Identitas
Buku
Judul
|
:
|
The Inheritance Games (The
Inheritance Games #1)
|
Penulis
|
:
|
Jennifer Lynn Barnes
|
Penerjemah
|
:
|
Rini Nurul Badariah
|
Penerbit
|
:
|
Bentang Pustaka
|
Tahun terbit
|
:
|
2023 (versi orisinal bahasa
Inggrisnya terbit pertama kali pada 2020)
|
Cetakan
|
:
|
I
|
Tebal
|
:
|
438 halaman
|
Harga
|
:
|
Rp129.000
|
ISBN
|
:
|
9786231861375
|
Genre
|
:
|
Misteri, young adult
|
Tentang
Penulis
Jennifer “Jen” Lynn Barnes
lahir di Tulsa, Oklahoma pada 19 Oktober 1984. Di masa mudanya dia pernah
menjadi pemandu sorak, pemain voli, penari, debutante, peneliti kognisi
primata, model remaja, pecinta buku komik, dan penggemar lemur. Kini, dia
adalah seorang istri dan ibu dari tiga orang anak.
Jennifer Lynn Barnes lulus
dari SMA pada tahun 2002, lalu melanjutkan pendidikan di jurusan ilmu kognisi
Yale University. Dia lulus dengan galar sarjana pada tahun 2006 dan mendapatkan
gelar Ph.D.-nya di tahun 2012. Setelah mendapatkan gelar Ph.D. tesebut, dirinya
melakukan penelitian tentang autisme di University of Cambridge. Selain itu,
Jennyfer Lynn Barnes juga memiliki gelar akademik pada bidang psikologi dan
psikiatri. Saat ini, dia adalah salah satu pakar dalam bidang psikologi fandom
(kelompok penggemar) dan ilmu kognisi pada fiksi dan imajinasi. Dia bekerja
sebagai associate professor di University of Oklahoma tempatnya mengajar
psikologi dan penulisan profesional.
Sementara itu, karirnya
sebagai penulis sudah dimulai sejak masih sangat muda. Dia menyelesaikan buku
pertamanya saat masih SMA—buku yang dia sebut “buku latihan” yang tak akan
pernah dibaca siapapun. Sebagai penulis, karir Jennifer Lynn Barnes juga cemerlang.
Dia telah menulis banyak buku fiksi young adult dan mendapatkan
penghargaan. Beberapa buku karyanya adalah trilogi The Inheritance Games (2020–2022),
termasuk buku spin-off-nya: The Brothers Hawthorne (2023); serial
Debutantes yang terdiri atas dua buku: Little White Lies (2018)
dan Deadly Little Scandal (2019); serial The Fixer yang
terdiri atas dua buku: The Fixer (2015) dan The Long Game (2016);
dan serial The Naturals (2013–2017). Karya terbarunya, berjudul The
Grandest Game, merupakan spin-off dari serial The Inheritance
Games yang akan terbit pada 30 Juli 2024 mendatang, dan akan menjadi sebuah
serial baru.
Sinopsis
Rencana
Avery sederhana saja. Dia ingin hidup tenang tanpa keributan sambil bekerja
keras demi masa depan yang lebih baik. Dia ingin mewujudkan mimpinya dan
ibunya—yang sudah tiada—untuk berkeliling dunia. Maka dari itu, saat ini dia
harus memiliki banyak pekerjaan paruh waktu dan belajar agar bisa berkuliah di
jurusan aktuaria supaya mendapatkan pekerjaan bagus.
Akan
tetapi, seorang miliarder eksentrik yang tak pernah Avery kenal sebelumnya
merusak rencana tersebut. Mendiang Tobias Hawthorne—sang miliarder yang
baru-baru ini meninggal—secara misterius meminta agar Avery hadir dalam
pembacaan wasiatnya. Lebih gila lagi, Tobias Hawthorne mewariskan hampir
seluruh hartanya kepada Avery. Hanya satu syaratnya: Avery harus tinggal di
Rumah Hawthorne selama satu tahun.
Kini,
seluruh mata tertuju kepada Avery. Gadis itu pun terjebak dalam permainan
berbahaya dan mematikan bersama keempat cucu laki-laki Hawthorne untuk
memecahkan misteri terakhir yang ditinggalkan sang miliarder: mengapa Avery?
Kelebihan
Aku
tertarik dengan buku ini sebab premisnya mirip dengan salah satu film misteri
kesukaanku. Bahkan, materi promosi untuk versi terjemahan bahasa Indonesianya
saja menyebutkan kemiripan tersebut dengan terang-terangan. Katanya, The
Inheritance Games ini seperti gabungan Knives Out (salah satu film
favoritku!) dan One of Us is Lying (belum pernah menonton ataupun
membacanya, sorry). Setelah membacanya, aku setuju—iya, ceritanya
lumayan mirip dengan Knives Out.
Pertama-tama,
aku ingin mengulas gaya narasi Jennifer Lynn Barnes ya, yang menurutku menarik.
Jadi, ini adalah buku Jennifer Lynn Barnes yang pertama kali aku baca, dan aku
langsung suka dengan gaya narasinya. Kalimat-kalimatnya singkat tapi bermakna,
terasa penting—literally singkat, padat, dan jelas. Untuk sebuah cerita
misteri seperti ini, ada kesan menarik tersendiri dari gaya narasinya tersebut.
Kalimat-kalimatnya terasa penting dan tegas, serta ada kesan menggoda yang
membuatmu terus melanjutkan membaca.
Selain
kalimat-kalimatnya yang pendek, bab-babnya juga pendek. Jumlah babnya banyak
sekali, tetapi tiap bab hanya terdiri atas kurang dari 10 halaman. Itu membantu
sekali untuk membuat pembaca tak mau berhenti membalik halaman.
Berikutnya,
konflik ceritanya sendiri ternyata memang semenarik itu, meskipun tidak
benar-benar mirip Knives Out ya, hanya mirip vibes-nya saja. Aku
menikmati alur ceritanya yang begitu mengalir. Seperti yang aku bilang
sebelumnya, ada kesan menggoda yang membuatmu akan tertarik untuk membaca
kelanjutannya. Misteri utamanya memang bukan berupa pembunuhan atau tindak kriminal,
tetapi tetap menggelitik rasa penasaranku. Kamu akan dipancing untuk
menduga-duga penjelasan paling masuk akal sampai paling aneh dari pertanyaan
mengapa Tobias Hawthorne memilih Avery.
Atau
mungkin, misteri utamanya begitu menggoda karena dikemas layaknya sebuah
permainan. Diceritakan bahwa Tobias Hawthorne senang bermain puzzle,
teka-teki, dan perburuan harta karun dengan keempat cucu laki-lakinya. Dia akan
meninggalkan berbagai petunjuk untuk para cucunya selesaikan. Menurut Jameson
Hawthorne, salah satu dari keempat cucu Hawthorne, Avery adalah permainan
terakhir yang ditinggalkan sang kakek.
Perlahan-lahan,
petunjuk bermunculan dan misteri terurai. Permainan yang dilakukan Avery dan
Jameson membuatku turut berdebar dan penasaran. Tiap kali mereka menemukan
petunjuk baru dan berusaha memecahkannya, aku ikut berpikir seakan mencoba
memecahkan misteri itu sendiri. Bagiku, buku ini malah seperti gabungan Legendary
karya Stephanie Garber (baca reviunya di sini) dengan Knives Out, hahaha.
Akan
tetapi, sebenarnya buku ini terbagi atas beberapa subplot, sehingga di
pertengahan kalian mungkin akan merasa vibes permainannya kurang. Namun,
setelah aku selesai membacanya, aku tersadar bahwa permainan warisan ini lebih
besar dari hanya Avery dan Jameson. Warisannya itu sendirilah permainannya—atau
permainannya itu sendirilah warisannya—dan ada banyak pihak yang terlibat dalam
permainan tersebut. Beberapa di antara mereka bahkan rela menggunakan cara-cara
licik yang akan berbahaya bagi Avery.
Baiklah,
sebagaimana yang kukatakan tadi, cerita ini terbagi menjadi beberapa subplot,
salah satunya adalah tentang Emily Laughlin. Sejak nama gadis itu disebut,
fokus Avery sebagai narator adalah kepadanya, maka kita pun akan diajak
mengulik siapa Emily Laughlin dan apa hubungannya dengan keluarga Hawthorne.
Bagian inilah yang membuat cerita ini terasa seperti fiksi young adult. Yang
menarik adalah meski tak terlihat sama sekali di awal, ternyata misteri
mengenai sosok Emily akan menjadi bagian penting untuk memecahkan misteri harta
warisan Tobias Hawthorne. Saat akhirnya itu diungkap di akhir, aku terkagum.
Jennifer Lynn Barnes cerdas sekali untuk menjalin simpul dari kedua subplot ini
dengan cara seperti itu.
Di
samping subplot tentang Emily, tentu juga ada subplot tentang Avery sendiri.
Aku suka sekali karena buku ini juga menceritakan transisi kehidupan Avery. Upik
abu menjadi tuan putri merupakan kisah yang menarik. Kehidupan Avery tidak sama
lagi. Aku suka setiap kali Avery terkejut mengetahui aset-aset apa saja yang
menjadi miliknya, sebab memang aset-asetnya sebesar itu. Hal itu
mempertegas seberapa kayanya Avery saat ini.
Akan
tetapi, yang menarik adalah Avery tidak lantas menjadi serakah karena hartanya.
Sejak mendapatkan semua harta itu, rasanya tidak ada pikiran Avery untuk
menghambur-hamburkannya. Malah, salah satu yang ia pikirkan adalah untuk
mendonasikan uang tersebut. Dia bilang bahwa harta sebanyak itu dapat menolong
banyak orang, dapat mengubah dunia. Kontras dari itu, (spoiler alert)
Tobias Hawthorne, dalam salah satu petunjuk yang dia tinggalkan, mengatakan
bahwa uang memberikan kekuasaan dan kekuasaan merusak. Akan tetapi, uang tak
merusak Avery; dirinya tetap seperti dulu.
Aku
kagum sekali pada sosok gadis tersebut yang malah berpikir menggunakan hartanya
untuk menolong orang. Memang, uang yang banyak dapat membiayai bantuan
kemanusiaan di negara-negara konflik, bantuan pangan di negara-negara yang
tertimpa bencana kelaparan, bantuan air bersih di negara-negara yang
kekeringan, juga mereboisasi hutan di negara-negara tropis, dan mendanai riset
untuk pengembangan iptek di berbagai bidang, seperti kesehatan dan energi
bersih. Ada banyak hal positif yang dapat dilakukan orang dengan harta miliaran,
tetapi sayangnya banyak orang kaya justru menjadi korup karena harta mereka. Maka
dari itulah aku menyukai Avery yang tetap terpikir untuk mendonasikan hartanya
tersebut.
Subplot
lainnya adalah mengenai romansanya. Sebenarnya, romansa dalam novel ini tidak
terlalu kuat, lebih seperti slow-burn romance. Ditambah lagi, kalau di
manga/anime trope seperti ini disebut reverse harem, cerita
dengan tokoh utama perempuan dan ada beberapa tokoh laki-laki di sekelilingnya
yang memperebutkannya. Dalam kasus ini, para laki-laki yang berada di
sekeliling Avery adalah keempat cucu Hawthorne, walaupun hanya dua di antara
mereka yang memperebutkan Avery: Grayson dan Jameson.
Yang
kusuka dari romansanya ialah ada kesan misterius dan menantang. Maksudku, Avery
menceritakan bagaimana Jameson seperti sebuah tanda tanya yang ingin dia selami
lebih dalam, seperti sebuah tantangan yang tak bisa ia tolak. I don’t think
they will work out, but I’d like to see it. Di sisi lain, aku lebih
mendukung Avery-Grayson sebab mereka bisa menjadi enemy-to-lover yang
lebih menggemaskan. Hanya saja, Avery menggambarkan hubungan mereka berdua
seperti kesalahan yang tak seharusnya dilakukan, keputusan buruk yang tak
seharusnya dia buat, tetapi dia tetap penasaran ingin mencobanya.
Terakhir,
aku mungkin ingin me-highlight satu tokoh yang lumayan menarik: Libby
Grambs, kakaknya Avery. Yang membuatnya menarik adalah dia menggambarkan orang
korban kekerasan dalam berpacaran. Baik korban kekekasan dalam rumah tangga
maupun dalam berpacaran akan seperti Libby. Mereka cenderung terikat pada
pasangan mereka yang kasar dan meyakini ada kebaikan—yang menjustifikasi
perbuatan kasarnya—dalam diri pasangan mereka tersebut. Jika kalian terjebak
dalam hubungan yang penuh kekerasan, tinggalkanlah hubungan itu dan cari
bantuan, jangan memberikan dia kesempatan karena mungkin sekali dia akan
melukai orang-orang yang kamu sayangi.
Kelemahan
Kelemahan
yang paling kurasakan dari buku ini adalah subplot tentang Emily yang mengambil
banyak sekali porsi cerita di pertengahan. Sejak namanya disebut cerita lebih
fokus padanya ketimbang misteri harta warisan Hawthorne. Di sebagian besar
cerita pada pertengahan buku, it was all about Emily, sementara aku
lebih ingin tahu tentang misteri harta warisan Hawthorne atau tentang cucu-cucu
Hawthorne. Apalagi, Emily adalah tokoh yang amat menyebalkan (silakan
baca sendiri agar paham seberapa menyebalkannya Emily).
|
Sampul versi orisinal bahasa Inggrisnya |
Selain
itu, aku sebenarnya berekspektasi bahwa kedua putri Tobias Hawthorne akan
melakukan apapun untuk menghentikan Avery menjadi pewaris. Namun, aku merasa
peran mereka terlalu kecil dalam buku ini. Memang ada beberapa tindakan mereka
yang melakukan upaya pencegahan tersebut, tetapi rasanya kurang. Entahlah,
mungkin terlalu banyak hal soal Emily yang harus diceritakan.
Kemudian,
aku kurang suka dengan sampul versi terjemahan bahasa Indonesia ini. Aku
mengapresiasi desainernya—it is a pretty design. Hanya saja, desain
tersebut tidak menangkap keseluruhan kesan yang dimiliki buku ini. Aku lebih
suka desain versi orisinal Amerika-nya. Itu terkesan lebih heboh, mewah, dan
seperti permainan. Kita dapat menduga isi buku ini tentang apa hanya dari
sampulnya tersebut. Do not judge a book by its cover, yes; but a good book
with good cover is more attractive.
Kesimpulan
The Inheritance Games, yang dikatakan merupakan gabungan Knives
Out dan One of Us is Lying, memiliki cerita yang menarik dan memikat.
Seperti Knives Out, ia menceritakan gadis miskin yang tiba-tiba menjadi
pewaris tunggal seorang miliarder. Misteri dalam buku ini akan membuatmu
penasaran dan berdebar, rasanya seperti sebuah permainan. Ditambah lagi, ada
bumbu-bumbu romansa cinta segitiga yang mewarnai alurnya. Kalian mungkin akan
terombang-ambing antara mendukung Jameson atau Grayson, sebab keduanya
sama-sama menawan tetapi terasa seperti kesalahan.
Hanya saja, ada misteri lain
yang mengambil porsi cerita terlalu banyak, yaitu tentang sosok Emily Laughlin.
Fokus cerita jadi lebih banyak untuknya daripada misteri harta warisan
Hawthorne sendiri. Namun, itu akan terbayarkan karena rupanya kedua misteri
tersebut bertemu di satu titik, dengan cara yang begitu cerdik. Berkat gaya
penulisan Jennifer Lynn Barnes yang singkat dan tegas, kalian akan menikmati
alur permainan Avery dan keempat cucu Hawthorne yang seru dan mendebarkan.
Sebenarnya, aku ingin
memberikan skor lebih tinggi, tetapi untuk mengantisipasi sekuelnya yang
(semoga) lebih seru, aku memberikan skor 7,8/10 untuk buku The Inheritance
Games. Aku tidak sabar untuk membaca misteri apa lagi yang akan dipecahkan
Avery dan empat cucu Hawthorne di buku The Hawthorne Legacy.
Selanjutnya (The Hawthorne Legacy)
***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post!
Komentar
Posting Komentar