How to Make Millions Before Grandma Dies: Cerita Menghangatkan dan Mengharukan tentang Cucu dan Nenek—Nonton Ini Harus Siapin Tisu yang Banyak

Identitas Film Judul : How to Make Millions Before Grandma Dies Sutradara : Pat Boonnitipat Produser : Vanridee Pongsittisak, Jira Maligool Tanggal rilis : 4 April 2024 (Thailand), 15 Mei 2024 Rumah produksi : Jor Kwang Films Penulis naskah : Pat Boonnitipat, Thodsapon Thiptinnakorn Durasi tayang : 2 jam 5 menit Pemeran : Putthipong "Billkin" Assaratanakul, Usha "Taew" Seamkhum, Sarinrat "Jear" Thomas, Sanya "Duu" Kunakorn, Pongsatorn "Phuak" Jongwilas, Himawari Tajiri, Tontawan "Tu" Tantivejakul, Duangporn Oapirat Genre : Potongan kehidupan , komedi, drama keluarga   Sinopsis M (Putthipong "Billkin" Assaratanakul) ada

Sistem Zonasi Sekolah itu Kebijakan Gegabah


Sistem Zonasi Sekolah itu Kebiajakan Gegabah

Omong-omong, sebelum mulai ke pembahasan, aku mau mengucapkan: Selamat hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74! Ayo rayakan kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif dan kontributif. Walaupun kita sudah tidak dijajah, jangan sampai perjuangan kita unutk merdeka menjadi kendur! Masih banyak teman-teman kita yang belum merasa merdeka dan sudah kewajiban kita untuk menolong mereka. 

***


Beberapa minggu lalu, tahun ajaran baru bagi peserta didik telah dimulai setelah sebelumnya para peserta didik diseleksi melalui PPDB. Ada perubahan besar dalam PPDB tahun ini, yakni sistem zonasi sekolah yang menuai pro-kontra di masyarakat. Bahkan, di Surabaya terjadi aksi protes yang dilakukan sekelompok ibu-ibu karena tidak puas dengan kebijakan tersebut. Banyak keluhan terjadi di masyarakat, misalnya tidak adanya sekolah negeri yang dekat dengan rumah calon peserta didik sehingga mereka terpaksa masuk sekolah swasta. Kemudian, banyak orang tua mengaku tidak paham seberapa jauh jarak antara rumah dengan sekolah agar mereka bisa mendaftarkan anak mereka ke sekolah tersebut. Ditambah lagi, beberapa sekolah juga menerapkan selection tools yang berbeda-beda, seperti nilai UN dan umur calon peserta didik, di luar jarak rumah dengan sekolah sehingga membuat sistem zonasi semakin rumit.

Di lain pihak, di samping penolakan yang terjadi dari kalangan orang tua, beberapa golongan masyarakat menyambut baik kebijakan ini. “Semakin ditentang, sistem ini semakin harus dipertahankan,” ucap Komisioner KPAI Retno Listyarti sebagaimana dikutip Jawa Pos (Senin, 24/6). Oleh karena itu, seberapa efektif kah kebijakan ini terhadap pencapaian cita-cita negara kita?

Untuk dapat menilai hal tersebut, kita perlu melihat dulu permasalahan dari dunia pendidikan kita. Kemudian, bicara soal dunia pendidikan Indonesia, pemerintah kita masih punya banyak PR. Masalah paling utama dari dunia pendidikan kita adalah kualitas pendidikan kita yang masih rendah.   Bukan hanya kualitasnya yang rendah, pendidikan kita juga belum merata baik kualitas maupun fasilitas. Itulah masalah mendasar pendidikan di negara kita. Dari situ, masalah-masalah lain bermunculan, seperti kualitas guru yang rendah, banyaknya jumlah anak yang buta huruf, dan meningkatnya jumlah anak yang putus sekolah.

Padahal, Indonesia telah menganggarkan 20% anggaran belanjanya di dalam APBN untuk dunia pendidikan, dan bahkan pada tahun 2018 anggaran untuk pendidikan mencapai Rp444T. Jika dibandingkan dengan Vietnam, kita sama-sama menganggarkan 20% anggaran belanja untuk dunia pendidikan, tapi menurut hasil skor PISA, Vietnam masih lebih unggul daripada Indonesia. Tidak heran kalau dikatakan bahwa uang Rp444T tersebut belum dimanfaatkan dengan efektif.

Kembali kepada kebijakan zonasi tadi. Setelah dijelaskan sedikit mengenai masalah mendasar dunia pendidikan Indonesia, dapat kita cermati bahwa kurang jelas bagaimana zonasi dapat mengatasi kualitas pendidikan kita yang rendah itu. Jadi, ibaratnya kita mau bangun rumah, kita malah beli kursi duluan daripada memikirkan fondasi rumah dan lokasinya.

Kemudian, mengapa pemerintah memberlakukan kebijakan ini? Menurut Pa Muhadjir Effendy, selaku Mendikud, sistem zonasi dimaksudkan untuk menghapus dikotomi sekolah favorit atau unggulan dengan sekolah biasa. Beliau ingin agar zonasi ini bisa menghapus persepsi sekolah unggulan agar pendidikan di Indonesia dapat merata.

Keuntungan langsung yang dapat kita rasakan dari sistem zonasi adalah kita dapat meghemat beban transportasi karena semua peserta didik bersekolah di sekolah yang dekat rumah mereka. Namun, sisi buruknya adalah berkurangnya persaingan antara peserta didik untuk masuk ke sekolah tertentu sebab tidak ada lagi sekolah unggulan yang sebelumnya menjadi rebutan. Persaingan berubah menjadi persaingan mendapatkan bangku di sekolah yang ada di domisili mereka. Persaingan memang masih ada, tapi selection tool-nya tidak jelas. Jika sebelumnya NEM menjadi acuan untuk seleksi dalam PPDB, sekarang jarak antara sekolah dengan rumah lah yang menentukan, yang mana kurang adil dan tidak ada hubungannya dengan kualitas calon peserta didik.

Sekarang, kita teliti apakah tujuan dari sistem zonasi yang telah disampaikan Pak Muhadjir Effendy di berbagai media menyasar pada akar-akar permasalahan pendidikan di dunia kita. Tujuan pertama adalah pemerataan pendidikan. Dengan zonasi ini diharapkan tidak ada lagi sekolah unggulan atau favorit sehingga semua sekolah menjadi sama. Namun bagaimana caranya kualitas pendidikan dapat merata itu tidak jelas. Menghilangkan label sekolah unggulan tidak menjadikan pendidikan merata.

Zonasi memang memiliki nilai plus karena memberi kesempatan kepada anak-anak yang kurang berprestasi untuk bersekolah di sekolah unggulan sehingga potensi mereka bisa lebih dimaksimalkan. Namun, hal yang serupa juga berlaku bagi siswa yang berprestasi atau memiliki potensi, tapi masuk di sekolah yang bukan unggulan dan memiliki fasilitas tidak lengkap, hanya karena masalah jarak rumah dengan sekolah yang relative dekat. Misalnya, ada anak dengan potensi di bidang IT, tapi sekolahnya tidak memiliki komputer yang memadai, maka tersia-siakan potensi anak tersebut. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah melakukan pemerataan fasilitas sekolah dulu sebelum memulai zonasi ini.

Kemudian. sistem zonasi memang betul telah menyebarkan peserta didik dengan cukup merata di setiap daerah sehinga peserta didik-peserta didik yang berprestasi tidak tertumpuk di satu sekolah tertentu. Akan tetapi, apakah kondisi tersebut bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita? Karena kenyatannya, guru lebih berperan untuk meningkatkan kualitas pendidikan daripada murid. Maka dari itu, untuk dapat memeratakan pendidikan yang berkualitas, pemerintah seharusnya memastikan guru-guru yang berkualitas sudah didistribusikan di seluruh sekolah hingga ke pelosok-pelosok dan memastikan ketersediaannya jumlah guru di setiap sekolah, sebelum memberlakukan zonasi ini. Jangan sampai pendidikan kita malah buruknya yang merata.

Tujuan sistem zonasi yang kedua adalah menciptakan sekolah-sekolah unggulan baru. Tujuan ini cukup kontradiktif sebab zonasi ini diharapkan menghapuskan sekolah unggulan, lalu kenapa sekarang ditujukan untuk menciptakan sekolah unggulan pula? Berdasarkan pengalaman, sekolah unggulan dan sekolah favorit adalah dua hal yang berbeda. Sekolah unggulan adalah sekolah yang dari tahun ke tahun selalu mencetak prestasi di berbagai bidang, seperti seni, olahraga, dan akademik. Sementara itu, sekolah favorit merupakan sekolah yang banyak diminati para peserta didik ketika PPDB berlangsung karena beberapa alasan, seperti fasilaitas yang bagus, lingkungan sekolah yang aman, atau prestasinya juga.

Sekolah unggulan mendapatkan julukannya karena pencapaiannya yang dinilai berhasil oleh masyarakat untuk mencetak murid-murid berprestasi. Hal tersebut sangat didominasi oleh peran guru-guru di sekolah tersebut. Oleh sebab itu, kalau ingin menciptakan sekolah unggulan baru, yang dilakukan adalah menyediakan guru berkualitas di sekolah-sekolah biasa dan mengganti guru-guru yang sudah tidak lagi berkompeten, serta meningkatkan kualitas para guru itu sendiri. Salah satu cara yang cukup efektif adalah dengan mengadakan kompetisi untuk para guru sehingga mendorong mereka untuk terus mengembangkan diri, meng-update pengetahuan mereka, dan meningkatkan motivasi mereka dalam bekerja.

Di sisi lain, sekolah favorit mendapatkan julukanya karena diminati banyak calon peserta didik yang terbukti dari banyaknya jumlah pendaftar di sekolah tersebut. Maka, tidak heran apabila sekolah favorit terkenal akan sulitnya persaingan untuk masuk ke sana. Karena persaingan yang ketat, murid-murid akan terdorong untuk bisa menjadi unggul agar bisa masuk sekolah favorit tadi. Persaingan tersebut mendorong mereka untuk meningkatkan kualitas (di mana seharusnya hal serupa terjadi pada para guru). Akan tetapi, yang zonasi lakukan adalah menghapuskan persaingan semacam itu karena diterima atau tidaknya seorang calon peserta didik ditentukan dari jarak rumah mereka ke sekolah, bukan dari nilai mereka.

Tujuan ketiga dari zonasi sekolah adalah meningkatkan kualitas guru. Hal ini sudah dijelaskan tadi bahwa tidak terlihat bagimana caranya zonasi dapat meningkatkan kualitas guru. Padahal, kompetensi guru-guru di Indonesia masih terbilang rendah berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilakukan oleh Kemendikbud. Rata-rata hasil skor guru se-Indonesia adalah 53,02 dengan kriteria ketuntansan minimum 55, yang artinya rata-rata kompetensi guru di Indonesia masih di bawah standar. Bagaimana caranya zonasi dapat meningkatkan skor tersebut?

Untuk bisa meningkatkan kualitas guru, pemerintah seharusnya menciptakan kompetisi yang memaksa para guru untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Bentuk kompetisi ini dapat bermacam-macam dan tidak harus ada eliminasinya.

Dengan adanya sistem zonasi, memang dapat dikatakan bahwa guru-guru di sekolah unggulan dan favorit tidak lagi hanya mendapat peserta didik-peserta didik yang pintar dan berprestasi. Mereka sekarang mendapat tantangan dengan kedapatan murid-murid yang kurang berprestasi. Namun, apakah itu serta-merta membuat para guru mau meningkatkan kualitas diri mereka agar dapat mengajar murid-murid seperti itu? Sepertinya tidak, karena para murid pun juga dapat berjuang sendiri. Kalau begitu, guru sudah makan gaji buta. Maka dari itu, tidak jelas korelasi antara zonasi sekolah dengan peningkatan kualitas guru.

Pemerintah perlu menciptakan insentif untuk para guru meningkatkan kualitas dan salah satu caranya adalah kompetisi tadi. Pemerintah juga bisa mendorong para guru untuk terus produktif, misalnya mewajibkan ikut pelatihan-pelatihan, ikut seminar-seminar, ikut workshop, menghasilkan karya ilmiah, dan menambah wawasan mengenai subjek yang mereka ajarkan. Pemerintah harus menciptakan sistem yang mendorong para guru untuk terus meng-upgrade kualitas mereka sendiri agar dapat juga menghasilkan murid-murid yang berkualitas.

Di samping hal-hal tadi, sistem zonasi ini diklaim menjadi langkah awal untuk pemetaan masalah-masalah yang ada di berbagai sekolah di daerah. Dengan diberlakukannya zonasi ini, akan terlihat sekolah-sekolah mana saja yang masih bermasalahan, seperti fasilitas yang kurang, guru yang tidak tersedia, kekurangan murid, ruang kelas rusak, dan akses susah. Jadi, masalah-masalah sekolah tadi yang semula tertimbun akan naik ke permukaan karena zonasi sekolah ini sehingga dapat diatasi segera.

Akan tetapi, seharusnya pemerintah melakukan pemetaan tersebut sebelum zonasi ini diberlakukan, bukan justru sebaliknya. Pemetaan masalah tersebut dapat dilakukan tanpa zonasi sekolah. Justru, dengan menggunakan zonasi untuk pemetaan sekolah itu, pemerintah telah mengorbankan masa depan banyak anak bangsa karena mereka terpaksa masuk ke sekolah-sekolah yang mungkin tidak cocok dengan mereka. Anak dengan potensi IT tadi tidak bisa mengembangkan potensinya karena masuk ke sekolah yang tidak ada komputernya. Murid yang belajar dengan mendengarkan penjelasan guru bertemu dengan guru yang malas dan hanya membacakan slide Powerpoint saja, dia akan kesulitan untuk mengembangkan dirinya. Masalah-masalah seperti itu memang sepele, tapi bisa memengaruhi masa depan mereka ke depannya dalam pendidikan mereka, bahkan karir.

Langkah pertama yang seharusnya pemerintah lakukan bukanlah zonasi sekolah, melainkan pemerataan fasilitas di seluruh sekolah, pembangunan sekolah di seluruh daerah, dan pemerataan guru-guru yang berkualitas. Kalau itu semua sudah terpenuhi, kebijakan zonasi dapat dilakukan dengan mudah karena di mata para murid semua sekolah sama saja. Semua sekolah punya potensi untuk menajdi unggulan sebab baik fasilitas maupun kualitas gurunya sama. Pada kondisi itu, semua calon peserta didik pasti akan memilih sekolah yang dekat dengan rumah mereka dengan sendirinya.

Ringkasnya, implementasi dari sistem zonasi untuk sekarang ini terlalu gegabah . Yang seharusnya pemerintah lakukan adalah meratakan fasilitas sekolah, meratakan jumlah guru-guru berkualitas di seluruh sekolah, serta menciptakan sistem untuk mendorong para guru mengembangkan kualitas mereka. Setelah itu semua, barulah zonasi dapat diberlakukan.

***
Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

***

Di bawah ini, aku sertakan beberapa link yang menjadi refrensi:
aku:https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/15/18530531/tenyata-ini-3-tujuan-zonasi-selain-untuk-ppdb
https://nasional.kompas.com/read/2019/06/24/19413101/banyak-keluhan-soal-ppdb-sistem-zonasi-ini-pembelaan-mendikbud?page=all
https://geotimes.co.id/opini/zonasi-hanyalah-gerbang-pembuka/

Komentar