How to Make Millions Before Grandma Dies: Cerita Menghangatkan dan Mengharukan tentang Cucu dan Nenek—Nonton Ini Harus Siapin Tisu yang Banyak

Identitas Film Judul : How to Make Millions Before Grandma Dies Sutradara : Pat Boonnitipat Produser : Vanridee Pongsittisak, Jira Maligool Tanggal rilis : 4 April 2024 (Thailand), 15 Mei 2024 Rumah produksi : Jor Kwang Films Penulis naskah : Pat Boonnitipat, Thodsapon Thiptinnakorn Durasi tayang : 2 jam 5 menit Pemeran : Putthipong "Billkin" Assaratanakul, Usha "Taew" Seamkhum, Sarinrat "Jear" Thomas, Sanya "Duu" Kunakorn, Pongsatorn "Phuak" Jongwilas, Himawari Tajiri, Tontawan "Tu" Tantivejakul, Duangporn Oapirat Genre : Potongan kehidupan , komedi, drama keluarga   Sinopsis M (Putthipong "Billkin" Assaratanakul) ada

The Shadow Crosser: Puncak Petualangan The Storm Runner yang Tak Akan Bisa Berhenti Dibaca sampai Cerita Selesai

Identitas Buku

Judul

:

The Shadow Crosser

Penulis

:

J. C. Cervantes

Penerbit

:

Disney Hyperion

Tahun terbit

:

2020

Cetakan

:

I

Tebal

:

432 halaman

Harga

:

Rp154.000 (paperback), Rp291.000 (hardcover)

ISBN

:

9781368055499

Genre

:

High fantasy, fantasi urban, mitologi, petualangan, coming of age, komedi, middle grade

 

Tentang Penulis

J. C. Cervantes atau juga dikenal dengan nama Jennifer Cervantes adalah seorang penulis New York Times best-selling. Dia tumbuh besar di San Diego, California, dekat dengan perbatasan Tijuana. Di sanalah dirinya menemukan kekagumannya terhadap mitologi Maya dan Aztek.

Kini dia tinggal di Land of Enchantment (alias New Mexico) bersama suami dan ketiga anaknya. Ia mengawali karir menulisnya dengan buku Tortilla Sun (2010), yang terinspirasi dari putri bungsunya. Sejak saat itu, J. C. Cervantes telah menulis banyak buku, baik buku anak-anak, young adult, dan dewasa. Beberapa karya lainnya adalah The Storm Runner (2018), The Fire Keeper (2019), The Shadow Crosser (2020), Fractured Path (2022), Flirting with Fate (2022), The Lords of Night (2022), Always Isn't Forever (2023), The Enchanted Hacienda (2023), dan Dawn of the Jaguar (2023). Karya terbarunya berjudul The Daggers of the Ire direncanakan terbit pada tahun 2024.

Saat ini, karya-karyanya tersebut telah masuk dalam American Booksellers Association New Voices, Barnes and Noble’s Best Young Reader Books, and Amazon’s Best Books of the Month. Dia pun telah mendapatkan banyak penghargaan dan pengakuan sebagai penulis.

J. C. Cervantes berharap agar anak-anak di manapun dapat melihat diri mereka tercermin dalam halaman-halaman buku yang memberi inspirasi bagi mereka serta belajar untuk melihat melampaui kehidupan mereka sendiri, mengenali dan merayakan perbedaan. Ketika sedang tak menulis, dia senang menghantui toko buku dan mencari sihir ke seluruh sudut dunia. Kalian dapat mengetahui lebih banyak tentang J. C. Cervantes melalui https://jccervantes.com/ atau di medsosnya, @jencerv (Twitter) dan @authorjcervantes (Instagram).

Sinopsis

Zane Obispo, putra Hurakan, Dewa
Angin, Badai, dan Api

Zane Obispo—putra Hurakan, Dewa Angin, Badai, dan Api—sangat senang karena misinya hampir selesai. Sudah tiga bulan dia berkeliling benua Amerika untuk menemukan anak-anak dewa lain bersama seorang iblis menyebalkan yang mampu mengendus keberadaan mereka. Tinggal satu anak dewa lagi; tetapi saat Zane menemukannya, rupanya mereka adalah sepasang anak kembar. Dan si kembar itu tampaknya memiliki suatu objek magis misterius.

Setelah itu, Zane mendapati dirinya tiba di Shaman Institute of Higher-Order Magic (SHIHOM) lebih dini dari yang direncanakan karena musuh telah bergerak. Sekolah sihir yang terletak di Pohon Dunia tersebut merupakan suaka terakhir bagi anak-anak dewa untuk berlindung. Akan tetapi, seakan keadaan belum cukup pelik, berita buruk lain datang: para dewa menghilang. Camazotz (baca: Kamasotz) sang Dewa Kelelawar dan Ixkik’ (baca: Shkik) sang Dewi Gerhana Bulan telah menyingkirkan para dewa dan sekarang, para anak-anak dewa adalah sasaran selanjutnya. Satu-satunya yang dibutuhkan para musuh untuk menang adalah objek misterius milik si kembar. Benda apakah sebenarnya objek itu?

Zane tahu para anak dewa belum siap melawan Camazotz, Ixkik’, dan pasukan mereka. Oleh karena itu, Zane harus menemukan cara menyelamatkan para dewa. Menurut informasi yang mereka temukan di perpustakaan SHIHOM, mereka harus mencari kelabang dan kalender ajaib yang dapat melihat melintasi ruang dan waktu.

Zane akan membutuhkan semua bantuan yang bisa dia dapatkan. Para anak-anak dewa yang belum terlatih itu harus bekerja sama. Bahkan, mereka harus menjelajahi waktu ke lebih dari tiga puluh tahun di masa lalu. Jika musuh berhasil menembus pertahanan terakhir SHIHOM dan tiba di Pohon Dunia, musuh akan menang. Zane dan teman-teman harus mencegah itu, bagaimanapun caranya—dan satu kesalahan saja, sejarah yang kita ketahui akan berubah, bahkan lebih buruk, seluruh jagat raya.

 

Kelebihan

Ini adalah buku terakhir dari trilogi The Storm Runner. Buku ini tentu menjadi puncak petualangan Zane dan teman-temannya. Secara umum, aku harus mengakui bahwa buku ini yang terbaik dari keseluruhan trilogi tersebut. Yang berarti trilogi ini menjadi makin bagus dan seru di setiap bukunya!

Pertama-tama, pengembangan worldbulding-nya sangat menarik. Di sini, kita diperkenalkan dengan Shaman Institute of Higher Order Magic alias SHIHOM, sebuah sekolah untuk melatih para anak-anak dewa. Memang tidak banyak diceritakan selain sebagai sebuah latar tempat—alasannya pun masuk akal mengingat mereka dalam situasi pertempuran—tetapi itu berhasil menarik perhatianku. Aku tak sabar untuk melihat lebih jauh tentang SHIHOM ini. (FYI, ada sekuel spin-off dari serial ini, yakni dwilogi Shadow Bruja yang mungkin saja di dalamnya akan ada eksplorasi lebih jauh terhadap SHIHOM.)

Selain SHIHOM, latar tempat penting dalam cerita ini adalah Pohon Dunia, atau dikenal dengan nama Pohon Ceiba (baca: Seiba) dalam mitologi Maya. Ternyata bukan hanya mitologi Nordik yang punya Pohon Dunia (Yggdrasil), mitologi Maya juga punya. Dalam mitologi Maya, pohon tersebut diyakini tumbuh di tengah-tengah dunia dan menghubungkan tiga alam: surga, bumi, dan Dunia Bawah alias Xib’alb’a (baca: Sibalba). Di puncak pohon tersebut, ada Itzam-yee (baca: Itsamyi), wujud burung dari dewa Itzamna (baca: Itsamna) sang Dewa Langit dan Tulisan, yang mengawasi ketiga alam tersebut. Kemudian, dalam buku ini, J. C. Cervantes mendeskripsikan bahwa pohon dunia dibaluri dengan pancaran cahaya hijau biru yang masing-masing merepresentasikan seorang dewa. Jika ada dewa yang mati, satu cahayanya akan mati. Saat pertama kali diceritakan itu di beberapa bab pertama, aku terpukau sekali. Imajinasiku langusng bekerja membayangkan lanskap mengagumkan pohon dunia dan SHIHOM.

Selain itu, kelebihan menarik dari buku ini adalah konfliknya. Di buku ini, pertaruhannya lebih besar sebab ini adalah puncaknya. Bahkan, dibandingkan dengan kedua buku sebelumnya, buku ini langsung dibuka dengan adegan yang menegangkan. Misi menyelamatkan si kembar merupakan opening act yang bagus untuk mengesankan kegentingan cerita ini. Bahkan setelahnya, ketegangan tersebut terus berlanjut secara konsisten.

Selain itu, yang aku suka dari trilogi ini adalah bahwa tiap buku seperti memiliki tanda tanya besar yang perlu dijawab. In a way, seperti cerita mesiteri ya. Namun, tanda tanya dalam buku ini jauh lebih bikin penasaran: ke mana para dewa menghilang dan cara menyelamatkan mereka. Itu konflik yang sangat kreatif dan tak terpikirkan olehku. Itu menjadi tanda tanya yang membuatku terus membalik halaman hingga tak sadar sudah mendekati akhir cerita. Aku tak akan banyak membahas ini supaya kalian cari tahu sendiri ya.

Kemudian, kalau kalian membaca blurb di sampul belakang bukunya, kalian akan tahu bahwa petualangan Zane dkk kali ini mengharuskan mereka untuk menjelajahi waktu. Sebetulnya, penjelajahan waktu bukan hal baru dalam cerita fiksi, tetapi bagiku itu sebuah konsep yang fresh dalam sebuah cerita bertema mitologi. Mengingat ini adalah cerita fantasi-petualangan bertema mitologi Maya, sangat wajar apabila waktu menjadi sesuatu hal yang di-highlight sebab bangsa Maya kuno terkenal dengan sistem perhitungan waktu dan kalender mereka yang sangat canggih untuk ukuran zaman itu. Maka dari itu, semakin cerita bergulir, semakin excited diriku membacanya.

Selain tentang konfliknya, aku juga suka dengan perkembangan karakter Zane. Zane di The Shadow Crosser berbeda sepenuhnya dengan Zane di The Storm Runner. Itulah yang aku ekspektasikan dari sebuah cerita berseri, yaitu adanya perkembangan karakter yang signifikan. Dalam buku ini, Zane jauh lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak. Dia paham tanggung jawabnya. Dia juga mampu memimpin teman-temannya agar bekerja sama dengan sangat baik. Aku senang dan bangga melihat perkembangan karkaternya.

Oh iya, omong-omong soal kerja sama tim, seriously, kerja sama tim dalam buku ini jauh lebih kompak dan asyik daripada buku-buku sebelumnya—bukan berarti di buku-buku sebelumnya buruk ya. Dalam buku ini, Zane dibantu dengan lebih banyak teman. Namun, J. C. Cervantes berhasil mengelola agar setiap tokoh memiliki peran masing-masing dengan porsi yang tepat. Setiap tokoh punya kekuatan unik mereka dan semua itu digunakan dengan sangat baik dalam cerita ini. Di beberapa cerita, ketika tokohnya kebanyakan, pembagian porsi cerita mereka jadi timpang; tetapi dalam buku ini semua tokoh memainkan perannya dengan baik. Rasanya pun menyenangkan melihat anak-anak dewa lainnya menggunakan kekuatan mereka.

Tidak hanya tokoh-tokoh baiknya, tokoh-tokoh jahatnya juga mengesankan, terutama Ixkik’. Ixkik’ mengingatkanku pada Gaea sang Dewi Bumi dari serial The Heroes of Olympus karya Rick Riordan. Keduanya adalah dewi jahat yang manipulatif dan cermat. Mereka sama-sama memikirkan lima sampai sepuluh langkah ke depan untuk mencapai tujuan mereka. J. C. Cervantes berhasil membuat Ixkik’ menjadi antagonis berbahaya yang sepadan untuk sang pahlawan cerita.

Kelebihan terakhir yang kurasakan dari buku ini adalah caranya yang unik untuk mengapresiasi kisah. Sejak awal, sejak buku pertama, cerita The Storm Runner disampaikan seakan ditulis oleh Zane sendiri sebagai sebuah pesan rahasia kepada seluruh anak dewa di luar sana—plot device[1] yang unik. Di buku kedua pun ditekankan betapa Zane memiliki bakat sebagai penulis kisah. Kemudian, dalam buku ketiga, hal itu diapresiasi dengan lebih baik lagi. Kisah dinilai sebagai kekuatan yang begitu besar, kekuatan yang mampu mengubah sejarah dan realitas. Itu adalah sebuah apresiasi besar yang menurutku memang pantas. Afterall, peradaban manusia dituturkan melalui kisah-kisah luar biasa yang tak lekang oleh waktu. Memang plot device trilogi ini memang unik sejak awal, dan J. C. Cervantes berhasil memanfaatkannya dengan sangat baik hingga buku terakhir.

 

Kelemahan

Jika kalian menyadari, setiap judul dalam trilogi ini merujuk ke orang tertentu, seperti The Storm Runner ‘Sang Pelari Badai’ merujuk kepada Zane sendiri. The Shadow Crosser ‘Sang Penyeberang Bayangan’[2] juga merujuk kepada seseorang dalam buku ini. Akan tetapi, berbeda dari dua buku sebelumnya, aku rasa orang yang dimaksud Sang Penyeberang Bayangan ini tak memiliki peran yang cukup signifikan dalam cerita. Maksudku, dia memang berjasa besar sekali, tetapi perannya tidaklah sekrusial Sang Pelari Bayangan atau Sang Penjaga Api.

Kemudian, yang agak kukecewakan adalah adegan pertarungannya yang sedikit. Bisa dibilang, secara keseluruhan, pertarungan dalam buku ini sedikit sekali; lebih banyak bertualang dan memecahkan teka-tekinya. Bukan sesuatu yang buruk, tetapi khusus untuk buku penutup ini, akan lebih seru jika ada lebih banyak pertarungannya.

Tak hanya pertarungan, mungkin buku ini akan lebih baik juga apabila ada lebih banyak monsternya. Sepertinya, jarang sekali monster dan iblis dieksplorasi dalam semesta The Storm Runner ini. Memang bagian-bagian lain dalam mitologi Maya telah dieksplorasi dengan oke, tetapi aku ingin lihat lebih banyak makhluk buas dan mengerikannya. Aku ingin melihat lebih banyak pertarungan Zane dan teman-teman melawan makhluk-makhluk jahat.

 

Kesimpulan

The Shadow Crosser merupakan buku penutup trilogi The Storm Runner yang berhasil menjadi puncak bagi petualangan Zane Obispo dan teman-teman. Dalam buku ini, konfliknya makin pelik daripada dua buku sebelumnya. Teka-teki dalam buku ini sangat membuat penasaran. Kalian pasti akan tergoda untuk terus membaca sampai selesai. Walaupun buku ini kekurangan monster dan adegan pertarungan, secara keseluruhan, petualangannya tetap oke. Dengan penokohan dan kerja sama yang baik dari Zane dan teman-teman, The Shadow Crosser menghadirkan petualangan bertema mitologi Maya yang seru. Maka dari itu, skor untuk buku ini adalah 8,6/10.

Omong-omong, semesta buku ini masih berlanjut, meskipun petualangan Zane sampai di sini saja. Selanjutnya, kita akan melihat petualangan Ren dan Ah-Puch dalam dwilogi The Shadow Bruja. Aku tidak sabar untuk membacanya!

Jika kalian menyukai Percy Jackson and the Olympians, tentu kalian akan menyukai buku ini. Jadi, tak usah ragu-ragu lagi. Ayo langsung saja mulai membaca trilogi The Storm Runner yang seru sekali ini!


Sebelumnya (The Fire Keeper)

Selanjutnya (The Lords of Night)



[1] Plot device atau plot mechanism adalah teknik apapun dalam suatu narasi yang digunakan untuk menggerakkan cerita (sumber: Wikipedia).

[2] Sang Penyeberang Bayangan adalah terjemahan literal dari The Shadow Crosser, maaf jika frasa itu terasa aneh karena aku pribadi tidah tahu padanan kata yang tepat untuknya, hehehe. 

Komentar