang ingin disampaikan Goreng adalah panna cotta. Lagi-lagi, ada apa dengan panna cotta? Sebenarnya, apa pesan yang ingin disampai Goreng kepada para penjaga penjara di lantai 0 sana? Lalu, kenapa pesan tersebut harus berupa panna cotta tersebut? Detil semacam itu seharusnya penting, tetapi tidak terjelaskan dengan baik sehingga membuat aku kesal sendiri.

Ketiga, kenapa pesannya diganti menjadi anak kecil, bukannya panna cotta? Sebenarnya keberadaan si anak kecil ini juga perlu dipertanyakan. Bagaimana bisa anak kecil ada di dalam penjara tersebut, padahal katanya orang di bawah 16 tahun tidak boleh masuk ke sana? Kemudian, bagaimana bisa anak kecil itu bertahan hidup ketika dia ada di sel paling bawah? Dan terakhir, apa istimewanya dia sampai ketika menyimpan makanan di sel anak kecil itu, suhu sel tidak berubah?

Sebenarnya aku sempat berpikir bahwa anak kecil tersebut hanya halusinasi Goreng saja, tetapi di situ ada temannya Goreng untuk mengkonfirmasi keberadaan anak itu. Kemudian, aku bingung kenapa Goreng beranggapan bahwa anak kecil itu lah pesan yang seharusnya mereka sampaikan ke para penghuni di lantai 0. Terlalu banyak detil cerita yang tidak jelas dan menyisakan pertanyaan.



Kesimpulan

The Platform adalah film Spanyol yang menurut aku out of the box banget. Film ini mungkin tidak memiliki alur cerita yang mengejutkan atau plot twist, tetapi film ini dapat memperlihatkan realita kesenjangan sosial yang nyata adanya. Film ini memperlihatkan bagaimana orang-orang di atas sana memiliki privilege akses terhadap makanan, sementara orang-orang di bawah sana susah mati supaya bisa makan. Ini adalah film psychological thriller yang menarik buat aku. Skornya kira-kira 7.4/10.

Untuk kalian yang gak kuat nonton darah-darahan, sebaiknya jangan menonton film ini. Oh iya, tentu aja jangan nonton film ini dengan anak-anak dan pastikan kalian udah cukup umur untuk nonton ini ya! Kalau kalian penasaran dengan filmnya, ayo tonton cuplikannya di sini.


***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar