Mengenal
Filsafat, Induk dari Segala Sains
Kalian pernah dengar istilah
filsafat? Atau mungkin filosofi? Memang apa bedanya? Filsafat itu apa sih?
Bukannya itu sesuatu yang mengawang-awang ya? Belajar filsafat itu bukannya
rumit? Filsafat itu kan sesat? Filsafat kan tidak sesuai ajaran agama? Kalau
kalian menganggap filsafat itu mengawang-awang, ya memang banyak sekali materi
bahasan filsafat yang susah dicerna. Namun, kalau filsafat itu sesat dan tidak
sesuai ajaran agama? Itu keliru.
Sebelum memulai definisi dari
filsafat, kita pergi dulu ke zaman peradaban-peradaban kuno yang mengawali
lahirnya ilmu filsafat. Ribuan tahun lalu manusia memulai peradaban dan
lahirlah peradaban-peradaban kuno. Di zaman tersebut, manusia sudah
mempertanyakan mengenai segala sesuatu di alam, misalnya “Mengapa matahari
terbit di timur?” atau “Mengapa musim bisa berganti?”
Akan tetapi, manusia belum mampu
menemukan jawaban tepat, alih-alih mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan
semacam itu dengan menggunakan mitos.
Mitos-mitos tersebut mengisahkan dewa-dewi yang mengatur alam semesta sehingga
menyebabkan fenomena-fenomena di alam yang berakibat pada kehidupan manusia.
Dari cerita-cerita mitos tersebut, lahirlah mitologi-mitologi, seperti mitologi
Yunani, mitologi Mesir, dan mitologi Sumeria.
Misalnya kisah penculikan Dewi
Persephone oleh Dewa Hades. Dahulu, Hades sang Penguasa Dunia Bawah jatuh cinta
kepada Persephone, Dewi Musim Semi dan Bunga. Kemudian, Hades menculiknya dan
membawanya ke Dunia Bawah.
Demeter,
Dewi Pertanian dan Musim yang merupakan ibu Persephone kebingungan saat
mendapati putrinya menghilang. Sebagai seorang ibu, tentu ia gelisah dan cemas.
Demeter bahkan berkeliling dunia selama sembilan hari, tidak makan dan minum,
untuk mencari putrinya tersebut. Dari dewa-dewi lainnya, Demeter mendapat
informasi bahwa Persephone diculik oleh Hades.
Demeter
ingin putrinya kembali, tetapi dia tidak mau menjemputnya ke Dunia Bawah yang
gelap. Kemudian Demeter meminta Zeus sang Raja Dewa-Dewi untuk menjemput
Persephone. Demeter kemudian meluapkan kesedihan dan kemarahan atas hilangnya
Persephone dengan menyebabkan musim dingin berkepanjangan sehingga
tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dan manusia kelaparan. Ribuan manusia mati
karena musim dingin tersebut.
Untuk menyelesaikan
masalah tersebut, Zeus mengirim Dewa Hermes untuk menjemput Persephone di Dunia
Bawah. Setibanya di Dunia Bawah, situasi ternyata sudah berubah. Persephone
mulai menyukai Hades dan bahkan tertarik untuk tinggal di sana. Ditambah lagi,
Persephone sudah memakan makanan Dunia Bawah. Ada peraturan di mana siapapun
yang sudah memakan makanan Dunia Bawah tidak boleh meninggalkan tempat
tersebut. Mengetahui hal itu, Demeter menjadi murka dan bersumpah tidak akan
menghentikan musim dingin, kecuali jika Persephone pulang.
Semua
menjadi pelik hingga akhirnya Zeus punya ide. Persephone akan tinggal selama
dua per tiga tahun bersama Demeter dan sepertiga tahun bersama Hades. Kebijakan
tersebut disetujui semua pihak, biarpun Demeter tidak bisa sepenuhnya menerima.
Kemudian, setiap kali Persephone tinggal bersama ibunya, Demeter membuat dunia
menjadi musim semi dan musim panas melambangkan suka citanya. Sementara
sepertiga tahun sisanya, yaitu saat Persephone tinggal bersama Hades, Demeter
menyebabkan dunia dilanda musim gugur dan musim dingin sebagai bentuk
kesedihannya.
Kisah
tersebut dipercaya orang-orang Yunani kuno sebagai asal-muasal pergantian musim
dari semi, panas, hingga gugur dan dingin. Jawaban tersebut diterima sebagian
besar orang, tetapi tidak oleh para filsuf. Keterbatasan teknologi yang manusia
miliki saat itu menyebabkan mereka tidak tahu bahwa pergantian musim disebabkan
oleh perubahan posisi bumi terhadap matahari. Bahkan, saat itu heliosentris
belum ada dan manusia mempercayai geosentris.
Beberapa
orang di zaman itu mulai ada yang mempertanyakan kebenaran kisah-kisah mitos
tersebut. Mereka tidak percaya dan tidak mau langsung melahap bulat-bulat kisah-kisah
tersebut. Mereka mempertanyakannya dan mulai memikirkannya. Dari sanalah cikal bakal
ilmu filsafat dimulai.
Mereka
yang memikirkan kebenaran akan sesuatu hal tersebut disebut filsuf. Sejak 600
SM, para filsuf bermunculan dan terus berkembang hingga sekarang. Ada banyak
sekali bahasan atau proyek filsafat mereka. Ada filsuf yang menanyakan mengenai
penciptaan dunia dan ada pula yang menanyakan mengenai cara manusia hidup.
Pertanyaan-pertanyaan paling mendasar hingga paling rumit dibahas semuanya
dalam ilmu filsafat.
Kata
filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu phylos = cinta dan sophie
= kebijaksanaan. Dengan begitu, filsafat bisa kita artikan dengan “mencintai
kebijasanaan.” Sementara itu, para filsuf bisa sebut sebagai ‘orang yang
mencintai kebijaksanaan.’ Lalu, apa bedanya dengan kata filosofi? Bedanya hanya dalam penggunaan saja, filsafat digunakan dalam kajian keilmuan, sedangkan filosofi lebih untuk istilah
sehari-hari, seperti judul buku karya Dee Lestari, yaitu Filosofi Kopi.
|
Patung Socrates |
Sebutan filsuf
dan filsafat sendiri pertama kali digunakan oleh Socrates, salah satu fulsuf
Yunani kuno yang sangat terkenal. Padahal bertahun-tahun sebelum dia lahir
sudah ada banyak filsuf di Yunani kuno. Di zaman Socrates hidup, ada kaum
cendikiawan yang menyebut diri mereka golongan bijak sehingga mereka sering
ditanyai orang-orang untuk membantu menyelesaikan masalah mereka. Namun,
Socrates yang bijaksana tidak menganggap dirinya demikian. Dia tidak menyebut
dirinya bijaksana, tetapi mencintai
kebijaksanaan. Socrates terkenal dengan quote-nya
yang berbunyi, “Orang yang paling
bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.”
Ungkapan tersebut serupa dengan ungkapan Albert Einstein yang berbunyi, “Semakin aku belajar, semakin aku sadar
bahwa aku tidak tahu.”
Ada
alasan yang membuat Socrates tidak menyebut dirinya golongan bijak. Mereka,
para golongan bijak, merasa bahwa diri merekalah yang paling bijaksana, paling
tahu, dan ilmu mereka sudah cukup. Mereka berhenti belajar dan menggunakan ilmu
mereka untuk membantu orang-orang yang tidak tahu. Namun, lama-kelamaan mereka
menjadi congkak karena kepintaran mereka tersebut. Sementara itu, Socrates
berbeda dari mereka. Socrates tidak pernah puas dengan apa yang sudah ia
ketahui. Ia selalu menganggap bahwa dia itu tidak tahu apa-apa. Maka dari itu,
dia terus bertanya dan terus belajar. Dia tetap mempraktikan ilmunya dengan
membantu orang-orang dan mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang berminat,
tetapi dia tidak berhenti di situ. Rasa penasaran selalu menggelitiknya.
Dari
potongan cerita Socrates, kita bisa melihat bahwa filsafat bersumber dari rasa
penasaran manusia. Rasa penasaran tersebut melahirkan pertanyaan. Kemudian,
manusia mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut dan mencari tahu
jawabanya melalui berbagai metode: bertanya, renungan, penalaran, pengamatan,
dan lain sebagainya. Setelah dia berhasil menemukan jawabannya, dia akan terus
mengujinya, merenungkannya, memikirkannya hingga memang mereka yakin bahwa
jawaban tersebut adalah benar. Tentu saja tetap ada kelemahan dari teori-teori
para filsuf di dunia yang disebabkan banyak hal, seperti teknologi. Latar
belakang dan kebudayaan di tempat para filsuf tinggal juga memengaruhi kajian
filsafat mereka. Oleh karena itu, wajar saja jika beberapa filsuf saling mengoreksi
teori mereka.
Para filsuf
membahas hal yang bereda-beda, misalnya saja Socrates yang umumnya membahas
tingkah laku manusia dan Democritus yang membahas tentang apa yang menyusun
alam semesta. Dengan begitu, kita bisa melihat bahwa ilmu filsafat memiliki
cakupan bidang yang sangat luas, mulai dari manusia hingga alam semesta.
Pada
dasarnya, ilmu filsafat dibagi menjadi tiga: filsafat alam, filsafat moral, dan
filsafat metafisikal. Pertama, filsafat alam membahas fenomena-fenomena yang
ada di alam, seperti “Dari mana dunia barasal?” dan “Apa yang menyusun alam
semesta ini?” Filsafat alam kemudian dikenal sebagai ilmu fisika yang berasal
dari kata physis = alam. Ilmu fisika
tersebut membahas fenomena-fenomena alam seperti yang kita pelajari di sekolah,
misalnya gerak benda, suhu dan energi, serta gelombang. Bahkan, ilmu fisika
tersebut bercabang-cabang menjadi ilmu-ilmu alam yang kita ketahui, seperti
astronomi, ilmu bumi, fisika, kimia, dan biologi. Kedua, filsafat moral adalah
filsafat yang membahas mengenai cara hidup manusia, baik sebagai makhluk
individual maupun makhluk sosial. Filsafat moral juga dikenal dengan ilmu
etika, dari kata etos = kebiasaan.
Kemudian, ilmu etika ini berkembang menjadi berbagai cabang ilmu yang kita tahu
sebagai ilmu-ilmu sosial, seperti estetika, etika, politik, hukum, sosiologi,
dan ekonomi. Ketiga, filsafat metafisikal yang membahas tentang logika,
eksistensi, Tuhan, dan hal-hal abstrak lainnya. Ilmu ini berfokus pada hal-hal
yang tidak bisa ditangkap indra dan dialami manusia secara langsung, seperti
pemikiran, logika, hingga Tuhan. Filsafat metafisikal melahirkan ilmu-ilmu
seperti logika, matematika, dan filsafat sains. Singkatnya, kita bisa melihat
bahwa filsafat adalah akar atau induk dari semua cabang ilmu pengetahuan yang
ada di dunia sehingga sebenarnya kita selama ini sudah mempelajari filsafat.
Ketika
kita melihat suatu fenomena, misalnya benda yang bergerak. Kemudian timbul
pertanyaan seperti, “Apa yang menyebabkan benda bergerak?” Kemudian, kita meneliti
fenomena tersebut dan mempelajari pergerakan benda-benda, mulai dari apa
definisi bergerak itu sendiri, apa yang menyebabkan benda bergerak, seberapa
cepat benda bergerak, dan lain sebagainya. Alhasil, lahirlah kajian ilmu yang
membahas hal tersebut yang disebut mekanika dan dinamika yang termasuk dalam
ilmu fisika.
Contoh
lainnya ketika kita memperhatikan fenomena manusia yang bergaul dengan manusia
lain. Kemudian kita mulai bertanya-tanya, seperti “Mengapa manusia berinteraksi
dengan sesamanya?” Kemudian dilakukanlah penelitian mengenai
interaksi-interaksi manusia terhadap sesamanya, seperti apa itu interaksi
sosial, apa saja bentuk interaksi manusia dengan manusia lainnya, dan mengapa
manusia berinteraksi. Alhasil, lahirlah ilmu sosiologi yang membahas perilaku
sosial manusia.
Seiring
berkembangnya zaman, bahasan-bahasan ilmu filsafat yang bercabang-cabang
tersebut menjadi disiplin ilmu tersendiri, biarpun asal mereka sama. Namun
sayangnya, di Indonesia, kita seakan-akan didoktrin bahwa semua cabang ilmu itu
berbeda dan tidak berhubungan, padahal kenyataannya tidak. Buktinya, sekarang
kita bisa lihat bahwa teknologi memengaruhi kehidupan sosial manusia. Teknologi
adalah produk ilmu alam dan ia memengaruhi cara-cara hidup manusia, mulai dari
cara bersosialisasi, memenuhi kebutuhan, dan lain-lain.
Sekarang
ini, bahasan ilmu filsafat lebih spesifik pada hal-hal tertentu saja karena
sebagian besar bahasan filsafat sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Bahasan-bahasan
utama dalam filsafat adalah logika, epistemologi, etika, estetika, dan
metafisika.
Cabang
ilmu filsafat yang pertama adalah logika. Logika berasal dari kata logos yang berarti hasil pertimbangan
akal pikiran yang diutarakan lewat kata-kata dan dinyatakan dengan bahasa.
Logika membahas tentang cara berpikir. Logika mempelajari cara manusia berpikir
dengan lurus dan benar sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang benar.
Topik-topik utama ilmu logika adalah definisi logika, cara berpikir yang lurus
dan benar, penarikan kesimpulan, silogisme, pemikiran keliru atau sesat, dan
lain-lain. Logika termasuk dalam ilmu filsafat praktis yang artinya dapat
diterapkan dalam keseharian. Logika sendiri juga dimasukkan sebagai cabang ilmu
matematika.
Cabang
ilmu filsafat yang kedua adalah epistemologi. Epistemologi berasal dari kata episteme = pengetahuan. Jadi, epistemologi
adalah ilmu filsafat yang mempelajari pengetahuan, justifikasi, dan
rasionalitas. Epistemologi membahas topik seperti bagaimana manusia bisa
mengetahui sesuatu, bagaimana manusia memperoleh suatu pengetahuan, bagaimana
suatu pengetahuan bisa divalidasi, apa itu validasi pengetahuan, apa hakikat
pengetahuan dan pengaruhnya terhadap kebenaran, keyakinan, dan justifikasi,
persoalan skeptisme, apa itu justifikasi, hingga bagaimana manusia tahu bahwa
dia tahu sesuatu.
Cabang
ilmu filsafat yang ketiga adalah etika. Etika mempelajari perilaku manusia
dengan menilai kualitasnya apakah baik atau buruk. Etika membahas apa yang
sebaiknya atau seharusnya manusia lakukan. Etika berpusat pada baik-buruknya
suatu tindakan manusia. Etika membahas topik-topik seperti moralitas, pengaruh
kehendak bebas terhadap perbuatan susila, apa itu baik dan buruk menurut moral,
bagaimana sesuatu dikatakan baik atau buruk secara moral, dan apa pengaruh hati
nurani terhadap tindakan manusia. Etika adalah ilmu filsafat yang bersifat
praktis yang artinya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Cabang
ilmu filsafat yang keempat adalah estetika. Estetika sendiri berasal dari kata aisthetikos = keindahan, sensivitas,
kesadaran, berkaitan dengan persepsi sensorik; kata tersebut adalah turunan
dari kata aisthanomai = saya melihat,
meraba, merasakan. Jadi, ilmu estetika adalah ilmu yang mempelajari keindahan,
pengalaman tentang keindahan, dan membuat sesuatu supaya indah. Ilmu ini sangat
dekat dengan filsafat seni, tetapi keduanya tidak sama. Estetika berkaitan
dengan persepsi sensorik manusia terhadap sesuatu dan menilainya apakah indah
atau buruk. Estetika erat kaitannya dengan persepsi rasa dan sentimen manusia.
Ilmu estetika membahas topik seperti apa itu keindahan, apakah keindahan
objektif atau subjektif, apa yang menyebabkan sesuatu dianggap indah, dan apa
pengaruh keindahan tersebut terhadap manusia.
Cabang
ilmu filsafat yang kelima adalah metafisika. Metafisika pada dasarnya adalah
ilmu yang mempelajari eksistensi atau keberadaan sesuatu. Topik bahasan
metafisika bisa berupa pertanyaan sederhana yang jawabannya dapat melahirkan
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang lebih kompleks. Misalnya, apakah Tuhan itu ada? Jika iya, apakah Tuhan
itu ada satu atau lebih dari satu? Jika hanya satu, mengapa demikian? Jika
lebih dari satu, mengapa demikian? Seperti yang baru saja dikatakan di
atas, salah satu bahasan dari metafisika adalah eksistensi Tuhan dan juga
eksistensi makhluk-makhluk gaib lainnya, meskipun eksistensi Tuhan lebih sering
dibahas. Metafisika dibagi menjadi beberapa ilmu lagi: ontologi, kosmologi
metafisika, dan antropologi. Ontologi mempelajari apa itu eksistensi dan
keberadaan, apa sifat dari eksistensi, bagaimana susuatu dikatakan ada, dan
lain-lainnya. Kosmologi metafisika mempelajari eksistensi dari alam semesta dan
hal-hal selain manusia, seperti apa yang menyusun alam semesta, apa itu
keteraturan alam semesta, bernahkah Tuhan sebagai pencipta alam semesta itu
ada, dan apa sebab-akibat dari sesuatu. Sementara antropologi lebih berpusat
pada manusia dan membahas apakah manusia memiliki jiwa, apa jiwa itu abadi, apa
hubungan jiwa dan tubuh, apa manusia memiliki kesadaran, apa itu kesadaran, apa
itu kehendak bebas, apa manusia itu makhluk yang bebas, dan lain-lain.
Sejauh
ini, kita sudah mempelajari ilmu filsafat mulai dari pengertian, sejarah
mulanya, hingga cabang-cabangnya. Namun, masih ada pertanyaan lagi, “Apakah
filsafat itu sesat alias tidak sesuai ajaran agama?” Jawabannya adalah tidak.
Filsafat justru sesuai ajaran agama.
Apabila
kita perhatikan pengaruh filsafat terhadap peradaban-peradaban manusia, kita
dapat melihat bahwa filsafat sangat memengaruhi peradaban manusia. Misalnya, di
wilayah Asia Selatan, tepatnya di India, berkembang filsafat Hindu atau
filsafat Weda yang berdasarkan kitab Weda. Filsafat Weda tersebut kemudian
dijadikan sebagai penafsiran ajaran Hindu dan dipraktekkan di kehidupan sehari-hari.
Filsafat tersebut meliputi metafisika, epistemologi, hermeneutika (ilmu
penafsiran makna), dan soteriologi (ilmu tentang penyelamatan manusia oleh
Tuhan). Istilah-istilah penting dalam filsafat Weda antara lain adalah dharma, samsara, karma, moksha, ahimsa,
Atman, dan Brahman.
Selain
filsafat Weda, terdapat pula filsafat Buddha yang bersumber dari ajaran agama
Buddha yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Filsafat Buddha didasarkan pada
keterbatasan manusia yang menyebabkan dukkha
(kesengsaraan/duka). Untuk membebaskan diri dari dukkha, manusia harus melakukan banyak hal, misalnya praktek
meditasi. Filsafat Buddha ini adalah penafsiran dan penerapan dari ajaran agama
Buddha yang berkembang di daerah-daerah di Tibet, Asia Timur, Asia Barat,
hingga Asia Tenggara.
|
Ibnu Rusyd, seorang filsuf Islam |
Kita dapat
lihat bahwa filsafat berkaitan erat dengan agama Hindu dan Buddha yang
merupakan agama nenek moyang bangsa Indonesia. Namun tidak hanya itu, filsafat
juga sangat erat dengan agama Islam. Buktinya adalah peradaban Islam pernah
mengalami kemajuan hingga dikatakan Zaman Emas Islam semua berkat para
filsuf-filsuf Islam pada zaman itu, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Berkat
kajian-kajian filsafat mereka, Islam bisa sampai sehebat itu di masanya.
Jika memang
filsafat yang membawa kemajuan pada peradaban Islam, lalu mengapa banyak orang
Islam yang menyatakan bahwa filsafat itu tidak sesuai ajaran Islam? Hal itu
terjadi karena pandangan orang-orang Islam yang membenci peradaban Barat. Ilmu
filsafat pertama kali muncul di Yunani yang merupakan peradaban Barat. Oleh
karena itu, filsafat dianggap sebagai ilmu sesat karena lahir dari bangsa Barat
yang terkenal sesat di mata orang Islam. Filsafat sendiri menjawab
permasalahan-permasalahan dengan menggunakan akal pikiran manusia. Sementara di
Islam diajarkan bahwa Al-Qur’an adalah jawaban atas segala permasalahan
manusia. Dengan begitu, mereka tidak bisa menerima hasil pemikiran filsafat
sebagai suatu kebenaran.
Padahal,
hal tersebut adalah keliru. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memiliki
ayat-ayat yang bersifat umum karena ditujukan untuk seluruh manusia. Oleh
karena sifat umumnya tersebut, ayat-ayat Al-Qur’an dapat menyesuaikan dirinya
dengan permasalahan-permasalahan manusia di segala zaman dan peradaban sehingga
Al-Qur’an dikatakan sebagai jawaban atas segala pertanyaan manusia. Proses
penyesuaian tersebut adalah penafsiran dan cara menafsirkan ayat Al-Qur’an
adalah menggunakan metode filsafat.
Cermati
ayat berikut:
Di dalam ayat tersebut, terdapat
kata “ayaatin” dalam bahasa Arab yang
diterjemahkan menjadi ‘tanda’ dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI sendiri, kata
‘ayat’ berarti alamat atau tanda, kenyataan yang benar, dan bukti. Dengan
begitu, kita bisa mengartikan bahwa ayat berarti tanda atau bukti bahwa sesuatu
benar. Maka dari itu, ayat-ayat Al-Qur’an merupakan bukti-bukti kebenaran dari
eksistensi dan keagungan Allah SWT.
Akan tetapi, yang perlu
ditekankan adalah bahwa ayat-ayat Allah tidak hanya tertulis dalam kitab suci
Al-Qur’an. Berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas, ayat-ayat Allah juga ada di
penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam. Artinya adalah
ayat-ayat Allah ada di alam semesta, di dalam bumi dan di langit alias ruang
angkasa yang tak terbatas. Kemudian, yang dimaksud orang-orang berakal tersebut
adalah manusia yang mau merenungkan dan memikirkan ayat-ayat yang ada di alam
semesta tersebut.
Surah Ali Imran ayat 190 dan 191
tersebut berarti bahwa ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini hanya dapat
dipahami, dilihat, dan diterjemahkan dengan akal manusia. Artinya, untuk
memahami ayat-ayat tersebut, dibutuhkan proses penalaran dan perenungan. Proses
ini adalah dasar dari metode filsafat, yakni penasaran, bertanya, mencari tahu,
menyimpulkan, menguji kembali, lalu menemukan jawaban yang paling benar. Ayat-ayat
Allah yang terdapat di alam pun hanya dapat dipahami melalui metode filsafat
tersebut, melalui penghayatan pikiran. Atau mungkin di zaman sekarang ayat-ayat
tersebut bisa dipahami dengan sains atau ilmu pengetahuan dan metodenya. Dengan
begitu, sains dan Islam tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Islam menerangkan ayat-ayat yang ada di
Al-Qur’an, sementara sains menerangkang ayat-ayat yang ada di alam semesta.
Dari uraian di atas, kita bisa
melihat bahwa filsafat dan sains tidak berlawanan dengan ajaran Islam atau
ajaran agama lainnya. Filsafat dan sains
justru melengkapai ajaran-ajaran Islam agar lebih bisa dipahami manusia di
setiap zaman.
Hal yang patut disayangkan lagi
adalah bahwa program-program studi filsafat yang ada di perguruan-perguruan
tinggi di Indonesia banyak yang menyingkirkan agama dari filsafat. Dalam
kegiatan belajar, mereka memakai teori-teori filsafat yang tidak melibatkan
agama apapun karena alasan perbedaan agama yang ada di Indonesia. Misalnya,
saat membahas kehidupan setelah kematian, jika memasukkan agama ke dalamnya,
kita akan terbatas pada surga dan neraka, sementara surga dan neraka setiap
agama memiliki versi yang berbeda-beda. Alhasil, mereka menghilangkan filsafat
yang berasal dari ajaran-ajaran agama agar tidak menyinggung SARA.
Padahal, kita sudah tahu bahwa
filsafat dan agama tidak bisa dipisahkan. Memisahkan keduanya adalah suatu
kebodohan dan justru mengajarkan kebohongan. Dalam mempelajari filsafat,
dibutuhkan berbagai masukan dan sudut pandang agar mampu memperoleh kebenaran
yang sejati. Jika membatasi sumber masukan, itu sama artinya dengan menutupi
kebenaran.
Dalam
pembelajaran filsafat seharusnya mahasiswa-mahasiswa dibiarkan membahas
berbagai filsafat agama agar mereka saling memahami dan saling mengerti satu
sama lain. Dengan begitu, mereka jadi lebih bisa memahami cara berpikir untuk
menerima perbedaan yang ada. Jika dikhawatirkan para mahasiswa akan menjadi
atheist, tentu itu dapat diatasi dengan mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang wajib diikuti para mahasiswa prodi filsafat untuk memperkuat iman. Justru
dengan memisahkan filsafat dan ajaran agama itulah yang mengajarkan atheisme.
Selain itu,
agar tidak menyinggung SARA bisa dilakukan dengan menemukan satu persamaan atau
titik temu dari filsafat-filsafat agama yang dipelajari di kelas. Titik temu
atau kesimpulan tersebut berbeda dengan ajaran filsafat yang tidak religious
karena berasal dari persamaan yang ditemukan dari beberapa sudut pandang agama.
Berbekal persamaan tersebut, para mahasiswa dapat menyadari bahwa walaupun
agama mereka berbeda, tetap ada persamaan yang mendasari agama-agama tersebut. Titik
temu tersebut dapat dipakai dalam kegiatan diskusi atau ujian sehingga tidak
akan menyinggung SARA.
Misalkan
dalam membahas surga dan neraka, para mahasiswa di kelas dapat membahas surga
dan neraka menurut versi Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan agama lainnya di
dunia, bahkan bentuk kematian lainnya, seperti reinkarnasi atau ketiadaan. Namun,
saat diskusi dan ujian, mereka bisa menyingkirkan versi-versi surga dan neraka
tersebut dengan membatasi hanya sampai surga bagi orang-orang baik dan neraka
bagi orang-orang jahat atau sampai batas persamaan lainnya. Yang pasti, masih
ada banyak cara untuk tidak menyinggung SARA dalam pembelajaran filsafat selain
menyingkirkan filsafat agama dari pembelajaran.
Sekian dulu perkenalan kita
dengan ilmu filsafat yang banyak dipandang orang sulit dipahami dan sesat. Setelah
mengenal filsafat, kita tahu bahwa dialah induk dari segala ilmu pengetahuan.
Saya mau minta maaf jika masih ada kekurangan dan ketidaksepahaman dalam
tulisan saya di atas. Maaf jika saya salah saat membahas mengenai agama dan
filsafat. Saya harap, artikel ini bisa membantu kalian mengenal ilmu filsafat.
Perlu kalian ingat, filsafat dapat
memperluas cara pandang kita terhadap dunia dan realitas serta melatih daya
pikir kritis kita.
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar