Spoiler: Sebuah Novel Teenlit Lokal Rasa Drakor tentang Pembunuhan dan Proyektor Film Terkutuk

Identitas Buku Judul : Spoiler Penulis : Lia Nurida Penerbit : Bentang Belia (Bentang Pustaka) Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 324 halaman Harga : Rp98.000 ISBN : 9786231861184 Genre : Misteri, young adult , low fantasy , thriller   Tentang Penulis Lia Nurida adalah seorang ENFP yang telah memulai karir menulisnya sejak tahun 2012. Selain menulis, wanita yang menyukai kopi, K-Pop, dan kebab ini menghabiskan waktunya untuk mengurus komunitas Expert Class Project, sebuah komunitas menulis, serta klub Manula (Makan Nulis Baca). Dirinya juga kerap menghabiska

Mengenal Fisafat, Induk dari Segala Sains

Mengenal Filsafat, Induk dari Segala Sains
                

Kalian pernah dengar istilah filsafat? Atau mungkin filosofi? Memang apa bedanya? Filsafat itu apa sih? Bukannya itu sesuatu yang mengawang-awang ya? Belajar filsafat itu bukannya rumit? Filsafat itu kan sesat? Filsafat kan tidak sesuai ajaran agama? Kalau kalian menganggap filsafat itu mengawang-awang, ya memang banyak sekali materi bahasan filsafat yang susah dicerna. Namun, kalau filsafat itu sesat dan tidak sesuai ajaran agama? Itu keliru.
                
Sebelum memulai definisi dari filsafat, kita pergi dulu ke zaman peradaban-peradaban kuno yang mengawali lahirnya ilmu filsafat. Ribuan tahun lalu manusia memulai peradaban dan lahirlah peradaban-peradaban kuno. Di zaman tersebut, manusia sudah mempertanyakan mengenai segala sesuatu di alam, misalnya “Mengapa matahari terbit di timur?” atau “Mengapa musim bisa berganti?”
                
Akan tetapi, manusia belum mampu menemukan jawaban tepat, alih-alih mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan menggunakan mitos. Mitos-mitos tersebut mengisahkan dewa-dewi yang mengatur alam semesta sehingga menyebabkan fenomena-fenomena di alam yang berakibat pada kehidupan manusia. Dari cerita-cerita mitos tersebut, lahirlah mitologi-mitologi, seperti mitologi Yunani, mitologi Mesir, dan mitologi Sumeria.
                
Misalnya kisah penculikan Dewi Persephone oleh Dewa Hades. Dahulu, Hades sang Penguasa Dunia Bawah jatuh cinta kepada Persephone, Dewi Musim Semi dan Bunga. Kemudian, Hades menculiknya dan membawanya ke Dunia Bawah.

Demeter, Dewi Pertanian dan Musim yang merupakan ibu Persephone kebingungan saat mendapati putrinya menghilang. Sebagai seorang ibu, tentu ia gelisah dan cemas. Demeter bahkan berkeliling dunia selama sembilan hari, tidak makan dan minum, untuk mencari putrinya tersebut. Dari dewa-dewi lainnya, Demeter mendapat informasi bahwa Persephone diculik oleh Hades.

Demeter ingin putrinya kembali, tetapi dia tidak mau menjemputnya ke Dunia Bawah yang gelap. Kemudian Demeter meminta Zeus sang Raja Dewa-Dewi untuk menjemput Persephone. Demeter kemudian meluapkan kesedihan dan kemarahan atas hilangnya Persephone dengan menyebabkan musim dingin berkepanjangan sehingga tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dan manusia kelaparan. Ribuan manusia mati karena musim dingin tersebut.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Zeus mengirim Dewa Hermes untuk menjemput Persephone di Dunia Bawah. Setibanya di Dunia Bawah, situasi ternyata sudah berubah. Persephone mulai menyukai Hades dan bahkan tertarik untuk tinggal di sana. Ditambah lagi, Persephone sudah memakan makanan Dunia Bawah. Ada peraturan di mana siapapun yang sudah memakan makanan Dunia Bawah tidak boleh meninggalkan tempat tersebut. Mengetahui hal itu, Demeter menjadi murka dan bersumpah tidak akan menghentikan musim dingin, kecuali jika Persephone pulang.

Semua menjadi pelik hingga akhirnya Zeus punya ide. Persephone akan tinggal selama dua per tiga tahun bersama Demeter dan sepertiga tahun bersama Hades. Kebijakan tersebut disetujui semua pihak, biarpun Demeter tidak bisa sepenuhnya menerima. Kemudian, setiap kali Persephone tinggal bersama ibunya, Demeter membuat dunia menjadi musim semi dan musim panas melambangkan suka citanya. Sementara sepertiga tahun sisanya, yaitu saat Persephone tinggal bersama Hades, Demeter menyebabkan dunia dilanda musim gugur dan musim dingin sebagai bentuk kesedihannya.

Kisah tersebut dipercaya orang-orang Yunani kuno sebagai asal-muasal pergantian musim dari semi, panas, hingga gugur dan dingin. Jawaban tersebut diterima sebagian besar orang, tetapi tidak oleh para filsuf. Keterbatasan teknologi yang manusia miliki saat itu menyebabkan mereka tidak tahu bahwa pergantian musim disebabkan oleh perubahan posisi bumi terhadap matahari. Bahkan, saat itu heliosentris belum ada dan manusia mempercayai geosentris.

Beberapa orang di zaman itu mulai ada yang mempertanyakan kebenaran kisah-kisah mitos tersebut. Mereka tidak percaya dan tidak mau langsung melahap bulat-bulat kisah-kisah tersebut. Mereka mempertanyakannya dan mulai memikirkannya. Dari sanalah cikal bakal ilmu filsafat dimulai.

Mereka yang memikirkan kebenaran akan sesuatu hal tersebut disebut filsuf. Sejak 600 SM, para filsuf bermunculan dan terus berkembang hingga sekarang. Ada banyak sekali bahasan atau proyek filsafat mereka. Ada filsuf yang menanyakan mengenai penciptaan dunia dan ada pula yang menanyakan mengenai cara manusia hidup. Pertanyaan-pertanyaan paling mendasar hingga paling rumit dibahas semuanya dalam ilmu filsafat.

Kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu phylos = cinta dan sophie = kebijaksanaan. Dengan begitu, filsafat bisa kita artikan dengan “mencintai kebijasanaan.” Sementara itu, para filsuf bisa sebut sebagai ‘orang yang mencintai kebijaksanaan.’ Lalu, apa bedanya dengan kata filosofi? Bedanya hanya dalam penggunaan saja, filsafat digunakan dalam kajian keilmuan, sedangkan filosofi lebih untuk istilah sehari-hari, seperti judul buku karya Dee Lestari, yaitu Filosofi Kopi.

Patung Socrates
Sebutan filsuf dan filsafat sendiri pertama kali digunakan oleh Socrates, salah satu fulsuf Yunani kuno yang sangat terkenal. Padahal bertahun-tahun sebelum dia lahir sudah ada banyak filsuf di Yunani kuno. Di zaman Socrates hidup, ada kaum cendikiawan yang menyebut diri mereka golongan bijak sehingga mereka sering ditanyai orang-orang untuk membantu menyelesaikan masalah mereka. Namun, Socrates yang bijaksana tidak menganggap dirinya demikian. Dia tidak menyebut dirinya bijaksana, tetapi mencintai kebijaksanaan. Socrates terkenal dengan quote-nya yang berbunyi, “Orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.” Ungkapan tersebut serupa dengan ungkapan Albert Einstein yang berbunyi, “Semakin aku belajar, semakin aku sadar bahwa aku tidak tahu.”

Ada alasan yang membuat Socrates tidak menyebut dirinya golongan bijak. Mereka, para golongan bijak, merasa bahwa diri merekalah yang paling bijaksana, paling tahu, dan ilmu mereka sudah cukup. Mereka berhenti belajar dan menggunakan ilmu mereka untuk membantu orang-orang yang tidak tahu. Namun, lama-kelamaan mereka menjadi congkak karena kepintaran mereka tersebut. Sementara itu, Socrates berbeda dari mereka. Socrates tidak pernah puas dengan apa yang sudah ia ketahui. Ia selalu menganggap bahwa dia itu tidak tahu apa-apa. Maka dari itu, dia terus bertanya dan terus belajar. Dia tetap mempraktikan ilmunya dengan membantu orang-orang dan mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang berminat, tetapi dia tidak berhenti di situ. Rasa penasaran selalu menggelitiknya.

Dari potongan cerita Socrates, kita bisa melihat bahwa filsafat bersumber dari rasa penasaran manusia. Rasa penasaran tersebut melahirkan pertanyaan. Kemudian, manusia mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut dan mencari tahu jawabanya melalui berbagai metode: bertanya, renungan, penalaran, pengamatan, dan lain sebagainya. Setelah dia berhasil menemukan jawabannya, dia akan terus mengujinya, merenungkannya, memikirkannya hingga memang mereka yakin bahwa jawaban tersebut adalah benar. Tentu saja tetap ada kelemahan dari teori-teori para filsuf di dunia yang disebabkan banyak hal, seperti teknologi. Latar belakang dan kebudayaan di tempat para filsuf tinggal juga memengaruhi kajian filsafat mereka. Oleh karena itu, wajar saja jika beberapa filsuf saling mengoreksi teori mereka.

Para filsuf membahas hal yang bereda-beda, misalnya saja Socrates yang umumnya membahas tingkah laku manusia dan Democritus yang membahas tentang apa yang menyusun alam semesta. Dengan begitu, kita bisa melihat bahwa ilmu filsafat memiliki cakupan bidang yang sangat luas, mulai dari manusia hingga alam semesta.

Pada dasarnya, ilmu filsafat dibagi menjadi tiga: filsafat alam, filsafat moral, dan filsafat metafisikal. Pertama, filsafat alam membahas fenomena-fenomena yang ada di alam, seperti “Dari mana dunia barasal?” dan “Apa yang menyusun alam semesta ini?” Filsafat alam kemudian dikenal sebagai ilmu fisika yang berasal dari kata physis = alam. Ilmu fisika tersebut membahas fenomena-fenomena alam seperti yang kita pelajari di sekolah, misalnya gerak benda, suhu dan energi, serta gelombang. Bahkan, ilmu fisika tersebut bercabang-cabang menjadi ilmu-ilmu alam yang kita ketahui, seperti astronomi, ilmu bumi, fisika, kimia, dan biologi. Kedua, filsafat moral adalah filsafat yang membahas mengenai cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial. Filsafat moral juga dikenal dengan ilmu etika, dari kata etos = kebiasaan. Kemudian, ilmu etika ini berkembang menjadi berbagai cabang ilmu yang kita tahu sebagai ilmu-ilmu sosial, seperti estetika, etika, politik, hukum, sosiologi, dan ekonomi. Ketiga, filsafat metafisikal yang membahas tentang logika, eksistensi, Tuhan, dan hal-hal abstrak lainnya. Ilmu ini berfokus pada hal-hal yang tidak bisa ditangkap indra dan dialami manusia secara langsung, seperti pemikiran, logika, hingga Tuhan. Filsafat metafisikal melahirkan ilmu-ilmu seperti logika, matematika, dan filsafat sains. Singkatnya, kita bisa melihat bahwa filsafat adalah akar atau induk dari semua cabang ilmu pengetahuan yang ada di dunia sehingga sebenarnya kita selama ini sudah mempelajari filsafat.

Ketika kita melihat suatu fenomena, misalnya benda yang bergerak. Kemudian timbul pertanyaan seperti, “Apa yang menyebabkan benda bergerak?” Kemudian, kita meneliti fenomena tersebut dan mempelajari pergerakan benda-benda, mulai dari apa definisi bergerak itu sendiri, apa yang menyebabkan benda bergerak, seberapa cepat benda bergerak, dan lain sebagainya. Alhasil, lahirlah kajian ilmu yang membahas hal tersebut yang disebut mekanika dan dinamika yang termasuk dalam ilmu fisika.

Contoh lainnya ketika kita memperhatikan fenomena manusia yang bergaul dengan manusia lain. Kemudian kita mulai bertanya-tanya, seperti “Mengapa manusia berinteraksi dengan sesamanya?” Kemudian dilakukanlah penelitian mengenai interaksi-interaksi manusia terhadap sesamanya, seperti apa itu interaksi sosial, apa saja bentuk interaksi manusia dengan manusia lainnya, dan mengapa manusia berinteraksi. Alhasil, lahirlah ilmu sosiologi yang membahas perilaku sosial manusia.

Seiring berkembangnya zaman, bahasan-bahasan ilmu filsafat yang bercabang-cabang tersebut menjadi disiplin ilmu tersendiri, biarpun asal mereka sama. Namun sayangnya, di Indonesia, kita seakan-akan didoktrin bahwa semua cabang ilmu itu berbeda dan tidak berhubungan, padahal kenyataannya tidak. Buktinya, sekarang kita bisa lihat bahwa teknologi memengaruhi kehidupan sosial manusia. Teknologi adalah produk ilmu alam dan ia memengaruhi cara-cara hidup manusia, mulai dari cara bersosialisasi, memenuhi kebutuhan, dan lain-lain.

Sekarang ini, bahasan ilmu filsafat lebih spesifik pada hal-hal tertentu saja karena sebagian besar bahasan filsafat sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Bahasan-bahasan utama dalam filsafat adalah logika, epistemologi, etika, estetika, dan metafisika.


Cabang ilmu filsafat yang pertama adalah logika. Logika berasal dari kata logos yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata-kata dan dinyatakan dengan bahasa. Logika membahas tentang cara berpikir. Logika mempelajari cara manusia berpikir dengan lurus dan benar sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang benar. Topik-topik utama ilmu logika adalah definisi logika, cara berpikir yang lurus dan benar, penarikan kesimpulan, silogisme, pemikiran keliru atau sesat, dan lain-lain. Logika termasuk dalam ilmu filsafat praktis yang artinya dapat diterapkan dalam keseharian. Logika sendiri juga dimasukkan sebagai cabang ilmu matematika.

Cabang ilmu filsafat yang kedua adalah epistemologi. Epistemologi berasal dari kata episteme = pengetahuan. Jadi, epistemologi adalah ilmu filsafat yang mempelajari pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas. Epistemologi membahas topik seperti bagaimana manusia bisa mengetahui sesuatu, bagaimana manusia memperoleh suatu pengetahuan, bagaimana suatu pengetahuan bisa divalidasi, apa itu validasi pengetahuan, apa hakikat pengetahuan dan pengaruhnya terhadap kebenaran, keyakinan, dan justifikasi, persoalan skeptisme, apa itu justifikasi, hingga bagaimana manusia tahu bahwa dia tahu sesuatu.

Cabang ilmu filsafat yang ketiga adalah etika. Etika mempelajari perilaku manusia dengan menilai kualitasnya apakah baik atau buruk. Etika membahas apa yang sebaiknya atau seharusnya manusia lakukan. Etika berpusat pada baik-buruknya suatu tindakan manusia. Etika membahas topik-topik seperti moralitas, pengaruh kehendak bebas terhadap perbuatan susila, apa itu baik dan buruk menurut moral, bagaimana sesuatu dikatakan baik atau buruk secara moral, dan apa pengaruh hati nurani terhadap tindakan manusia. Etika adalah ilmu filsafat yang bersifat praktis yang artinya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Cabang ilmu filsafat yang keempat adalah estetika. Estetika sendiri berasal dari kata aisthetikos = keindahan, sensivitas, kesadaran, berkaitan dengan persepsi sensorik; kata tersebut adalah turunan dari kata aisthanomai = saya melihat, meraba, merasakan. Jadi, ilmu estetika adalah ilmu yang mempelajari keindahan, pengalaman tentang keindahan, dan membuat sesuatu supaya indah. Ilmu ini sangat dekat dengan filsafat seni, tetapi keduanya tidak sama. Estetika berkaitan dengan persepsi sensorik manusia terhadap sesuatu dan menilainya apakah indah atau buruk. Estetika erat kaitannya dengan persepsi rasa dan sentimen manusia. Ilmu estetika membahas topik seperti apa itu keindahan, apakah keindahan objektif atau subjektif, apa yang menyebabkan sesuatu dianggap indah, dan apa pengaruh keindahan tersebut terhadap manusia.

Cabang ilmu filsafat yang kelima adalah metafisika. Metafisika pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari eksistensi atau keberadaan sesuatu. Topik bahasan metafisika bisa berupa pertanyaan sederhana yang jawabannya dapat melahirkan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang lebih kompleks. Misalnya, apakah Tuhan itu ada? Jika iya, apakah Tuhan itu ada satu atau lebih dari satu? Jika hanya satu, mengapa demikian? Jika lebih dari satu, mengapa demikian? Seperti yang baru saja dikatakan di atas, salah satu bahasan dari metafisika adalah eksistensi Tuhan dan juga eksistensi makhluk-makhluk gaib lainnya, meskipun eksistensi Tuhan lebih sering dibahas. Metafisika dibagi menjadi beberapa ilmu lagi: ontologi, kosmologi metafisika, dan antropologi. Ontologi mempelajari apa itu eksistensi dan keberadaan, apa sifat dari eksistensi, bagaimana susuatu dikatakan ada, dan lain-lainnya. Kosmologi metafisika mempelajari eksistensi dari alam semesta dan hal-hal selain manusia, seperti apa yang menyusun alam semesta, apa itu keteraturan alam semesta, bernahkah Tuhan sebagai pencipta alam semesta itu ada, dan apa sebab-akibat dari sesuatu. Sementara antropologi lebih berpusat pada manusia dan membahas apakah manusia memiliki jiwa, apa jiwa itu abadi, apa hubungan jiwa dan tubuh, apa manusia memiliki kesadaran, apa itu kesadaran, apa itu kehendak bebas, apa manusia itu makhluk yang bebas, dan lain-lain.

Sejauh ini, kita sudah mempelajari ilmu filsafat mulai dari pengertian, sejarah mulanya, hingga cabang-cabangnya. Namun, masih ada pertanyaan lagi, “Apakah filsafat itu sesat alias tidak sesuai ajaran agama?” Jawabannya adalah tidak. Filsafat justru sesuai ajaran agama.

Apabila kita perhatikan pengaruh filsafat terhadap peradaban-peradaban manusia, kita dapat melihat bahwa filsafat sangat memengaruhi peradaban manusia. Misalnya, di wilayah Asia Selatan, tepatnya di India, berkembang filsafat Hindu atau filsafat Weda yang berdasarkan kitab Weda. Filsafat Weda tersebut kemudian dijadikan sebagai penafsiran ajaran Hindu dan dipraktekkan di kehidupan sehari-hari. Filsafat tersebut meliputi metafisika, epistemologi, hermeneutika (ilmu penafsiran makna), dan soteriologi (ilmu tentang penyelamatan manusia oleh Tuhan). Istilah-istilah penting dalam filsafat Weda antara lain adalah dharma, samsara, karma, moksha, ahimsa, Atman, dan Brahman.

Selain filsafat Weda, terdapat pula filsafat Buddha yang bersumber dari ajaran agama Buddha yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Filsafat Buddha didasarkan pada keterbatasan manusia yang menyebabkan dukkha (kesengsaraan/duka). Untuk membebaskan diri dari dukkha, manusia harus melakukan banyak hal, misalnya praktek meditasi. Filsafat Buddha ini adalah penafsiran dan penerapan dari ajaran agama Buddha yang berkembang di daerah-daerah di Tibet, Asia Timur, Asia Barat, hingga Asia Tenggara.

Ibnu Rusyd, seorang filsuf Islam
Kita dapat lihat bahwa filsafat berkaitan erat dengan agama Hindu dan Buddha yang merupakan agama nenek moyang bangsa Indonesia. Namun tidak hanya itu, filsafat juga sangat erat dengan agama Islam. Buktinya adalah peradaban Islam pernah mengalami kemajuan hingga dikatakan Zaman Emas Islam semua berkat para filsuf-filsuf Islam pada zaman itu, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Berkat kajian-kajian filsafat mereka, Islam bisa sampai sehebat itu di masanya.

Jika memang filsafat yang membawa kemajuan pada peradaban Islam, lalu mengapa banyak orang Islam yang menyatakan bahwa filsafat itu tidak sesuai ajaran Islam? Hal itu terjadi karena pandangan orang-orang Islam yang membenci peradaban Barat. Ilmu filsafat pertama kali muncul di Yunani yang merupakan peradaban Barat. Oleh karena itu, filsafat dianggap sebagai ilmu sesat karena lahir dari bangsa Barat yang terkenal sesat di mata orang Islam. Filsafat sendiri menjawab permasalahan-permasalahan dengan menggunakan akal pikiran manusia. Sementara di Islam diajarkan bahwa Al-Qur’an adalah jawaban atas segala permasalahan manusia. Dengan begitu, mereka tidak bisa menerima hasil pemikiran filsafat sebagai suatu kebenaran.

Padahal, hal tersebut adalah keliru. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memiliki ayat-ayat yang bersifat umum karena ditujukan untuk seluruh manusia. Oleh karena sifat umumnya tersebut, ayat-ayat Al-Qur’an dapat menyesuaikan dirinya dengan permasalahan-permasalahan manusia di segala zaman dan peradaban sehingga Al-Qur’an dikatakan sebagai jawaban atas segala pertanyaan manusia. Proses penyesuaian tersebut adalah penafsiran dan cara menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah menggunakan metode filsafat.

Cermati ayat berikut:

Di dalam ayat tersebut, terdapat kata “ayaatin” dalam bahasa Arab yang diterjemahkan menjadi ‘tanda’ dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI sendiri, kata ‘ayat’ berarti alamat atau tanda, kenyataan yang benar, dan bukti. Dengan begitu, kita bisa mengartikan bahwa ayat berarti tanda atau bukti bahwa sesuatu benar. Maka dari itu, ayat-ayat Al-Qur’an merupakan bukti-bukti kebenaran dari eksistensi dan keagungan Allah SWT.
                
Akan tetapi, yang perlu ditekankan adalah bahwa ayat-ayat Allah tidak hanya tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an. Berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas, ayat-ayat Allah juga ada di penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam. Artinya adalah ayat-ayat Allah ada di alam semesta, di dalam bumi dan di langit alias ruang angkasa yang tak terbatas. Kemudian, yang dimaksud orang-orang berakal tersebut adalah manusia yang mau merenungkan dan memikirkan ayat-ayat yang ada di alam semesta tersebut.
                
Surah Ali Imran ayat 190 dan 191 tersebut berarti bahwa ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini hanya dapat dipahami, dilihat, dan diterjemahkan dengan akal manusia. Artinya, untuk memahami ayat-ayat tersebut, dibutuhkan proses penalaran dan perenungan. Proses ini adalah dasar dari metode filsafat, yakni penasaran, bertanya, mencari tahu, menyimpulkan, menguji kembali, lalu menemukan jawaban yang paling benar. Ayat-ayat Allah yang terdapat di alam pun hanya dapat dipahami melalui metode filsafat tersebut, melalui penghayatan pikiran. Atau mungkin di zaman sekarang ayat-ayat tersebut bisa dipahami dengan sains atau ilmu pengetahuan dan metodenya. Dengan begitu, sains dan Islam tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Islam menerangkan ayat-ayat yang ada di Al-Qur’an, sementara sains menerangkang ayat-ayat yang ada di alam semesta.
                
Dari uraian di atas, kita bisa melihat bahwa filsafat dan sains tidak berlawanan dengan ajaran Islam atau ajaran agama lainnya. Filsafat dan sains justru melengkapai ajaran-ajaran Islam agar lebih bisa dipahami manusia di setiap zaman.
                
Hal yang patut disayangkan lagi adalah bahwa program-program studi filsafat yang ada di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia banyak yang menyingkirkan agama dari filsafat. Dalam kegiatan belajar, mereka memakai teori-teori filsafat yang tidak melibatkan agama apapun karena alasan perbedaan agama yang ada di Indonesia. Misalnya, saat membahas kehidupan setelah kematian, jika memasukkan agama ke dalamnya, kita akan terbatas pada surga dan neraka, sementara surga dan neraka setiap agama memiliki versi yang berbeda-beda. Alhasil, mereka menghilangkan filsafat yang berasal dari ajaran-ajaran agama agar tidak menyinggung SARA.
                
Padahal, kita sudah tahu bahwa filsafat dan agama tidak bisa dipisahkan. Memisahkan keduanya adalah suatu kebodohan dan justru mengajarkan kebohongan. Dalam mempelajari filsafat, dibutuhkan berbagai masukan dan sudut pandang agar mampu memperoleh kebenaran yang sejati. Jika membatasi sumber masukan, itu sama artinya dengan menutupi kebenaran.

Dalam pembelajaran filsafat seharusnya mahasiswa-mahasiswa dibiarkan membahas berbagai filsafat agama agar mereka saling memahami dan saling mengerti satu sama lain. Dengan begitu, mereka jadi lebih bisa memahami cara berpikir untuk menerima perbedaan yang ada. Jika dikhawatirkan para mahasiswa akan menjadi atheist, tentu itu dapat diatasi dengan mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang wajib diikuti para mahasiswa prodi filsafat untuk memperkuat iman. Justru dengan memisahkan filsafat dan ajaran agama itulah yang mengajarkan atheisme.

Selain itu, agar tidak menyinggung SARA bisa dilakukan dengan menemukan satu persamaan atau titik temu dari filsafat-filsafat agama yang dipelajari di kelas. Titik temu atau kesimpulan tersebut berbeda dengan ajaran filsafat yang tidak religious karena berasal dari persamaan yang ditemukan dari beberapa sudut pandang agama. Berbekal persamaan tersebut, para mahasiswa dapat menyadari bahwa walaupun agama mereka berbeda, tetap ada persamaan yang mendasari agama-agama tersebut. Titik temu tersebut dapat dipakai dalam kegiatan diskusi atau ujian sehingga tidak akan menyinggung SARA.

Misalkan dalam membahas surga dan neraka, para mahasiswa di kelas dapat membahas surga dan neraka menurut versi Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan agama lainnya di dunia, bahkan bentuk kematian lainnya, seperti reinkarnasi atau ketiadaan. Namun, saat diskusi dan ujian, mereka bisa menyingkirkan versi-versi surga dan neraka tersebut dengan membatasi hanya sampai surga bagi orang-orang baik dan neraka bagi orang-orang jahat atau sampai batas persamaan lainnya. Yang pasti, masih ada banyak cara untuk tidak menyinggung SARA dalam pembelajaran filsafat selain menyingkirkan filsafat agama dari pembelajaran.

               
Sekian dulu perkenalan kita dengan ilmu filsafat yang banyak dipandang orang sulit dipahami dan sesat. Setelah mengenal filsafat, kita tahu bahwa dialah induk dari segala ilmu pengetahuan. Saya mau minta maaf jika masih ada kekurangan dan ketidaksepahaman dalam tulisan saya di atas. Maaf jika saya salah saat membahas mengenai agama dan filsafat. Saya harap, artikel ini bisa membantu kalian mengenal ilmu filsafat. Perlu kalian ingat, filsafat dapat memperluas cara pandang kita terhadap dunia dan realitas serta melatih daya pikir kritis kita.

***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar