A Curse For True Love: Dua Penjahat, Satu Gadis, dan Satu Kutukan untuk Cinta Sejati—Akhir Bagi Kisah Paling Menakjubkan di Utara Agung

Identitas Buku Judul : A Curse for True Love Penulis : Stephanie Garber Penerjemah : Yuli Pritania Penerbit : Noura Books PT Mizan Publika Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 410 halaman Harga : Rp109.000 ISBN : 9786232424197 Genre : High fantasy , fantasi romantis , misteri, petualangan, young adult   Tentang Penulis Stephanie Garber adalah seorang penulis New York Times Best-Seller . Setelah naskahnya beberapa kali ditolak, dia akhirnya debut sebagai penulis sebuah buku bergenre opera antariksa, tetapi tidak laku di pasaran. Kemudian, barulah dia menulis Caraval [1]   (2017) yang lalu menjadi buku best-...

Homo sapiens dan Spesies Lainnya


Homo sapiens dan Spesies Lainnya



Kalau ditanya mau jalan-jalan ke mana, waktu saya kecil pasti saya akan terpikir untuk pergi ke kebun binatang. Kenapa tidak? Bagi sebagian besar anak, melihat hewan-hewan adalah kesenangan yang tidak tertandingi. Bahkan, saya sendiri mengoleksi gambar-gambar, kartu-kartu, dan mainan-mainan binatang. Rasanya, saya gak akan bisa memilih binatang mana yang menjadi favorit, meskipun saya selalu suka lumba-lumba. Dan juga elang. Dan juga orangutan. Dan juga kupu-kupu. Dan juga anjing. Dan juga hamster. Dan juga kelinci. Oke, ini gak ada habisnya karena memang I can’t decide.

Namun, saya baru sering berkunjung lagi ke kebun binatang adalah ketika saya SMA. Di mana kegiatan ekstrakuriler saya, sebuah klub fotografi dan menggambar, memliki tradisi pergi ke Kebun Bintang Ragunan setiap awal tahun ajaran. Oke, dalam hal fasilitas saya terkagum-kagum dengan perubahan yang ada di Kebun Binatang Ragunan. Dari yang saya ingat, kebun binatang memiliki banyak perubahan sarana dan prasarana yang dapat membuat para pengunjung nyaman. Akan tetapi, rasa kagum tidak muncul ketika saya melihat binatang-binatang di situ.

Seiring bertambahnya usia saya, yang saya lihat berubah – saya tidak lagi melihat binatang-binatang tersebut sebagai atraksi memukau. Saya melihat binatang-binatang di sana seperti tahanan yang tidak tahu kapan akan dibebaskan. Dengan melihat wajah mereka, saya bisa mengerti seberapa bosannya hidup di dalam kandang tersebut. Jika setiap spesies memiliki hak asasi, seperti hak asasi harimau, hak asasi buaya, hak asasi kura-kura, dan sebagainya, sudah pasti kita telah merebut hak asasi tersebut.

Saya jadi tersadar betapa egoisnya Homo sapiens terhadap spesies-spesies lainnya di muka bumi ini. Makhluk-makhluk hidup dijadikan tontonan seperti yang terjadi di kebun binatang atau dijadikan atraksi sirkus. Yang paling buruk ialah dibunuh dan diburu untuk motif-motif duniawi manusia yang dangkal, seperti untuk dijual kulitnya atau karena diduga telah memakan manusia. 
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-39427699

Beberapa tahun lalu ada kasus seorang pemuda di Sulawesi yang tewas dimakan ular. Warga menangkap ular yang diduga tersangka dan membedah perutnya. Benar saja, di dalamnya ada pemuda tersebut yang sudah tidak bernyawa. Saya turut berduka atas kematian tersebut. Kemudian, kabar ini menjadi tren di media massa dan media sosial. Semua orang terpengaruh dan mencurigai semua ular yang berbadan besar dan warga pun gencar melakukan perburuan terhadap ular-ular yang mencurigakan tersebut. Beberapa hari kemudian, semakin banyak kasus manusia tewas dimakan ular yang ditayangkan di berita.

Di satu sisi, hal tersebut merupakan kabar duka karena ada manusia yang mati; di sisi lain hal tersebut merupakan pengingat kita untuk lebih waspada terhadap reptil satu itu apabila ada di sekeliling kita. Namun, apa kita berpikir bahwa ada yang salah dari hal tersebut? Dan apa kita berpikir bahwa manusialah yang secara tidak sengaja menyebabkan hal tersebut?

Begini, saya yakin bahwa di dalam sifat ular yang paling alami, ia tahu bahwa manusia bukanlah makanannya, bahkan mungkin semua binatang di bumi ini memiliki sifat alami yang sama tentang itu. Kasus hewan memakan atau menyerang manusia hampir selalu dimulai oleh manusia yang macam-macam terhadap ekosistem hewan tersebut. Contohnya adalah ular tadi. Bisa jadi warga di sanalah yang membangun pemukiman atau perkebunan yang masuk ke habitat ular tersebut. Kemudian, warga di sana melakukan pembasmian terhadap hama-hama yang merupakan makanan alami dari ular, misalnya saja tikus. Ya, manusia telah mengganggu rantai makanan ular, lalu ular tersebut merasa lapar dan tidak tahu apa yang harus dia makan. Dan lihat, ada manusia di sana! Hanya satu manusia, tidak masalah untuk dimakan, lagipula dengan memakan satu manusia dewasa sudah dapat membuat perut kenyang berbulan-bulan. Tapi ular tersebut keliru, ia justru tewas dengan perut dirobek. Warga ingin mengecek apa makan siang ular tersebut.

Lihat pula akibatnya setelah media memperparah situasi. Semua orang di penjuru Indonesia melakukan hal yang sama terhadap ular-ular di sekitar wilayah mereka. Memang hanya dua-tiga ular yang diberitakan telah memakan manusia, tapi dibalik itu semua sudah ada berapa ular yang diburu? Hanya karena tubuh ular tersebut besar, langsung dibunuh dan bibuka perutnya untuk mengetahui apa makan siang ular tersebut. Padahal belum tentu juga manusia, bisa jadi tikus, kelinci, rusa, atau hewan apapun yang ada di sana. Apa Anda mau perut Anda dibedah untuk membuktikan makan siang Anda apa?


Saya hanya mau tertawa terhadap kebodohan manusia yang heboh ketika satu-dua spesiesnya mati diserang atau dimakan spesies lain, sedangkan manusia sendiri telah melakukan pembantaian besar-besaran terhadap spesies lain di bumi ini, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Oh betapa egoisnya spesies kita.

Summber: https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-44843776


Bukan hanya ular, buaya juga jadi korban. Dia Papua sana, ada orang yang memiliki peternakan buaya. Kalau tidak salah memang peternakan tersebut tidak memiliki izin resmi atau apalah. Kemudian, ada satu warga yang hilang dan diduga dimakan oleh buaya dari peternakan tersebut. Kemudian, warga berbondong-bondong menyerbu peternakan tersebut dan membantai semua buaya di sana dengan gelap mata. Dari buaya yang dewasa hingga masih yang anak-anak semua dibunuh. Mereka tidak tahu buaya mana yang memakan warga hilang tersebut maka mereka bunuh saja semua. Bahkan mereka tidak tahu apa warga tersebut hilang karena sudah mati di makan buaya. Ada ratusan ekor buaya menjadi korban di sana, tapi tidak ada sedikitpun rasa duka di wajah para warga tersebut.

Oke, memang peternakan tersebut tidak jelas izin legalnya, tetapi apa itu membenarkan para warga untuk membunuh buaya-buaya di sana? Lagipula, belum pasti juga jika buaya di peternakan tersebut telah memakan warga tadi. Kenapa warga di sana terlalu berpikir instan dan bertindak instan juga? Atau ini efek terlalu banyak makan mie instan, pola pikir kita juga jadi instan? Oke, saya tidak bermaksud menyerang orang Papua, malainkan menyerang manusia secara umum, umat manusia di seluruh dunia.

Dan sekarang coba kita lihat binatang lainnya, yakni gajah. Gajah memiliki daya ingat yang sangat tinggi dan gajah juga adalah hewan yang berkelana, seperti nomaden. Daya ingat inilah yang membuat gajah selalu ingat rute mereka, biarpun sudah bertahun-tahun lamanya. Kemudian, manusia hadir dan mengeksplorasi hutan dan menjadikan jalur perjalanan gajah menjadi kebun kelapa sawit. Suatu hari, para gajah kembali melalui jalur tersebut dan mereka merusak kebun kelapa sawit milik manusia tersebut. Mereka tidak ada maksud merusak, mereka hanya lewat di jalan yang memang milik mereka, mereka juga tidak tahu apa-apa mengenai kebun kelapa sawit. Tapi lihat apa yang selanjutnya terjadi, para gajah diburu dan dibunuh. Alasannya karena mereka merusak kebun kelapa sawit.

Egois sekali manusia padahal kita adalah makhluk berkesadaran. Seharusnya, kitalah yang menyingkir dari tempat itu, bukan justru kita yang marah. Apalagi, wilayah tersebut memanglah milik para gajah dan kita manusia tidak usah memaksakan diri seperti penjajah. Hanya karena kita memiliki izin resmi, bukan berarti kita berhak menguasai wilayah di bumi – gajah-gajah tersebut adalah pemilik sebenarnya wilayah tersebut, itu adalah habitat mereka dan kita tidak punya hak apapun untuk mengusir mereka dari habitat mereka sendiri. Tidakkah kita sadar ini adalah bentuk kolonialisme terhadap binatang?

Tentu saja masih banyak lagi kasus-kasus sejenis. Perburuan liar, perubahan habitat menjadi kebun atau pemukiman warga, dan perburuan binatang secara massal untuk dikonsumsi. Hal tersebut bukan hanay terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Shark-finning misalnya, penangkapan hiu besar-besaran untuk diambil siripnya untuk diolah menjadi makanan di restoran-restoran di seluruh dunia. Atau perburuan cula badak karena diyakini memiliki khasiat untuk kesehatan. Atau perburuan gading gajah untuk koleksi atau untuk obat-obatan. Ataupun perburuan spesies-spesies lainnya yang dilakukan tanpa memperhatikan keseimbangan alam.

Perlu sekali bagi kita manusia bahwa kita sangat bergantung pada alam. Kita sebagai makhluk Tuhan, sama seperti makhluk lainnya, merupakan bagian dari biosfer bumi ini. Apalagi populasi manusia yang tersebar di hampir seluruh wilayah di dunia menjadikan kita terlibat dalam berbagai ekosistem, yang artinya kita terlibat dalam banyak jaring makanan dan rantai makanan. Dengan mengganggu jaring dan rantai makanan tersebut, perlahan-lahan kita sedang membunuh diri kita sendiri. Bayangkan ketika binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan di dunia punah, manusia akan kelimpungan mencari cara bertahan hidup hingga akhirnya mati penuh penyesalan.


***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 


Komentar