Dua Hati Biru: Sebuah Sekuel yang Lebih Dewasa dan Mendidik (Cocok Ditonton Pasangan yang Ingin Menikah)

Identitas Film Judul : Dua Hati Biru Sutradara : Dinna Jasanti, Gina S. Noer Produser : Chand Parwez Servia, Gina S. Noer, Riza, Sigit Pratama Tanggal rilis : 17 April 2024 Rumah produksi : Starvision, Wahana Kreator Penulis naskah : Gina S. Noer Durasi tayang : 1 jam 46 menit Pemeran : Angga Yunanda, Aisha Nurra Datau, Farrell Rafisqy, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Lulu Tobing, Keanu AGL, Maisha Kanna Genre : Drama keluarga, romantis   Sinopsis Setelah empat tahun berkuliah dan bekerja di Korea, Dara (Aisha Nurra Datau) kembali ke Indonesia demi bisa tinggal bersama suaminya, Bima (Angga Yunanda), dan putranya yang masih kecil, Adam (Farrell Rafisqy). Namun, kedatang

Ghosting Writer: Ternyata, Jadi Penulis Cerita Platform Gak Semudah yang Dikira—Sebuah Cerita Remaja tentang Persahabatan dan Cita-Cita

Identitas Buku

Judul

:

Ghosting Writer

Penulis

:

Aya Widjaja

Penerbit

:

Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit

:

2023

Cetakan

:

I

Tebal

:

312 halaman

Harga

:

Rp93.000

ISBN

:

9786020668987

Genre

:

Coming of age, komedi, teenlit, new adult

 

Tentang Penulis

Aya Widjaja telah menerbitkan banyak buku sebelumnya, yaitu Starstruck Syndrome (2019), Failure Tale (2020), Editor’s Block (2021), Monster Minister (2021), HELLOVE (2021), Alegori Valerie (2021), A Fault in Our Love (2022). Tulisan-tulisannya yang lain dapat kalian lihat di media sosial atau platform novel daring dengan username @ayawidjaja.

 

Sinopsis

Wilhelmina “Wilma” Ghaisani sebal sekali mendengar obrolan teman-teman sekelasnya yang mengelu-elukan penulis yang lagi tren sekarang. Masalahnya, Wilma juga adalah seorang penulis novel di platform T3, tetapi peringkatnya tergeser oleh si penulis sok misterius dengan nama pena Ghosting Writer itu. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Ghosting Writer. Dia tak pernah menulis di platform lain; debutnya adalah di T3 dan langsung meroket.

Padahal, Wilma sudah membangun akun T3-nya dengan susah payah demi meraih popularitas. Karena pesaingan di platforms lain sudah berat, dia pindah ke T3 yang masih baru dan sepi persaingan. Awalnya, dia bisa menjadi penulis paling populer di genre teenlit, tetapi sejak si Ghosting Writer muncul, posisinya terus merosot.

Yang lebih menyebalkan lagi, ternyata cerita-cerita Ghosting Writer betulan bagus! Bahkan, Wilma berpikir tulisan Ghosting Writer lebih bagus daripada tulisannya. Namun, Wilma menyadari ada yang aneh dari cerita-cerita Ghosting Writer—sepertinya Ghosting Writer adalah murid satu sekolahnya! Ini adalah peluang bagus. Mungkin dia mau diajak berkolaborasi. Namun, apakah Ghosting Writer yang sok misterius itu akan menerima tawaran Wilma?

 

Kelebihan

Satu hal yang langsung menarik perhatianku terhadap buku ini adalah sampulnya. Sampulnya cantik sekali! Walaupun katanya tidak boleh menilai buku dari sampulnya, sampul buku ini menjadi salah satu keunggulan yang penting. Apresiasi kepada ilustrator sampulnya, Orkha. Selain sampul, aku juga lumayan suka dengan konsep judul-judul babnya yang unik. Kemudian, ini detail yang menarik: nama tokoh utamanya adalah Wilma Ghaisani, yang inisialnya WG; Ghosting Writer memiliki inisial GW—kebalikannya! Itu kreatif banget, hahaha.

Hal lain yang membuatku ingin membaca buku ini adalah beberapa reviu yang mengatakan buku ini mewakili keluh kesah para penulis platform. Sekadar disclaimer, aku belum pernah membaca novel-novel platform, walaupun aku lumayan penasaran (tapi kalau novel-novel platform yang sudah dicetak menjadi buku, aku pernah baca). Salah satu alasannya adalah kebanyakan novel platform yang populer memiliki premis cerita yang itu-itu saja. Aku jadi bosan duluan sebelum coba membacanya. (Yes, I know, prasangka seperti itu tidak baik.)

Rupanya benar, hal-hal semacam itu dikomentari dalam buku. Premis cerita remaja tentang bad boy dan good girl, anak OSIS yang cool, tokoh cowok yang nakal tapi ternyata tajir, dan semacamnya itu sudah sangat pasaran di novel-novel platform. Itu memang ide-ide yang diminati pembaca remaja karena memuaskan khayalan mereka, tetapi terus terang aku bosan karena ceritanya pasti begitu-begitu saja. Maka dari itu, di dalam buku ini, salah satu tokohnya menyindir premis-premis cerita semacam itu sebagai membosankan dan tidak menarik.

Selain itu, buku ini juga menyuarakan lika-liku perjuangan para penulis platform. Para penulis platform itu lebih dekat dengan pembaca mereka. Mereka bisa berinteraksi langsung dengan para pembaca. Mereka harus disiplin mengunggah kelanjutan cerita secara rutin sesuai jadwal. Mereka harus giat mempromosikan tulisan mereka serta mencari cara agar cerita mereka memiliki keunggulan dibanding penulis-penulis lain. Perjuangan berat itu tercemin melalui karakter Wilma.

Aku sebenarnya salut kepada Wilma dan Ghosting Writer karena mereka masih remaja tapi bisa mengaktualisasikan passion mereka dan menghasilkan uang darinya. Di tengah kesibukan sekolahnya, Wilma masih sempat untuk menulis cerita. Mulai dari brainstorming ide, merencanakan plot dan adegan, sampai akhirnya menuliskan cerita—itu bukanlah pekerjaan mudah untuk dilakukan sambil sibuk bersekolah. Apalagi persaingan di dunia penulisan platform juga berat. Yang menarik adalah walau tampaknya karakter Wilma tersebut jarang ditemukan atau mustahil, kenyataannya banyak penulis platform terkenal adalah anak sekolah. Sebut saja Erisca Febriani yang menjadi terkenal karena novel Dear Nathan (2016) yang dia tulis waktu masih bersekolah. Maka dari itu, aku salut kepada Wilma dan para Wilma lain di luar sana.

Tidak hanya itu, aku tertarik pada karakter Wilma karena ketidakpercayaan dirinya. Penulis platform itu lebih dekat dengan para pembaca. Para pembaca bisa berkomentar secara langsung di kolom komentar serta memberikan like; di sisi lain, para penulis bisa langsung melihat itu. Aku bisa paham ketika Wilma tidak tahan untuk tidak mengecek kolom komentar dan peringkatnya di T3. Apalagi, dia masih remaja yang tentu masih suka impulsif dan insecure. Ditambah lagi, pertentangan dari ibunya membuat dia makin terdorong untuk membuktikan diri, sekaligus tertekan. Oleh karena itu, alasan di balik sikap Wilma yang tergila-gila peringkat dan popularitas sebenarnya solid. Dan pasti, masalah yang Wilma hadapi, tentang rasa insecure oleh komentar pembaca dan peringkat, juga dialami para penulis platform lainnya.

Dari permasalahan tersebut, muncul pembahasan tentang idealis vs realistis dalam berkarya. Permasalahan itu tentu dialami semua penulis platform maupun bukan, bahkan mungkin profesi seni manapun. Ingin menulis sesuai dengan keinginan dan preferensi sendiri agar autentik, tetapi belum tentu diminati pasar; sedangkan menulis sesuai mau pembaca, mengikuti terus keinginan mereka itu tidak ada habisnya dan melelahkan. Jika seorang penulis terus-menerus menuruti komentar para pembaca, nama mereka mungkin akan populer, tetapi kualitas cerita mereka akan pasaran dan kehilangan orisinalitas.

Terkait hal itu, aku setuju dengan salah satu tokoh di sini, yakni Ganindra, yang mengatakan bahwa sebelum menulis, kita harus meluruskan niat dulu. Wilma yang terbuai popularitas di T3 jadi tergila-gila pujian sehingga menuruti keinginan pembaca melulu agar terus dipuji. Sebaliknya, Ganindra mengatakan agar mempertahankan orisinalitas dalam berkarya, tidak boleh terlalu disetir pembaca. Memang pada kenyataannya, menuruti keinginan pembaca itu perlu, dengan catatan tidak sampai menghilangkan kekhasan dalam karya kita.

Di samping insights-nya yang bagus, aku suka dengan tokoh-tokohnya. Tadi aku sudah sebut tentang Wilma. Dia hebat karena di tengah kesibukan sekolahnya, dia bisa menjadi penulis terkenal di T3. Karakternya juga realistis dengan sikap insecure dan impulsifnya. Aku juga senang dengan sikap keras kepalanya yang ingin membuktikan diri kepada ibunya dan sifatnya yang peduli pada teman-temannya. Selain Wilma, aku juga sudah menyebutkan Ganindra. Di balik sikapnya yang pemalas dan suka bolos kelas, rupanya dia bijaksana. Aku suka sekali dengan kalimat-kalimat bijak dan opini-opininya. Meskipun tampak nakal, aku rasa dia yang paling bersikap dewasa. Ada satu tokoh lagi, yakni Nehru. Dia teman dekat Wilma dan partner menulisnya. Nehru yang jago menggambar membuatkan ilustrasi adegan untuk novel Wilma, sambil open commission jasanya sebagai ilustrator. Yang aku suka dari karakter Nehru adalah sikapnya yang memusuhi orang tuanya karena impiannya ditentang. Dulu aku pernah begitu juga, hahaha, makanya aku relate. Sikapnya itu memperlihatkan keteguhannya pada jalan yang ingin dia tempuh. Kemudian, selain ketiga tokoh utama itu, tokoh-tokoh pendukung lainnya juga mencuri perhatian, terutama teman-temannya Ganindra yang kocak dan absurd.

Ketiga tokoh utama tersebut mengalami sebuah masalah klasik dalam cerita-cerita remaja: pertentangan cita-cita. Mereka bertiga memiliki passion masing-masing dan ingin menekuninya secara profesional, tetapi ditentang orang tua. Walaupun itu masalah yang sudah sering diangkat pada buku-buku lain, ada treatment menarik yang digunakan di buku ini. Tiap orang tua dari mereka bertiga menentang dengan alasan dan intensitas yang berbeda—ada yang menentang keras dan ada yang biasa saja, hanya berupa sindiran-sindiran. Yang paling menarik bagiku adalah pertentangan ayahnya Ganin. Berbeda dari orang tuanya Wilma dan Nehru yang menentang cita-cita anak mereka berdasarkan asumsi mereka sendiri, orang tua Ganin punya alasan personal. Mereka pernah mengalami sendiri kegagalan mengejar passion sebagai profesi sehingga mereka tak ingin Ganin juga terjatuh ke lubang yang sama. Sikap Ganin menghadapi itu pun menurutku sangat dewasa.

Di samping itu, ketiga tokoh utama tersebut juga mengalami cinta segitiga. Aku awalnya sempat malas sih dengan itu, karena bosan dengan cinta segitia. Namun ternyata, unsur romansa pada buku ini sangat tipis dan cenderung tersirat. Aku malah geregetan ketika Nehru sudah sejelas itu memberikan signs, tetapi Wilma tidak peka-peka. Aku juga deg-degan sendiri ketika Wilma pergi jalan-jalan dengan Ganin. Momen martabak vs roti bakar itu yang paling kocak, hahaha!

Namun, romansanya itu bisa dibilang hampir tidak ada. Tidak pernah ada kalimat yang terang-terangan menyatakan si A suka pada si B. Tidak pernah ada kalimat yang mendeskripsikan perasaan cinta atau apa. Kita hanya bisa menarik kesimpulan sendiri dari sikap Nehru dan Ganin, tetapi tidak pernah dinyatakan secara langsung dalam cerita. Itulah yang aku suka karena romansanya hanya dijadikan bumbu penyedap, bukan jadi subplot tersendiri.

Aku pun suka sekali dengan akhir ceritanya. Konklusi yang disampaikan di akhir sangat benar. Daripada bersaing saling menjatuhkan, orang-orang bisa berkolaborasi untuk mewujudkan impian mereka. Aku juga suka dengan adegan terakhirnya. Terasa santai dan menyenangkan. Tidak harus yang grande, tetapi tetap menyentuh hati.

 

Kelemahan

Sebelumnya, aku telah menyebutkan bahwa aku paling suka pada pertentangan dari orang tuanya Ganin terhadap cita-cita anaknya. Akan tetapi, dibandingkan dengan pertentangan orang tua Wilma dan Nehru, pertentangan orang tua Ganin yang paling underdeveloped, walau memiliki alasan yang paling kuat. Ketika diungkap bahwa orang tua Ganin juga menentang cita-cita anaknya, kesan yang aku rasakan adalah “kok diulang lagi sih?”. Karena ketiga tokoh utama mengalami nasib yang sama, aku jadi merasa ada perulangan. Padahal, ada alasan lain sehingga seseorang tak bisa mengejar cita-citanya, seperti masalah ekonomi keluarga. Ditambah lagi, perubahan sikap orang tuanya Ganin juga terasa tiba-tiba. Itu yang membuatku terutama merasa ini underdeveloped.

Kemudian, kemisteriusan Ghosting Writer tidak terlalu “misterius”. Memang sempat agak bimbang dengan dugaan awalku, tetapi semua petunjuk terlalu jelas ke arah sana. Entahlah, mungkin penulisnya memang ingin membuat kita geregetan kepada Wilma yang tidak dapat membaca petunjuk-petunjuk yang berserakan. Akan tetapi, ketika identitas si Ghosting Writer diungkap, kesan terkejutnya tidak besar lagi.

 

Kesimpulan

Ghosting Writer adalah novel yang bagus karena menyuarakan lika-liku para penulis platform. Melalui karakter Wilma, kita dapat melihat betapa beratnya perjuangan para penulis platform untuk berkarya. Tidak hanya itu, buku ini juga menyinggung soal tren ide cerita remaja pada novel-novel platform yang begitu-begitu saja, serta tentang masalah idealis vs realistis. Sebagai sebuah cerita remaja, buku ini juga mengangkat masalah pertentangan cita-cita oleh orang tua, yang tentu relatable bagi banyak remaja di luar sana. Sayangnya, kemisteriusan Ghosting Writer yang menjadi premis awal cerita ternyata tidak semisterius itu. Ada banyak petunjuk yang terlalu jelas.

Akan tetapi, itu tertutupi berkat dinamika antartokohnya yang seru. Aku suka melihat ketiga tokohnya yang realistis. Mereka pun mengalami cinta segitiga, tetapi yang menarik adalah itu tidak ditulis secara gamblang. Pokoknya, romansanya tidak terang-terangan menjadi subplot sendiri, cuma jadi bumbu penyedap cerita. Selain itu, kalian harus membaca buku ini karena ada banyak pembelajaran yang bisa diambil. Skorku untuk Ghosting Writer adalah 8/10. Buku ini cocok untuk para penggemar novel platform dan para penulis platform, serta siapapun yang gemar membaca cerita remaja.

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar